Pada akhir tahun 2006, tepatnya tanggal 7 Desember 2006, Majelis Hakim Mahkamak Konstitusi (MK) kembali membuat putusan mengejutkan. Putusan itu ialah pembatalan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR. Putusan MK ini menutup salah satu peluang legal penyelesaian pelanggaran berat HAM diluar mekanisme pengadilan. Artinya korban dan keluarganya atas pelanggaran HAM tersebut kembali hanya dapat berharap dengan mekanisme pengadilan HAM ad hoc sebagaimana yang diatur UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Namun, mekanisme hukum ini bukan suatu yang mudah. Hambatan politik di parlemen dan keengganan pemerintah (Jaksa Agung) membuat mimpi tentang proses hukum selalu terpinggirkan.
Sebelumnya
pihak pemohon hanya meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji sejumlah pasal
dari UU tadi, yang dinilai bertentangan dengan konstitusi Undang-Undang Dasar
1945. Para pemohon yang terdiri dari Kontras, Elsam, SNB, Imparsial, LPKROB,
LPKP serta sejumlah korban pelanggaran HAM meminta MK menguji Pasal 27 dan
Pasal 1 Ayat 9, keduanya soal pemberian amnesti, serta Pasal 44 tentang hak korban
menempuh jalur hukum. Sementara Pemohon kedua, Arukat Djaswadi dan KH, M Yusuf
Hasyim dengan kuasa hukum Sumali, meminta MK menguji Pasal 1 ayat 1, 2, dan
Ayat 5 terkait cara rekonsiliasi.
Menimbang bahwa sebelum memasuki substansi perkara, maka secara mendasar
keputusan pembuat undang-undang yang menentukan kebijakan rekonsiliasi sebagai
satu penyelesaian terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU
Pengadilan HAM, bukan hanya sebagai keputusan politik melainkan sebagai sebuah
mekanisme hukum yang dituangkan dalam satu UU KKR. Hal tersebut menyebabkan
penilaian terhadapnya dilakukan terutama adalah dari prinsip-prinsip hukum dan
konstitusi, yang memuat falsafah dan pandangan hidup bangsa yang merupakan ruh
atau spirit UUD 1945. Di samping itu, diadopsinya Bab XA sebagai bagian dari UUD
1945 dengan perubahan kedua UUD 1945 pada tahun 2000, yang mengandung jaminan
dan perlindungan HAM, juga menyebabkan uji konstitusionalitas UU KKR tersebut
akan didasarkan pada jaminan dan perlindungan HAM yang dianut UUD 1945, dengan
mana akan dipertimbangkan konsistensinya dengan jaminan dan perlindungan HAM
yang menjadi bagian UUD 1945 tersebut.
Menimbang bahwa sebagai satu bangsa yang menyatakan falsafah dan pandangan
hidup berbangsa dan bernegara didasarkan pada Pancasila sebagai cita-hukum
(rechtsidee) dan cita-negara (staatsidee), maka keterbukaan pikiran dan hati
untuk melihatnya haruslah dalam kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang lebih luas, dengan maksud untuk menelusuri kembali pelanggaran HAM yang
berat tersebut untuk mengungkap kebenaran, menegakkan keadilan dan membentuk
budaya menghargai hak asasi manusia sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi dan
persatuan nasional. Hal demikian harus dilakukan dengan pendekatan yang tepat,
dengan lebih dahulu memahami konflik yang terjadi secara objektif meskipun
harus menempuh kemungkinan risiko yang tidak kecil, agar dapat dicapai satu
keadaan yang aman dan damai yang memungkinkan dilaksanakan pembangunan ekonomi,
sosial, dan politik secara optimal, dengan harapan mampu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Di pihak lain, sebagai anggota PBB yang
telah menerima prinsip-prinsip HAM PBB yang sesungguhnya telah termuat dalam
UUD 1945, maka dalam menafsirkan UUD 1945, dokumen-dokumen PBB tentang HAM juga
turut dipertimbangkan oleh Mahkamah;
Menimbang bahwa atas dasar paradigma yang demikian, Mahkamah akan memberi
pendapat terhadap permohonan Pemohon sebagai berikut;
1) Pasal 27 UU
KKR
Pasal 27 tersebut
menentukan bahwa kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana ditentukan oleh Pasal
19, yaitu pemberian kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi, diberikan
apabila permohonan amnesti dikabulkan. Penjelasan pasal tersebut menentukan
bahwa, apabila pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta,
menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada
korban atau keluarga korban sebagai ahli warisnya, pelaku pelanggaran HAM berat
dapat mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden. Apabila permohonan
beralasan, Presiden dapat menerima permohonan tersebut, dan korban diberikan
kompensasi dan/atau rehabilitasi. Sedangkan apabila permohonan amnesti ditolak,
kompensasi dan rehabilitasi tidak diberikan negara, dan perkaranya ditindak
lanjuti untuk diselesaikan berdasarkan ketentuan UU Pengadilan HAM.
Pengaturan ini mengandung kontradiksi antara satu bagian dengan bagian yang
lain, terutama sekali antara bagian yang mengatur:
a. Pelaku telah
mengakui kesalahan, kebenaran fakta dan menyatakan
penyesalan serta kesediaan minta maaf
kepada korban.
b. Pelaku dapat
mengajukan Amnesti kepada Presiden.
c. Permohonan
dapat diterima atau dapat ditolak.
d. Kompensasi dan
atau rehabilitasi hanya diberikan jika amnesti
dikabulkan Presiden.
e. Jika amnesti
ditolak, perkara diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc.
Pencampuradukan dan kontradiksi yang terdapat dalam Pasal 27 UU KKR adalah
menyangkut tekanan yang melihat pada pelaku secara perorangan dalam individual
criminal responsibility, padahal peristiwa pelanggaran HAM sebelum berlakunya
UU Pengadilan HAM, baik pelaku maupun korban serta saksi-saksi lainnya
sungguh-sungguh sudah tidak mudah ditemukan lagi. Rekonsiliasi antara pelaku
dan korban yang dimaksud dalam undang-undang a quo menjadi hampir mustahil
diwujudkan, jika dilakukan dengan pendekatan individual criminal
responsibility. Mestinya dengan pendekatan demikian, yang digantungkan pada
amnesti hanyalah restitusi, yang merupakan ganti rugi yang diberikan oleh
pelaku atau pihak ketiga. Di pihak lain, jika tujuannya adalah rekonsiliasi,
dengan pendekatan yang tidak bersifat individual, maka yang menjadi titik tolak
adalah adanya pelanggaran HAM berat dan adanya korban yang menjadi ukuran untuk
rekonsiliasi dengan memberikan kompensasi dan rehabilitasi. Kedua pendekatan
tersebut, dalam hubungan dengan restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi tidak
dapat digantungkan pada satu pokok masalah yang tidak mempunyai keterkaitan.
Karena, amnesti merupakan hak prerogatif Presiden, yang pengabulan atau
penolakannya tergantung kepada Presiden.
Fakta bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat, yang sesungguhnya
merupakan kewajiban negara untuk menghindari atau mencegahnya, dan timbulnya
korban yang seharusnya HAM-nya dilindungi negara, telah cukup untuk melahirkan
kewajiban hukum baik pada pihak negara maupun individu pelaku yang dapat
diidentifikasi untuk memberikan restitusi, kompensasi, serta rehabilitasi
kepada korban, tanpa persyaratan lain. Penentuan adanya amnesti sebagai syarat,
merupakan hal yang mengesampingkan perlindungan hukum dan keadilan yang dijamin
oleh UUD 1945. Hal
demikian juga merupakan praktik dan kebiasaan secara universal sebagaimana
telah dimuat dalam Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and
Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law
And Serious Violations of International Humanitarian Law, yang menetapkan
adanya adequate, effective and prompt reparation for harm sufferred, yang
dimaksudkan untuk memajukan keadilan dalam penanganan pelanggaran HAM berat,
dengan memberikan reparation yang proporsional sesuai dengan bobot pelanggaran
dan kerugian yang dialami. Hal demikian merupakan tafsiran yang digunakan untuk
melihat Pasal 28A, Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (1), Ayat (4), dan
Ayat (5), sehingga dengan alasan tersebut permohonan Pemohon mengenai Pasal 27
UU KKR cukup beralasan.
2) Pasal 44 UU KKR
Pasal 44 UU KKR berbunyi,
”Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah diungkapkan dan
diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada
Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.”
Dari Penjelasan Umum UU KKR
dapat disimpulkan bahwa tugas KKR adalah untuk mengungkap kebenaran serta
menegakkan keadilan dan untuk membentuk budaya menghargai HAM guna mewujudkan
rekonsiliasi untuk mencapai persatuan nasional, karena adanya pelanggaran HAM
berat sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM. KKR tidak menyangkut proses
penuntutan hukum, tetapi mengatur proses pengungkapan kebenaran, pemberian
restitusi, dan/atau rehabilitasi serta memberi pertimbangan amnesti. Yang
menjadi pertanyaan adalah, apakah KKR merupakan substitusi atau pengganti
pengadilan atau tidak. Penjelasan umum juga secara tegas menentukan bahwa
apabila pelanggaran HAM berat telah diputus oleh KKR, maka Pengadilan HAM Ad
Hoc tidak berwenang memutuskan, kecuali apabila permohonan amnesti ditolak oleh
Presiden. Demikian juga sebaliknya jika Pengadilan HAM Ad Hoc telah memutus,
KKR tidak berwenang memutus. Meskipun dikatakan bahwa KKR hanya merupakan
alternatif terhadap Pengadilan HAM dan bukan merupakan badan penegakan hukum,
maka jelas bahwa dia merupakan satu mekanisme alternative dispute resolution,
yang akan menyelesaikan satu perselisihan HAM secara amicable dan apabila
berhasil akan menutup mekanisme penyelesaian secara hukum. Walaupun dalil-dalil
Pemohon mengutip argumen dan prinsip HAM internasional yang menentang
impunitas, akan tetapi penyelesaian pelanggaran HAM secara demikian telah
diterima dalam praktik internasional, misalnya di Afrika Selatan, dan telah
dikenal pula dalam hukum adat. Ketertutupan proses hukum melalui Pengadilan HAM
Ad Hoc apabila memperoleh penyelesaian di KKR adalah akibat yang logis dari
satu mekanisme alternative dispute resolution sehingga tidak perlu dilihat
sebagai pembenaran impunitas. Karena, pada umumnya, penyelesaian dengan mekanisme
hukum terhadap pelanggaran HAM berat sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM,
telah mengalami kesukaran dengan berlalunya jangka waktu yang lama yang
menyebabkan hilangnya alat-alat bukti untuk dijadikan dasar pembuktian dalam
pendekatan individual criminal responsibility. KKR juga dengan pengaturan dalam
UU KKR, bertujuan untuk menegakkan keadilan sejauh masih dimungkinkan dalam
mekanisme penyelesaian secara alternatif. Oleh karenanya, Mahkamah berpendapat
tidak terlihat dasar dan alasan konstitusional yang cukup untuk mengabulkannya,
terutama karena ketentuan tersebut hanya berlaku untuk pelanggaran HAM berat
yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM;
3) Pasal 1 Angka 9 UU KKR
Pasal 1 Angka 9
UU KKR menetapkan bahwa ”Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh
Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”. Pengertian pelanggaran HAM
berat ditentukan dalam Pasal 1 Angka 4 UU KKR sebagai “pelanggaran hak asasi
manusia sebagaimana ditentukan UU Pengadilan HAM, yang dalam Pasal 7 menyatakan
bahwa pelanggaran HAM berat itu meliputi a. Kejahatan genosida, b. Kejahatan terhadap kemanusiaan.” UU
Pengadilan HAM yang merujuk pada Statute of Rome On International Criminal
Court mengkualifikasikan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
sebagai kejahatan yang paling serius dalam komunitas internasional secara
keseluruhan. Praktik internasional maupun General Comment Komisi HAM PBB
umumnya berpendapat bahwa amnesti tidak diperkenankan dalam pelanggaran HAM
berat. Dikatakan bahwa meskipun KKR dimaksudkan untuk menciptakan kondisi yang
kondusif bagi keberadaan perdamaian dan rekonsiliasi nasional, tapi perlu upaya
yang menentukan batasan terhadap amnesti, yaitu pelaku tidak boleh diuntungkan
oleh amnesti tersebut. Amnesti seyogianya tidak mempunyai akibat hukum
sepanjang menyangkut hak korban untuk memperoleh pemulihan (reparation), dan
lagi pula amnesti tidak boleh diberikan kepada mereka yang melakukan
pelanggaran hak asasi dan hukum humaniter internasional yang merupakan
kejahatan, yang tidak meperbolehkan amnesti dan kekebalan bentuk lainnya.
Meskipun
General Comment dan Laporan Sekjen PBB tersebut belum diterima sebagai hukum
yang mengikat, tampaknya pengertian demikian merupakan muatan UUD 1945 yang
mengatur tentang prinsip-prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia yang dimuat
dalam Pasal 28G Ayat (2) UUD 1945 yaitu hak untuk bebas dari penyiksaan, Pasal
28I Ayat (1) UUD 1945 yaitu hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa, Pasal
28 Ayat (4) dan Ayat (5) UUD 1945 yaitu perlindungan, pemajuan dan pemenuhan
hak asasi manusia yang menjadi tanggung jawab negara. Akan tetapi Pasal 1 Angka
9 tersebut hanya merupakan pengertian atau definisi yang termuat dalam
ketentuan umum, dan bukan merupakan norma yang bersifat mengatur dan berkait
dengan pasal-pasal yang lain, sehingga permohonan Pemohon berkenaan dengan
ketentuan tersebut dikesampingkan dan akan dipertimbangkan lebih lanjut
bersamaan dengan pasal-pasal yang terkait dengan amnesti, sebagaimana akan
diuraikan di bawah;
Menimbang bahwa
meskipun yang dikabulkan dari permohonan hanya Pasal 27 UU KKR, akan tetapi
oleh karena seluruh operasionalisasi UU KKR bergantung dan bermuara pada pasal
yang dikabulkan tersebut, maka dengan dinyatakannya Pasal 27 UU KKR
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,
seluruh ketentuan dalam UU KKR menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan. Hal
ini terjadi karena keberadaan Pasal 27 tersebut berkaitan erat dengan Pasal 1
Angka 9, Pasal 6 huruf c, Pasal 7 Ayat (1) huruf g, Pasal 25 Ayat (1) huruf b,
Pasal 25 Ayat (4), Ayat (5), Ayat (6), Pasal 26, Pasal 28 Ayat (1), dan Pasal
29 UU KKR. Padahal, keberadaan Pasal 27 dan pasal yang terkait dengan Pasal 27
UU KKR itu merupakan pasal-pasal yang sangat menentukan bekerja atau tidaknya
keseluruhan ketentuan dalam UU KKR sehingga dengan menyatakan tidak mengikatnya
secara hukum Pasal 27 UU KKR, maka implikasi hukumnya akan mengakibatkan
seluruh pasal berkaitan dengan amnesti tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menimbang bahwa
hal dimaksud dapat dilakukan dan tidak melanggar hukum acara, meskipun
permohonan (petitum) yang diajukan Pemohon hanya menyangkut Pasal 1 Angka 9,
Pasal 27, dan Pasal 44 UU KKR, karena pada dasarnya hukum acara yang berkaitan
dengan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 menyangkut
kepentingan umum yang akibat hukumnya bersifat erga omnes, sehingga tidak tepat
untuk melihatnya sebagai hal yang bersifat ultra petita yang dikenal dalam konsep
hukum perdata. Larangan untuk mengadili dan memutus melebihi apa yang dituntut
(petitum) termuat dalam Pasal 178 Ayat (2) dan (3) HIR serta padanannya dalam
Pasal 189 Ayat (2) dan (3) RBg, yang merupakan hukum acara yang berlaku di
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama di Indonesia. Hal demikian dapat
dipahami, karena inisiatif untuk mempertahankan atau tidak satu hak yang
bersifat privat yang dimiliki individu atau orang perorangan terletak pada
kehendak atau pertimbangan orang perorangan tersebut, yang tidak dapat
dilampaui. Akan tetapi meskipun demikian, perkembangan yang terjadi dan karena
kebutuhan kemasyarakatan, menyebabkan aturan demikian juga tidak diperlakukan
lagi secara mutlak. Pertimbangan keadilan dan kepantasan telah dijadikan juga
alasan, sebagaimana tampak antara lain dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 23
Mei 1970, tanggal 4 Februari 1970, dan tanggal 8 Januari 1972 serta putusan
lain yang lebih, kemudian di mana ditegaskan bahwa Pasal 178 Ayat (2) dan (3)
HIR serta Pasal 189 Ayat (2) dan (3) RBg tidak berlaku secara mutlak karena
adanya kewajiban Hakim untuk bersikap aktif dan selalu harus berusaha
memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara. Lagi pula dalam
gugatan perdata biasanya dicantumkan permohonan Penggugat kepada Hakim untuk
menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Dengan
demikian, Hakim memiliki keleluasaan untuk menjatuhkan putusan lebih dari
petitum. Terlebih lagi bagi Hakim Konstitusi yang menjalankan hukum acara dalam
perkara pengujian undang-undang yang terkait dengan kepentingan umum. Meskipun
yang mengajukan permohonan pengujian suatu undang-undang adalah perorangan yang
dipandang memiliki legal standing, akan tetapi undang-undang yang dimohonkan
pengujian tersebut berlaku umum dan menyangkut kepentingan masyarakat luas,
serta menimbulkan akibat hukum yang lebih luas dari pada sekadar mengenai
kepentingan Pemohon sebagai perorangan. Apabila kepentingan umum dimaksud
menghendakinya, Hakim Konstitusi tidak boleh terpaku hanya pada permohonan atau
petitum yang diajukan. Hal demikian juga menjadi praktik yang lazim diterapkan
di Mahkamah Konstitusi negara lain. Misalnya, Pasal 45 UU Mahkamah Konstitusi Korea Selatan
(1987) berbunyi, ”The Constitutional Court shall decide only whether or not the
requested statute or any provision of the statute is unconstitutional:
Provided, That if it is deemed that the whole provisions of the statute are
unable to enforce due to a decision of unconstitutionality of the requested
provision, a decision of unconstitutionality may be made on the whole statute”
(Mahkamah Konstitusi memutus konstitusional tidaknya suatu undang-undang atau
suatu ketentuan dari undang-undang hanya yang dimohonkan pengujian. Dalam hal
seluruh ketentuan dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian dinilai tidak
dapat dilaksanakan sebagai akibat dari putusan inkonstituionalnya pasal yang
dimohonkan, maka putusan tentang inkonstitusionalitas dapat dijatuhkan terhadap
keseluruhan undang-undang tersebut). Mahkamah pun telah menerapkan hal tersebut,
misalnya Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 mengenai Pengujian
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan;
Menimbang bahwa
di samping itu perlu diperhatikan hal-hal berikut yang dijumpai dalam UU KKR :
1. Bahwa KKR berwenang
untuk menerima pengaduan, mengumpul informasi dan bukti-bukti pelanggaran HAM
berat, memanggil saksi dan kemudian mengklarifikasi pelaku/korban, menentukan
kategori HAM berat dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 18 UU KKR), menarik kesimpulan
tentang adanya pelanggaran HAM berat, siapa pelaku dan korban, serta adanya
permintaan maaf, yang dalam penjelasan umum UU KKR dikatakan adalah dalam
bentuk Putusan KKR yang bersifat final dan mengikat. Kalau Keputusan KKR berisi
pengabulan kompensasi, restitusi dan atau rehabilitasi [Pasal 25 Ayat (1) huruf
a], maka putusan yang final dan mengikat tersebut tidak mempunyai daya ikat
(binding force) kalau amnesti ditolak. Pelaku dan korban atau Pemerintah juga
tidak terikat dengan putusan yang digantungkan atas syarat amnesti tersebut. Dengan
demikian, kewenangan KKR merupakan satu hal yang tidak pasti.
2. Pasal 28 Ayat
(1) menyatakan dalam hal antara pelaku dan korban pelanggaran HAM berat telah
saling memaafkan dan melakukan perdamaian, maka KKR dapat memberikan
rekomendasi kepada Presiden untuk memberikan amnesti. Akan tetapi Pasal 29 Ayat
(1) menyatakan dalam hal pelaku dan korban saling memaafkan, rekomendasi
amnesti wajib diputuskan oleh KKR. Dengan digunakannya kata dapat dalam Pasal
28 Ayat (1) dan kata wajib dalam Pasal 29 Ayat (1), maka tidak ada konsistensi
dalam UU KKR yang menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).
3. Jikalau pelaku
mengakui kebenaran fakta, menyesal dan bersedia minta maaf kepada korban,
tetapi korban tidak memaafkan maka KKR memutus pemberian amnesti secara mandiri
dan objektif. Keadaan ini merupakan sesuatu yang tidak memberikan dorongan bagi
pengungkapan kebenaran dan justru menyebabkan tidak akan adanya pihak yang
bersedia mengungkapkan kebenaran dan mengakui fakta yang sebenarnya.
4. Jika pelaku
tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahan dan tidak bersedia menyesali
maka pelaku akan kehilangan hak mendapat amnesti dan yang bersangkutan akan
diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc. Dalam kasus demikian ada kemungkinan akan
terjadi sengketa kewenangan antara KKR dan DPR, karena Pasal 42 dan 43 UU Tahun
2000, menyatakan untuk menentukan adanya pelanggaran HAM berat yang diduga
terjadi, untuk diadili oleh Pengadilan HAM Ad Hoc harus melalui keputusan
politik DPR. Apakah dalam hal demikian wewenang KKR berdasar Pasal 23 UU KKR
yang telah melakukan klarifikasi pelaku dan korban tentang pelanggaran HAM
berat, yang menurut UU KKR dilakukan dengan bentuk keputusan, yang bersifat
final dan mengikat, menjadi kehilangan daya laku, atau putusan KKR tentang
adanya pelanggaran HAM berat demikian telah cukup untuk membawa kasus tersebut
untuk diadili di depan Pengadilan HAM Ad Hoc tanpa memerlukan putusan DPR. Rekonsiliasi
membuka peluang alternatif bagi pelaku untuk mengakui perbuatannya tanpa
berhadapan dengan proses hukum biasa. Pelaku mempunyai kesempatan untuk
mempertimbangkan sikapnya terhadap kasus yang melibatkannya.
UU KKR tidak memberikan kepastian terhadap pelaku yang akan memilih KKR
untuk menyelesaikan kasusnya. Pasal 28 Ayat (1) UU KKR menyatakan dalam hal
antara pelaku dan korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi
pada masa sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM telah saling memaafkan dan
melakukan perdamaian, maka Komisi dapat memberikan rekomendasi kepada Presiden
untuk memberikan amnesti. Dari ketentuan Pasal 1 angka 2 UU KKR dapat
disimpulkan bahwa untuk adanya rekonsiliasi harus dipenuhi; (1) pengungkapan
kebenaran, (2) pengakuan, (3) pengampunan. Sehingga, apabila ketiga hal
tersebut tidak dapat dipastikan dipenuhi maka rekonsiliasi tidak akan ada.
Apabila suatu kasus tidak terungkap kebenarannya yaitu baik tentang peristiwa,
tempat, waktu, dan pelaku maka jelas rekonsiliasi tidak mungkin dilakukan. UU
KKR tidak memuat ketentuan yang secara langsung menyatakan bahwa ditolaknya
amnesti akan menyebabkan pelaku dapat diproses secara hukum, melainkan
menentukan bahwa penolakan terhadap amnesti menyebabkan pelaku harus
bertanggung jawab secara hukum atas perbuatannya. Dari keseluruhan uraian tersebut
jelas bahwa UU KKR tidak mendorong pelaku untuk menyelesaikan perkaranya
melalui KKR, karena mengandung banyak ketidakpastian hukum. Sementara itu,
apabila korban atau ahli warisnya, karena tidak bersedia memaafkan, dapat saja
kemudian melaporkan pelaku kepada aparat hukum berdasarkan bukti-bukti
pengakuan yang dibuat oleh pelaku. Karena ketentuan ini membuka peluang
terjadinya pengakuan yang memberatkan dirinya sendiri (self-incrimination),
maka akan sulit mengharapkan terjadinya rekonsiliasi yang menjadi tujuan UU
KKR. UU KKR tidak dengan tegas mengatur apakah suatu proses rekonsiliasi dapat
terjadi tanpa adanya pemberian maaf oleh korban atau ahli warisnya. Ketentuan
Pasal 29 Ayat (2) UU KKR dapat menimbulkan persoalan pada kasus di mana justru
korban yang berinisiatif untuk mengadukan/melapor ke KKR. Seharusnya sudah
sejak dari awal, yaitu pada saat korban memilih jalur KKR untuk menyelesaikan
kasusnya, korban telah memiliki kehendak untuk bersedia memaafkan pelaku.
Apabila korban tidak memiliki kehendak untuk memaafkan pelaku maka proses
peradilan merupakan alternatif yang disediakan dan bukan melalui jalur
rekonsiliasi. Dengan kata lain, dalam rekonsiliasi dibutuhkan kesediaan yang
bersifat timbal balik, baik dari pelaku maupun dari korban.
5. Terhadap
pengaduan yang disertai dengan permohonan untuk mendapatkan kompensasi,
restitusi, rehabilitasi, atau amnesti, komisi wajib memberi keputusan dalam
jangka waktu paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan (Pasal 24 UU KKR).
Menjadi
pertanyaan apakah materi yang harus diputus oleh Komisi dalam jangka 90 hari,
termasuk juga putusan tentang pengungkapan “kebenaran atas pelanggaran HAM
berat“ (vide Pasal 1 angka 3 dan Pasal 5 UU KKR).
Pasal 25 Ayat (1)
menyatakan bahwa Keputusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dapat
berupa:
a. mengabulkan
atau menolak untuk memberikan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi,
atau
b. memberikan
rekomendasi berupa pertimbangan hukum dalam hal permohonan amnesti.
Dengan adanya rumusan Pasal 25 Ayat (1) tersebut yang wajib diputus oleh
Komisi dalam jangka 90 hari adalah permohonan untuk mendapatkan kompensasi,
restitusi, rehabilitasi, atau amnesti. Ketentuan tersebut dilengkapi dengan
Pasal 25 Ayat (3), (4), (5), dan (6), serta Pasal 26 yang menetapkan jangka
waktu proses pengambilan putusan terhadap permohonan amnesti. Sedangkan untuk
memutuskan hasil temuannya yaitu yang berupa pengungkapan kebenaran tentang
adanya pelanggaran HAM berat UU KKR tidak menentukan batas waktu. Dengan adanya
batasan waktu untuk memutus permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan
amnesti dalam jangka 90 hari, apabila jangka waktu tersebut telah terlewati
sedangkan pengungkapan kebenaran masih dalam proses penyidikan dan klarifikasi
yang memerlukan waktu lebih dari 90 hari apakah permohonan kompensasi,
restitusi, rehabilitasi dan amnesti harus diputus lebih dahulu. Sebuah
pengaduan atau laporan dapat disampaikan kepada Komisi, dan setelah adanya
pengaduan tersebut Komisi harus melakukan penyelidikan dan klarifikasi baik
terhadap peristiwanya sendiri maupun pelakunya.
Pasal 24 berisi ketentuan yang mengatur apabila Komisi telah menerima
pengaduan atau laporan pelanggaran HAM berat, yang disertai permohonan amnesti,
kata “disertai” diartikan bahwa permohonan tersebut diajukan bersamaan dengan
pengaduan atau laporan pelanggaran HAM berat. Persoalannya adalah, amnesti
hanya mungkin kalau telah jelas siapa pelaku pelanggaran HAM berat, dan kepada
pelaku diberi hak untuk mengajukan atau memohon amnesti, sedangkan hak
menentukan ada pada Presiden. Bagaimana dapat terjadi dalam waktu yang
bersamaan pelaku yang belum terklarifikasi dapat menyertakan permohonan
amnesti. Pelaku pelanggaran baru dapat ditentukan setelah KKR mengungkapkan
kebenaran adanya pelanggaran HAM berat yang di dalam pengungkapan tersebut
ditemukan pula pelakunya. Dengan demikian Pasal 24 ini menimbulkan kerancuan
yang dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum karena di dalam pasal ini termuat
batasan waktu 90 hari. Amnesti baru dapat dimohon, direkomendasikan, dan
diberikan kalau sudah diketahui dengan pasti siapa pelaku pelanggaran.
Kemungkinan terungkapnya pelaku sejak awal dapat terjadi apabila terdapat
“pengakuan“ tentang pelanggaran HAM berat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 23
huruf a, atau apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28. Pasal 24 prosesnya berbeda dengan Pasal 23
huruf a. Pasal 24 prosesnya berdasarkan Pasal 18 Ayat (1) huruf a, yaitu
menjadi kewenangan subkomisi penyelidikan dan klarifikasi, artinya korbanlah
yang aktif melakukan pengaduan atau laporan. Sedangkan Pasal 23 huruf a, di
mana pelaku aktif membuat “pengakuan” menjadi wewenang dari subkomisi
pertimbangan amnesti. Dengan demikian, secara juridis tidak logis, jika permohonan
kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan amnesti diajukan bersama-sama dengan
pengaduan atau laporan, yang wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 90
hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud Pasal
24 UU KKR.
Menimbang bahwa semua fakta dan keadaan ini menyebabkan tidak adanya
kepastian hukum, baik dalam rumusan normanya maupun kemungkinan pelaksanaan
normanya di lapangan untuk mencapai tujuan rekonsiliasi yang diharapkan. Dengan
memperhatikan pertimbangan yang telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat
bahwa asas dan tujuan KKR, sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3
undang-undang a quo, tidak mungkin dapat diwujudkan karena tidak adanya jaminan
kepastian hukum (rechtsonzekerheid). Oleh karena itu, Mahkamah menilai
undang-undang a quo secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga
harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan dinyatakannya
UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, tidak
berarti Mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu
melalui upaya rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara
lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum
(undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku
secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik
dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.
Mengingat Pasal 56 Ayat (2) dan Ayat (3) serta Pasal 57 Ayat (1) dan Ayat
(3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
MENGADILI
- Mengabulkan
Permohonan para Pemohon;
- Menyatakan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004
Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi
bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945.
- Menyatakan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004
tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi
tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
- Memerintahkan
pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Link Putusan >>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar