Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Kamis, 02 April 2015

Konstitusionalitas penggunaan nama “Ombudsman”

Adanya ketidakjelasan penggunaan nama “Ombudsman” dalam UU Ombudsman pada akhirnya telah menyebabkan Ir. H. Ilham Arief Sirajuddin, MM. (Walikota Makassar), Mulyadi Hamid (Komisioner Ombudsman Makassar), Bagus Sarwono, S.Pd., Si. (Anggota Ombudsman Daerah Provinsi Daerah    Istimewa Yogyakarta), Ananta Heri Pramono, SE., MM., (Anggota Ombudsman Swasta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta), Syahrul Eriadi (Anggota Ombusman Daerah Kabupaten Asahan), Syamsuddin Alimsyah (Koordinator KOPEL), H. Bahar Ngintung (Anggota DPD RI) sebagai badan hukum publik atau privat mengajukan permohonan pengujian UU Ombudsman ke Mahkamah Konstitusi.
Para Pemohon mendalilkan bahwa dengan adanya ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU 37/2008 pada pokoknya melarang penggunaan nama ”Ombudsman” selain Ombudsman yang ditentukan dalam Undang-Undang a quo, dan Pasal 1 angka 13 UU 25/2009 menentukan bahwa ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan hukum milik negara serta badan swasta, maupun perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebagai badan hukum publik atau privat yang dijamin oleh konstitusi yaitu hak untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dan hak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana dijamin dalam Pasal 18 ayat (6) UUD 1945. Para Pemohon mendalilkan dengan adanya ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU 37/2008 dan Pasal 1 angka 13 UU 25/2009 telah dirugikan hak konstitusionalnya sebagai perorangan warga negara Indonesia yang dijamin oleh konstitusi yaitu hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
              Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa lembaga ombudsman pada umumnya dikenal sebagai lembaga yang berfungsi menerima keluhan masyarakat, melakukan investigasi, mencari penyelesaian di luar pengadilan serta membuat rekomendasi kebijakan atas laporan masyarakat mengenai pelayanan umum. Dalam Blacks Law Dictionary, ombudsman diartikan sebagai: 1) an official appointed to receive, investigate, and report on private’s complaints about the government; 2) a similar appointee in nongovernmental organization (such as a company or university). Dalam praktik di berbagai negara lembaga ombudsman dapat dibentuk oleh lembaga pemerintah baik Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah maupun oleh lembaga non-pemerintah. Ombudsman yang dibentuk oleh Pemerintah pada umumnya melakukan kegiatan menerima keluhan warga negara mengenai maladministrasi, melakukan investigasi, mencari upaya penyelesaian atau memberi rekomendasi kebijakan kepada pejabat yang berwenang. Selain yang dibentuk oleh Pemerintah, dikenal juga ombudsman yang dibentuk oleh lembaga non-pemerintah yang bekerja secara independen, imparsial serta memberi informasi penting bagi pengambilan keputusan sebuah perusahaan, rumah sakit, badan-badan non-pemerintah serta entitas lainnya. Bahkan dalam tingkat internasional dikenal International Ombudsman Institute (I.O.I) yang didirikan pada tahun 1978, sebagai suatu organisasi global dalam rangka kerja sama lebih dari 150 lembaga ombudsman yang meliputi Eropa, Asia, Afrika, Australia, Pasifik, Karibia dan Amerika Latin serta Amerika Utara. Dengan demikian istilah ombudsman dalam praktik yang umum sudah dikenal sebagai lembaga independen yang menerima, menginvestigasi, dan ikut memberi alternatif penyelesaian keluhan; 
                  Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (6) UUD 1945, dengan alasan pembentukan lembaga ombudsman bukan merupakan kewenangan pemerintah pusat tetapi kewenangan pemerintah daerah, Mahkamah berpendapat bahwa UUD 1945 tidak menegaskan rincian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. UUD 1945 hanya menegaskan bahwa pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Dengan demikian, menurut Mahkamah jenis urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah sangat tergantung pada ketentuan Undang-Undang, yaitu kewenangan apa saja yang tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat sehingga sisanya menjadi kewenangan pemerintah daerah. Pembentukan ombudsman oleh pemerintah pusat berdasarkan ketentuan Undang-Undang adalah tidak bertentangan dengan konstitusi. Dengan demikian sepanjang permohonan para Pemohon mengenai konstitusionalitas Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang a quo berdasarkan ukuran Pasal 18 UUD 1945 adalah tidak beralasan hukum; 
              Bahwa terkait dalil para Pemohon yang mendalilkan Pasal 46 ayat (1), ayat (2) UU 37/2008 dan Pasal 1 angka 13 UU 25/2009 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Para Pemohon beralasan, dengan adanya ketentuan tersebut telah mengakibatkan status lembaga ombudsman yang telah dibentuk oleh para Pemohon yang selama ini sudah menjalankan fungsinya dengan baik dan sudah dikenal oleh masyarakat akan hilang dan tidak dapat menjalankan fungsinya dengan maksimal akibat harus dibubarkan atau mengganti dengan nama lainnya yang bukan nama ombudsman. Terhadap dalil para Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Bahwa pembentukan lembaga ombudsman dan pilihan nama “Ombudsman” oleh pemerintah daerah dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya dalam pemberian pelayanan umum adalah merupakan kebijakan yang tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu. Pembentukan lembaga ombudsman oleh beberapa pemerintah daerah sebelum lahirnya Undang-Undang a quo adalah langkah positif yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel, dengan memberi ruang bagi masyarakat untuk melaporkan segala keluhan pelayanan publik kepada lembaga ombudsman. Pembentukan lembaga demikian adalah lazim seperti dalam praktik yang universal di berbagai negara, yaitu lembaga pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah serta lembaga swasta dapat membentuk lembaga ombudsman sebagai lembaga independen yang menjalankan fungsi intermediasi antara pemberi dan penerima pelayanan umum dalam hal ini misalnya pemerintah dan masyarakat untuk menerima laporan, keluhan, mencari alternatif penyelesaian serta memberi rekomendasi penyelesaian kepada pejabat yang berwenang;
Menurut Mahkamah, untuk menjamin tegaknya prinsip-prinsip konstitusi yaitu prinsip kepastian hukum yang adil baik bagi masyarakat maupun bagi pemerintah daerah yang telah membentuk lembaga ombudsman maka keberadaan lembaga-lembaga ombudsman tersebut harus dilindungi oleh hukum. Dengan berlakunya Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang a quo, maka akan mengancam keberadaan dan keberlangsungan lembaga-lembaga ombudsman tersebut sekaligus melanggar prinsip-prinsip jaminan kepastian hukum yang adil yang harus diberikan kepada lembaga ombudsman yang telah didirikan secara sah menurut hukum;              
              Menurut Mahkamah apabila dilihat dari segi pelaksanaan fungsinya, yaitu dalam memeriksa laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan  publik, maka keberadaan ombudsman di daerah adalah penting untuk melakukan pengawasan terhadap unsur-unsur penyelenggaraan pemerintah daerah, walaupun bukan berarti lembaga tersebut adalah perwakilan dari Ombudsman Republik Indonesia. Oleh karena itu, dalam melaksanakan kewenangannya, Ombudsman Republik Indonesia seharusnya tetap mengakui keberadaan lembaga-lembaga ombudsman yang dibentuk oleh pemerintah daerah yang telah ada dan dipercayai oleh masyarakat;
              Bahwa kata “ombudsman” telah mempunyai pengertian umum bahkan telah diterima secara internasional sebagai fungsi independen untuk menerima laporan dan keluhan, menginvestigasi, memberi alternatif penyelesaian atau memberi rekomendasi kebijakan atau penyelesaian atas pengaduan tersebut kepada pihak tertentu. Demikian dikenalnya pengertian ombudsman secara meluas, orang akan cepat paham dengan sebutan ombudsman dibandingkan dengan istilah lain dalam bahasa Indonesia, umpama “lembaga pengaduan masyarakat” yang justru masih memerlukan penjelasan lebih lanjut. Kata ombudsman sudah sama dikenalnya dengan kata “lembaga bantuan hukum” yang sudah dengan mudah dipahami maksudnya. Fungsi ombudsman diperlukan untuk banyak hal dan oleh banyak pihak, oleh karenanya apabila terdapat monopoli penggunaan istilah ombudsman akan sangat mengganggu proses komunikasi publik dalam menyampaikan suatu gagasan atau pendapat. Hal demikian akan mengganggu hak berkomunikasi dan kebebasan untuk menyampaikan pendapat yang dijamin dalam konstitusi [vide Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945];
              Selain itu, menurut Mahkamah, lembaga ombudsman tidak dapat dimonopoli oleh negara, seperti halnya dalam Undang-Undang a quo. Oleh karena itu, larangan pembentukan lembaga dengan nama ombudsman oleh suatu lembaga atau organ selain Ombudsman Republik Indonesia tidak sejalan dengan semangat dan perlindungan konstitusional yang dijamin oleh konstitusi yaitu hak untuk mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dalam pemerintahan [vide Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945]. Larangan demikian juga bertentangan dengan jaminan konstitusi terhadap hak setiap orang untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya [vide Pasal 28C ayat (2) UUD 1945]. Jaminan dan perlindungan tersebut harus juga diberikan kepada setiap lembaga atau institusi untuk membentuk lembaga ombudsman yang menjalankan fungsi independen untuk menerima laporan dan keluhan, menginvestigasi, memberi alternatif penyelesaian atau memberi rekomendasi kebijakan atau penyelesaian atas pengaduan tersebut kepada pihak tertentu;      
              Bahwa pemberian kedudukan ombudsman sebagai lembaga negara bertentangan dengan konstitusi karena akan meniadakan keberadaan lembaga ombudsman yang telah dibentuk oleh pemerintah daerah yang bukan merupakan lembaga negara dan telah menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik di tengah masyarakat. Menurut Mahkamah istilah lembaga negara tidak harus selalu dikaitkan dengan lembaga negara yang ada di tingkat pemerintah pusat atau yang dibentuk oleh pemerintah pusat berdasarkan Undang-Undang. Akan tetapi dalam arti luas, segala lembaga, institusi atau organ yang menjalankan fungsi negara, dibentuk oleh negara atau dibentuk oleh lembaga atau organ yang dibentuk oleh negara dapat dikategorikan sebagai lembaga negara. Dengan demikian, suatu lembaga atau organ disebut lembaga negara tidak harus diberikan status secara expressis verbis oleh Undang-Undang pembentukannya. Dalam hal ini, harus dibedakan dengan lembaga negara yang berhak mangajukan sengketa kewenangan di Mahkamah Konstitusi yang terbatas hanya pada lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kata “lembaga negara” dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 haruslah terkait erat dan tidak terpisahkan dengan frasa “yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”. Secara implisit dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 terkandung pengakuan bahwa terdapat lembaga negara yang kewenangannya bukan diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, pengertian lembaga negara harus dimaknai sebagai genus yang bersifat umum yang dibedakan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar dan lembaga negara yang kewenangannya bukan dari Undang-Undang Dasar [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/SKLN-IV/2006, tanggal 11 Juli 2006]. Menurut Mahkamah, lembaga atau organ yang dibentuk oleh pemerintah daerah seperti lembaga ombudsman, juga dapat dikategorikan sebagai lembaga atau organ negara karena menjalankan sebagian fungsi negara (official appointed), walaupun tidak secara expressis verbis disebut lembaga negara dalam peraturan yang membentuknya. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa tidak ada persoalan konstitusionalitas penyebutan ombudsman sebagai lembaga negara sepanjang lembaga ombudsman tersebut dibentuk oleh negara atau oleh organ negara. Dengan demikian, Pasal 1 angka 13 UU 25/2009 hanya berlaku untuk ombudsman yang dibentuk oleh negara atau lembaga pemerintah. Di samping itu, tidak berarti lembaga atau institusi non-pemerintah tidak dapat membentuk lembaga ombudsman untuk melaksanakan fungsi ombudsman demi keperluan dan kebutuhan lembaga yang bersangkutan tanpa harus disebut sebagai lembaga negara (similar appointee in nongovernmental organization);
                  Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan para Pemohon sepanjang mengenai larangan penggunaan nama “Ombudsman” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU 37/2008 beralasan menurut hukum;
Adapun bunyi lengkap amar putusan dalam perkara Nomor 62/PUU-VIII/2010 adalah sebagai berikut:
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
  • Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
  • Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4899) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  • Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4899) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  • Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
  • Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

Tidak ada komentar: