Mahkamah Konstitusi yang
berdiri pada tanggal 13 Agustus 2003, telah melakukan gebrakan yang luar biasa
pada saat pertamali menerima pengujian undang-undang pertama yaitu
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh APHI,
PBHI, Yayasan 324, Serikat Pekerja PT.
PLN dan perseorangan warga negara Ir.
Januar Muin dan Ir. David Tombeg.
Dalam permoohonannya para
Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk membatalkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2002 tentang Ketenagalistrikan dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat dengan alasan bahwa UU tersebut telah menyebabkan para Pemohon
mengalami kerugian konstitusional karena dalam undang-undang tersebut, tenaga
listrik sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang
banyak tidak dikuasai oleh negara dan tidak berorientasi kepada kepentingan publik
dan juga telah menyebabkan kerugian bagi PLN sebagai Perusahaan Listrik Negara yang
berkepentingan terhadap pengelolaan tenaga listrik serta berorientasi kepada sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat.
Untuk
menjawab isu konstitusionalitas dari permohonan tersebut, setelah melalui
persidangan yang sangat panjang, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan
hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Bahwa untuk melakukan pengujian
undang-undang terhadap Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, Mahkamah perlu terlebih
dahulu memberi pengertian atau makna “dikuasai oleh negara“ sebagaimana
dicantumkan dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Pasal 33 ayat (2) UUD 1945
mempunyai daya berlaku normatif sebagai berikut:
1. Konstitusi
memberikan kewenangan kepada negara untuk menguasai cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak;
2. Kewenangan
tersebut ditujukan kepada mereka baik yang akan maupun yang telah mengusahakan
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Pada cabang produksi yang jenis produksinya belum ada atau baru akan
diusahakan, yang jenis produksi tersebut penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak negara mempunyai hak diutamakan/didahulukan yaitu
negara mengusahakan sendiri dan menguasai cabang produksi tersebut serta pada saat
yang bersamaan melarang perorangan atau swasta untuk mengusahakan cabang
produksi tersebut;
3. Pada
cabang produksi yang telah diusahakan oleh perorangan atau swasta dan ternyata
produksinya penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, atas
kewenangan yang diberikan oleh Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, negara dapat
mengambil alih cabang produksi tersebut dengan cara yang sesuai dengan aturan
hukum yang adil;
Bahwa kewenangan negara yang
diberikan oleh UUD 1945 dapat digunakan sewaktu-waktu apabila unsur-unsur
persyaratan penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak
sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) terpenuhi.
Bahwa ketentuan UUD 1945
yang memberikan kewenangan kepada negara untuk menguasai cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak tidaklah
dimaksudkan demi kekuasaan semata dari negara, tetapi mempunyai maksud agar
negara dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD
1945, “.… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum …” dan juga “mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Misi yang terkandung dalam
penguasaan negara tersebut dimaksudkan bahwa negara harus menjadikan penguasaan
terhadap cabang produksi yang dikuasainya itu untuk memenuhi tiga hal yang
menjadi kepentingan masyarakat, yaitu: (1) ketersediaan yang cukup, (2)
distribusi yang merata, dan (3) terjangkaunya harga bagi orang banyak. Hubungan
antara penguasaan negara atas cabang produksi yang penting bagi negara dan
hajat hidup orang banyak, serta misi yang terkandung dalam penguasaan negara
merupakan keutuhan paradigma yang dianut oleh UUD 1945, bahkan dapat dikatakan
sebagai cita hukum (rechtsidee) dari UUD 1945. Dengan demikian jelas bahwa UUD
1945 telah menentukan pilihannya. Pertanyaannya, bukankah ketiga hal tersebut
di atas dapat dipenuhi oleh sistem ekonomi pasar, dan oleh karenanya mengapa
tidak diserahkan saja kepada mekanisme pasar, tentu haruslah dijawab secara
normatif bahwa UUD 1945 tidak memilih sistem tersebut sebagaimana tercermin
dalam Pasal 33 ayat (4). Dasar pilihan tersebut tidak berarti tanpa alasan sama
sekali. Asumsi bahwa mekanisme pasar dapat secara otomatis memenuhi ketiga hal
tersebut di atas adalah penyederhanaan logika yang jauh dari kenyataan, yaitu
adanya mekanisme (sistem) pasar yang sempurna. Kenyataan tidak adanya mekanisme
pasar yang sempurna ini dapat disimak dari apa yang dinyatakan oleh Joseph E.
Stiglitz: ”… presumption that markets, by themselves, lead to efficient
outcomes, failed to allow for desirable government interventions in the market
and make everyone better off.“ (Globalization and Its Discontents, Joseph E.
Stiglitz, hal. XII).
Bahwa berdasarkan penafsiran
historis, seperti yang tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan,
makna ketentuan tersebut adalah “Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi,
kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.
Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan
rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat
hidup orang banyak boleh di tangan orang-seorang”. Uraian di atas masih
menyisakan pertanyaan, apa saja yang termasuk cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta apa pula makna
dikuasai oleh negara itu?
Bahwa Mohammad Hatta sebagai
salah satu pendiri negara (founding fathers) menyatakan tentang pengertian
dikuasai oleh negara sebagai berikut, “Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33
UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh
Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman luar negeri. Apabila siasat ini tidak
berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanamkan
modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan Pemerintah … Cara begitulah
dahulu kita memikirkan betapa melaksanakan pembangunan ekonomi dengan dasar
Pasal 33 UUD 1945 … Apabila tenaga nasional dan kapital nasional tidak
mencukupi, pinjam tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi.
Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya maka diberikan
kesempatan kepada mereka untuk menanamkan modalnya di tanah air kita dengan
syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri. (Mohammad
Hatta, Kumpulan Pidato II Hal. 231. Disusun oleh I. Wangsa Widjaja, Mutia F.
Swasono, PT. Toko Gunung Agung Tbk. Jakarta 2002). Penafsiran Dr. Mohammad
Hatta tersebut diadopsi oleh Seminar Penjabaran Pasal 33 UUD 1945 pada tahun
1977 di Jakarta yang menyatakan bahwa sektor usaha negara adalah untuk
mengelola ayat (2) dan ayat (3) Pasal 33 UUD 1945 dan di bidang pembiayaan,
perusahaan negara dibiayai oleh Pemerintah, apabila Pemerintah tidak mempunyai
cukup dana untuk membiayai, dapat melakukan pinjaman dari dalam dan luar
negeri, dan apabila masih belum mencukupi bisa diselenggarakan bersama-sama
dengan modal asing atas dasar production sharing;
Bahwa Menteri Negara BUMN
dalam keterangan tertulis di forum sidang Mahkamah menafsirkan “dikuasai oleh
negara” berarti negara sebagai regulator, fasilitator, dan operator yang secara
dinamis menuju negara hanya sebagai regulator dan fasilitator, sedangkan Prof.
Dr. Harun Alrasid, S.H. menafsirkan dikuasai oleh negara berarti dimiliki oleh
negara;
Bahwa Mahkamah juga
memperhatikan pendapat para ahli yang menyatakan dalam kenyataan sesungguhnya
tidak ada sistem ekonomi yang secara ekstrim liberal sepenuhnya, maupun sistem
ekonomi yang bersifat command atau planned economy sepenuhnya. Sehingga oleh
karenanya Pasal 33 UUD 1945 harus tetap menjadi acuan, karena Pasal 33 tersebut
sama sekali tidak diartikan anti terhadap ekonomi pasar, dan ekonomi pasar juga
tidak mengesampingkan sepenuhnya peran negara untuk campur tangan manakala
terjadi distorsi dan ketidakadilan, oleh karena tafsiran dinamis atas Pasal 33
UUD 1945 oleh Mahkamah dilakukan dengan memperhatikan seoptimal mungkin
perubahan lingkungan strategis secara nasional maupun global;
Bahwa dengan memandang UUD
1945 sebagai sistem sebagaimana dimaksud, maka pengertian “dikuasai oleh
negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau
lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan
oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip
kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi
politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu,
rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan
tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut,
tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif;
Bahwa jika pengertian kata
“dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata
(privat), maka hal dimaksud tidak akan mencukupi dalam menggunakan penguasaan
itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang dengan demikian
berarti amanat untuk “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam Pembukaan UUD 1945 tidak
mungkin diwujudkan. Namun demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu sendiri
harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang
mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas
sumber-sumber kekayaan dimaksud. Pengertian “dikuasai oleh negara” juga tidak
dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk mengatur, karena hal dimaksud
sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut
secara khusus dalam undang-undang dasar. Sekiranyapun Pasal 33 tidak tercantum
dalam UUD 1945, sebagaimana lazim di banyak negara yang menganut paham ekonomi
liberal yang tidak mengatur norma-norma dasar perekonomian dalam konstitusinya,
sudah dengan sendirinya negara berwenang melakukan fungsi pengaturan. Karena
itu, perkataan “dikuasai oleh negara” tidak mungkin direduksi pengertiannya
hanya berkaitan dengan kewenangan negara untuk mengatur perekonomian. Oleh
karena itu, baik pandangan yang mengartikan perkataan penguasaan oleh negara
identik dengan pemilikan dalam konsepsi perdata maupun pandangan yang
menafsirkan pengertian penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan
pengaturan oleh negara, kedua-duanya ditolak oleh Mahkamah;
Bahwa berdasarkan rangkaian
pendapat dan uraian di atas, maka dengan demikian, perkataan “dikuasai oleh
negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti
luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas
segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas
rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu
dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan
kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad)
untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan
(bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk
mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie),
dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan
melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi
oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui
mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan
langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara
sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah
mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh
negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka
mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang
produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud
benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat;
Bahwa dalam kerangka
pengertian yang demikian itu, penguasaan dalam arti kepemilikan perdata
(privat) yang bersumber dari konsepsi kepemilikan publik berkenaan dengan
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup
orang banyak yang menurut ketentuan Pasal 33 ayat (2) dikuasai oleh negara,
tergantung pada dinamika perkembangan kondisi masing-masing cabang produksi.
Yang harus dikuasai oleh negara adalah cabang-cabang produksi yang dinilai
penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak, yaitu:
(i) cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak, (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang
banyak, atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang
banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, terpulang kepada Pemerintah bersama
lembaga perwakilan rakyat untuk menilainya apa dan kapan suatu cabang produksi
itu dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang
banyak. Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak, pada waktu yang lain dapat berubah menjadi tidak
penting lagi bagi negara dan tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak.
Akan tetapi Mahkamah berwenang pula untuk melakukan penilaian dengan mengujinya
terhadap UUD 1945 jika ternyata terdapat pihak yang merasa dirugikan hak
konstitusionalnya karena penilaian pembuat undang-undang tersebut
Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas,
jikalau cabang produksi listrik sungguh-sungguh dinilai oleh Pemerintah bersama
DPR telah tidak lagi penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang
banyak, maka dapat saja cabang itu diserahkan pengaturan, pengurusan,
pengelolaan, dan pengawasannya kepada pasar. Namun, jikalau cabang produksi
dimaksud masih penting bagi negara dan/atau masih menguasai hajat hidup orang
banyak, maka negara c.q. Pemerintah tetap diharuskan menguasai cabang produksi
yang bersangkutan dengan cara mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasinya
agar sungguh-sungguh dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di
dalam pengertian penguasaan itu tercakup pula pengertian kepemilikan perdata
sebagai instrumen untuk mempertahankan tingkat penguasaan oleh negara c.q.
Pemerintah dalam pengelolaan cabang produksi listrik dimaksud. Dengan demikian,
konsepsi kepemilikan privat oleh negara atas saham dalam badan-badan usaha yang
menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai
hajat hidup orang banyak tidak dapat didikotomikan ataupun dialternatifkan
dengan konsepsi pengaturan oleh negara. Keduanya tercakup dalam pengertian
penguasaan oleh negara. Oleh sebab itu, negara tidak berwenang mengatur atau
menentukan aturan yang melarang dirinya sendiri untuk memiliki saham dalam
suatu badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagai instrumen atau
cara negara mempertahankan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan dimaksud
untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
Bahwa di samping itu, untuk
menjamin prinsip efisiensi berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(4) UUD 1945, yang menyatakan, “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional“, maka penguasaan dalam
arti pemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif dalam arti tidak
mutlak selalu harus 100%, asalkan penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah atas
pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana
mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan
tetap menentukan dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan
dalam badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas
kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan
tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian,
Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi,
sepanjang privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan negara c.q. Pemerintah
untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting
bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga
tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, sepanjang kompetisi
itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk
mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan
mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan/atau yang mengusai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat;
Bahwa dengan merujuk pada
penafsiran Mahkamah atas penguasaan negara sebagai mana telah diuraikan di atas
hal dimaksud harus dinilai berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 secara keseluruhan,
termasuk penyelenggaraan perekonomian nasional berdasar atas demokrasi ekonomi,
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, dan berwawasan lingkungan dengan
mana ditafsirkan bahwa penguasaan negara juga termasuk dalam arti pemilikan
privat yang tidak harus selalu 100%. Artinya, pemilikan saham Pemerintah dalam
badan usaha yang menyangkut cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau
yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud, dapat bersifat mayoritas
mutlak (di atas 50%) atau bersifat mayoritas relatif (di bawah 50%) sepanjang
Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas relatif tersebut secara hukum tetap
memegang kedudukan menentukan dalam pengambilan keputusan di badan usaha
dimaksud;
Hal tersebut harus dipahami
bahwa meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif dalam BUMN
akan tetapi harus dipertahankan posisi negara untuk tetap sebagai pihak yang
menentukan dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam
badan usaha yang bersangkutan yang menggambarkan penguasaan negara yang
mencakup pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan;
Bahwa dalil Para Pemohon
yang mengatakan bahwa produk tenaga listrik belum dapat diartikan, disamakan,
dan diberlakukan sebagai komoditi ekonomi, tetapi juga harus diartikan sebagai
prasarana yang perlu disubsidi, sehingga pengertian kompetisi dan perlakuan
yang sama kepada semua pelaku usaha sebagaimana yang dimaksud dalam konsiderans
“Menimbang” huruf b dan c maupun Pasal 16, 17 ayat (1), dan 21 ayat (3)
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tidak dapat diterima, karena dengan
pengertian dikuasai oleh negara sebagaimana telah diuraikan di atas, akan
menimbulkan kerancuan berfikir karena makna penguasaan negara yang mencakup
pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan akan dikurangi jika dalam
penyediaan tenaga listrik diperlakukan secara sama dalam sistem persaingan
dengan badan usaha swasta, termasuk asing;
Bahwa lagi pula kompetisi
dalam kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik di wilayah yang telah dapat
menerapkan kompetisi dan secara unbundling, menurut ahli hanya akan terjadi di
daerah JAMALI (Jawa, Madura dan Bali) sebagai pasar yang telah terbentuk yang
akan dimenangkan oleh usaha yang kuat secara teknologis dan finansial, sedang di
daerah yang pasarnya belum terbentuk di luar Jawa, Madura dan Bali, menjadi
kewajiban Pemerintah/BUMN yang boleh melaksanakannya secara terintegrasi, hal
mana tidak mampu dilakukan tanpa melalui subsidi silang dari pasar yang telah
menguntungkan di JAMALI tersebut, sehingga kewajiban untuk mewujudkan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat
Indonesia tidak akan tercapai, karena pelaku usaha swasta akan berorientasi
kepada keuntungan yang hanya diperoleh di pasar yang sudah terbentuk;
Bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa untuk menyelamatkan dan
melindungi serta mengembangkan lebih lanjut perusahaan negara (BUMN) sebagai
aset negara dan bangsa agar lebih sehat yang selama ini telah berjasa
memberikan pelayanan kelistrikan kepada masyarakat, bangsa, dan negara
Indonesia, baik yang beraspek komersiil maupun non-komersiil sebagai wujud
penguasaan negara, sehingga ketentuan Pasal 16 UU No. 20 Tahun 2002 yang
memerintahkan sistem pemisahan/pemecahan usaha ketenagalistrikan (unbundling
system) dengan pelaku usaha yang berbeda akan semakin membuat terpuruk BUMN
yang akan bermuara kepada tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua
lapisan masyarakat, baik yang bersifat komersial maupun non-komersial. Dengan
demikian yang akan merugikan masyarakat, bangsa dan negara. Keterangan ahli
yang diajukan pemohon telah menjelaskan pengalaman empiris yang terjadi di
Eropa, Amerika Latin, Korea, dan Meksiko, sistem unbundling dalam
restrukturisasi usaha listrik justru tidak menguntungkan dan tidak selalu
efisien dan malah menjadi beban berat bagi negara, sehingga oleh karenanya
Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945;
Bahwa Mahkamah berpendapat
pembuat undang-undang juga menilai bahwa tenaga listrik hingga saat ini masih
merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak, sehingga oleh karenanya menurut pasal 33 ayat (2) UUD 1945 harus
tetap dikuasai oleh negara, dalam arti harus dikelola oleh negara melalui
perusahaan negara yang didanai oleh pemerintah (negara) atau dengan kemitraan
bersama swasta nasional atau asing yang menyertakan dana pinjaman dari dalam
dan luar negeri atau dengan melibatkan modal swasta nasional/asing dengan
sistem kemitraan yang baik dan saling menguntungkan. Hal ini berarti bahwa
hanya BUMN yang boleh mengelola usaha tenaga listrik, sedangkan perusahaan
swasta nasional atau asing hanya ikut serta apabila diajak kerjasama oleh BUMN,
baik dengan kemitraan, penyertaan saham, pinjaman modal dan lain-lain.
Persoalannya adalah apakah yang dimaksud dengan perusahaan negara pengelola
tenaga listrik hanyalah BUMN, dalam hal ini PLN, ataukah bisa dibagi dengan
perusahaan negara yang lain, bahkan dengan perusahaan daerah (BUMD) sesuai
dengan semangat otonomi daerah? Mahkamah berpendapat, jika PLN memang masih mampu
dan bisa lebih efisien, tidak ada salahnya jika tugas itu tetap diberikan
kepada PLN, tetapi jika tidak, dapat juga berbagi tugas dengan BUMN lainnya
atau BUMD dengan PLN sebagai “holding company”;
Bahwa lagi pula dengan
merujuk pandangan Hatta dan pandangan para ahli sebagaimana tersebut di atas
tentang penjabaran Pasal 33 UUD 1945 dapat disimpulkan secara ringkas bahwa
makna dikuasai oleh negara ialah bahwa terhadap cabang produksi yang telah
dimiliki oleh negara, maka negara harus memperkuat posisi perusahaan tersebut
agar kemudian secara bertahap akhirnya dapat menyediakan sendiri kebutuhan yang
merupakan hajat hidup orang banyak dan menggantikan kedudukan perusahaan swasta,
baik nasional maupun asing;
Bahwa adanya kenyataan
inefisiensi BUMN yang timbul karena faktor-faktor miss-management serta
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tidak dapat dijadikan alasan untuk
mengabaikan Pasal 33 UUD 1945, bak pepatah “buruk muka cermin dibelah”.
Pembenahan yang dilakukan haruslah memperkuat penguasaan negara untuk dapat
melaksanakan kewajiban konstitusionalnya sebagaimana disebut dalam Pasal 33 UUD
1945;
Bahwa dengan pertimbangan-pertimbangan
yang telah diuraikan di atas, maka permohonan Para Pemohon harus dikabulkan
sebagian dengan menyatakan Pasal 16, 17 ayat (3), serta 68 UU No. 20 Tahun 2002
tentang Ketenagalistrikan bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya harus
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Bahwa meskipun ketentuan
yang dipandang bertentangan dengan konstitusi pada dasarnya adalah Pasal 16, 17
ayat (3), serta 68, khususnya yang menyangkut unbundling dan kompetisi, akan
tetapi karena pasal-pasal tersebut merupakan jantung dari UU No. 20 Tahun 2002
padahal seluruh paradigma yang mendasari UU Ketenagalistrikan adalah kompetisi
atau persaingan dalam pengelolaan dengan sistem unbundling dalam
ketenagalistrikan yang tercermin dalam konsideran “Menimbang” huruf b dan c UU
Ketenagalistrikan. Hal tersebut tidak sesuai dengan jiwa dan semangat Pasal 33
ayat (2) UUD 1945 yang merupakan norma dasar perekonomian nasional Indonesia;
Bahwa Mahkamah berpendapat
cabang produksi dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 di bidang ketenagalistrikan
harus ditafsirkan sebagai satu kesatuan antara pembangkit, transmisi, dan
distribusi sehingga dengan demikian, meskipun hanya pasal, ayat, atau bagian
dari ayat tertentu saja dalam undang-undang a quo yang dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat akan tetapi hal tersebut mengakibatkan UU No.
20 Tahun 2002 secara keseluruhan tidak dapat dipertahankan, karena akan
menyebabkan kekacauan yang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya;
Bahwa oleh karena Pasal 16
dan 17 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 yang berakibat UU No. 20 Tahun
2002 secara keseluruhan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara
hukum karena paradigma yang mendasarinya bertentangan dengan UUD 1945. Oleh
karena itu guna mencegah timbulnya kesalahpahaman dan keragu-raguan yang
mengakibatkan timbulnya kesan tidak adanya kepastian hukum di bidang
ketenagalistrikan di Indonesia, perlu ditegaskan bahwa sesuai dengan Pasal 58
UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi
mempunyai akibat hukum sejak diucapkan dan berlaku ke depan (prospective)
sehingga tidak mempunyai daya laku yang bersifat surut (retroactive). Dengan
demikian, semua perjanjian atau kontrak dan ijin usaha di bidang
ketenagalistrikan yang telah ditandatangani dan dikeluarkan berdasarkan UU No.
20 Tahun 2002 tetap berlaku sampai perjanjian atau kontrak dan ijin usaha
tersebut habis atau tidak berlaku lagi;--------------------------
Menimbang bahwa guna menghindari kekosongan
hukum (rechtsvacuum), maka undang-undang yang lama di bidang ketenagalistrikan,
yaitu UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3317) berlaku
kembali karena Pasal 70 UU No. 20 Tahun 2002 yang menyatakan tidak berlakunya
UU No. 15 Tahun 1985 termasuk ketentuan yang dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
Bahwa dengan dinyatakannya
keseluruhan UU No. 20 Tahun 2002 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
disarankan agar pembentuk undang-undang menyiapkan RUU Ketenagalistrikan yang
baru yang sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945;
Berikut
bunyi lengkap amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara perkara nomor
001-021-022/PUU-I/2003
M E
N G A D I L I
§ Menolak
permohonan Pemohon I dalam pengujian formil;
§ Mengabulkan
permohonan Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III dalam pengujian materiil
untuk seluruhnya;
§ Menyatakan
UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4226) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
§ Menyatakan
UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4226) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
§ Memerintahkan
agar Putusan ini dimuat dalam Berita Negara paling lambat 30 hari kerja sejak
putusan ini diucapkan;
=====================
Link
Putusan >>>> http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/Putusan001PUUI2003.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar