Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Kamis, 16 April 2015

Listrik Untuk Rakyat




Mahkamah Konstitusi yang berdiri pada tanggal 13 Agustus 2003, telah melakukan gebrakan yang luar biasa pada saat pertamali menerima pengujian undang-undang pertama yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh APHI, PBHI, Yayasan 324, Serikat Pekerja  PT. PLN dan perseorangan warga negara  Ir. Januar Muin dan Ir. David Tombeg.
Dalam permoohonannya para Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk membatalkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan alasan bahwa UU tersebut telah menyebabkan para Pemohon mengalami kerugian konstitusional karena dalam undang-undang tersebut, tenaga listrik sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak tidak dikuasai oleh negara dan tidak berorientasi kepada kepentingan publik dan juga telah menyebabkan kerugian bagi PLN sebagai Perusahaan Listrik Negara yang berkepentingan terhadap pengelolaan tenaga listrik serta berorientasi kepada sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
            Untuk menjawab isu konstitusionalitas dari permohonan tersebut, setelah melalui persidangan yang sangat panjang, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Bahwa untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, Mahkamah perlu terlebih dahulu memberi pengertian atau makna “dikuasai oleh negara“ sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 mempunyai daya berlaku normatif sebagai berikut:
1.  Konstitusi memberikan kewenangan kepada negara untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak;
2.  Kewenangan tersebut ditujukan kepada mereka baik yang akan maupun yang telah mengusahakan produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pada cabang produksi yang jenis produksinya belum ada atau baru akan diusahakan, yang jenis produksi tersebut penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak negara mempunyai hak diutamakan/didahulukan yaitu negara mengusahakan sendiri dan menguasai cabang produksi tersebut serta pada saat yang bersamaan melarang perorangan atau swasta untuk mengusahakan cabang produksi tersebut;
3.  Pada cabang produksi yang telah diusahakan oleh perorangan atau swasta dan ternyata produksinya penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, atas kewenangan yang diberikan oleh Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, negara dapat mengambil alih cabang produksi tersebut dengan cara yang sesuai dengan aturan hukum yang adil;
Bahwa kewenangan negara yang diberikan oleh UUD 1945 dapat digunakan sewaktu-waktu apabila unsur-unsur persyaratan penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) terpenuhi.
Bahwa ketentuan UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada negara untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak tidaklah dimaksudkan demi kekuasaan semata dari negara, tetapi mempunyai maksud agar negara dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, “.… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum …” dan juga “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Misi yang terkandung dalam penguasaan negara tersebut dimaksudkan bahwa negara harus menjadikan penguasaan terhadap cabang produksi yang dikuasainya itu untuk memenuhi tiga hal yang menjadi kepentingan masyarakat, yaitu: (1) ketersediaan yang cukup, (2) distribusi yang merata, dan (3) terjangkaunya harga bagi orang banyak. Hubungan antara penguasaan negara atas cabang produksi yang penting bagi negara dan hajat hidup orang banyak, serta misi yang terkandung dalam penguasaan negara merupakan keutuhan paradigma yang dianut oleh UUD 1945, bahkan dapat dikatakan sebagai cita hukum (rechtsidee) dari UUD 1945. Dengan demikian jelas bahwa UUD 1945 telah menentukan pilihannya. Pertanyaannya, bukankah ketiga hal tersebut di atas dapat dipenuhi oleh sistem ekonomi pasar, dan oleh karenanya mengapa tidak diserahkan saja kepada mekanisme pasar, tentu haruslah dijawab secara normatif bahwa UUD 1945 tidak memilih sistem tersebut sebagaimana tercermin dalam Pasal 33 ayat (4). Dasar pilihan tersebut tidak berarti tanpa alasan sama sekali. Asumsi bahwa mekanisme pasar dapat secara otomatis memenuhi ketiga hal tersebut di atas adalah penyederhanaan logika yang jauh dari kenyataan, yaitu adanya mekanisme (sistem) pasar yang sempurna. Kenyataan tidak adanya mekanisme pasar yang sempurna ini dapat disimak dari apa yang dinyatakan oleh Joseph E. Stiglitz: ”… presumption that markets, by themselves, lead to efficient outcomes, failed to allow for desirable government interventions in the market and make everyone better off.“ (Globalization and Its Discontents, Joseph E. Stiglitz, hal. XII).
Bahwa berdasarkan penafsiran historis, seperti yang tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan, makna ketentuan tersebut adalah “Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan orang-seorang”. Uraian di atas masih menyisakan pertanyaan, apa saja yang termasuk cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta apa pula makna dikuasai oleh negara itu?
Bahwa Mohammad Hatta sebagai salah satu pendiri negara (founding fathers) menyatakan tentang pengertian dikuasai oleh negara sebagai berikut, “Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman luar negeri. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanamkan modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan Pemerintah … Cara begitulah dahulu kita memikirkan betapa melaksanakan pembangunan ekonomi dengan dasar Pasal 33 UUD 1945 … Apabila tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, pinjam tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya maka diberikan kesempatan kepada mereka untuk menanamkan modalnya di tanah air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri. (Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato II Hal. 231. Disusun oleh I. Wangsa Widjaja, Mutia F. Swasono, PT. Toko Gunung Agung Tbk. Jakarta 2002). Penafsiran Dr. Mohammad Hatta tersebut diadopsi oleh Seminar Penjabaran Pasal 33 UUD 1945 pada tahun 1977 di Jakarta yang menyatakan bahwa sektor usaha negara adalah untuk mengelola ayat (2) dan ayat (3) Pasal 33 UUD 1945 dan di bidang pembiayaan, perusahaan negara dibiayai oleh Pemerintah, apabila Pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai, dapat melakukan pinjaman dari dalam dan luar negeri, dan apabila masih belum mencukupi bisa diselenggarakan bersama-sama dengan modal asing atas dasar production sharing;
Bahwa Menteri Negara BUMN dalam keterangan tertulis di forum sidang Mahkamah menafsirkan “dikuasai oleh negara” berarti negara sebagai regulator, fasilitator, dan operator yang secara dinamis menuju negara hanya sebagai regulator dan fasilitator, sedangkan Prof. Dr. Harun Alrasid, S.H. menafsirkan dikuasai oleh negara berarti dimiliki oleh negara;
Bahwa Mahkamah juga memperhatikan pendapat para ahli yang menyatakan dalam kenyataan sesungguhnya tidak ada sistem ekonomi yang secara ekstrim liberal sepenuhnya, maupun sistem ekonomi yang bersifat command atau planned economy sepenuhnya. Sehingga oleh karenanya Pasal 33 UUD 1945 harus tetap menjadi acuan, karena Pasal 33 tersebut sama sekali tidak diartikan anti terhadap ekonomi pasar, dan ekonomi pasar juga tidak mengesampingkan sepenuhnya peran negara untuk campur tangan manakala terjadi distorsi dan ketidakadilan, oleh karena tafsiran dinamis atas Pasal 33 UUD 1945 oleh Mahkamah dilakukan dengan memperhatikan seoptimal mungkin perubahan lingkungan strategis secara nasional maupun global;
Bahwa dengan memandang UUD 1945 sebagai sistem sebagaimana dimaksud, maka pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif;
Bahwa jika pengertian kata “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak akan mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang dengan demikian berarti amanat untuk “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam Pembukaan UUD 1945 tidak mungkin diwujudkan. Namun demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu sendiri harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Pengertian “dikuasai oleh negara” juga tidak dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk mengatur, karena hal dimaksud sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara khusus dalam undang-undang dasar. Sekiranyapun Pasal 33 tidak tercantum dalam UUD 1945, sebagaimana lazim di banyak negara yang menganut paham ekonomi liberal yang tidak mengatur norma-norma dasar perekonomian dalam konstitusinya, sudah dengan sendirinya negara berwenang melakukan fungsi pengaturan. Karena itu, perkataan “dikuasai oleh negara” tidak mungkin direduksi pengertiannya hanya berkaitan dengan kewenangan negara untuk mengatur perekonomian. Oleh karena itu, baik pandangan yang mengartikan perkataan penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam konsepsi perdata maupun pandangan yang menafsirkan pengertian penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh negara, kedua-duanya ditolak oleh Mahkamah;
Bahwa berdasarkan rangkaian pendapat dan uraian di atas, maka dengan demikian, perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat;
Bahwa dalam kerangka pengertian yang demikian itu, penguasaan dalam arti kepemilikan perdata (privat) yang bersumber dari konsepsi kepemilikan publik berkenaan dengan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak yang menurut ketentuan Pasal 33 ayat (2) dikuasai oleh negara, tergantung pada dinamika perkembangan kondisi masing-masing cabang produksi. Yang harus dikuasai oleh negara adalah cabang-cabang produksi yang dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak, yaitu: (i) cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak, atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, terpulang kepada Pemerintah bersama lembaga perwakilan rakyat untuk menilainya apa dan kapan suatu cabang produksi itu dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang lain dapat berubah menjadi tidak penting lagi bagi negara dan tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak. Akan tetapi Mahkamah berwenang pula untuk melakukan penilaian dengan mengujinya terhadap UUD 1945 jika ternyata terdapat pihak yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena penilaian pembuat undang-undang tersebut
Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, jikalau cabang produksi listrik sungguh-sungguh dinilai oleh Pemerintah bersama DPR telah tidak lagi penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka dapat saja cabang itu diserahkan pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasannya kepada pasar. Namun, jikalau cabang produksi dimaksud masih penting bagi negara dan/atau masih menguasai hajat hidup orang banyak, maka negara c.q. Pemerintah tetap diharuskan menguasai cabang produksi yang bersangkutan dengan cara mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasinya agar sungguh-sungguh dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di dalam pengertian penguasaan itu tercakup pula pengertian kepemilikan perdata sebagai instrumen untuk mempertahankan tingkat penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah dalam pengelolaan cabang produksi listrik dimaksud. Dengan demikian, konsepsi kepemilikan privat oleh negara atas saham dalam badan-badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak tidak dapat didikotomikan ataupun dialternatifkan dengan konsepsi pengaturan oleh negara. Keduanya tercakup dalam pengertian penguasaan oleh negara. Oleh sebab itu, negara tidak berwenang mengatur atau menentukan aturan yang melarang dirinya sendiri untuk memiliki saham dalam suatu badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagai instrumen atau cara negara mempertahankan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan dimaksud untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
Bahwa di samping itu, untuk menjamin prinsip efisiensi berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan, “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional“, maka penguasaan dalam arti pemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif dalam arti tidak mutlak selalu harus 100%, asalkan penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, sepanjang privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan negara c.q. Pemerintah untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, sepanjang kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang mengusai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
Bahwa dengan merujuk pada penafsiran Mahkamah atas penguasaan negara sebagai mana telah diuraikan di atas hal dimaksud harus dinilai berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 secara keseluruhan, termasuk penyelenggaraan perekonomian nasional berdasar atas demokrasi ekonomi, prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, dan berwawasan lingkungan dengan mana ditafsirkan bahwa penguasaan negara juga termasuk dalam arti pemilikan privat yang tidak harus selalu 100%. Artinya, pemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha yang menyangkut cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud, dapat bersifat mayoritas mutlak (di atas 50%) atau bersifat mayoritas relatif (di bawah 50%) sepanjang Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas relatif tersebut secara hukum tetap memegang kedudukan menentukan dalam pengambilan keputusan di badan usaha dimaksud;
Hal tersebut harus dipahami bahwa meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif dalam BUMN akan tetapi harus dipertahankan posisi negara untuk tetap sebagai pihak yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan usaha yang bersangkutan yang menggambarkan penguasaan negara yang mencakup pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan;
Bahwa dalil Para Pemohon yang mengatakan bahwa produk tenaga listrik belum dapat diartikan, disamakan, dan diberlakukan sebagai komoditi ekonomi, tetapi juga harus diartikan sebagai prasarana yang perlu disubsidi, sehingga pengertian kompetisi dan perlakuan yang sama kepada semua pelaku usaha sebagaimana yang dimaksud dalam konsiderans “Menimbang” huruf b dan c maupun Pasal 16, 17 ayat (1), dan 21 ayat (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tidak dapat diterima, karena dengan pengertian dikuasai oleh negara sebagaimana telah diuraikan di atas, akan menimbulkan kerancuan berfikir karena makna penguasaan negara yang mencakup pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan akan dikurangi jika dalam penyediaan tenaga listrik diperlakukan secara sama dalam sistem persaingan dengan badan usaha swasta, termasuk asing;
Bahwa lagi pula kompetisi dalam kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik di wilayah yang telah dapat menerapkan kompetisi dan secara unbundling, menurut ahli hanya akan terjadi di daerah JAMALI (Jawa, Madura dan Bali) sebagai pasar yang telah terbentuk yang akan dimenangkan oleh usaha yang kuat secara teknologis dan finansial, sedang di daerah yang pasarnya belum terbentuk di luar Jawa, Madura dan Bali, menjadi kewajiban Pemerintah/BUMN yang boleh melaksanakannya secara terintegrasi, hal mana tidak mampu dilakukan tanpa melalui subsidi silang dari pasar yang telah menguntungkan di JAMALI tersebut, sehingga kewajiban untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia tidak akan tercapai, karena pelaku usaha swasta akan berorientasi kepada keuntungan yang hanya diperoleh di pasar yang sudah terbentuk;
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa untuk menyelamatkan dan melindungi serta mengembangkan lebih lanjut perusahaan negara (BUMN) sebagai aset negara dan bangsa agar lebih sehat yang selama ini telah berjasa memberikan pelayanan kelistrikan kepada masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, baik yang beraspek komersiil maupun non-komersiil sebagai wujud penguasaan negara, sehingga ketentuan Pasal 16 UU No. 20 Tahun 2002 yang memerintahkan sistem pemisahan/pemecahan usaha ketenagalistrikan (unbundling system) dengan pelaku usaha yang berbeda akan semakin membuat terpuruk BUMN yang akan bermuara kepada tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang bersifat komersial maupun non-komersial. Dengan demikian yang akan merugikan masyarakat, bangsa dan negara. Keterangan ahli yang diajukan pemohon telah menjelaskan pengalaman empiris yang terjadi di Eropa, Amerika Latin, Korea, dan Meksiko, sistem unbundling dalam restrukturisasi usaha listrik justru tidak menguntungkan dan tidak selalu efisien dan malah menjadi beban berat bagi negara, sehingga oleh karenanya Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945;
Bahwa Mahkamah berpendapat pembuat undang-undang juga menilai bahwa tenaga listrik hingga saat ini masih merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga oleh karenanya menurut pasal 33 ayat (2) UUD 1945 harus tetap dikuasai oleh negara, dalam arti harus dikelola oleh negara melalui perusahaan negara yang didanai oleh pemerintah (negara) atau dengan kemitraan bersama swasta nasional atau asing yang menyertakan dana pinjaman dari dalam dan luar negeri atau dengan melibatkan modal swasta nasional/asing dengan sistem kemitraan yang baik dan saling menguntungkan. Hal ini berarti bahwa hanya BUMN yang boleh mengelola usaha tenaga listrik, sedangkan perusahaan swasta nasional atau asing hanya ikut serta apabila diajak kerjasama oleh BUMN, baik dengan kemitraan, penyertaan saham, pinjaman modal dan lain-lain. Persoalannya adalah apakah yang dimaksud dengan perusahaan negara pengelola tenaga listrik hanyalah BUMN, dalam hal ini PLN, ataukah bisa dibagi dengan perusahaan negara yang lain, bahkan dengan perusahaan daerah (BUMD) sesuai dengan semangat otonomi daerah? Mahkamah berpendapat, jika PLN memang masih mampu dan bisa lebih efisien, tidak ada salahnya jika tugas itu tetap diberikan kepada PLN, tetapi jika tidak, dapat juga berbagi tugas dengan BUMN lainnya atau BUMD dengan PLN sebagai “holding company”;
Bahwa lagi pula dengan merujuk pandangan Hatta dan pandangan para ahli sebagaimana tersebut di atas tentang penjabaran Pasal 33 UUD 1945 dapat disimpulkan secara ringkas bahwa makna dikuasai oleh negara ialah bahwa terhadap cabang produksi yang telah dimiliki oleh negara, maka negara harus memperkuat posisi perusahaan tersebut agar kemudian secara bertahap akhirnya dapat menyediakan sendiri kebutuhan yang merupakan hajat hidup orang banyak dan menggantikan kedudukan perusahaan swasta, baik nasional maupun asing;
Bahwa adanya kenyataan inefisiensi BUMN yang timbul karena faktor-faktor miss-management serta korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan Pasal 33 UUD 1945, bak pepatah “buruk muka cermin dibelah”. Pembenahan yang dilakukan haruslah memperkuat penguasaan negara untuk dapat melaksanakan kewajiban konstitusionalnya sebagaimana disebut dalam Pasal 33 UUD 1945;
Bahwa dengan pertimbangan-pertimbangan yang telah diuraikan di atas, maka permohonan Para Pemohon harus dikabulkan sebagian dengan menyatakan Pasal 16, 17 ayat (3), serta 68 UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Bahwa meskipun ketentuan yang dipandang bertentangan dengan konstitusi pada dasarnya adalah Pasal 16, 17 ayat (3), serta 68, khususnya yang menyangkut unbundling dan kompetisi, akan tetapi karena pasal-pasal tersebut merupakan jantung dari UU No. 20 Tahun 2002 padahal seluruh paradigma yang mendasari UU Ketenagalistrikan adalah kompetisi atau persaingan dalam pengelolaan dengan sistem unbundling dalam ketenagalistrikan yang tercermin dalam konsideran “Menimbang” huruf b dan c UU Ketenagalistrikan. Hal tersebut tidak sesuai dengan jiwa dan semangat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang merupakan norma dasar perekonomian nasional Indonesia;
Bahwa Mahkamah berpendapat cabang produksi dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 di bidang ketenagalistrikan harus ditafsirkan sebagai satu kesatuan antara pembangkit, transmisi, dan distribusi sehingga dengan demikian, meskipun hanya pasal, ayat, atau bagian dari ayat tertentu saja dalam undang-undang a quo yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat akan tetapi hal tersebut mengakibatkan UU No. 20 Tahun 2002 secara keseluruhan tidak dapat dipertahankan, karena akan menyebabkan kekacauan yang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya;
Bahwa oleh karena Pasal 16 dan 17 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 yang berakibat UU No. 20 Tahun 2002 secara keseluruhan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum karena paradigma yang mendasarinya bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu guna mencegah timbulnya kesalahpahaman dan keragu-raguan yang mengakibatkan timbulnya kesan tidak adanya kepastian hukum di bidang ketenagalistrikan di Indonesia, perlu ditegaskan bahwa sesuai dengan Pasal 58 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai akibat hukum sejak diucapkan dan berlaku ke depan (prospective) sehingga tidak mempunyai daya laku yang bersifat surut (retroactive). Dengan demikian, semua perjanjian atau kontrak dan ijin usaha di bidang ketenagalistrikan yang telah ditandatangani dan dikeluarkan berdasarkan UU No. 20 Tahun 2002 tetap berlaku sampai perjanjian atau kontrak dan ijin usaha tersebut habis atau tidak berlaku lagi;--------------------------
Menimbang bahwa guna menghindari kekosongan hukum (rechtsvacuum), maka undang-undang yang lama di bidang ketenagalistrikan, yaitu UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3317) berlaku kembali karena Pasal 70 UU No. 20 Tahun 2002 yang menyatakan tidak berlakunya UU No. 15 Tahun 1985 termasuk ketentuan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Bahwa dengan dinyatakannya keseluruhan UU No. 20 Tahun 2002 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, disarankan agar pembentuk undang-undang menyiapkan RUU Ketenagalistrikan yang baru yang sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945;
            Berikut bunyi lengkap amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara perkara nomor 001-021-022/PUU-I/2003
M E N G A D I L I
§  Menolak permohonan Pemohon I dalam pengujian formil;
§  Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III dalam pengujian materiil untuk seluruhnya;
§  Menyatakan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4226) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945;
§  Menyatakan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4226) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
§  Memerintahkan agar Putusan ini dimuat dalam Berita Negara paling lambat 30 hari kerja sejak putusan ini diucapkan;
=====================
Link Putusan >>>> http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/Putusan001PUUI2003.pdf

Tidak ada komentar: