Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Jumat, 17 April 2015

Konstitusionalitas Asas Retroaktif menurut Konstitusi (UUD 1945)




Pasca terjadinya tragedi Bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002, salah seorang Terdakwa tragedi Bom Bali yang bernama Masykur Abdul Kadir mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 Menjadi Undang-Undang.

Pemohon, Masykur Abdul Kadir, adalah seorang warga Negara Indonesia yang menjadi salah seorang terdakwa dalam kasus peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang menganggap hak-hak konstitusionalnya dirugikan oleh Undang-undang No. 16 Tahun 2003, yaitu hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Hak untuk hidup hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Padahal, terhadap Pemohon telah diterapkan hukum yang berlaku surut, yaitu Undang-undang No. 16 Tahun 2003, karena terhadap kasus yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002 (Peristiwa Peledakan Bom di Bali) telah diterapkan Perpu No. 1 Tahun 2002 yang diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2002.

Dalam permohonannya, Masykur Abdul Kadir beranggapan bahwa Perpu No. 2 Tahun 2002 ditetapkan, diundangkan dan mulai diberlakukan pada tanggal 18 Oktober 2002, yaitu 6 hari setelah terjadinya peristiwa peledakan bom Bali yang didakwakan dilakukan oleh Pemohon bersama-sama terdakwa lain. Sedangkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 disahkan, diundangkan dan mulai diberlakukan pada tanggal 4 April 2003, yaitu 6 (enam) bulan setelah peristiwa peledakan bom Bali yang didakwakan dilakukan oleh Pemohon bersama-sama dengan terdakwa lain. Hal tersebut menurut Pemohon telah secara nyata, jelas dan tak terbantahkan bahwa Perpu No. 2 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 telah ditetapkan, disahkan, diundangkan dan mulai diberlakuakn setelah terjadinya peristiwa peledakan bom yang didakwakan dilakukan oleh Pemohon sehingga pemberlakukan UU tersebut berlaku surut atau menganut asas retroaktif yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28I ayat (1) yang menolak dengan tegas penggunaan asas retroaktif dalam bentuk, waktu dan peristiwa apapun juga yang juga sekaligus sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

                Untuk menjawab isu hukum tentang asas retroaktif atau pemberlakuan surut tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Bahwa terlebih dahulu perlu dibedakan antara pengertian (makna) Undang-undang yang berlaku surut dengan pembenaran (justifikasi) pemberlakuan surut suatu undang-undang. Suatu undang-undang dikatakan berlaku surut jika keberlakuan efektifnya dinyatakan mundur ke belakang, yang berarti mengatur suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang sebelum undang-undang itu diundangkan. Berdasarkan pengertian dimaksud, maka Undang-undang No. 16 Tahun 2003 yang memberlakukan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 yang diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2002 terhadap peristiwa peledakan bom di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 merupakan undang-undang yang berlaku surut (ex post facto law).
Bahwa sebagaimana diuraikan selanjutnya, hingga kini dalam ilmu hukum masih terdapat pro dan kontra terhadap pembenaran (justifikasi) atau penyangkalan terhadap pemberlakuan surut suatu undang-undang. Baik mereka yang berpendapat tidak membenarkan pemberlakuan surut suatu undang-undang yang hingga kini tetap dominan, maupun mereka yang berpendapat membenarkan pemberlakuan surut suatu undang-undang, keduanya pada hakikatnya sama berpendapat bahwa pemberlakuan surut undang-undang merupakan suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan standar perikemanusiaan sebagaimana dinyatakan oleh World Organization Against Torture, USA.
Bahwa  memang ada kelompok pendapat yang membenarkan bahwa dalam keadaan tertentu asas tidak berlaku surut dapat dikesampingkan (non-rectroactive principles dari World Organization Against Torture) dengan mengajukan 6 (enam) alasan (arguments) sebagai berikut :
1.       Argumen Gustav Radbruch, yang menyatakan bahwa suatu perbuatan dapat dihukum walaupun ketika dilakukan perbuatan itu belum dinyatakan sebagai perbuatan pidana (crime), karena asas superioritas keadilan bisa mengesampingkan asas non-retroaktif. Namun, Radbruch tetap meyakini bahwa asas non-retroaktif sedemikian pentingnya, sehingga pengesampingan asas tersebut hanya boleh dilakukan dalam situasi yang sangat ekstrim, seperti yang pernah diterapkan pada rezim Nazi yang telah melakukan tindakan pemusnahan peradaban.
2.       Argumen yang menyatakan bahwa adanya pengetahuan dari pelaku tentang perbuatan yang dilakukannya itu merupakan subyek yang patut dihukum di masa datang, walaupun pada saat dilakukan perbuatan itu adalah legal. Argumen dimaksud menyimpulkan bahwa dalam keadaan apapun asas non-retroaktif tidak bisa digunakan untuk melindungi seorang pelaku yang tahu bahwa perbuatannya adalah salah.
3.       Argumen yang menyatakan bahwa asas umum dari keadilan dapat mengesampingkan keberadaan hukum positif. Suatu perbuatan yang walaupun pada saat dilakukannya bukan merupakan perbuatan pidana menurut hukum positif, dapat diterapkan hukum yang berlaku surut jika perbuatan itu bertentangan dengan asas keadilan yang bersifat umum.
4.       Argumen yang menyatakan bahwa asas hukum internasional dapat mengesampingkan hukum domestik. Oleh karena itu walaupun menurut hukum domestik sebelumnya perbuatan itu tidak melanggar hukum tetapi asas non-retroaktif dapat dikesampingkan karena perbuatan itu melanggar asas hukum positif internasional.
5.       Argumen yang menyatakan bahwa asas non-retroaktif dapat dikesampingkan melalui penafsiran kembali (re-interpretation) hukum yang berlaku sebelumnya. Dengan menggunakan penafsiran kembali terhadap hukum yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan, maka perbuatan yang semula tidak merupakan perbuatan yang dapat dihukum menjadi perbuatan yang dapat dihukum.
6.       Argumen yang menyatakan bahwa perbuatan itu menurut hukum yang berlaku pada saat dilakukannya, sebenarnya telah merupakan pelanggaran yang jelas terhadap hukum yang berlaku saat itu.
Bahwa di samping aliran pandangan yang diuraikan di atas, ternyata sebagian terbesar para sarjana hukum di dunia – dengan memperhatikan perkembangan pandangan sebagaimana tersebut – tetap berpendapat bahwa bagaimanapun juga asas non-retroaktif itu tidak dapat dikesampingkan hanya atas dasar alasan seperti tercermin dalam aliran pandangan di atas. Oleh karena itu, terlepas dari adanya perbedaan pendapat di antara para hakim konstitusi, Mahkamah berpendapat :
1.       Bahwa pada dasarnya hukum itu harus berlaku ke depan (prospectively). Adalah tidak fair, jika seseorang dihukum karena perbuatan yang pada saat dilakukannya merupakan perbuatan yang sah. Adalah tidak fair pula jika pada diri seseorang diberlakukan suatu ketentuan hukum yang lebih berat terhadap suatu perbuatan yang ketika dilakukannya diancam oleh ketentuan hukum yang lebih ringan, baik yang berkenaan dengan hukum acara (procedural), maupun hukum material (substance).
2.       Bahwa asas non-retroaktif lebih mengacu kepada filosofi pemidanaan atas dasar pembalasan (retributive), padahal asas ini tidak lagi merupakan acuan utama dari sistem pemidanaan di negara kita yang lebih merujuk kepada asas preventif dan edukatif.
3.       Bahwa telah menjadi pengetahuan umum bahwa pengesampingan asas non-retroaktif membuka peluang bagi rezim penguasa tertentu untuk menggunakan hukum sebagai sarana balas dendam (revenge) terhadap lawan-lawan politik sebelumnya. Balas dendam semacam ini tidak boleh terjadi, oleh karena itu harus dihindari pemberian peluang sekecil apapun yang dapat memberikan kesempatan ke arah itu.
4.       Bahwa saat ini tengah berlangsung upaya penegakan hukum (rule of law) termasuk penegakan peradilan yang fair. Adapun jaminan minimum bagi suatu proses peradilan yang fair adalah: asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), persamaan kesempatan bagi pihak yang berperkara, pengucapan putusan secara terbuka untuk umum, asas ne bis in idem, pemberlakuan hukum yang lebih ringan bagi perbuatan yang tengah berproses (pending cases), dan larangan pemberlakuan asas retroaktif. Dengan mengacu kepada syarat-syarat minimum tersebut di atas maka Undang-undang No. 16 Tahun 2003 justru berselisihan arah dengan jaminan bagi suatu peradilan yang fair, karena jelas-jelas telah melanggar salah satu syarat yang harus dipenuhi, yaitu pemberlakuan asas retroaktif.
Bahwa sebagai bahan bandingan di negara-negara yang mempunyai sejarah penegakan hukum yang panjang dan mantap, semisal Amerika Serikat, dalam konstitusinya tetap melarang penerapan asas retroaktif sebagaimana termuat dalam Article I Section 9 yang berbunyi : “No bill of attainder or ex post pacto law shall be passed”. Memang hakim dalam putusannya kadang-kadang mengesampingkan larangan itu, tetapi pada umumnya hanya dilakukan dalam perkara perdata. Sementara itu lembaga legislatif tetap memegang teguh asas itu, dan hingga kini tidak pernah mengamandemennya.
Untuk menunjukkan betapa penerapan asas retroaktif sangat tidak diinginkan, dapat dilihat dari kutipan berikut ini:
An ex post facto violation can occur in several ways. No legislative body may pass a law that makes criminal any conduct occuring prior to the passage of the law. Neither may a law redefine a statute to make previous conduct a more serious or aggravated violation. The ex post facto prohibition also precludes retroactively increasing the severity of punishment for criminal conduct. No law may alter evidentiary rules in a way that makes successful prosecution more likely or diminishes any legal prosecutions a person may exercise. In sum, the ex post facto provision prohibits any legislative action that retroactively disadvantages a person in a criminal context. (Ralph C. Chandler et. al “The Dictionary of Constitutional Law page 615”).
Bahwa memang benar asas ini pernah dilanggar ketika mengadili kejahatan perang di Pengadilan Nuremberg. Tetapi sebagaimana dikemukakan di atas, hal itu dilakukan sebagai perkecualian dan dorongan emosional yang sangat kuat untuk memberi hukuman kepada kekejian Nazi, dan setelah pengadilan itu berakhir masyarakat internasional selalu kembali menekankan bahwa asas non-retroaktif ini tidak boleh dilanggar.
Hal ini nampak dari rumusan dalam instrumen-instrumen HAM termasuk yang dibuat setelah itu, seperti berikut ini:
1.       United Nations Universal Declaration of Human Rights, Article 11. (2) No one shall be held guilty of any penal offence on account of any act or omission which did not constitute a penal offence, under national or international law, at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time the penal offence was committed.
2.       European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms and Its Eight Protocols, Article 7 (1) No one shall be held guilty of any criminal offence on account of any act or omission which did not constitute a criminal offence under national or international law at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time the criminal offence was committed. (2) This article shall not prejudice the trial and punishment of any person for any act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according to the general principles of law recognized by civilised nations.
3.       United Nations International Covenant on Civil and Political Rights (1966), Article 4 (2) No derogation from articles 6, 7, 8 (paragraphs 1 and 2), 11, 15, 16 and 18 may be under this provision. Article 15, (1) No one shall be held guilty of any criminal offence on account of any act or omission which did not constitute a criminal offence, under national or international law, at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time when the criminal offence was committed. If, subsequently to the commission of the offence, provision is made by law for the imposition of a lighter penalty, the offender shall benefit thereby. (2) Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any person for any act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according to the general principles of law recognized by the community of nations.
4.       4. American Convention on Human Rights. Article 9 : Freedom from Ex Post Facto Laws, No one shall be convicted of any act or omission that did not constitute a criminal offence, under the applicable law, at the time it was committed. A heavier penalty shall not be imposed than the one that was applicable at the time the criminal offence was committed. If subsequent to the commission of the offence the law provides for the imposition of a lighter punishment, the guilty person shall benefit there from.
5.       5. Rome Statute of the International Criminal Court (1998) PART 3. GENERAL PRINCIPLES OF CRIMINAL LAW. Article 22. Nullum crimen sine lege (1) A person shall not be criminally responsible under this statute unless the conduct in question constitutes, at the time it takes place, a crime within the jurisdiction of the Court. (2) The definition of a crime shall be strictly construed and shall not extended by analogy. In case of ambiguity, the definition shall be interpreted in favour of the person being investigated, prosecuted or convicted. (3) This article shall not affect the characterization of any conduct as criminal under the international law independently of this Statute. Article 23. Nulla poena sine lege. A person convicted by the Court may be punished only in accordance with this Statute. Article 24. Non-retroactivity ratione personae, (1) No person shall be criminally responsible under this Statute for conduct prior to the entry into force of the Statute. (2) In the event of a change in the law applicable to a given case prior to a final judgement, the law more favourable to the person being investigated, prosecuted or convicted shall apply.
Bahwa pelarangan diterapkannya asas retroaktif dalam hukum Indonesia telah dianut sejak waktu yang sangat panjang.
1.       Pasal 6 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) Staatsblad 1847 Nomor 23 berbunyi : “De wet verbind alleen voor het toekomende en heeft geene terug werkende kracht”.
2.       Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Straftrecht berbunyi : “geen feit is straafbaar dan uit kracht van eene daar aan voor afgegane wettelijk straafbepaling (Suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya)”.
3.       3. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, - Pasal 4 berbunyi : "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun". - Pasal 18 ayat (2) berbunyi : "Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya".
4.       4. UUD 1945, Pasal 28I ayat (1) berbunyi : "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun".
Dengan merujuk pada ruh yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Straftrecht yang merupakan asas yang bersifat universal, Prof. Dr. Harun Alrasid, S.H., sebagai ahli, dalam persidangan berpendapat bahwa tidak ada penafsiran lain kecuali bahwa asas non-retroaktif adalah sesuatu yang bersifat mutlak.
Bahwa Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 itu mengukuhkan peraturan perundang-undangan sebelumnya dan menempatkan asas a quo dalam tingkatan peraturan perundang-undangan yang tertinggi (hogere optrekking) pada tataran hukum konstitusional. Constitutie is de hoogste wet ! Negara tidaklah dapat menegasi UUD, karena jika demikian halnya, niscaya konstitusi telah menyayat-nyayat dagingnya sendiri (de constitutie snijdt zijn eigen vlees). Dengan mengacu pula kepada pendapat ahli Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. maka ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berisi kemungkinan untuk melakukan pembatasan hak asasi manusia tidak dapat diberlakukan terhadap Pasal 28I ayat (1), karena adanya anak kalimat (frasa) “dalam keadaan apapun”.
Bahwa dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa semua hak asasi dapat dibatasi, kecuali dinyatakan sebaliknya dalam UUD. Hal ini sesuai dengan kesimpulan Bryan A. Garner dalam Black’s Law Dictionary page 1318 yang menyatakan : “A retroactive law is non unconstitutional unless … is constitutionally forbidden”.
Bahwa terorisme memang merupakan suatu kejahatan yang sangat mengancam, mengerikan dan menyebabkan ketakutan masyarakat, meskipun sampai saat ini belum ada definisi dan pemahaman yang universal tentang apa yang disebut terorisme tersebut. Kecenderungan yang terjadi lebih menekankan One Dimensional Conception on Terrorism, dengan konstruksi gagasan bahwa terorisme secara dominan dan resmi didefinisikan dalam kerangka yang one direction, dalam pengertian bahwa pelaku yang ditunjuk bersifat tunggal, yakni semata-mata non-state actors, sehingga dengan demikian, tindakan terorisme senantiasa dilihat dalam kegiatan yang menurut istilah Johan Galtung (Exiting From The Terrorism-State Terrorism Vicious Cycle : Some Psychological Conditions, 2001) sebagai terrorism from below, seperti yang ditunjukkan dalam definisi terorisme oleh League of Nations Convention, 1937 dan juga Resolusi PBB No. 50/186, 22 Desember 1995. Pada hal, terorisme juga dapat dilakukan oleh negara (state terrorism) dalam bentuk berbagai kekerasan struktural (Michael Tilger, Terrorism and Human Rights, 2001).
Bahwa terlepas dari masih rancu dan kontroversialnya pengertian dan makna terorisme seperti dikemukakan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa segala bentuk terorisme memang harus diberantas, bahkan sampai kepada akar permasalahan dan penyebab awalnya, sesuai dengan harapan yang berkembang dalam masyarakat internasional. Oleh karena itu harus dibuat undang-undang yang memberikan jaminan untuk mencegah, menghindari dan memberantasnya. Undang-Undang dimaksud selain harus memberikan ancaman hukuman yang lebih berat, juga harus menjamin kemudahan bagi proses pengungkapan penanggulangan dan penindakannya.
Bahwa Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang telah cukup memenuhi harapan para justisiabel. Namun Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tidak perlu diberlakukan surut, karena unsur-unsur dan jenis kejahatan yang terdapat dalam terorisme menurut undang-undang dimaksud sebelumnya telah merupakan jenis kejahatan yang diancam dengan pidana berat.
Bahwa pemberlakuan prinsip retroaktif dalam hukum pidana hanyalah merupakan suatu pengecualian yang hanya dibolehkan dan diberlakukan pada perkara pelanggaran HAM berat (gross violation on human rights) sebagai kejahatan yang serius, yang merupakan jaminan terhadap hak-hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights). Sementara itu, yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat menurut Statuta Roma Tahun 1998 adalah kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi; sedangkan menurut Pasal 7 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat adalah hanya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan demikian, baik merujuk kepada Statuta Roma Tahun 1998, maupun Undang-undang No. 39 Tahun 1999, peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 belumlah dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime) yang dapat dikenai prinsip hukum retroaktif, melainkan masih dapat dikategorikan sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) yang sangat kejam, tetapi masih dapat ditangkal dengan ketentuan hukum pidana yang ada. Perpu No. 1 Tahun 2002 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 mendapat banyak tantangan, karena secara legal formal digunakannya asas retroaktif sebenarnya tidak dapat diterapkan, sebab terorisme tidak termasuk kategori kejahatan yang bisa diterapkan asas retroaktif (Posisi Paper YLBHI, No. 1, Desember 2002). Apabila terorisme dipandang telah bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), namun ketentuan dan tindakan hukum untuk memberantasnya juga tak dapat mengesampingkan HAM, sebab di Amerika Serikat sendiri terdapat penilaian bahwa Terrorism Law is major setback for civil liberties.
Bahwa selain pertimbangan yang telah dikemukakan tersebut di atas, Mahkamah perlu mempertimbangkan pula perkaitan dan keselarasan antara materi muatan (substansi) normatif yang terkandung di dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2003 dengan bentuk aturan hukum penuangannya. Dengan mengacu kepada teori yang secara umum dianut dalam ilmu hukum, yaitu Stufen Theorie des Recht dari Hans Kelsen, undang-undang sebagai produk legislatif berisi kaidah-kaidah hukum mengatur (regels) yang bersifat umum dan abstrak (abstract and general norms). Undang-undang tidak memuat kaidah-kaidah yang bersifat individual dan konkrit (individual and concrete norms), sebagaimana kaidah-kaidah yang terdapat dalam keputusan hukum yang dibuat oleh pejabat tata usaha negara yang berupa penetapan administrasi (beschikking) ataupun produk hukum pengadilan berupa putusan (vonis). Karena itu, dapat dikatakan bahwa pada pokoknya bukanlah kewenangan pembentuk undang-undang untuk menerapkan sesuatu norma hukum yang seharusnya bersifat umum dan abstrak ke dalam suatu peristiwa konkrit, karena hal tersebut sudah seharusnya merupakan wilayah kewenangan hakim melalui proses peradilan atau kewenangan pejabat tata usaha negara melalui proses pengambilan keputusan menurut ketentuan hukum administrasi negara.
Bahwa Undang-undang No. 16 Tahun 2003 yang berasal dari Perpu No. 2 Tahun 2002 bertanggal 18 Oktober 2002 berisi kaidah hukum berupa pernyataan pemberlakuan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 yang berasal dari Perpu No. 1 Tahun 2002 bertanggal 18 Oktober 2002. Pernyataan pemberlakuan suatu kaidah hukum terhadap peristiwa hukum yang bersifat konkrit tidak tepat, dan karenanya tidak dapat dibenarkan untuk dituangkan dalam bentuk produk legislatif berupa undang-undang, melainkan seharusnya merupakan material sphere pengadilan dalam menerapkan sesuatu kaidah hukum umum dan abstrak. Oleh karena itu, pemberlakuan Undang-undang No. 16 Tahun 2003 untuk menilai peristiwa konkrit, yaitu peristiwa peledakan bom di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 yang terjadi sebelum undang-undang tersebut ditetapkan, bertentangan dengan prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan yang dianut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang dapat dianggap telah melakukan sesuatu yang merupakan kewenangan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sebagai kekuasaan yang merdeka, yang terpisah dari cabang kekuasaan pemerintahan negara yang diatur dalam Bab III ataupun dari cabang kekuasaan pembentukan undang-undang yang diatur dalam Bab VII dan Bab VIIA Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa di samping itu, sekiranya pemberlakuan kaidah hukum oleh pembentuk undang-undang terhadap sesuatu peristiwa konkrit yang terjadi sebelumnya, sebagaimana dengan pemberlakuan Undang-undang No. 16 Tahun 2003 seperti tersebut di atas dibenarkan adanya, atau dianggap konstitusional oleh Mahkamah, maka hal tersebut di masa-masa yang akan datang dapat menjadi preseden buruk yang dijadikan rujukan bahwa pembentuk undang-undang dapat memberlakukan sesuatu kaidah hukum dalam undang-undang secara eksplisit atau expressis verbis terhadap satu atau dua persitiwa konkrit yang telah terjadi sebelumnya, hanya atas dasar penilaian politis (political judgement) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama Pemerintah bahwa persitiwa hukum yang telah terjadi sebelumnya itu termasuk kategori kejahatan yang sangat berat bagi kemanusiaan. Padahal, dalam kenyataannya untuk menanggulangi dan melakukan penindakan terhadap kejahatan dimaksud telah tersedia perangkat hukum yang cukup atau setidaknya belum terbukti bahwa berbagai perangkat hukum yang tersedia tersebut telah dipergunakan secara maksimal dalam upaya menindak kejahatan dimaksud.
Bahwa, melalui putusan Mahkamah, para penegak hukum Indonesia di manapun mereka berada perlu diyakinkan bahwa penindakan terhadap setiap bentuk kejahatan yang terjadi haruslah dilakukan dengan menegakkan hukum (law enforcement) secara adil dan pasti, bukan dengan cara membuat norma hukum baru (law making) melalui pembentukan Perpu ataupun Undang-Undang baru. Apalagi jika ternyata kebijakan legislasi semacam itu didasarkan atas pertimbangan yang bersifat politis (political judgement). Jikalau kejahatan yang terjadi di depan mata, selalu kita hadapi dengan membuat hukum baru, maka niscaya tidak akan pernah ada hukum yang kita tegakkan, karena hukum yang tersedia selalu dirasakan tidak mencukupi. Oleh sebab itu, Mahkamah berpendapat bahwa meskipun pembaruan hukum Indonesia yang menyeluruh dewasa ini sungguh sangat mendesak untuk dilakukan dalam upaya membangun sistem hukum yang makin tertib dan berkeadilan, namun tindakan penegakan hukum secara nyata tidak boleh ditunda-tunda karena pertimbangan bahwa hukum yang tersedia tidak sempurna. Keadilan yang ditunda sama dengan keadilan yang diabaikan (justice delayed, justice denied). Preseden kekeliruan seperti diuraikan di atas apabila dibiarkan dapat merusak sendi-sendi negara hukum, karena membenarkan pertimbangan politik dijadikan sebagai panglima yang paling menentukan berlaku tidaknya sesuatu kaidah hukum ke dalam sesuatu peristiwa yang bersifat konkrit dan membiasakan tindakan yang salah yaitu mengatasi suatu peristiwa kejahatan yang bersifat konkrit dengan membuat hukum baru. Preseden semacam itu akan memperlemah upaya perwujudan prinsip negara hukum sebagaimana yang seharusnya ditegakkan berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang secara tegas menyatakan bahwa ”Negara Indonesia adalah negara hukum”. Padahal, hakikat keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai pelembagaan upaya untuk mengawal konstitusi dan menegakkan prinsip supremasi hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia setelah era reformasi, tidak lain ialah upaya untuk memperkuat perwujudan cita-cita Negara Hukum itu.
Bahwa selain dari kelemahan ditinjau dari segi bentuknya, dan juga kekeliruan dari sudut kewenangan pembentuk undang-undang untuk memberlakukan sesuatu kaidah hukum yang bersifat abstrak terhadap sesuatu peristiwa yang bersifat konkrit, dan karena itu bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan kehakiman yang dianut oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan Undang-undang No. 16 Tahun 2003 tersebut memang ternyata dapat dikatakan sebagai undang-undang yang diberlakukan surut (ex post facto law atau rectroactive legislation) sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.               
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas Mahkamah berpendapat permohonan a quo harus dikabulkan, karena Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 bertentangan dengan ketentuan dan semangat Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, dan oleh karena itu Mahkamah harus menyatakan Undang-undang a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Berikut bunyi lengkap amar Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Perkara Nomor 013/PUU-I/2003 :
M E N G A D I L I
§  Mengabulkan permohonan Pemohon untuk pengujian Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
§  Menyatakan bahwa Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 No. 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4285) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
§  Menyatakan bahwa Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 No. 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4285) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

=============

Tidak ada komentar: