Adanya ketidakjelasan penggunaan nama “Ombudsman” dalam UU Ombudsman pada akhirnya telah
menyebabkan Ir. H. Ilham Arief Sirajuddin, MM. (Walikota Makassar), Mulyadi
Hamid (Komisioner Ombudsman Makassar), Bagus Sarwono, S.Pd., Si. (Anggota
Ombudsman Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta), Ananta Heri Pramono, SE., MM., (Anggota Ombudsman Swasta
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta), Syahrul Eriadi (Anggota Ombusman Daerah
Kabupaten Asahan), Syamsuddin Alimsyah (Koordinator KOPEL), H. Bahar Ngintung (Anggota
DPD RI) sebagai badan
hukum publik atau privat mengajukan permohonan pengujian UU Ombudsman ke Mahkamah
Konstitusi.
Para Pemohon mendalilkan bahwa dengan adanya ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU
37/2008 pada pokoknya melarang penggunaan nama ”Ombudsman” selain Ombudsman
yang ditentukan dalam Undang-Undang a
quo, dan Pasal 1 angka 13 UU 25/2009 menentukan bahwa ombudsman adalah
lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan
publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan
termasuk yang diselenggarakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, dan badan hukum milik negara serta badan swasta, maupun perseorangan
yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau
anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebagai badan hukum publik atau privat yang dijamin oleh konstitusi yaitu hak untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dan hak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana dijamin dalam Pasal 18 ayat (6) UUD 1945. Para Pemohon mendalilkan dengan adanya ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU 37/2008 dan Pasal 1 angka 13 UU 25/2009 telah dirugikan hak konstitusionalnya sebagai perorangan warga negara Indonesia yang dijamin oleh konstitusi yaitu hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Dalam pertimbangannya Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa lembaga ombudsman pada umumnya dikenal sebagai lembaga yang
berfungsi menerima keluhan masyarakat, melakukan investigasi, mencari
penyelesaian di luar pengadilan serta membuat rekomendasi kebijakan atas
laporan masyarakat mengenai pelayanan umum. Dalam Blacks Law Dictionary, ombudsman diartikan sebagai: 1) an official appointed to receive,
investigate, and report on private’s complaints about the government; 2) a
similar appointee in nongovernmental organization (such as a company or
university). Dalam praktik di berbagai negara lembaga ombudsman dapat
dibentuk oleh lembaga pemerintah baik Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah maupun
oleh lembaga non-pemerintah. Ombudsman yang dibentuk oleh Pemerintah pada
umumnya melakukan kegiatan menerima keluhan warga negara mengenai
maladministrasi, melakukan investigasi, mencari upaya penyelesaian atau memberi
rekomendasi kebijakan kepada pejabat yang berwenang. Selain yang dibentuk oleh Pemerintah,
dikenal juga ombudsman yang dibentuk oleh lembaga non-pemerintah yang bekerja
secara independen, imparsial serta memberi informasi penting bagi pengambilan
keputusan sebuah perusahaan, rumah sakit, badan-badan non-pemerintah serta
entitas lainnya. Bahkan dalam tingkat internasional dikenal International Ombudsman Institute
(I.O.I) yang didirikan pada tahun 1978, sebagai suatu organisasi global dalam
rangka kerja sama lebih dari 150 lembaga ombudsman yang meliputi Eropa, Asia,
Afrika, Australia, Pasifik, Karibia dan Amerika Latin serta Amerika Utara.
Dengan demikian istilah ombudsman dalam praktik yang umum sudah dikenal sebagai
lembaga independen yang menerima, menginvestigasi, dan ikut memberi alternatif
penyelesaian keluhan;
Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang
menyatakan Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (6) UUD 1945,
dengan alasan pembentukan lembaga ombudsman bukan merupakan kewenangan
pemerintah pusat tetapi kewenangan pemerintah daerah, Mahkamah berpendapat
bahwa UUD 1945 tidak menegaskan rincian kewenangan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah. UUD 1945 hanya menegaskan bahwa pemerintah daerah
diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintah daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang
ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Dengan demikian, menurut Mahkamah
jenis urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah sangat
tergantung pada ketentuan Undang-Undang, yaitu kewenangan apa saja yang tetap
menjadi kewenangan pemerintah pusat sehingga sisanya menjadi kewenangan
pemerintah daerah. Pembentukan ombudsman oleh pemerintah pusat berdasarkan
ketentuan Undang-Undang adalah tidak bertentangan dengan konstitusi. Dengan
demikian sepanjang permohonan para Pemohon mengenai konstitusionalitas Pasal 46
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang a quo
berdasarkan ukuran Pasal 18 UUD 1945 adalah tidak beralasan hukum;
Bahwa terkait dalil para Pemohon yang mendalilkan Pasal 46 ayat
(1), ayat (2) UU 37/2008 dan Pasal 1 angka 13 UU 25/2009
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Para Pemohon
beralasan, dengan adanya ketentuan tersebut telah mengakibatkan status lembaga
ombudsman yang telah dibentuk oleh para Pemohon yang selama ini sudah
menjalankan fungsinya dengan baik dan sudah dikenal oleh masyarakat akan hilang
dan tidak dapat menjalankan fungsinya dengan maksimal akibat harus dibubarkan
atau mengganti dengan nama lainnya yang bukan nama ombudsman. Terhadap dalil para
Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Bahwa pembentukan lembaga ombudsman
dan pilihan nama “Ombudsman” oleh pemerintah daerah dalam rangka menjalankan
fungsi pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya dalam pemberian
pelayanan umum adalah merupakan kebijakan yang tidak melanggar ketentuan hukum
yang berlaku pada saat itu. Pembentukan lembaga ombudsman oleh beberapa
pemerintah daerah sebelum lahirnya Undang-Undang a quo adalah langkah positif yang dilakukan oleh pemerintah daerah
untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel,
dengan memberi ruang bagi masyarakat untuk melaporkan segala keluhan pelayanan
publik kepada lembaga ombudsman. Pembentukan lembaga demikian adalah lazim
seperti dalam praktik yang universal di berbagai negara, yaitu lembaga
pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah serta lembaga swasta
dapat membentuk lembaga ombudsman sebagai lembaga independen yang menjalankan
fungsi intermediasi antara pemberi dan penerima pelayanan umum dalam hal ini
misalnya pemerintah dan masyarakat untuk menerima laporan, keluhan, mencari
alternatif penyelesaian serta memberi rekomendasi penyelesaian kepada pejabat
yang berwenang;
Menurut Mahkamah, untuk
menjamin tegaknya prinsip-prinsip konstitusi yaitu prinsip kepastian hukum yang
adil baik bagi masyarakat maupun bagi pemerintah daerah yang telah membentuk
lembaga ombudsman maka keberadaan lembaga-lembaga ombudsman tersebut harus
dilindungi oleh hukum. Dengan berlakunya Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
a quo, maka akan mengancam keberadaan
dan keberlangsungan lembaga-lembaga ombudsman tersebut sekaligus melanggar
prinsip-prinsip jaminan kepastian hukum yang adil yang harus diberikan kepada
lembaga ombudsman yang telah didirikan secara sah menurut hukum;
Menurut Mahkamah apabila
dilihat dari segi pelaksanaan fungsinya, yaitu dalam memeriksa laporan atas
dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, maka keberadaan ombudsman di
daerah adalah penting untuk melakukan
pengawasan terhadap
unsur-unsur penyelenggaraan pemerintah daerah, walaupun bukan berarti lembaga tersebut adalah perwakilan dari
Ombudsman Republik Indonesia.
Oleh karena itu, dalam melaksanakan kewenangannya, Ombudsman Republik Indonesia seharusnya tetap mengakui keberadaan lembaga-lembaga
ombudsman yang
dibentuk oleh pemerintah daerah yang telah ada dan dipercayai oleh masyarakat;
Bahwa kata “ombudsman” telah mempunyai pengertian umum
bahkan telah diterima secara internasional sebagai fungsi independen untuk menerima
laporan dan keluhan, menginvestigasi, memberi alternatif penyelesaian atau
memberi rekomendasi kebijakan atau penyelesaian atas pengaduan tersebut kepada
pihak tertentu. Demikian dikenalnya pengertian ombudsman secara meluas, orang
akan cepat paham dengan sebutan ombudsman dibandingkan dengan istilah lain
dalam bahasa Indonesia, umpama “lembaga pengaduan masyarakat” yang justru masih
memerlukan penjelasan lebih lanjut. Kata ombudsman sudah sama dikenalnya dengan
kata “lembaga bantuan hukum” yang sudah dengan mudah dipahami maksudnya. Fungsi ombudsman
diperlukan untuk banyak hal dan oleh banyak pihak, oleh karenanya apabila
terdapat monopoli penggunaan istilah ombudsman akan sangat mengganggu proses
komunikasi publik dalam menyampaikan suatu gagasan atau pendapat. Hal demikian
akan mengganggu hak berkomunikasi dan kebebasan untuk menyampaikan pendapat
yang dijamin dalam konstitusi [vide
Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945];
Selain itu, menurut Mahkamah, lembaga
ombudsman tidak dapat dimonopoli oleh negara, seperti halnya dalam
Undang-Undang a quo. Oleh karena itu,
larangan pembentukan lembaga dengan nama ombudsman oleh suatu lembaga atau organ
selain Ombudsman Republik Indonesia tidak sejalan dengan semangat dan
perlindungan konstitusional yang dijamin oleh konstitusi yaitu hak untuk
mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum dalam pemerintahan [vide Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945]. Larangan demikian
juga bertentangan dengan jaminan konstitusi terhadap hak setiap orang untuk memajukan dirinya
dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa,
dan negaranya [vide Pasal 28C ayat
(2) UUD 1945]. Jaminan dan perlindungan tersebut harus juga diberikan kepada
setiap lembaga atau institusi untuk membentuk lembaga ombudsman yang menjalankan fungsi
independen untuk menerima laporan dan keluhan, menginvestigasi, memberi
alternatif penyelesaian atau memberi rekomendasi kebijakan atau penyelesaian
atas pengaduan tersebut kepada pihak tertentu;
Bahwa
pemberian kedudukan ombudsman sebagai lembaga negara bertentangan dengan
konstitusi karena akan meniadakan keberadaan lembaga ombudsman yang telah
dibentuk oleh pemerintah daerah yang bukan merupakan lembaga negara dan telah
menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik di tengah masyarakat. Menurut
Mahkamah istilah lembaga negara tidak harus selalu dikaitkan dengan lembaga
negara yang ada di tingkat pemerintah pusat atau yang dibentuk oleh pemerintah
pusat berdasarkan Undang-Undang. Akan tetapi dalam arti luas, segala lembaga,
institusi atau organ yang menjalankan fungsi negara, dibentuk oleh negara atau
dibentuk oleh lembaga atau organ yang dibentuk oleh negara dapat dikategorikan
sebagai lembaga negara. Dengan demikian, suatu lembaga atau organ disebut
lembaga negara tidak harus diberikan status secara expressis verbis oleh Undang-Undang pembentukannya. Dalam hal ini,
harus dibedakan dengan lembaga negara yang berhak mangajukan sengketa
kewenangan di Mahkamah Konstitusi yang terbatas hanya pada lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kata “lembaga negara” dalam Pasal 24C
ayat (1) UUD 1945 haruslah terkait erat dan tidak terpisahkan dengan frasa
“yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”. Secara implisit dalam
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 terkandung pengakuan bahwa terdapat lembaga negara
yang kewenangannya bukan diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Dengan demikian,
pengertian lembaga negara harus dimaknai sebagai genus yang bersifat umum yang
dibedakan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar dan lembaga negara yang kewenangannya bukan dari Undang-Undang Dasar [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
004/SKLN-IV/2006, tanggal 11 Juli 2006]. Menurut Mahkamah, lembaga atau organ
yang dibentuk oleh pemerintah daerah seperti lembaga ombudsman, juga dapat
dikategorikan sebagai lembaga atau organ negara karena menjalankan sebagian
fungsi negara (official appointed),
walaupun tidak secara expressis verbis
disebut lembaga negara dalam peraturan yang membentuknya. Oleh karena itu,
Mahkamah berpendapat bahwa tidak ada persoalan konstitusionalitas penyebutan
ombudsman sebagai lembaga negara sepanjang lembaga ombudsman tersebut dibentuk
oleh negara atau oleh organ negara. Dengan demikian, Pasal 1 angka 13 UU
25/2009 hanya berlaku untuk ombudsman yang dibentuk oleh negara atau lembaga pemerintah.
Di samping itu, tidak berarti lembaga atau institusi non-pemerintah tidak dapat
membentuk lembaga ombudsman untuk melaksanakan fungsi ombudsman demi keperluan
dan kebutuhan lembaga yang bersangkutan tanpa harus disebut sebagai lembaga
negara (similar appointee in
nongovernmental organization);
Bahwa
berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil
permohonan para Pemohon sepanjang mengenai larangan penggunaan nama “Ombudsman”
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU 37/2008 beralasan
menurut hukum;
Adapun bunyi lengkap
amar putusan dalam perkara Nomor 62/PUU-VIII/2010 adalah sebagai berikut:
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
- Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
- Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4899) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4899) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
- Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
Link Putusan Mahkamah Konstitusi >>
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_PUTUSAN%2062%20PUU%20VII%202010%20-%20TELAH%20BACA.pdf
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_PUTUSAN%2062%20PUU%20VII%202010%20-%20TELAH%20BACA.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar