Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Rabu, 01 April 2015

Kewenangan MRP dalam Pemilukada Gubernur Papua



David Barangkea yang meruapakan Kepala Suku Yawa Onat, Kabupaten Kepulauan    Yapen, Provinsi Papua dan Komarudin Watubun Tanawani Mora, S.H., M.H., Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Papua, akhirnya mengajukan permohonan Pengujian Pasal 20 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ke Mahkamah Konstitusi.
Para Pemohon beranggapan bahwa Kepala Suku Yawa Onat yang membawahi 38 (tiga puluh delapan) Kampung Adat, yang di dalamnya termasuk marga Tanawani dan marga Mora, dalam wilayah Pemerintahan Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi Papua, adalah kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya sebagai masyarakat hukum adat yang telah lama ada dan secara nyata hidup dan berkembang dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai masyarakat hukum adat, para Pemohon =  konsisten menegakkan norma-norma hukum adat di antara para anggota masyarakat hukum adat. Berdasarkan kewenangan Majelis Rakyat Papua yang ditentukan dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a UU 21/2001 a quo yang menolak Komarudin Watubun untuk menjadi calon Wakil Gubernur Provinsi Papua dan menolak penerimaan dan pengakuannya sebagai orang asli Papua, sehingga mengakibatkan hak konstitusional para Pemohon berdasarkan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dirugikan;
Para Pemohon beranggapan telah mengalami kerugian konstitusional yang bersifat spesifik, yaitu kerugian hak konstitusional kesatuan masyarakat hukum adat Yawa Onat, karena hilangnya hak konstitusional Komarudin Watubun untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan yaitu menjadi calon Wakil Gubernur Provinsi Papua;
            Dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hal yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah kewenangan menentukan seseorang itu orang asli Papua untuk memenuhi syarat menjadi calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua merupakan kewenangan MRP atau kewenangan masyarakat adat yang ada di Papua. Untuk menjawab persoalan tersebut, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan apakah anggota masyarakat hukum adat yang ada di Papua secara otomatis merupakan orang asli Papua sehingga dapat menjadi calon Gubernur dan/atau Wakil Gubernur Papua;
              Bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok persoalan konstitusional dalam permohonan para Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
§  Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang [vide Pasal 18B ayat (1) UUD 1945];
§  Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang [vide Pasal 18B ayat (2) UUD 1945];
§  Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua [vide Pasal 1 huruf t UU 21/2001];
§  Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri urusan pemerintahan di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat. [vide Penjelasan Umum UU 21/2001]
§  Sehubungan dengan hal tersebut, Penjelasan Umum UU 21/2001 secara tegas mendorong orang asli Papua untuk terlibat baik dalam pemikiran maupun tindakan bagi kepentingan Provinsi Papua dengan harapan akan terjadi perubahan kualitas orang asli Papua dalam menguasai dan mengelola sumber daya alam, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Penjelasan Umum UU 21/2001 tersebut dengan tegas menunjukkan adanya kebijakan afirmatif (affirmative action policy) yakni pengistimewaan untuk sementara waktu yang bertujuan memberikan peluang kepada masyarakat asli Papua untuk memiliki wakil di DPRP melalui pengangkatan. UU 21/2001 sebagai pengejawantahan dari Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, di dalamnya memuat pasal-pasal tertentu yang mengatur kekhususan dimaksud. Salah satunya adalah pembentukan DPRP sebagai lembaga perwakilan rakyat dari pemerintahan daerah Papua yang bersifat khusus dan berbeda dengan daerah provinsi lainnya. Kekhususan tersebut, antara lain, adanya sebagian anggota DPRP yang diangkat [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-VII/2009, tanggal 1 Februari 2010]. Selain itu, kekhususan tersebut juga nampak dengan adanya Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil perempuan. MRP diberi kewenangan tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Lembaga seperti MRP tersebut tidak dikenal di daerah lain di Indonesia;
              Bahwa Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih dahulu keberadaan suku Yawa Onat sebagai salah satu suku asli yang ada di Provinsi  Papua. Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007 bertanggal 18 Juni 2008 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-VI/2008 bertanggal 19 Juni 2008 yang menyatakan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat dikatakan secara de facto hidup atau actual existence, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun fungsional, setidaknya harus memenuhi unsur:
a.    adanya masyarakat yang memiliki perasaan kelompok atau in group feeling;
b.    adanya pranata pemerintahan adat;
c.    adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;
d.    adanya perangkat norma hukum adat;
e.    adanya wilayah tertentu, khususnya masyarakat hukum adat yang teritorial;
Berdasarkan kriteria tersebut, dikaitkan dengan keterangan para Pemohon, keterangan saksi Agus Tanawani dan saksi Hermanus Wariori, Suku Yawa Onat adalah salah satu suku asli yang masih hidup dan eksis di Provinsi Papua yang membawahi 38 kampung adat yang berada di wilayah administratif pemerintahan Kabupaten Kepulauan Yapen. Keterangan para Pemohon dan para saksi tersebut tidak dibantah oleh saksi Yoram Wambrauw, Ketua Sementara MRP, yang memberikan keterangan mewakili MRP, maupun keterangan Pemerintah. Oleh karena itu, walaupun belum ada peraturan daerah yang menetapkan Suku Yawa Onat sebagai satu kesatuan masyarakat adat, menurut Mahkamah, secara faktual Suku Yawa Onat adalah satu kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki hak-hak tradisional yang berada di Provinsi Papua yang harus mendapat jaminan dan perlindungan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Belum adanya peraturan daerah yang menetapkan eksistensi suatu kesatuan masyarakat hukum adat, tidak berarti kesatuan masyatakat hukum adat menjadi tidak ada, karena apabila keberadaan masyarakat hukum adat di Provinsi Papua digantungkan pada pengakuan atau pengukuhan berdasarkan peraturan daerah, maka secara yuridis tidak akan ada kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Papua sampai dengan adanya pengukuhan tersebut;
              Bahwa Pasal 1 huruf t UU 21/2001 menentukan  bahwa orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi  Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa yang termasuk orang asli Papua adalah:
-     mereka yang berasal dari rumpun ras Melanesia menjadi anggota suku-suku asli atau masyarakat adat di Provinsi Papua, dan/atau
-     orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat di Papua;
Menurut Mahkamah, kedua kriteria orang asli Papua dalam Pasal 1 huruf t UU a quo, telah mencerminkan makna bahwa keanggotaan suatu masyarakat hukum adat dapat timbul, baik karena secara alamiah berasal dari anggota suku-suku asli, maupun karena diakui sebagai anggota masyarakat hukum adat berdasar alasan-alasan yang lazim dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan, dan dilakukan sesuai dengan mekanisme yang secara konsisten diterapkan oleh masyarakat hukum adat tersebut;
Bahwa berdasarkan keterangan Pemohon I, keterangan saksi Agus Tanawani dan saksi Hermanus Wariori, serta bukti P-2a sampai dengan P-2c, penerimaan dan pengakuan Komarudin Watubun Tanawani sebagai anggota kesatuan masyarakat hukum adat Yawa Onat dengan marga Tanawani Mora telah dilakukan berdasarkan norma-norma hukum adat Suku Yawa Onat melalui upacara penerimaan secara resmi dengan prosesi adat pada tanggal 8 Juni 2005. Sejalan dengan itu, menurut  Mahkamah, tradisi mengakui orang luar sebagai anggota masyarakat hukum adat dengan segala hak-haknya sebagai anggota masyarakat hukum adat, baik dalam masyarakat hukum adat yang berdasarkan pada genealogis maupun teritorial adalah hal yang lazim dipraktikkan dalam berbagai masyarakat hukum adat di Indonesia, termasuk di Papua. Menurut keterangan saksi Yoram Wambrauw, ada kemungkinan seseorang dapat diterima dan diakui oleh masyarakat adat di Papua, karena yang bersangkutan secara turun temurun telah lama hidup di lingkungan masyarakat adat tersebut, telah mengikuti upacara inisiasi adat setempat sesuai tatanan masyarakat adat setempat, mengetahui atau memahami adat budaya masyarakat setempat, dan telah berjasa bagi masyarakat setempat, sehingga dengan demikian, pengakuan dan penerimaan orang luar untuk menjadi anggota masyarakat hukum adat oleh Suku Yawa Onat dengan melalui prosesi adat yang telah dilakukan berdasarkan hukum dan adat dari suku yang bersangkutan, harus pula mendapat jaminan dan perlindungan konstitusional menurut Pasal 18B ayat (2) juncto Pasal 28I ayat (3) UUD 1945, karena hal itu merupakan hak konstitusional masyarakat hukum adat Yawa Onat yang dijamin oleh konstitusi. Menurut Mahkamah, kriteria maupun mekanisme serta prosedur penerimaan maupun pengakuan seseorang menjadi warga dari suatu kesatuan masyarakat hukum adat, harus berdasarkan kriteria, mekanisme, dan prosedur yang dianut dan dijalankan secara konsisten serta diterima sebagai norma adat dari suku atau masyarakat adat yang bersangkutan dan tidak dapat ditentukan oleh lembaga yang lain. Oleh karena itu, tindakan MRP yang mengabaikan keputusan masyarakat hukum adat Yawa Onat yang telah memberi pengakuan serta penerimaan seseorang menjadi warga kesatuan masyarakat hukum adat adalah tidak tepat karena mengabaikan hak-hak konstitusional kesatuan masyarakat hukum adat Yawa Onat. Menurut Mahkamah, MRP bukanlah kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat supra dan membawahi berbagai masyarakat hukum adat di Provinsi Papua. MRP hanyalah suatu lembaga politik atau lembaga pemerintahan yang lahir berdasarkan ketentuan Undang-Undang yang fungsinya mewakili sebagian masyarakat hukum adat, wakil agama, dan wakil perempuan yang ada di Provinsi Papua. Perlindungan konstitusional yang diberikan oleh Mahkamah atas hak tradisonal suatu masyarakat hukum adat untuk dapat menerima orang luar sebagai anggotanya berdasarkan kriteria dan mekanisme dari kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan adalah sejalan dengan semangat otonomi khusus Provinsi Papua yang menjamin pengakuan atas keberadaan suku-suku asli Papua beserta hak-hak tradisionalnya. Hal itu tidak berarti Mahkamah mengabaikan adanya kebijakan affirmative yang diberikan kepada suku-suku asli di Papua sebagaimana diatur dalam UU 21/2001. Menurut Mahkamah, justru untuk pemberdayaan dan pengakuan atas keberadaan suku-suku asli beserta hak-hak tradisionalnya yang merupakan kebijakan affirmative terhadap Provinsi Papua, termasuk dalam hal ini hak masyarakat hukum adat untuk menerima dan mengakui orang luar sebagai anggota masyarakat hukum adat sesuai dengan perkembangan zaman, serta sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;
              Bahwa, menurut Mahkamah, Pasal 20 ayat (1) huruf a UU 21/2011 yang menentukan bahwa MRP mempunyai tugas dan wewenang memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP adalah ketentuan yang kabur dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil serta dapat menimbulkan pelanggaran hak-hak konstitusional yang dijamin oleh konstitusi [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945] baik bagi suku-suku asli di Papua sebagai kesatuan masyarakat hukum adat maupun bagi perseorangan warga suku asli tersebut. Hal itu berkaitan dengan kriteria apa yang dipergunakan MRP untuk menentukan orang asli Papua sebagai bakal calon gubernur atau bakal calon wakil gubernur Papua, baik kriteria yang dibuat melalui peraturan perundang-undangan maupun kriteria yang dibuat oleh MRP sendiri. Fakta dalam perkara a quo, kriteria yang ada, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun kebijakan yang diputuskan oleh MRP, telah melanggar hak-hak konstitusional, baik hak konstitusional kesatuan masyarakat hukum adat maupun hak konstitusional dari anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Oleh karena kabur dan tidak jelasnya ketentuan pasal a quo, maka akibatnya dapat dipastikan hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat yang dijamin oleh konstitusi akan terancam. Dengan kata lain adanya ketentuan pasal a quo, memungkinkan terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan konstitusi yang memberi jaminan perlindungan atas hak-hak konstitusional kesatuan masyarakat hukum adat [vide Pasal 18B ayat (2) UUD 1945]. Oleh karena itu, Mahkamah, dalam rangka memberikan jaminan dan perlindungan konstitusional terhadap kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, harus memastikan tidak akan terjadi pelanggaran terhadap perlindungan dan jaminan konstitusional yang diberikan kepada kesatuan masyarakat hukum adat tersebut, baik yang dilakukan melalui perundangan-undangan maupun oleh lembaga pemerintah yang ada;   
              Bahwa, menurut Mahkamah, dengan pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua seharusnya akan diakui, dijamin, dan dilindungi  hak-hak masyarakat hukum adat yang ada dan tetap hidup di Provinsi Papua. Hak masyarakat hukum adat tersebut seharusnya tidak boleh dikurangi atau dieliminasi dengan adanya keberadaan MRP, karena MRP bukanlah bentuk dari kesatuan masyarakat hukum adat yang lahir secara alamiah dan MRP tidak membawahi berbagai kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Provinsi Papua, tetapi merupakan salah satu lembaga pemerintahan daerah bentukan negara berdasarkan Undang-Undang. Selain itu, menurut Mahkamah, MRP tersebut dibentuk oleh negara sebagai perwakilan kultural yang mewakili masyarakat adat, kelompok agama, dan kelompok perempuan yang ada di Provinsi Papua sehingga tidak mungkin mewakili seluruh masyarakat hukum adat yang ada di Papua. Oleh karena itu, menurut Mahkamah hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat mengenai kriteria, mekanisme, dan prosedur seseorang untuk menjadi anggota kesatuan masyarakat hukum adat haruslah didasarkan pada ketentuan internal dari kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan bukan atas keputusan MRP. Keberadaan MRP akan bertentangan dengan semangat lahirnya otonomi khusus bagi Provinsi Papua, jika dalam menjalankan tugas dan kewenangannya justru mengabaikan hak-hak asli masyarakat hukum adat  yang ada di Provinsi Papua. Pengakuan atas hak-hak tradisional suku-suku asli sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Papua adalah salah satu bentuk perlindungan konstitusional atas kekhususan Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam UU 21/2001 dan sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) serta Pasal 28I ayat (3) UUD 1945;
            Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, meskipun dalil-dalil para Pemohon beralasan hukum, namun keberadaan pasal a quo tidak dapat secara serta merta dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena hal demikian dapat menimbulkan kekosongan hukum. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Pasal 20 ayat (1) huruf a UU 21/2001 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua mengenai status seseorang sebagai orang asli Papua sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf t UU 21/2001 yang bakal menjadi calon gubernur dan/atau calon wakil gubernur, adalah pertimbangan yang harus didasarkan atas pengakuan suku asli di Papua asal bakal calon gubernur dan/atau wakil gubernur yang bersangkutan;

Adapun bunyi amar lengkap putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 29/PUU-IX/2011 adalah sebagai berikut:
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
  • Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
  • Pasal 20 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua mengenai status seseorang sebagai orang asli Papua sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf t Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yang bakal menjadi calon gubernur dan/atau calon wakil gubernur, adalah berdasarkan pengakuan dari suku asli di Papua asal bakal calon gubernur dan/atau wakil gubernur yang bersangkutan;
  • Pasal 20 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua mengenai status seseorang sebagai orang asli Papua sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf t Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yang bakal menjadi calon gubernur dan/atau calon wakil gubernur, adalah berdasarkan pengakuan dari suku asli di Papua asal bakal calon gubernur dan/atau wakil gubernur yang bersangkutan;
  • Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

=====
Link Putusan Mahkamah Konstitusi >>>

Tidak ada komentar: