Badan
Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang diketuai oleh Nur Hidayat Sardini
mengajukan pengujian UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelengara Pemilihan Umum
kepada Mahkamah Konstitusi.
Dalam
permohonannya Pemohon menyatakan bahwa sebagai satu kesatuan sistem pemilihan
umum (Pemilu) Pasal 22E UUD 1945 secara tersirat menentukan bahwa di dalam satu
wadah besar penyelenggaraan Pemilu terdiri dari peserta pemilihan umum,
penyelenggara pemilihan umum, dan pengawas pemilihan umum, yang kemudian UUD
1945 memberikan kewenangan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya;
Bahwa
UU 22/2007 yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang sebagai penjabaran dari
Pasal 22E UUD 1945 menentukan bahwa selain Komisi Pemilihan Umum (KPU)
ditentukan juga adanya lembaga pengawas yang disebut Badan Pengawas Pemilihan
Umum (Bawaslu), dimana dalam Penjelasan Umumnya menyatakan, “…Untuk mengawasi
penyelenggaraan pemilihan umum, Undang-Undang ini mengatur mengenai Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bersifat tetap”.
Bahwa
berdasarkan pertimbangan di atas, ketentuan Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan
ayat (2), serta Pasal 95 UU 22/2007 yang menentukan calon anggota panitia
pengawas pemilihan umum diusulkan oleh Komisi Pemilihan Umum, menurut Mahkamah
secara spesifik telah meniadakan sifat kemandirian dari Badan Pengawas Pemilu
dalam mengawasi penyelenggaraan Pemilu. Selain itu, kerugian Pemohon juga
memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) dangan pasal-pasal yang
dimohonkan pengujian, dan dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tidak akan atau tidak lagi terjadi;
Untuk
menjawan persoalan sengketa antara KPU dan Bawaslu tersebut Mahkamah Konstitusi
dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Bahwa
setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, bukti
surat/tulisan dari Pemohon (Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-14.2), keterangan
saksi dan ahli dari Pemohon, keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat,
keterangan tertulis Pihak Terkait Komisi Pemilihan Umum, dan bukti
surat/tulisan dari Pihak Terkait Komisi Pemilihan Umum (Bukti PT-1 sampai dengan
Bukti PT-6), serta kesimpulan tertulis dari Pemohon dan Pihak Terkait Komisi
Pemilihan Umum, sebelum menanggapi dalil Pemohon, Mahkamah perlu mengemukakan
terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut: · Bahwa pemilihan umum adalah bentuk
atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan
kedaulatan rakyat. Salah satu pilar demokrasi adalah adanya prinsip kesetaraan
dan independensi tiap-tiap cabang kekuasaan negara agar masing-masing cabang
kekuasaan tersebut dapat saling
mengawasi dan mengimbangi (checks and balances). Dalam pengisian jabatan kepala
pemerintahan dan anggota lembaga perwakilan, UUD 1945 menentukan melalui
pemilihan umum yang di dalamnya terdapat prinsip saling mengawasi dan
mengimbangi antarpenyelenggara, peserta, dan pengawas pemilihan umum;
· Bahwa sebagai instrumen
penting dalam demokrasi, sistem pemilihan umum haruslah didesain dan
dilaksanakan dengan baik. Terpilihnya anggota lembaga perwakilan serta
terpilihnya kepala pemerintahan yang memiliki legitimasi kuat dari rakyat
adalah hasil dari pelaksanaan pemilu yang berlangsung secara baik. Sebagai
pelaku utama dalam Pemilu (termasuk Pemilukada), rakyat mempunyai kekuasaan
tertinggi secara sah dan mutlak karena kedaulatan berada di tangan rakyat [vide
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945]. Demokrasi adalah ‘pemerintahan dari, oleh, dan
untuk rakyat’ (democracy is government from the people, by the people and for
the people) tidak sekadar istilah belaka.
Pemaknaannya adalah
kedaulatan di tangan rakyat. Artinya, segala sesuatu yang bersangkut paut
dengan rakyat harus diberitahukan dan mendapat persetujuan rakyat. Amanat UUD
1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD, sesungguhnya Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasar atas
hukum;
· Pemilukada adalah
subsistem dari sistem Pemilu yang demokratis, meski pemilihan yang dilakukan
rakyat/masyarakat daerah mempunyai arti tersendiri bagi demokratisasi di
daerah. Peletakan dasar penyelenggaraan Pemilukada pertama-tama ditegaskan
dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten,
dan kota dipilih secara demokratis”.
Selanjutnya
melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 24 ayat
(5) ditentukan, “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat di daerah yang bersangkutan”. Demikian pula Pasal 56 UU a quo
menentukan, “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan
calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil”. Dengan demikian, Pemilukada haruslah
dilaksanakan dengan prinsip pemilu yang dijamin dalam UUD 1945 yang selanjutnya
diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum, Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai satu
kesatuan sistem pemilu yang demokratis;
· Bahwa UUD 1945 menentukan
Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagai kepala pemerintah daerah dipilih secara
demokratis [vide Pasal 18 ayat (4) UUD 1945]. Berdasarkan UU 22/2007, pemilihan
kepala daerah secara demokratis dimasukkan dalam pengertian pemilihan umum yang
diatur dalam Pasal 22E UUD 1945, dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil, setiap lima tahun sekali yang diselenggarakan oleh suatu komisi
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Oleh karena
pemilihan umum kepala pemerintah daerah telah masuk rezim hukum Pemilu, maka
dengan demikian pemilihan kepala pemerintah daerah secara demokratis harus diartikan
sebagai pemilihan yang memenuhi prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil, serta dilaksanakan secara periodik lima tahun sekali.
Pemilihan
kepala pemerintah daerah secara demokratis juga merupakan mekanisme pelaksanaan
hak-hak konstitusional warga negara sebagai pengejawantahan prinsip kedaulatan
rakyat yang dianut UUD 1945;
· Bahwa untuk menjamin
terselenggaranya pemilihan umum yang luber dan jurdil, Pasal 22E ayat (5) UUD
1945 menentukan bahwa, “Pemilihan umum di diselenggarakan oleh suatu komisi
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Kalimat “suatu
komisi pemilihan umum” dalam UUD 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama
institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Dengan demikian, menurut
Mahkamah, fungsi penyelenggaraan pemilihan umum tidak hanya dilaksanakan oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi termasuk juga lembaga pengawas
pemilihan umum dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai
satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional,
tetap, dan mandiri.
Pengertian ini lebih
memenuhi ketentuan UUD 1945 yang mengamanatkan adanya penyelenggara pemilihan
umum yang bersifat mandiri untuk dapat terlaksananya pemilihan umum yang
memenuhi prinsip-prinsip luber dan jurdil.
Penyelenggaraan
pemilihan umum tanpa pengawasan oleh lembaga independen, akan mengancam
prinsip-prinsip luber dan jurdil dalam pelaksanaan Pemilu. Oleh karena itu,
menurut Mahkamah, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagaimana diatur
dalam Bab IV Pasal 70 sampai dengan Pasal 109 UU 22/2007, harus diartikan
sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas melakukan pengawasan
pelaksanaan pemilihan umum, sehingga fungsi penyelenggaraan Pemilu dilakukan
oleh unsur penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan unsur pengawas
Pemilu, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Bahkan,
Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu pun harus
diartikan sebagai lembaga yang merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan
pemilihan umum. Dengan demikian, jaminan kemandirian penyelenggara pemilu
menjadi nyata dan jelas;
· Bahwa penyelenggaraan
pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dapat
terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai
integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas.
Pasal
22E ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh
suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Dalam
rangka mengawal terwujudnya pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil diperlukan adanya suatu pengawasan agar pemilihan umum tersebut
benar-benar dilaksanakan berdasarkan asas pemilihan umum dan peraturan
perundang-undangan (vide Penjelasan Umum UU 22/2007). Namun dalam kenyataannya,
baik UU 42/2008 junctis UU 10/2008 dan UU 22/2007 tidak atau kurang memberikan penguatan
(empowering) dan kemandirian kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu)
beserta jajarannya, untuk melakukan pengawasan baik terhadap Pemilu DPR, DPD,
dan DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden maupun Pemilukada, sehingga
pengawasan Pemilu tidak berjalan efektif dan hanya sekedar formalitas;
· Bahwa untuk menjamin
kemandirian lembaga pengawas Pemilu, di samping adanya jaminan Undang-Undang
dan penegasan tugas dan wewenangnya yang jelas juga harus ditunjukkan oleh
anggota-anggotanya yang memiliki kemandirian. Salah satu jaminan kemandirian
anggota lembaga pengawas Pemilu ini adalah mekanisme rekrutmen anggota pengawas
Pemilu.
Bahwa
ketentuan Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 95 UU 22/2007,
calon anggota pengawas Pemilu diusulkan oleh KPU dan ditetapkan oleh Bawaslu.
Menurut Mahkamah, mekanisme rekrutmen dalam ketentuan tersebut di samping akan
mengakibatkan anggota-anggota pengawas pemilu menjadi tergantung pada KPU,
sehingga kemandiriannya terganggu, juga sangat potensial mengakibatkan saling
menghambat dalam penentuan anggota pengawas Pemilu antara Bawaslu atau Panwaslu
dengan KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota. Hal ini mengakibatkan
terjadinya calon yang diusulkan oleh KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota
tidak ditetapkan oleh Bawaslu atau Panwas, atau sebaliknya KPU, KPU Provinsi,
atau KPU Kabupaten/Kota tidak mengajukan calon Panwas sehingga tidak ada
anggota Panwas yang ditetapkan oleh Bawaslu atau Panwas. Ketentuan yang
demikian menimbulkan ketidakpastian hukum serta mengganggu terselenggaranya
pemilihan umum secara periodik yang luber dan jurdil sebagai bentuk pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang diamanatkan oleh UUD 1945. Prosedur rekrutmen yang
demikian tidak memenuhi sifat mandiri sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD
1945, karena calon yang akan mengawasi justru diusulkan oleh lembaga yang akan
diawasi;
Bahwa
berdasarkan uraian di atas, menurut Mahkamah ketentuan mengenai rekrutmen
anggota Panwas yang harus diusulkan oleh KPU Provinsi untuk Panwas Provinsi
serta KPU Kabupaten/Kota untuk Panwas Kabupaten/Kota bertentangan dengan Pasal
22E ayat (1) dan ayat (5), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu,
untuk menjamin kepastian hukum yang adil dan menghindari terganggunya
penyelenggaraan Pemilu, maka pencalonan dan pengangkatan anggota Panwaslu cukup
dilakukan oleh satu lembaga saja, yaitu Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu)
atau Panwaslu;
Bahwa
meskipun Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 95 UU 22/2007
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, namun Mahkamah tidak serta merta
menyatakan pasal-pasal a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena
apabila pasal-pasal a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
hal itu akan menimbulkan kekosongan hukum (rechtsvacuum). Oleh karena itu,
berdasarkan UUD 1945 serta bukti di persidangan dan keyakinan hakim sebagaimana
ditentukan Pasal 45 ayat (1) UU MK, Mahkamah menyatakan yang bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat hanya kata,
“Calon”, dan frasa, “... diusulkan oleh KPU Provinsi kepada Bawaslu sebanyak 6
(enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 93; kata, “Calon” serta frasa
“... diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu Provinsi sebanyak 6
(enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2);
kata, “Calon” dan frasa, “... diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu
Kabupaten/Kota sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 95
UU 22/2007, sehingga menjadi:
Pasal 93
Anggota Panwaslu Provinsi
ditetapkan dengan keputusan Bawaslu sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota
Panwaslu Provinsi terpilih setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan.
Pasal 94
(1) Anggota Panwaslu
Kabupaten/Kota untuk Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
serta Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi dipilih sebanyak 3
(tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kabupaten/Kota setelah melalui uji
kelayakan dan kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan Bawaslu.
(2) Anggota Panwaslu
Kabupaten/Kota untuk Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Kabupaten/Kota dipilih sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu
Kabupaten/Kota setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan dan ditetapkan
dengan keputusan Bawaslu.
Pasal 95
Anggota Panwaslu Kecamatan
dipilih sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kecamatan dan
ditetapkan dengan keputusan Panwaslu Kabupaten/Kota.
Bahwa
terkait dengan 192 Panwaslu yang sudah dibentuk, Mahkamah berpendapat:
· Bahwa berdasarkan fakta
yang terungkap di persidangan, pada tahun 2010 terdapat 244 (dua ratus empat
puluh empat) daerah akan menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah yang
terdiri atas 7 (tujuh) pemilihan kepala daerah provinsi, 202 (dua ratus dua)
pemilihan kepala daerah kabupaten, dan 35 (tiga puluh lima) pemilihan kepala
daerah kota. Berdasarkan Pasal 71 UU 22/2007, Panwaslu Provinsi, Panwaslu
Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas
Pemilu Luar Negeri dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahapan
pertama penyelenggaraan Pemilu. Untuk memenuhi hal itu, KPU dan Bawaslu telah
membentuk 192 Panitia Pengawas Pemilu (Pemilukada) baik tingkat provinsi maupun
tingkat kabupaten/kota yang pembentukannya didasarkan pada Surat Edaran Bersama
KPU dan Bawaslu Nomor 1669/KPU/XII/2009 tanggal 9 Desember 2009;
· Bahwa dari 192 daerah yang
Panwaslunya sudah terbentuk, Bawaslu telah menerima salinan Surat Keputusan KPU
Provinsi/Kabupaten/Kota tentang penetapan jadwal Pemilukada di 138 daerah. Dari
data tersebut terdapat 1 (satu) daerah yang menyelenggarakan pemungutan suara
pada bulan Maret 2010; 7 (tujuh) daerah pada bulan April 2010; 39 (tiga puluh
sembilan) daerah pada bulan Mei 2010; 64 (enam puluh empat) daerah pada bulan
Juni 2010; 19 (sembilan belas) daerah pada bulan Juli 2010; dan 8 (delapan)
daerah pada bulan Agustus 2010. Sedangkan di 54 daerah lainnya, Bawaslu belum memperoleh
salinan Surat Keputusan tentang penetapan jadwal dari KPU Provinsi/Kabupaten/Kota.
Oleh karena terjadinya perbedaan pendapat antara KPU dan Bawaslu tentang Surat
Edaran Bersama KPU dan Bawaslu Nomor 1669/KPU/XII/2009 tanggal 9 Desember 2009
yang menjadi dasar pembentukan Panwaslu provinsi dan kabupaten/kota, namun
secara sepihak oleh KPU, Panwas yang sudah terbentuk tidak diakui
keberadaannya, vide Surat Komisi Pemilihan Umum Nomor 50/KPU/II/2010 tanggal 4
Februari 2010 perihal Pembatalan Surat Edaran Bersama antara Komisi Pemilihan
Umum dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum dan Pengembalian kepada Ketentuan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan/atau Fatwa Mahkamah Agung Nomor: 142/KMA/XI/2009
tanggal 23 November 2009 (Bukti PT-3), dan Surat Komisi Pemilihan Umum Nomor
54/KPU/II/2010 tanggal 5 Februari 2010 perihal Tindak Lanjut Surat KPU Nomor
50/KPU/II/2010 (Bukti P-12.12 = Bukti PT-2);
· Bahwa dengan adanya
perselisihan antara KPU dan Bawaslu tersebut, menyebabkan pelaksanaan tugas dan
fungsi pengawasan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum, Panwaslu Provinsi, dan
Panwaslu Kabupaten/Kota tidak dapat berjalan secara maksimal. Oleh karena itu, menurut
Mahkamah, demi kemanfaatan dan efektivitas dari pelaksanaan Pemilukada tahun
2010 yang tahapannya sudah dimulai serta terciptanya kondisi yang kondusif di
daerah-daerah yang akan menyelenggarakan pemilukada, dan demi kepastian hukum
yang adil serta terciptanya prinsip saling mengawasi dan mengimbangi agar
Pemilukada berjalan sesuai dengan asas luber dan jurdil sesuai Pasal 22E ayat
(1) UUD 1945, maka 192 Panwas yang terdiri atas 7 Panwaslu Provinsi dan 185
Panwaslu Kabupaten/Kota harus dinyatakan sah dan dapat menjalankan tugas,
fungsi, dan wewenang masingmasing sesuai Undang-Undang;
Bahwa
selanjutnya terhadap komposisi Dewan Kehormatan yang dimohonkan oleh Pemohon,
Mahkamah berpendapat bahwa jumlah dan komposisi Dewan Kehormatan adalah
merupakan wilayah kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) dari DPR dan
Pemerintah, yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan
Pemohon tidak beralasan menurut hukum dan harus ditolak. Walaupun demikian,
pada masa yang akan datang untuk menjamin kemandirian dalam penyelenggaraan
pemilihan umum yang luber dan jurdil oleh KPU dan Bawaslu, anggota Dewan
Kehormatan harus diisi oleh anggota-anggota yang berasal dari KPU dan Bawaslu
secara seimbang. Dalam kerangka pemikiran ini, diperlukan hanya ada satu Dewan
Kehormatan penyelenggara Pemilu baik untuk mengawasi perilaku anggota KPU dan
anggota Bawaslu. Sehingga komposisi anggota Dewan Kehormatan baik untuk tingkat
nasional maupun daerah harus terdiri atas perwakilan anggota KPU (KPU, KPU Provinsi,
atau KPU Kabupaten/Kota) serta Bawaslu (Bawaslu, Panwaslu Provinsi, atau
Panwaslu Kabupaten/Kota) secara seimbang/sama jumlahnya dan ditambah satu orang
dari pihak luar yang independen;
Adapun
amar putusan lengkap dalam perkara 11/PUU-VIII/2010 adalah sebagai berikut:
5.
AMAR PUTUSAN
Mengadili
· Mengabulkan permohonan
Pemohon untuk sebagian;
· Menyatakan kata, “Calon”,
dan frasa, “... diusulkan oleh KPU Provinsi kepada Bawaslu sebanyak 6 (enam)
orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 93; kata, “Calon” serta frasa “...
diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu Provinsi sebanyak 6 (enam)
orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2); kata,
“Calon” dan frasa, “... diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu
Kabupaten/Kota sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 95
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4721) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga menjadi:
Pasal 93
Anggota Panwaslu Provinsi
ditetapkan dengan keputusan Bawaslu sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota
Panwaslu Provinsi terpilih setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan.
Pasal 94
(1) Anggota Panwaslu
Kabupaten/Kota untuk Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
serta Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi dipilih sebanyak 3 (tiga)
orang sebagai anggota Panwaslu Kabupaten/Kota setelah melalui uji kelayakan dan
kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan Bawaslu.
(2) Anggota Panwaslu
Kabupaten/Kota untuk Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Kabupaten/Kota dipilih sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kabupaten/Kota
setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan
Bawaslu.
Pasal 95
Anggota Panwaslu Kecamatan
dipilih sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kecamatan dan
ditetapkan dengan keputusan Panwaslu Kabupaten/Kota.
· Menyatakan kata, “Calon”,
dan frasa, “... diusulkan oleh KPU Provinsi kepada Bawaslu sebanyak 6 (enam)
orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 93; kata, “Calon” serta frasa “...
diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu Provinsi sebanyak 6 (enam)
orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2); kata,
“Calon” dan frasa, “... diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu
Kabupaten/Kota sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 95
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4721) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
· Menyatakan 192 Panitia
Pengawas Pemilu yang sudah dibentuk adalah sah dan dapat melaksanakan tugas,
fungsi, dan wewenang masing-masing sesuai dengan Undang-Undang;
· Menolak permohonan Pemohon
untuk selain dan selebihnya;
· Memerintahkan pemuatan
putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana mestinya;
====
Link Putusan Perkara 11/PUU-VIII/2010 >>> http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan%20Perkara%20No.11-PUU-VIII-2010.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar