David
Barangkea yang meruapakan Kepala Suku Yawa Onat, Kabupaten
Kepulauan Yapen, Provinsi Papua dan Komarudin
Watubun Tanawani Mora, S.H., M.H., Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Papua, akhirnya
mengajukan permohonan Pengujian Pasal 20 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ke Mahkamah
Konstitusi.
Para Pemohon beranggapan bahwa Kepala Suku Yawa Onat yang membawahi 38
(tiga puluh delapan) Kampung Adat, yang di dalamnya termasuk marga Tanawani dan
marga Mora, dalam wilayah Pemerintahan Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi
Papua, adalah kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang merasa dirugikan hak-hak
konstitusionalnya sebagai masyarakat hukum adat yang telah lama ada dan secara
nyata hidup dan berkembang dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai
masyarakat hukum adat, para Pemohon = konsisten
menegakkan norma-norma hukum adat di antara para anggota masyarakat hukum adat. Berdasarkan
kewenangan Majelis Rakyat Papua yang ditentukan dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a
UU 21/2001 a quo yang menolak Komarudin Watubun untuk
menjadi calon Wakil Gubernur Provinsi Papua dan menolak penerimaan dan
pengakuannya sebagai orang asli Papua, sehingga mengakibatkan hak konstitusional para
Pemohon berdasarkan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dirugikan;
Para Pemohon beranggapan telah mengalami kerugian
konstitusional yang bersifat spesifik, yaitu kerugian hak konstitusional kesatuan
masyarakat hukum adat Yawa Onat, karena hilangnya
hak konstitusional Komarudin Watubun untuk memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan yaitu menjadi calon Wakil Gubernur Provinsi Papua;
Dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa hal yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah
kewenangan menentukan seseorang itu orang asli Papua untuk memenuhi syarat
menjadi calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua merupakan kewenangan
MRP atau kewenangan masyarakat adat yang ada di Papua. Untuk menjawab persoalan
tersebut, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan apakah anggota masyarakat
hukum adat yang ada di Papua secara otomatis merupakan orang asli Papua
sehingga dapat menjadi calon Gubernur dan/atau Wakil Gubernur Papua;
Bahwa sebelum mempertimbangkan
lebih lanjut pokok persoalan konstitusional dalam permohonan para Pemohon,
Mahkamah terlebih dahulu mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
§ Negara mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang [vide Pasal 18B ayat (1) UUD 1945];
§ Negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang
[vide Pasal 18B ayat (2) UUD 1945];
§ Orang Asli Papua
adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku
asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang
asli Papua oleh masyarakat adat Papua [vide
Pasal 1 huruf t UU 21/2001];
§ Pemberian Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih
luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri
urusan pemerintahan di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi
Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur
pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk
memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk
memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil
adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta
merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap
menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan
budaya serta lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian
Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah
sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap
eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat. [vide Penjelasan Umum UU 21/2001]
§ Sehubungan dengan
hal tersebut, Penjelasan Umum UU 21/2001 secara tegas mendorong orang asli
Papua untuk terlibat baik dalam pemikiran maupun tindakan bagi kepentingan
Provinsi Papua dengan harapan akan terjadi perubahan kualitas orang asli Papua
dalam menguasai dan mengelola sumber daya alam, sosial, politik, ekonomi, dan
budaya. Penjelasan Umum UU 21/2001 tersebut dengan tegas menunjukkan adanya
kebijakan afirmatif (affirmative action
policy) yakni pengistimewaan untuk sementara waktu yang bertujuan
memberikan peluang kepada masyarakat asli Papua untuk memiliki wakil di DPRP
melalui pengangkatan. UU 21/2001 sebagai pengejawantahan dari Pasal 18B ayat
(1) UUD 1945, di dalamnya memuat pasal-pasal tertentu yang mengatur kekhususan
dimaksud. Salah satunya adalah pembentukan DPRP sebagai lembaga perwakilan
rakyat dari pemerintahan daerah Papua yang bersifat khusus dan berbeda dengan
daerah provinsi lainnya. Kekhususan tersebut, antara lain, adanya sebagian anggota
DPRP yang diangkat [vide Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-VII/2009, tanggal 1 Februari 2010]. Selain itu, kekhususan tersebut juga
nampak dengan adanya Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural
penduduk asli Papua yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil adat, wakil-wakil
agama, dan wakil perempuan. MRP diberi kewenangan tertentu dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua
dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan
perempuan dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Lembaga seperti MRP
tersebut tidak dikenal di daerah lain di Indonesia;
Bahwa Mahkamah
perlu mempertimbangkan lebih dahulu keberadaan suku Yawa Onat sebagai salah
satu suku asli yang ada di Provinsi
Papua. Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007 bertanggal 18
Juni 2008 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-VI/2008 bertanggal 19
Juni 2008 yang menyatakan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat dikatakan secara
de facto hidup atau actual existence, baik yang bersifat
teritorial, genealogis, maupun fungsional, setidaknya harus memenuhi unsur:
a.
adanya
masyarakat yang memiliki perasaan kelompok atau in group feeling;
b.
adanya
pranata pemerintahan adat;
c.
adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;
d.
adanya perangkat norma hukum adat;
e.
adanya
wilayah tertentu, khususnya masyarakat hukum adat yang teritorial;
Berdasarkan kriteria
tersebut, dikaitkan dengan keterangan para Pemohon, keterangan saksi Agus
Tanawani dan saksi Hermanus Wariori, Suku Yawa Onat adalah salah satu suku asli
yang masih hidup dan eksis di Provinsi Papua yang membawahi 38 kampung adat
yang berada di wilayah administratif pemerintahan Kabupaten Kepulauan Yapen.
Keterangan para Pemohon dan para saksi tersebut tidak dibantah oleh saksi Yoram
Wambrauw, Ketua Sementara MRP, yang memberikan keterangan mewakili MRP, maupun
keterangan Pemerintah. Oleh karena itu, walaupun belum ada peraturan daerah
yang menetapkan Suku Yawa Onat sebagai satu kesatuan masyarakat adat, menurut
Mahkamah, secara faktual Suku Yawa Onat adalah satu kesatuan masyarakat hukum
adat yang memiliki hak-hak tradisional yang berada di Provinsi Papua yang harus
mendapat jaminan dan perlindungan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945. Belum adanya peraturan daerah yang menetapkan eksistensi
suatu kesatuan masyarakat hukum adat, tidak berarti kesatuan masyatakat hukum
adat menjadi tidak ada, karena apabila keberadaan masyarakat hukum adat di
Provinsi Papua digantungkan pada pengakuan atau pengukuhan berdasarkan
peraturan daerah, maka secara yuridis tidak akan ada kesatuan masyarakat hukum
adat di Provinsi Papua sampai dengan adanya pengukuhan tersebut;
Bahwa Pasal 1 huruf t UU 21/2001 menentukan
bahwa orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras
Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh
masyarakat adat Papua. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa yang termasuk orang
asli Papua adalah:
- mereka
yang berasal dari rumpun ras Melanesia menjadi anggota suku-suku asli atau
masyarakat adat di Provinsi Papua, dan/atau
- orang
yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat di Papua;
Menurut Mahkamah, kedua kriteria orang asli Papua dalam Pasal 1 huruf t
UU a quo, telah mencerminkan makna
bahwa keanggotaan suatu masyarakat hukum adat dapat timbul, baik karena secara alamiah
berasal dari anggota suku-suku asli, maupun karena diakui sebagai anggota
masyarakat hukum adat berdasar alasan-alasan yang lazim dari masyarakat hukum adat
yang bersangkutan, dan dilakukan sesuai dengan mekanisme yang secara konsisten
diterapkan oleh masyarakat hukum adat tersebut;
Bahwa berdasarkan
keterangan Pemohon I, keterangan saksi Agus Tanawani dan saksi Hermanus Wariori,
serta bukti P-2a sampai dengan P-2c, penerimaan dan pengakuan Komarudin Watubun
Tanawani sebagai anggota kesatuan masyarakat hukum adat Yawa Onat dengan marga
Tanawani Mora telah dilakukan berdasarkan norma-norma hukum adat Suku Yawa Onat
melalui upacara penerimaan secara resmi dengan prosesi adat pada tanggal 8 Juni 2005. Sejalan dengan itu, menurut Mahkamah, tradisi mengakui orang luar sebagai
anggota masyarakat hukum adat dengan segala hak-haknya sebagai anggota
masyarakat hukum adat, baik dalam masyarakat hukum adat yang berdasarkan pada
genealogis maupun teritorial adalah hal yang lazim dipraktikkan dalam berbagai
masyarakat hukum adat di Indonesia, termasuk di Papua. Menurut keterangan saksi Yoram Wambrauw, ada kemungkinan seseorang
dapat diterima dan diakui oleh masyarakat adat di Papua, karena yang
bersangkutan secara turun temurun telah lama hidup di lingkungan masyarakat
adat tersebut, telah mengikuti upacara inisiasi adat setempat sesuai tatanan
masyarakat adat setempat, mengetahui atau memahami adat budaya masyarakat setempat,
dan telah berjasa bagi masyarakat setempat, sehingga dengan demikian, pengakuan dan penerimaan orang luar untuk menjadi anggota
masyarakat hukum adat oleh Suku Yawa Onat dengan melalui prosesi adat yang
telah dilakukan berdasarkan hukum dan adat dari suku yang bersangkutan, harus
pula mendapat jaminan dan perlindungan konstitusional menurut Pasal 18B ayat
(2) juncto Pasal 28I ayat (3) UUD 1945, karena hal itu merupakan hak
konstitusional masyarakat hukum adat Yawa Onat yang dijamin oleh konstitusi.
Menurut Mahkamah, kriteria maupun mekanisme serta prosedur penerimaan maupun
pengakuan seseorang menjadi warga dari suatu kesatuan masyarakat hukum adat,
harus berdasarkan kriteria, mekanisme, dan prosedur yang dianut dan dijalankan
secara konsisten serta diterima sebagai norma adat dari suku atau masyarakat
adat yang bersangkutan dan tidak dapat ditentukan oleh lembaga yang lain. Oleh
karena itu, tindakan MRP yang mengabaikan keputusan masyarakat hukum adat Yawa
Onat yang telah memberi pengakuan serta penerimaan seseorang menjadi warga kesatuan
masyarakat hukum adat adalah tidak tepat karena mengabaikan hak-hak konstitusional
kesatuan masyarakat hukum adat Yawa Onat. Menurut Mahkamah, MRP bukanlah
kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat supra dan membawahi berbagai
masyarakat hukum adat di Provinsi Papua. MRP hanyalah suatu lembaga politik
atau lembaga pemerintahan yang lahir berdasarkan ketentuan Undang-Undang yang fungsinya
mewakili sebagian masyarakat hukum adat, wakil agama, dan wakil perempuan yang
ada di Provinsi Papua. Perlindungan konstitusional yang diberikan oleh Mahkamah
atas hak tradisonal suatu masyarakat hukum adat untuk dapat menerima orang luar
sebagai anggotanya berdasarkan kriteria dan mekanisme dari kesatuan masyarakat
hukum adat yang bersangkutan adalah sejalan dengan semangat otonomi khusus Provinsi
Papua yang menjamin pengakuan atas keberadaan suku-suku asli Papua beserta
hak-hak tradisionalnya. Hal itu tidak berarti Mahkamah mengabaikan adanya
kebijakan affirmative yang diberikan
kepada suku-suku asli di Papua sebagaimana diatur dalam UU 21/2001. Menurut
Mahkamah, justru untuk pemberdayaan dan pengakuan atas keberadaan suku-suku
asli beserta hak-hak tradisionalnya yang merupakan kebijakan affirmative terhadap Provinsi Papua,
termasuk dalam hal ini hak masyarakat hukum adat untuk menerima dan mengakui
orang luar sebagai anggota masyarakat hukum adat sesuai dengan perkembangan
zaman, serta sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Bahwa,
menurut Mahkamah, Pasal 20 ayat (1) huruf a UU 21/2011 yang menentukan bahwa MRP
mempunyai tugas dan wewenang memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap
bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP adalah
ketentuan yang kabur dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil serta
dapat menimbulkan pelanggaran hak-hak konstitusional yang dijamin oleh
konstitusi [vide Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945] baik bagi suku-suku asli di Papua sebagai kesatuan masyarakat hukum
adat maupun bagi perseorangan warga suku asli tersebut. Hal itu berkaitan dengan
kriteria apa yang dipergunakan MRP untuk menentukan orang asli Papua sebagai
bakal calon gubernur atau bakal calon wakil gubernur Papua, baik kriteria yang
dibuat melalui peraturan perundang-undangan maupun kriteria yang dibuat oleh
MRP sendiri. Fakta dalam perkara a quo,
kriteria yang ada, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun kebijakan
yang diputuskan oleh MRP, telah melanggar hak-hak konstitusional, baik hak
konstitusional kesatuan masyarakat hukum adat maupun hak konstitusional dari
anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Oleh karena kabur dan tidak
jelasnya ketentuan pasal a quo, maka
akibatnya dapat dipastikan hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat yang
dijamin oleh konstitusi akan terancam. Dengan kata lain adanya ketentuan pasal a quo, memungkinkan terjadinya
pelanggaran terhadap ketentuan konstitusi yang memberi jaminan perlindungan
atas hak-hak konstitusional kesatuan masyarakat hukum adat [vide Pasal 18B ayat (2) UUD 1945]. Oleh
karena itu, Mahkamah, dalam rangka memberikan jaminan dan perlindungan
konstitusional terhadap kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, harus memastikan tidak akan terjadi pelanggaran
terhadap perlindungan dan jaminan konstitusional yang diberikan kepada kesatuan
masyarakat hukum adat tersebut, baik yang dilakukan melalui
perundangan-undangan maupun oleh lembaga pemerintah yang ada;
Bahwa, menurut
Mahkamah, dengan pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua seharusnya akan diakui,
dijamin, dan dilindungi hak-hak
masyarakat hukum adat yang ada dan tetap hidup di Provinsi Papua. Hak masyarakat
hukum adat tersebut seharusnya tidak boleh dikurangi atau dieliminasi dengan
adanya keberadaan MRP, karena MRP bukanlah bentuk dari kesatuan masyarakat
hukum adat yang lahir secara alamiah dan MRP tidak membawahi berbagai kesatuan
masyarakat hukum adat yang ada di Provinsi Papua, tetapi merupakan salah satu lembaga
pemerintahan daerah bentukan negara berdasarkan Undang-Undang. Selain itu, menurut
Mahkamah, MRP tersebut dibentuk oleh negara sebagai perwakilan kultural yang mewakili
masyarakat adat, kelompok agama, dan kelompok perempuan yang ada di Provinsi
Papua sehingga tidak mungkin mewakili seluruh masyarakat hukum adat yang ada di
Papua. Oleh karena itu, menurut Mahkamah hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat
mengenai kriteria, mekanisme, dan prosedur seseorang untuk menjadi anggota
kesatuan masyarakat hukum adat haruslah didasarkan pada ketentuan internal dari
kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan bukan atas keputusan MRP.
Keberadaan MRP akan bertentangan dengan semangat lahirnya otonomi khusus bagi Provinsi
Papua, jika dalam menjalankan tugas dan kewenangannya justru mengabaikan
hak-hak asli masyarakat hukum adat yang
ada di Provinsi Papua. Pengakuan atas hak-hak tradisional suku-suku asli
sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Papua adalah salah satu
bentuk perlindungan konstitusional atas kekhususan Provinsi Papua sebagaimana
diatur dalam UU 21/2001 dan sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) serta Pasal 28I ayat (3) UUD 1945;
Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas,
meskipun dalil-dalil para Pemohon beralasan hukum, namun keberadaan pasal a quo tidak dapat secara serta merta
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, karena hal demikian dapat menimbulkan kekosongan hukum. Oleh karena
itu, menurut Mahkamah, Pasal 20 ayat (1) huruf a UU 21/2001 harus dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa pertimbangan dan
persetujuan Majelis Rakyat Papua mengenai status seseorang sebagai orang asli
Papua sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf t UU 21/2001 yang bakal menjadi calon
gubernur dan/atau calon wakil gubernur, adalah pertimbangan yang harus
didasarkan atas pengakuan suku asli di Papua asal bakal calon gubernur dan/atau
wakil gubernur yang bersangkutan;
Adapun bunyi amar lengkap putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 29/PUU-IX/2011 adalah
sebagai berikut:
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
- Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
- Pasal 20 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua mengenai status seseorang sebagai orang asli Papua sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf t Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yang bakal menjadi calon gubernur dan/atau calon wakil gubernur, adalah berdasarkan pengakuan dari suku asli di Papua asal bakal calon gubernur dan/atau wakil gubernur yang bersangkutan;
- Pasal 20 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua mengenai status seseorang sebagai orang asli Papua sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf t Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yang bakal menjadi calon gubernur dan/atau calon wakil gubernur, adalah berdasarkan pengakuan dari suku asli di Papua asal bakal calon gubernur dan/atau wakil gubernur yang bersangkutan;
- Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
=====
Link Putusan Mahkamah Konstitusi >>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar