Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Senin, 27 April 2015

Konstitusionalitas Bawaslu sebagai Lembaga Penyelenggara Pemilihan Umum




Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang diketuai oleh Nur Hidayat Sardini mengajukan pengujian UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelengara Pemilihan Umum kepada Mahkamah Konstitusi.
Dalam permohonannya Pemohon menyatakan bahwa sebagai satu kesatuan sistem pemilihan umum (Pemilu) Pasal 22E UUD 1945 secara tersirat menentukan bahwa di dalam satu wadah besar penyelenggaraan Pemilu terdiri dari peserta pemilihan umum, penyelenggara pemilihan umum, dan pengawas pemilihan umum, yang kemudian UUD 1945 memberikan kewenangan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya;
Bahwa UU 22/2007 yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang sebagai penjabaran dari Pasal 22E UUD 1945 menentukan bahwa selain Komisi Pemilihan Umum (KPU) ditentukan juga adanya lembaga pengawas yang disebut Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dimana dalam Penjelasan Umumnya menyatakan, “…Untuk mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum, Undang-Undang ini mengatur mengenai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bersifat tetap”.
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ketentuan Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 95 UU 22/2007 yang menentukan calon anggota panitia pengawas pemilihan umum diusulkan oleh Komisi Pemilihan Umum, menurut Mahkamah secara spesifik telah meniadakan sifat kemandirian dari Badan Pengawas Pemilu dalam mengawasi penyelenggaraan Pemilu. Selain itu, kerugian Pemohon juga memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) dangan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian, dan dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tidak akan atau tidak lagi terjadi;
Untuk menjawan persoalan sengketa antara KPU dan Bawaslu tersebut Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, bukti surat/tulisan dari Pemohon (Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-14.2), keterangan saksi dan ahli dari Pemohon, keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat, keterangan tertulis Pihak Terkait Komisi Pemilihan Umum, dan bukti surat/tulisan dari Pihak Terkait Komisi Pemilihan Umum (Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-6), serta kesimpulan tertulis dari Pemohon dan Pihak Terkait Komisi Pemilihan Umum, sebelum menanggapi dalil Pemohon, Mahkamah perlu mengemukakan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut: · Bahwa pemilihan umum adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat. Salah satu pilar demokrasi adalah adanya prinsip kesetaraan dan independensi tiap-tiap cabang kekuasaan negara agar masing-masing cabang kekuasaan tersebut  dapat saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances). Dalam pengisian jabatan kepala pemerintahan dan anggota lembaga perwakilan, UUD 1945 menentukan melalui pemilihan umum yang di dalamnya terdapat prinsip saling mengawasi dan mengimbangi antarpenyelenggara, peserta, dan pengawas pemilihan umum;
· Bahwa sebagai instrumen penting dalam demokrasi, sistem pemilihan umum haruslah didesain dan dilaksanakan dengan baik. Terpilihnya anggota lembaga perwakilan serta terpilihnya kepala pemerintahan yang memiliki legitimasi kuat dari rakyat adalah hasil dari pelaksanaan pemilu yang berlangsung secara baik. Sebagai pelaku utama dalam Pemilu (termasuk Pemilukada), rakyat mempunyai kekuasaan tertinggi secara sah dan mutlak karena kedaulatan berada di tangan rakyat [vide Pasal 1 ayat (2) UUD 1945]. Demokrasi adalah ‘pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat’ (democracy is government from the people, by the people and for the people) tidak sekadar istilah belaka.
Pemaknaannya adalah kedaulatan di tangan rakyat. Artinya, segala sesuatu yang bersangkut paut dengan rakyat harus diberitahukan dan mendapat persetujuan rakyat. Amanat UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, sesungguhnya Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasar atas hukum;
· Pemilukada adalah subsistem dari sistem Pemilu yang demokratis, meski pemilihan yang dilakukan rakyat/masyarakat daerah mempunyai arti tersendiri bagi demokratisasi di daerah. Peletakan dasar penyelenggaraan Pemilukada pertama-tama ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
Selanjutnya melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 24 ayat (5) ditentukan, “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Demikian pula Pasal 56 UU a quo menentukan, “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”. Dengan demikian, Pemilukada haruslah dilaksanakan dengan prinsip pemilu yang dijamin dalam UUD 1945 yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai satu kesatuan sistem pemilu yang demokratis;
· Bahwa UUD 1945 menentukan Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagai kepala pemerintah daerah dipilih secara demokratis [vide Pasal 18 ayat (4) UUD 1945]. Berdasarkan UU 22/2007, pemilihan kepala daerah secara demokratis dimasukkan dalam pengertian pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 22E UUD 1945, dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, setiap lima tahun sekali yang diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Oleh karena pemilihan umum kepala pemerintah daerah telah masuk rezim hukum Pemilu, maka dengan demikian pemilihan kepala pemerintah daerah secara demokratis harus diartikan sebagai pemilihan yang memenuhi prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, serta dilaksanakan secara periodik lima tahun sekali.
Pemilihan kepala pemerintah daerah secara demokratis juga merupakan mekanisme pelaksanaan hak-hak konstitusional warga negara sebagai pengejawantahan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut UUD 1945;
· Bahwa untuk menjamin terselenggaranya pemilihan umum yang luber dan jurdil, Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menentukan bahwa, “Pemilihan umum di diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Kalimat “suatu komisi pemilihan umum” dalam UUD 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, fungsi penyelenggaraan pemilihan umum tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi termasuk juga lembaga pengawas pemilihan umum dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Pengertian ini lebih memenuhi ketentuan UUD 1945 yang mengamanatkan adanya penyelenggara pemilihan umum yang bersifat mandiri untuk dapat terlaksananya pemilihan umum yang memenuhi prinsip-prinsip luber dan jurdil.
Penyelenggaraan pemilihan umum tanpa pengawasan oleh lembaga independen, akan mengancam prinsip-prinsip luber dan jurdil dalam pelaksanaan Pemilu. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagaimana diatur dalam Bab IV Pasal 70 sampai dengan Pasal 109 UU 22/2007, harus diartikan sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan umum, sehingga fungsi penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh unsur penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan unsur pengawas Pemilu, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Bahkan, Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu pun harus diartikan sebagai lembaga yang merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum. Dengan demikian, jaminan kemandirian penyelenggara pemilu menjadi nyata dan jelas;
· Bahwa penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas.
Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Dalam rangka mengawal terwujudnya pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil diperlukan adanya suatu pengawasan agar pemilihan umum tersebut benar-benar dilaksanakan berdasarkan asas pemilihan umum dan peraturan perundang-undangan (vide Penjelasan Umum UU 22/2007). Namun dalam kenyataannya, baik UU 42/2008 junctis UU 10/2008 dan UU 22/2007 tidak atau kurang memberikan penguatan (empowering) dan kemandirian kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) beserta jajarannya, untuk melakukan pengawasan baik terhadap Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden maupun Pemilukada, sehingga pengawasan Pemilu tidak berjalan efektif dan hanya sekedar formalitas;
· Bahwa untuk menjamin kemandirian lembaga pengawas Pemilu, di samping adanya jaminan Undang-Undang dan penegasan tugas dan wewenangnya yang jelas juga harus ditunjukkan oleh anggota-anggotanya yang memiliki kemandirian. Salah satu jaminan kemandirian anggota lembaga pengawas Pemilu ini adalah mekanisme rekrutmen anggota pengawas Pemilu.
Bahwa ketentuan Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 95 UU 22/2007, calon anggota pengawas Pemilu diusulkan oleh KPU dan ditetapkan oleh Bawaslu. Menurut Mahkamah, mekanisme rekrutmen dalam ketentuan tersebut di samping akan mengakibatkan anggota-anggota pengawas pemilu menjadi tergantung pada KPU, sehingga kemandiriannya terganggu, juga sangat potensial mengakibatkan saling menghambat dalam penentuan anggota pengawas Pemilu antara Bawaslu atau Panwaslu dengan KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota. Hal ini mengakibatkan terjadinya calon yang diusulkan oleh KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota tidak ditetapkan oleh Bawaslu atau Panwas, atau sebaliknya KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota tidak mengajukan calon Panwas sehingga tidak ada anggota Panwas yang ditetapkan oleh Bawaslu atau Panwas. Ketentuan yang demikian menimbulkan ketidakpastian hukum serta mengganggu terselenggaranya pemilihan umum secara periodik yang luber dan jurdil sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diamanatkan oleh UUD 1945. Prosedur rekrutmen yang demikian tidak memenuhi sifat mandiri sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945, karena calon yang akan mengawasi justru diusulkan oleh lembaga yang akan diawasi;
Bahwa berdasarkan uraian di atas, menurut Mahkamah ketentuan mengenai rekrutmen anggota Panwas yang harus diusulkan oleh KPU Provinsi untuk Panwas Provinsi serta KPU Kabupaten/Kota untuk Panwas Kabupaten/Kota bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, untuk menjamin kepastian hukum yang adil dan menghindari terganggunya penyelenggaraan Pemilu, maka pencalonan dan pengangkatan anggota Panwaslu cukup dilakukan oleh satu lembaga saja, yaitu Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) atau Panwaslu;
Bahwa meskipun Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 95 UU 22/2007 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, namun Mahkamah tidak serta merta menyatakan pasal-pasal a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena apabila pasal-pasal a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, hal itu akan menimbulkan kekosongan hukum (rechtsvacuum). Oleh karena itu, berdasarkan UUD 1945 serta bukti di persidangan dan keyakinan hakim sebagaimana ditentukan Pasal 45 ayat (1) UU MK, Mahkamah menyatakan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat hanya kata, “Calon”, dan frasa, “... diusulkan oleh KPU Provinsi kepada Bawaslu sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 93; kata, “Calon” serta frasa “... diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu Provinsi sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2); kata, “Calon” dan frasa, “... diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 95 UU 22/2007, sehingga menjadi:
Pasal 93
Anggota Panwaslu Provinsi ditetapkan dengan keputusan Bawaslu sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Provinsi terpilih setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan.
Pasal 94
(1) Anggota Panwaslu Kabupaten/Kota untuk Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi dipilih sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kabupaten/Kota setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan Bawaslu.
(2) Anggota Panwaslu Kabupaten/Kota untuk Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota dipilih sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kabupaten/Kota setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan Bawaslu.
Pasal 95
Anggota Panwaslu Kecamatan dipilih sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kecamatan dan ditetapkan dengan keputusan Panwaslu Kabupaten/Kota.
Bahwa terkait dengan 192 Panwaslu yang sudah dibentuk, Mahkamah berpendapat:
· Bahwa berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, pada tahun 2010 terdapat 244 (dua ratus empat puluh empat) daerah akan menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah yang terdiri atas 7 (tujuh) pemilihan kepala daerah provinsi, 202 (dua ratus dua) pemilihan kepala daerah kabupaten, dan 35 (tiga puluh lima) pemilihan kepala daerah kota. Berdasarkan Pasal 71 UU 22/2007, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahapan pertama penyelenggaraan Pemilu. Untuk memenuhi hal itu, KPU dan Bawaslu telah membentuk 192 Panitia Pengawas Pemilu (Pemilukada) baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota yang pembentukannya didasarkan pada Surat Edaran Bersama KPU dan Bawaslu Nomor 1669/KPU/XII/2009 tanggal 9 Desember 2009;
· Bahwa dari 192 daerah yang Panwaslunya sudah terbentuk, Bawaslu telah menerima salinan Surat Keputusan KPU Provinsi/Kabupaten/Kota tentang penetapan jadwal Pemilukada di 138 daerah. Dari data tersebut terdapat 1 (satu) daerah yang menyelenggarakan pemungutan suara pada bulan Maret 2010; 7 (tujuh) daerah pada bulan April 2010; 39 (tiga puluh sembilan) daerah pada bulan Mei 2010; 64 (enam puluh empat) daerah pada bulan Juni 2010; 19 (sembilan belas) daerah pada bulan Juli 2010; dan 8 (delapan) daerah pada bulan Agustus 2010. Sedangkan di 54 daerah lainnya, Bawaslu belum memperoleh salinan Surat Keputusan tentang penetapan jadwal dari KPU Provinsi/Kabupaten/Kota. Oleh karena terjadinya perbedaan pendapat antara KPU dan Bawaslu tentang Surat Edaran Bersama KPU dan Bawaslu Nomor 1669/KPU/XII/2009 tanggal 9 Desember 2009 yang menjadi dasar pembentukan Panwaslu provinsi dan kabupaten/kota, namun secara sepihak oleh KPU, Panwas yang sudah terbentuk tidak diakui keberadaannya, vide Surat Komisi Pemilihan Umum Nomor 50/KPU/II/2010 tanggal 4 Februari 2010 perihal Pembatalan Surat Edaran Bersama antara Komisi Pemilihan Umum dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum dan Pengembalian kepada Ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan/atau Fatwa Mahkamah Agung Nomor: 142/KMA/XI/2009 tanggal 23 November 2009 (Bukti PT-3), dan Surat Komisi Pemilihan Umum Nomor 54/KPU/II/2010 tanggal 5 Februari 2010 perihal Tindak Lanjut Surat KPU Nomor 50/KPU/II/2010 (Bukti P-12.12 = Bukti PT-2);
· Bahwa dengan adanya perselisihan antara KPU dan Bawaslu tersebut, menyebabkan pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum, Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota tidak dapat berjalan secara maksimal. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, demi kemanfaatan dan efektivitas dari pelaksanaan Pemilukada tahun 2010 yang tahapannya sudah dimulai serta terciptanya kondisi yang kondusif di daerah-daerah yang akan menyelenggarakan pemilukada, dan demi kepastian hukum yang adil serta terciptanya prinsip saling mengawasi dan mengimbangi agar Pemilukada berjalan sesuai dengan asas luber dan jurdil sesuai Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, maka 192 Panwas yang terdiri atas 7 Panwaslu Provinsi dan 185 Panwaslu Kabupaten/Kota harus dinyatakan sah dan dapat menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang masingmasing sesuai Undang-Undang;
Bahwa selanjutnya terhadap komposisi Dewan Kehormatan yang dimohonkan oleh Pemohon, Mahkamah berpendapat bahwa jumlah dan komposisi Dewan Kehormatan adalah merupakan wilayah kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) dari DPR dan Pemerintah, yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum dan harus ditolak. Walaupun demikian, pada masa yang akan datang untuk menjamin kemandirian dalam penyelenggaraan pemilihan umum yang luber dan jurdil oleh KPU dan Bawaslu, anggota Dewan Kehormatan harus diisi oleh anggota-anggota yang berasal dari KPU dan Bawaslu secara seimbang. Dalam kerangka pemikiran ini, diperlukan hanya ada satu Dewan Kehormatan penyelenggara Pemilu baik untuk mengawasi perilaku anggota KPU dan anggota Bawaslu. Sehingga komposisi anggota Dewan Kehormatan baik untuk tingkat nasional maupun daerah harus terdiri atas perwakilan anggota KPU (KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota) serta Bawaslu (Bawaslu, Panwaslu Provinsi, atau Panwaslu Kabupaten/Kota) secara seimbang/sama jumlahnya dan ditambah satu orang dari pihak luar yang independen;
Adapun amar putusan lengkap dalam perkara 11/PUU-VIII/2010 adalah sebagai berikut:
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili
· Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
· Menyatakan kata, “Calon”, dan frasa, “... diusulkan oleh KPU Provinsi kepada Bawaslu sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 93; kata, “Calon” serta frasa “... diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu Provinsi sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2); kata, “Calon” dan frasa, “... diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 95 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga menjadi:
Pasal 93
Anggota Panwaslu Provinsi ditetapkan dengan keputusan Bawaslu sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Provinsi terpilih setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan.
Pasal 94
(1) Anggota Panwaslu Kabupaten/Kota untuk Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi dipilih sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kabupaten/Kota setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan Bawaslu.
(2) Anggota Panwaslu Kabupaten/Kota untuk Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota dipilih sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kabupaten/Kota setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan Bawaslu.
Pasal 95
Anggota Panwaslu Kecamatan dipilih sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kecamatan dan ditetapkan dengan keputusan Panwaslu Kabupaten/Kota.
· Menyatakan kata, “Calon”, dan frasa, “... diusulkan oleh KPU Provinsi kepada Bawaslu sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 93; kata, “Calon” serta frasa “... diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu Provinsi sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2); kata, “Calon” dan frasa, “... diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 95 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
· Menyatakan 192 Panitia Pengawas Pemilu yang sudah dibentuk adalah sah dan dapat melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang masing-masing sesuai dengan Undang-Undang;
· Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
· Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana mestinya;
====

Tidak ada komentar: