Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Senin, 20 April 2015

Konstitusionalitas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi


Pada akhir tahun 2006, tepatnya tanggal 7 Desember 2006, Majelis Hakim Mahkamak Konstitusi (MK) kembali membuat putusan mengejutkan. Putusan itu ialah pembatalan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR. Putusan MK ini menutup salah satu peluang legal penyelesaian pelanggaran berat HAM diluar mekanisme pengadilan. Artinya korban dan keluarganya atas pelanggaran HAM tersebut kembali hanya dapat berharap dengan mekanisme pengadilan HAM ad hoc sebagaimana yang diatur UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Namun, mekanisme hukum ini bukan suatu yang mudah. Hambatan politik di parlemen dan keengganan pemerintah (Jaksa Agung) membuat mimpi tentang proses hukum selalu terpinggirkan.
Sebelumnya pihak pemohon hanya meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji sejumlah pasal dari UU tadi, yang dinilai bertentangan dengan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Para pemohon yang terdiri dari Kontras, Elsam, SNB, Imparsial, LPKROB, LPKP serta sejumlah korban pelanggaran HAM meminta MK menguji Pasal 27 dan Pasal 1 Ayat 9, keduanya soal pemberian amnesti, serta Pasal 44 tentang hak korban menempuh jalur hukum. Sementara Pemohon kedua, Arukat Djaswadi dan KH, M Yusuf Hasyim dengan kuasa hukum Sumali, meminta MK menguji Pasal 1 ayat 1, 2, dan Ayat 5 terkait cara rekonsiliasi.



Adapun pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut :
Menimbang bahwa sebelum memasuki substansi perkara, maka secara mendasar keputusan pembuat undang-undang yang menentukan kebijakan rekonsiliasi sebagai satu penyelesaian terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM, bukan hanya sebagai keputusan politik melainkan sebagai sebuah mekanisme hukum yang dituangkan dalam satu UU KKR. Hal tersebut menyebabkan penilaian terhadapnya dilakukan terutama adalah dari prinsip-prinsip hukum dan konstitusi, yang memuat falsafah dan pandangan hidup bangsa yang merupakan ruh atau spirit UUD 1945. Di samping itu, diadopsinya Bab XA sebagai bagian dari UUD 1945 dengan perubahan kedua UUD 1945 pada tahun 2000, yang mengandung jaminan dan perlindungan HAM, juga menyebabkan uji konstitusionalitas UU KKR tersebut akan didasarkan pada jaminan dan perlindungan HAM yang dianut UUD 1945, dengan mana akan dipertimbangkan konsistensinya dengan jaminan dan perlindungan HAM yang menjadi bagian UUD 1945 tersebut.
Menimbang bahwa sebagai satu bangsa yang menyatakan falsafah dan pandangan hidup berbangsa dan bernegara didasarkan pada Pancasila sebagai cita-hukum (rechtsidee) dan cita-negara (staatsidee), maka keterbukaan pikiran dan hati untuk melihatnya haruslah dalam kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lebih luas, dengan maksud untuk menelusuri kembali pelanggaran HAM yang berat tersebut untuk mengungkap kebenaran, menegakkan keadilan dan membentuk budaya menghargai hak asasi manusia sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional. Hal demikian harus dilakukan dengan pendekatan yang tepat, dengan lebih dahulu memahami konflik yang terjadi secara objektif meskipun harus menempuh kemungkinan risiko yang tidak kecil, agar dapat dicapai satu keadaan yang aman dan damai yang memungkinkan dilaksanakan pembangunan ekonomi, sosial, dan politik secara optimal, dengan harapan mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Di pihak lain, sebagai anggota PBB yang telah menerima prinsip-prinsip HAM PBB yang sesungguhnya telah termuat dalam UUD 1945, maka dalam menafsirkan UUD 1945, dokumen-dokumen PBB tentang HAM juga turut dipertimbangkan oleh Mahkamah;
Menimbang bahwa atas dasar paradigma yang demikian, Mahkamah akan memberi pendapat terhadap permohonan Pemohon sebagai berikut;
1) Pasal 27 UU KKR
Pasal 27 tersebut menentukan bahwa kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana ditentukan oleh Pasal 19, yaitu pemberian kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi, diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan. Penjelasan pasal tersebut menentukan bahwa, apabila pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban sebagai ahli warisnya, pelaku pelanggaran HAM berat dapat mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden. Apabila permohonan beralasan, Presiden dapat menerima permohonan tersebut, dan korban diberikan kompensasi dan/atau rehabilitasi. Sedangkan apabila permohonan amnesti ditolak, kompensasi dan rehabilitasi tidak diberikan negara, dan perkaranya ditindak lanjuti untuk diselesaikan berdasarkan ketentuan UU Pengadilan HAM.
Pengaturan ini mengandung kontradiksi antara satu bagian dengan bagian yang lain, terutama sekali antara bagian yang mengatur:
a. Pelaku telah mengakui kesalahan, kebenaran fakta dan menyatakan  
    penyesalan serta kesediaan minta maaf kepada korban.
b. Pelaku dapat mengajukan Amnesti kepada Presiden.
c. Permohonan dapat diterima atau dapat ditolak.
d. Kompensasi dan atau rehabilitasi hanya diberikan jika amnesti  
    dikabulkan Presiden.
e. Jika amnesti ditolak, perkara diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc.
Pencampuradukan dan kontradiksi yang terdapat dalam Pasal 27 UU KKR adalah menyangkut tekanan yang melihat pada pelaku secara perorangan dalam individual criminal responsibility, padahal peristiwa pelanggaran HAM sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM, baik pelaku maupun korban serta saksi-saksi lainnya sungguh-sungguh sudah tidak mudah ditemukan lagi. Rekonsiliasi antara pelaku dan korban yang dimaksud dalam undang-undang a quo menjadi hampir mustahil diwujudkan, jika dilakukan dengan pendekatan individual criminal responsibility. Mestinya dengan pendekatan demikian, yang digantungkan pada amnesti hanyalah restitusi, yang merupakan ganti rugi yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga. Di pihak lain, jika tujuannya adalah rekonsiliasi, dengan pendekatan yang tidak bersifat individual, maka yang menjadi titik tolak adalah adanya pelanggaran HAM berat dan adanya korban yang menjadi ukuran untuk rekonsiliasi dengan memberikan kompensasi dan rehabilitasi. Kedua pendekatan tersebut, dalam hubungan dengan restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi tidak dapat digantungkan pada satu pokok masalah yang tidak mempunyai keterkaitan. Karena, amnesti merupakan hak prerogatif Presiden, yang pengabulan atau penolakannya tergantung kepada Presiden. 
Fakta bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat, yang sesungguhnya merupakan kewajiban negara untuk menghindari atau mencegahnya, dan timbulnya korban yang seharusnya HAM-nya dilindungi negara, telah cukup untuk melahirkan kewajiban hukum baik pada pihak negara maupun individu pelaku yang dapat diidentifikasi untuk memberikan restitusi, kompensasi, serta rehabilitasi kepada korban, tanpa persyaratan lain. Penentuan adanya amnesti sebagai syarat, merupakan hal yang mengesampingkan perlindungan hukum dan keadilan yang dijamin oleh UUD 1945. Hal demikian juga merupakan praktik dan kebiasaan secara universal sebagaimana telah dimuat dalam Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law And Serious Violations of International Humanitarian Law, yang menetapkan adanya adequate, effective and prompt reparation for harm sufferred, yang dimaksudkan untuk memajukan keadilan dalam penanganan pelanggaran HAM berat, dengan memberikan reparation yang proporsional sesuai dengan bobot pelanggaran dan kerugian yang dialami. Hal demikian merupakan tafsiran yang digunakan untuk melihat Pasal 28A, Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (1), Ayat (4), dan Ayat (5), sehingga dengan alasan tersebut permohonan Pemohon mengenai Pasal 27 UU KKR cukup beralasan.
2) Pasal 44 UU KKR
Pasal 44 UU KKR berbunyi, ”Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.”
Dari Penjelasan Umum UU KKR dapat disimpulkan bahwa tugas KKR adalah untuk mengungkap kebenaran serta menegakkan keadilan dan untuk membentuk budaya menghargai HAM guna mewujudkan rekonsiliasi untuk mencapai persatuan nasional, karena adanya pelanggaran HAM berat sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM. KKR tidak menyangkut proses penuntutan hukum, tetapi mengatur proses pengungkapan kebenaran, pemberian restitusi, dan/atau rehabilitasi serta memberi pertimbangan amnesti. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah KKR merupakan substitusi atau pengganti pengadilan atau tidak. Penjelasan umum juga secara tegas menentukan bahwa apabila pelanggaran HAM berat telah diputus oleh KKR, maka Pengadilan HAM Ad Hoc tidak berwenang memutuskan, kecuali apabila permohonan amnesti ditolak oleh Presiden. Demikian juga sebaliknya jika Pengadilan HAM Ad Hoc telah memutus, KKR tidak berwenang memutus. Meskipun dikatakan bahwa KKR hanya merupakan alternatif terhadap Pengadilan HAM dan bukan merupakan badan penegakan hukum, maka jelas bahwa dia merupakan satu mekanisme alternative dispute resolution, yang akan menyelesaikan satu perselisihan HAM secara amicable dan apabila berhasil akan menutup mekanisme penyelesaian secara hukum. Walaupun dalil-dalil Pemohon mengutip argumen dan prinsip HAM internasional yang menentang impunitas, akan tetapi penyelesaian pelanggaran HAM secara demikian telah diterima dalam praktik internasional, misalnya di Afrika Selatan, dan telah dikenal pula dalam hukum adat. Ketertutupan proses hukum melalui Pengadilan HAM Ad Hoc apabila memperoleh penyelesaian di KKR adalah akibat yang logis dari satu mekanisme alternative dispute resolution sehingga tidak perlu dilihat sebagai pembenaran impunitas. Karena, pada umumnya, penyelesaian dengan mekanisme hukum terhadap pelanggaran HAM berat sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM, telah mengalami kesukaran dengan berlalunya jangka waktu yang lama yang menyebabkan hilangnya alat-alat bukti untuk dijadikan dasar pembuktian dalam pendekatan individual criminal responsibility. KKR juga dengan pengaturan dalam UU KKR, bertujuan untuk menegakkan keadilan sejauh masih dimungkinkan dalam mekanisme penyelesaian secara alternatif. Oleh karenanya, Mahkamah berpendapat tidak terlihat dasar dan alasan konstitusional yang cukup untuk mengabulkannya, terutama karena ketentuan tersebut hanya berlaku untuk pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM;
3) Pasal 1 Angka 9 UU KKR
Pasal 1 Angka 9 UU KKR menetapkan bahwa ”Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”. Pengertian pelanggaran HAM berat ditentukan dalam Pasal 1 Angka 4 UU KKR sebagai “pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana ditentukan UU Pengadilan HAM, yang dalam Pasal 7 menyatakan bahwa pelanggaran HAM berat itu meliputi a. Kejahatan genosida,  b. Kejahatan terhadap kemanusiaan.” UU Pengadilan HAM yang merujuk pada Statute of Rome On International Criminal Court mengkualifikasikan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai kejahatan yang paling serius dalam komunitas internasional secara keseluruhan. Praktik internasional maupun General Comment Komisi HAM PBB umumnya berpendapat bahwa amnesti tidak diperkenankan dalam pelanggaran HAM berat. Dikatakan bahwa meskipun KKR dimaksudkan untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi keberadaan perdamaian dan rekonsiliasi nasional, tapi perlu upaya yang menentukan batasan terhadap amnesti, yaitu pelaku tidak boleh diuntungkan oleh amnesti tersebut. Amnesti seyogianya tidak mempunyai akibat hukum sepanjang menyangkut hak korban untuk memperoleh pemulihan (reparation), dan lagi pula amnesti tidak boleh diberikan kepada mereka yang melakukan pelanggaran hak asasi dan hukum humaniter internasional yang merupakan kejahatan, yang tidak meperbolehkan amnesti dan kekebalan bentuk lainnya.
Meskipun General Comment dan Laporan Sekjen PBB tersebut belum diterima sebagai hukum yang mengikat, tampaknya pengertian demikian merupakan muatan UUD 1945 yang mengatur tentang prinsip-prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia yang dimuat dalam Pasal 28G Ayat (2) UUD 1945 yaitu hak untuk bebas dari penyiksaan, Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 yaitu hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa, Pasal 28 Ayat (4) dan Ayat (5) UUD 1945 yaitu perlindungan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia yang menjadi tanggung jawab negara. Akan tetapi Pasal 1 Angka 9 tersebut hanya merupakan pengertian atau definisi yang termuat dalam ketentuan umum, dan bukan merupakan norma yang bersifat mengatur dan berkait dengan pasal-pasal yang lain, sehingga permohonan Pemohon berkenaan dengan ketentuan tersebut dikesampingkan dan akan dipertimbangkan lebih lanjut bersamaan dengan pasal-pasal yang terkait dengan amnesti, sebagaimana akan diuraikan di bawah;
Menimbang bahwa meskipun yang dikabulkan dari permohonan hanya Pasal 27 UU KKR, akan tetapi oleh karena seluruh operasionalisasi UU KKR bergantung dan bermuara pada pasal yang dikabulkan tersebut, maka dengan dinyatakannya Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, seluruh ketentuan dalam UU KKR menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan. Hal ini terjadi karena keberadaan Pasal 27 tersebut berkaitan erat dengan Pasal 1 Angka 9, Pasal 6 huruf c, Pasal 7 Ayat (1) huruf g, Pasal 25 Ayat (1) huruf b, Pasal 25 Ayat (4), Ayat (5), Ayat (6), Pasal 26, Pasal 28 Ayat (1), dan Pasal 29 UU KKR. Padahal, keberadaan Pasal 27 dan pasal yang terkait dengan Pasal 27 UU KKR itu merupakan pasal-pasal yang sangat menentukan bekerja atau tidaknya keseluruhan ketentuan dalam UU KKR sehingga dengan menyatakan tidak mengikatnya secara hukum Pasal 27 UU KKR, maka implikasi hukumnya akan mengakibatkan seluruh pasal berkaitan dengan amnesti tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menimbang bahwa hal dimaksud dapat dilakukan dan tidak melanggar hukum acara, meskipun permohonan (petitum) yang diajukan Pemohon hanya menyangkut Pasal 1 Angka 9, Pasal 27, dan Pasal 44 UU KKR, karena pada dasarnya hukum acara yang berkaitan dengan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 menyangkut kepentingan umum yang akibat hukumnya bersifat erga omnes, sehingga tidak tepat untuk melihatnya sebagai hal yang bersifat ultra petita yang dikenal dalam konsep hukum perdata. Larangan untuk mengadili dan memutus melebihi apa yang dituntut (petitum) termuat dalam Pasal 178 Ayat (2) dan (3) HIR serta padanannya dalam Pasal 189 Ayat (2) dan (3) RBg, yang merupakan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama di Indonesia. Hal demikian dapat dipahami, karena inisiatif untuk mempertahankan atau tidak satu hak yang bersifat privat yang dimiliki individu atau orang perorangan terletak pada kehendak atau pertimbangan orang perorangan tersebut, yang tidak dapat dilampaui. Akan tetapi meskipun demikian, perkembangan yang terjadi dan karena kebutuhan kemasyarakatan, menyebabkan aturan demikian juga tidak diperlakukan lagi secara mutlak. Pertimbangan keadilan dan kepantasan telah dijadikan juga alasan, sebagaimana tampak antara lain dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 23 Mei 1970, tanggal 4 Februari 1970, dan tanggal 8 Januari 1972 serta putusan lain yang lebih, kemudian di mana ditegaskan bahwa Pasal 178 Ayat (2) dan (3) HIR serta Pasal 189 Ayat (2) dan (3) RBg tidak berlaku secara mutlak karena adanya kewajiban Hakim untuk bersikap aktif dan selalu harus berusaha memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara. Lagi pula dalam gugatan perdata biasanya dicantumkan permohonan Penggugat kepada Hakim untuk menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Dengan demikian, Hakim memiliki keleluasaan untuk menjatuhkan putusan lebih dari petitum. Terlebih lagi bagi Hakim Konstitusi yang menjalankan hukum acara dalam perkara pengujian undang-undang yang terkait dengan kepentingan umum. Meskipun yang mengajukan permohonan pengujian suatu undang-undang adalah perorangan yang dipandang memiliki legal standing, akan tetapi undang-undang yang dimohonkan pengujian tersebut berlaku umum dan menyangkut kepentingan masyarakat luas, serta menimbulkan akibat hukum yang lebih luas dari pada sekadar mengenai kepentingan Pemohon sebagai perorangan. Apabila kepentingan umum dimaksud menghendakinya, Hakim Konstitusi tidak boleh terpaku hanya pada permohonan atau petitum yang diajukan. Hal demikian juga menjadi praktik yang lazim diterapkan di Mahkamah Konstitusi negara lain. Misalnya, Pasal 45 UU Mahkamah Konstitusi Korea Selatan (1987) berbunyi, ”The Constitutional Court shall decide only whether or not the requested statute or any provision of the statute is unconstitutional: Provided, That if it is deemed that the whole provisions of the statute are unable to enforce due to a decision of unconstitutionality of the requested provision, a decision of unconstitutionality may be made on the whole statute” (Mahkamah Konstitusi memutus konstitusional tidaknya suatu undang-undang atau suatu ketentuan dari undang-undang hanya yang dimohonkan pengujian. Dalam hal seluruh ketentuan dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian dinilai tidak dapat dilaksanakan sebagai akibat dari putusan inkonstituionalnya pasal yang dimohonkan, maka putusan tentang inkonstitusionalitas dapat dijatuhkan terhadap keseluruhan undang-undang tersebut). Mahkamah pun telah menerapkan hal tersebut, misalnya Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 mengenai Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan;
Menimbang bahwa di samping itu perlu diperhatikan hal-hal berikut yang dijumpai dalam UU KKR :
1. Bahwa KKR berwenang untuk menerima pengaduan, mengumpul informasi dan bukti-bukti pelanggaran HAM berat, memanggil saksi dan kemudian mengklarifikasi pelaku/korban, menentukan kategori HAM berat dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 18 UU KKR), menarik kesimpulan tentang adanya pelanggaran HAM berat, siapa pelaku dan korban, serta adanya permintaan maaf, yang dalam penjelasan umum UU KKR dikatakan adalah dalam bentuk Putusan KKR yang bersifat final dan mengikat. Kalau Keputusan KKR berisi pengabulan kompensasi, restitusi dan atau rehabilitasi [Pasal 25 Ayat (1) huruf a], maka putusan yang final dan mengikat tersebut tidak mempunyai daya ikat (binding force) kalau amnesti ditolak. Pelaku dan korban atau Pemerintah juga tidak terikat dengan putusan yang digantungkan atas syarat amnesti tersebut. Dengan demikian, kewenangan KKR merupakan satu hal yang tidak pasti.
2. Pasal 28 Ayat (1) menyatakan dalam hal antara pelaku dan korban pelanggaran HAM berat telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian, maka KKR dapat memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk memberikan amnesti. Akan tetapi Pasal 29 Ayat (1) menyatakan dalam hal pelaku dan korban saling memaafkan, rekomendasi amnesti wajib diputuskan oleh KKR. Dengan digunakannya kata dapat dalam Pasal 28 Ayat (1) dan kata wajib dalam Pasal 29 Ayat (1), maka tidak ada konsistensi dalam UU KKR yang menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).
3. Jikalau pelaku mengakui kebenaran fakta, menyesal dan bersedia minta maaf kepada korban, tetapi korban tidak memaafkan maka KKR memutus pemberian amnesti secara mandiri dan objektif. Keadaan ini merupakan sesuatu yang tidak memberikan dorongan bagi pengungkapan kebenaran dan justru menyebabkan tidak akan adanya pihak yang bersedia mengungkapkan kebenaran dan mengakui fakta yang sebenarnya.
4. Jika pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahan dan tidak bersedia menyesali maka pelaku akan kehilangan hak mendapat amnesti dan yang bersangkutan akan diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc. Dalam kasus demikian ada kemungkinan akan terjadi sengketa kewenangan antara KKR dan DPR, karena Pasal 42 dan 43 UU Tahun 2000, menyatakan untuk menentukan adanya pelanggaran HAM berat yang diduga terjadi, untuk diadili oleh Pengadilan HAM Ad Hoc harus melalui keputusan politik DPR. Apakah dalam hal demikian wewenang KKR berdasar Pasal 23 UU KKR yang telah melakukan klarifikasi pelaku dan korban tentang pelanggaran HAM berat, yang menurut UU KKR dilakukan dengan bentuk keputusan, yang bersifat final dan mengikat, menjadi kehilangan daya laku, atau putusan KKR tentang adanya pelanggaran HAM berat demikian telah cukup untuk membawa kasus tersebut untuk diadili di depan Pengadilan HAM Ad Hoc tanpa memerlukan putusan DPR. Rekonsiliasi membuka peluang alternatif bagi pelaku untuk mengakui perbuatannya tanpa berhadapan dengan proses hukum biasa. Pelaku mempunyai kesempatan untuk mempertimbangkan sikapnya terhadap kasus yang melibatkannya.
UU KKR tidak memberikan kepastian terhadap pelaku yang akan memilih KKR untuk menyelesaikan kasusnya. Pasal 28 Ayat (1) UU KKR menyatakan dalam hal antara pelaku dan korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian, maka Komisi dapat memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk memberikan amnesti. Dari ketentuan Pasal 1 angka 2 UU KKR dapat disimpulkan bahwa untuk adanya rekonsiliasi harus dipenuhi; (1) pengungkapan kebenaran, (2) pengakuan, (3) pengampunan. Sehingga, apabila ketiga hal tersebut tidak dapat dipastikan dipenuhi maka rekonsiliasi tidak akan ada. Apabila suatu kasus tidak terungkap kebenarannya yaitu baik tentang peristiwa, tempat, waktu, dan pelaku maka jelas rekonsiliasi tidak mungkin dilakukan. UU KKR tidak memuat ketentuan yang secara langsung menyatakan bahwa ditolaknya amnesti akan menyebabkan pelaku dapat diproses secara hukum, melainkan menentukan bahwa penolakan terhadap amnesti menyebabkan pelaku harus bertanggung jawab secara hukum atas perbuatannya. Dari keseluruhan uraian tersebut jelas bahwa UU KKR tidak mendorong pelaku untuk menyelesaikan perkaranya melalui KKR, karena mengandung banyak ketidakpastian hukum. Sementara itu, apabila korban atau ahli warisnya, karena tidak bersedia memaafkan, dapat saja kemudian melaporkan pelaku kepada aparat hukum berdasarkan bukti-bukti pengakuan yang dibuat oleh pelaku. Karena ketentuan ini membuka peluang terjadinya pengakuan yang memberatkan dirinya sendiri (self-incrimination), maka akan sulit mengharapkan terjadinya rekonsiliasi yang menjadi tujuan UU KKR. UU KKR tidak dengan tegas mengatur apakah suatu proses rekonsiliasi dapat terjadi tanpa adanya pemberian maaf oleh korban atau ahli warisnya. Ketentuan Pasal 29 Ayat (2) UU KKR dapat menimbulkan persoalan pada kasus di mana justru korban yang berinisiatif untuk mengadukan/melapor ke KKR. Seharusnya sudah sejak dari awal, yaitu pada saat korban memilih jalur KKR untuk menyelesaikan kasusnya, korban telah memiliki kehendak untuk bersedia memaafkan pelaku. Apabila korban tidak memiliki kehendak untuk memaafkan pelaku maka proses peradilan merupakan alternatif yang disediakan dan bukan melalui jalur rekonsiliasi. Dengan kata lain, dalam rekonsiliasi dibutuhkan kesediaan yang bersifat timbal balik, baik dari pelaku maupun dari korban.
5. Terhadap pengaduan yang disertai dengan permohonan untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti, komisi wajib memberi keputusan dalam jangka waktu paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan (Pasal 24 UU KKR).
Menjadi pertanyaan apakah materi yang harus diputus oleh Komisi dalam jangka 90 hari, termasuk juga putusan tentang pengungkapan “kebenaran atas pelanggaran HAM berat“ (vide Pasal 1 angka 3 dan Pasal 5 UU KKR).
Pasal 25 Ayat (1) menyatakan bahwa Keputusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dapat berupa:
a. mengabulkan atau menolak untuk memberikan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi, atau
b. memberikan rekomendasi berupa pertimbangan hukum dalam hal permohonan amnesti.
Dengan adanya rumusan Pasal 25 Ayat (1) tersebut yang wajib diputus oleh Komisi dalam jangka 90 hari adalah permohonan untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti. Ketentuan tersebut dilengkapi dengan Pasal 25 Ayat (3), (4), (5), dan (6), serta Pasal 26 yang menetapkan jangka waktu proses pengambilan putusan terhadap permohonan amnesti. Sedangkan untuk memutuskan hasil temuannya yaitu yang berupa pengungkapan kebenaran tentang adanya pelanggaran HAM berat UU KKR tidak menentukan batas waktu. Dengan adanya batasan waktu untuk memutus permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan amnesti dalam jangka 90 hari, apabila jangka waktu tersebut telah terlewati sedangkan pengungkapan kebenaran masih dalam proses penyidikan dan klarifikasi yang memerlukan waktu lebih dari 90 hari apakah permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi dan amnesti harus diputus lebih dahulu. Sebuah pengaduan atau laporan dapat disampaikan kepada Komisi, dan setelah adanya pengaduan tersebut Komisi harus melakukan penyelidikan dan klarifikasi baik terhadap peristiwanya sendiri maupun pelakunya. 
Pasal 24 berisi ketentuan yang mengatur apabila Komisi telah menerima pengaduan atau laporan pelanggaran HAM berat, yang disertai permohonan amnesti, kata “disertai” diartikan bahwa permohonan tersebut diajukan bersamaan dengan pengaduan atau laporan pelanggaran HAM berat. Persoalannya adalah, amnesti hanya mungkin kalau telah jelas siapa pelaku pelanggaran HAM berat, dan kepada pelaku diberi hak untuk mengajukan atau memohon amnesti, sedangkan hak menentukan ada pada Presiden. Bagaimana dapat terjadi dalam waktu yang bersamaan pelaku yang belum terklarifikasi dapat menyertakan permohonan amnesti. Pelaku pelanggaran baru dapat ditentukan setelah KKR mengungkapkan kebenaran adanya pelanggaran HAM berat yang di dalam pengungkapan tersebut ditemukan pula pelakunya. Dengan demikian Pasal 24 ini menimbulkan kerancuan yang dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum karena di dalam pasal ini termuat batasan waktu 90 hari. Amnesti baru dapat dimohon, direkomendasikan, dan diberikan kalau sudah diketahui dengan pasti siapa pelaku pelanggaran. Kemungkinan terungkapnya pelaku sejak awal dapat terjadi apabila terdapat “pengakuan“ tentang pelanggaran HAM berat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 23 huruf a, atau apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28. Pasal 24 prosesnya berbeda dengan Pasal 23 huruf a. Pasal 24 prosesnya berdasarkan Pasal 18 Ayat (1) huruf a, yaitu menjadi kewenangan subkomisi penyelidikan dan klarifikasi, artinya korbanlah yang aktif melakukan pengaduan atau laporan. Sedangkan Pasal 23 huruf a, di mana pelaku aktif membuat “pengakuan” menjadi wewenang dari subkomisi pertimbangan amnesti. Dengan demikian, secara juridis tidak logis, jika permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan amnesti diajukan bersama-sama dengan pengaduan atau laporan, yang wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud Pasal 24 UU KKR.
Menimbang bahwa semua fakta dan keadaan ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum, baik dalam rumusan normanya maupun kemungkinan pelaksanaan normanya di lapangan untuk mencapai tujuan rekonsiliasi yang diharapkan. Dengan memperhatikan pertimbangan yang telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR, sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang a quo, tidak mungkin dapat diwujudkan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum (rechtsonzekerheid). Oleh karena itu, Mahkamah menilai undang-undang a quo secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan dinyatakannya UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, tidak berarti Mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.
Mengingat Pasal 56 Ayat (2) dan Ayat (3) serta Pasal 57 Ayat (1) dan Ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
MENGADILI
- Mengabulkan Permohonan para Pemohon;
- Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004  
  Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi bertentangan dengan  
   Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
- Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004  
  tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi tidak mempunyai kekuatan  
   hukum mengikat.
- Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Link Putusan >>>

Tidak ada komentar: