Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Selasa, 28 April 2015

KONSTITUSIONALITAS PIDANA MATI DALAM UU NARKOTIKA



Pada tanggal 18 Januari 2007, dua orang warga negara Indonesia (WNI) yaitu Edith Yunita Sianturi, Rani Andriani (Melisa Aprilia) dan tiga orang warga negara asing (WNA) Myuran Sukumaran, Andrew Chan, Scott Anthony Rush (ketiganya Warga Negara Australia) mengajukan permohonan pengujian Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap UUD 1945, sebagai berikut:
§  Pasal 80 ayat (1) huruf a, “Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati …”.
§  Pasal 80 ayat (2) huruf a, “Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: ayat (1) huruf a didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana mati …”.
§  Pasal 80 ayat (3) huruf a, “Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati…”.
§  Pasal 81 ayat (3) huruf a, “Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati …”.
§  Pasal 82 ayat (1) huruf a, “Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam hal jual beli, atau menukar narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati …”.
§  Pasal 82 ayat (2) huruf a, “Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di dahului dengan permufakatan jahat, maka terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana mati…”.
§  Pasal 82 ayat (3) huruf a, “Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati …”.
Adapun isu hukum utama yang diajukan oleh para Pemohon adalah hal mengenai pidana mati yang diatur dalam Undang-Undang Narkotika yang menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi pada pokoknya menolak permohonan para Pemohon dan menyatakan bahwa Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a UU Narkotika tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan juga tidak melanggar kewajiban hukum internasional Indonesia yang lahir dari perjanjian internasional sehingga permohonan para Pemohon tidak beralasan. Selain itu, dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah Konstitusi menyarankan agar semua putusan pidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) segera dilaksanakan sebagaimana mestinya;
Berikut pertimbangan lengkap Mahkamah Konstitusi dalam menjawab persoalan konstitusionalitas norma tersebut,
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 30 Oktober 2007 telah memutus permohonan 2-3/PUU-V/2007 dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Terkait Kedudukan Hukum (Legal Standing)para Pemohon
Bahwa tentang kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon Warga Negara Asing dalam perkara a quo, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
a.    Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK beserta penjelasannya sangat tegas dan jelas (expressis verbis) menyatakan bahwa perorangan yang berhak mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (yang berarti yang mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945) hanya WNI, WNA tidak berhak.
b.    Tidak dimungkinkannya WNA mempersoalkan suatu undang-undang Republik Indonesia tidak berarti bahwa WNA tidak memperoleh perlindungan hukum menurut prinsip due process of law, in casu dalam hal ketentuan pidana mati di mana Pemohon tetap dapat melakukan upaya hukum (legal remedies) berupa banding, kasasi, dan peninjauan kembali.
c.    Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK mengenai “perorangan” termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama haruslah dikaitkan dengan bunyi Pasal 51 ayat (1) huruf a “perorangan warga negara Indonesia”, sehingga selengkapnya setelah ada penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a harus dibaca “perorangan termasuk orang yang mempunyai kepentingan sama warga negara Indonesia”. Dengan demikian, Pemohon WNA tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a beserta penjelasannya, sehingga para Pemohon WNA tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara a quo. Dengan kata lain, para Pemohon WNA telah keliru menafsirkan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK yaitu bahwa, para Pemohon a quo, oleh karena tidak ada kata “Indonesia” pada Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK tersebut, maka berarti WNA pun memiliki kedudukan hukum untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 karena para WNA dimaksud termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama. Pendapat Pemohon yang demikian telah keluar dari konteks Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK. Karena yang dijelaskan oleh Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK tersebut adalah pengertian kata “perorangan” dalam Pasal 51  ayat (1) huruf a UU MK yang berbunyi, “a. perorangan warga negara Indonesia”. Sehingga, yang dimaksud oleh kalimat “termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama” dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK adalah kelompok orang warga negara Indonesia yang mempunyai kepentingan sama.
Bahwa dengan demikian, karena para Pemohon warga negara asing tidak mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan a quo, maka mutatis mutandis Pokok Permohonan Pemohon III dan Pemohon IV untuk pengujian Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK tidak perlu dipertimbangkan, sehingga permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
Dalam Pokok Permohonan
Bahwa karena dua orang Pemohon WNI (Pemohon I dan Pemohon II) dalam Perkara Nomor 2/PUU-V/2007 memiliki legal standing, maka lebih lanjut Pokok Permohonan yang diajukan yakni mengenai konstitusionalitas ketentuan pidana mati dalam UU Narkotika harus dipertimbangkan. Sedangkan untuk Perkara Nomor 3/PUU-V/2007, karena Pemohonnya tidak memiliki legal standing, maka pokok permohonannya tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut;
Bahwa dalil-dalil yang dikemukakan oleh para Pemohon terkait permohonan a quo pada pokoknya adalah sebagai berikut:
a.  Pidana mati bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
b.  Pidana mati bertentangan dengan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
c.   Instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional menghendaki penghapusan pidana mati.
d.  Dunia internasional cenderung menghendaki penghapusan pidana mati.
e.  Hukuman mati bertentangan dengan filosofi pemidanaan Indonesia.
f.    Efek jera pidana mati dalam menurunkan jumlah tindak pidana diragukan.





Terhadap argumentasi para Pemohon ini Mahkamah Konstitusi berpendapat sebagai berikut:
1)  Bahwa menurut sejarah penyusunan Pasal 28I UUD 1945, sebagaimana diterangkan pada persidangan tanggal 23 Mei 2007 oleh Lukman Hakim Saefuddin, mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (PAH I BP MPR) yang bertugas menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945, yang pada intinya menerangkan bahwa tatkala merumuskan Bab XA (Hak Asasi Manusia) rujukannya atau yang melatarbelakanginya adalah Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Dari ketetapan MPR tersebut kemudian lahir Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semangat keduanya (Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999) adalah sama yaitu menganut pendirian bahwa hak asasi manusia bukan tanpa batas. Dikatakan pula bahwa semangat yang sama juga terdapat dalam pengaturan tentang hak asasi dalam UUD 1945, yaitu bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Keterangan senada juga disampaikan oleh Patrialis Akbar, mantan anggota PAH I BP MPR lainnya, pada persidangan yang sama. Dari jawaban-jawaban kedua mantan anggota PAH I BP MPR atas pertanyaan Kuasa Pemohon, Pemerintah, Pihak Terkait Badan Narkotika Nasional, dan Hakim Konstitusi dalam persidangan, hal penting yang didapat adalah bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. “... kembali saya tegaskan bahwa keberadaan Pasal 28J ini adalah pasal, satu-satunya pasal, yang terdiri dari dua ayat yang justru bicara kewajiban, padahal babnya hak asasi manusia. Dan sengaja ditaruh di pasal yang paling akhir sebagai kunci dari Pasal 28A sampai Pasal 28I”, demikian ditegaskan oleh Lukman Hakim Saefuddin. Dengan seluruh uraian pada angka 1) di atas, tampak bahwa dilihat dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Jadi, secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 sejalan dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as  are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.”
2)  Dilihat dari sejarah perkembangan konstitusionalisme Indonesia, sebagaimana tercermin dalam konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku, yakni UUD 1945 sebelum Perubahan, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945 sesudah Perubahan, juga tampak adanya kecenderungan untuk tidak memutlakkan hak asasi manusia, dalam arti bahwa dalam halhal tertentu, atas perintah konstitusi, hak asasi manusia dapat dibatasi oleh suatu undang-undang, sebagai berikut:
a.  UUD 1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup, meskipun dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila yang salah satunya adalah sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”;
b.  Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan “Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai berikut, “Peraturan-peraturan undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak dan kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syaratsyarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokrasi”;
c.   Pasal 33 UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan Kebebasankebebasan Dasar Manusia) sebagai berikut, “Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang demokratis”;
d.  UUD 1945 pasca Perubahan, melalui Pasal 28J nampaknya melanjutkan faham konstitusi (konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusikonstitusi Indonesia sebelumnya, yakni melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia sebagaimana telah diuraikan di atas;
3)  Sejalan dengan pandangan konstitusionalisme Indonesia tentang hak asasi manusia sebagaimana diuraikan pada angka 2) di atas, ketika kemudian dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU HAM, kedua produk hukum ini tampak sebagai kelanjutan sekaligus penegasan bahwa pandangan konstitusionalisme Indonesia tidaklah berubah karena ternyata keduanya juga memuat pembatasan terhadap hak asasi manusia, termasuk hak untuk hidup, sebagai berikut:
a.    Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 selain memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa Terhadap Hak Asasi Manusia” yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, dalam Pasal 1 Piagam Hak Asasi Manusia dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”, namun dalam Pasal 36-nya juga dimuat pembatasan terhadap hak asasi manusia termasuk hak untuk hidup sebagai berikut, “Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”;
b.    UU HAM dalam Pasal 9 ayat (1) dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan dalam Pasal 4 ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Namun Penjelasan Pasal 9 UU HAM menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi dalam dua hal, yaitu dalam hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam hal pidana mati berdasarkan putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 73 UU HAM juga memuat ketentuan mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia sebagai berikut, “Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.
4)  Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia dan juga anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) secara moral perlu memperhatikan isi Deklarasi Cairo Mengenai Hak-hak Asasi Islami yang diselenggarakan oleh OKI yang dalam Pasal 8 huruf a deklarasi tersebut menyatakan, “Kehidupan adalah berkah Tuhan dan hak untuk hidup dijamin bagi setiap umat manusia. Adalah tugas dari individu, masyarakat dan negara-negara untuk melindungi hak-hak ini dari setiap pelanggaran apa pun, dan dilarang untuk mencabut kehidupan kecuali berdasarkan syariat”. Sehingga, menurut pandangan negara-negara anggota OKI, pencabutan hak untuk hidup yang tidak didasarkan atas hukum yang bersumber dari syariat itulah yang dilarang;
5)  Mahkamah telah pernah menjatuhkan putusan dalam permohonan pengujian undang-undang yang mendasarkan dalil-dalil pengujiannya pada Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, yaitu dalam pengujian terhadap diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku surut dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang diajukan oleh Pemohon Abilio Jose Osorio Soares. Sebagaimana dipahami, dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, terdapat sejumlah hak yang secara harfiah dirumuskan sebagai “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dalam hubungan ini, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya, sebagaimana selengkapnya dapat dibaca dalam Putusan Nomor 065/PUU-II/2004, yang pada intinya menegaskan bahwa Pasal 28I ayat (1) haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2), sehingga Mahkamah berpendirian bahwa hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut tidaklah bersifat mutlak. Oleh karena hak untuk hidup juga termasuk ke dalam kelompok hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu yang termasuk dalam rumusan “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, maka pertimbangan hukum dan pendirian Mahkamah tersebut berlaku pula terhadap dalil para Pemohon berkenaan dengan hak untuk hidup (right to life) dalam permohonan a quo;
6)  Bukti lain yang menunjukkan ketidakmutlakan hak untuk hidup (right to life), baik yang berwujud ketentuan-ketentuan yang membolehkan diberlakukannya pidana mati dengan pembatasan-pembatasan tertentu ataupun ketentuan-ketentuan tentang penghilangan nyawa secara absah, dapat ditemukan dalam sejumlah instrumen hukum internasional yang mengatur tentang atau berkait dengan hak asasi manusia, di antaranya, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Protocol Additional I to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict, Protocol Additional II to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict, Rome Statute of International Criminal Court, Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (European Convention on Human Rights), American Convention on Human Rights, Protocol No. 6 to the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms Concerning the Abolition of the Death Penalty.
§  ICCPR, Pasal 6 ayat (2) menyatakan, “In countries which have not abolished death penalty, sentence of death may be imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime and not contrary to the provisions of the present Covenant and to the Convention on the Prevention and Punishment of Crime of Genocide.This penalty can only be carried out pursuant to a final judgement rendered by a competent court”.
§  Protocol Additional I to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict, yang populer disebut Protokol I: Pasal 76 ayat (3) menyatakan, “To the maximum extent feasible, the Parties to the conflict shall endeavour to avoid the pronouncement of the death penalty on pregnant women or mothers having dependent infants, for an offence related to the armed conflict. The death penalty for such offences shall not be executed on such women”; Sementara itu dalam Pasal 77 ayat (5) dari instrumen yang sama dikatakan, “The death penalty of an offence related to the armed conflict shall not be executed on persons who had not attained the age of eighteen years at the time the offence was committed”;
§  Protocol Additional II to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict, yang populer disebut Protokol II, Pasal 6 ayat (4) menyatakan, “The death penalty shall not be pronounced on persons who were under the age of eighteen years at the time of the offence and shall not carried out on pregnant women or mothers of young children”;
§  Rome Statute of International Criminal Court, Pasal 80 ditegaskan, “Nothing in this Part of the Statute affects the application by States of penalties prescribed by their national law, nor the law of States which do not provide for penalties prescribed in this Part”. Dengan ketentuan ini berarti, Rome Statute tidak melarang jika hukum nasional negara-negara peserta Statuta ini memberlakukan pidana mati.
§  Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (European Convention on Human Rights), Pasal 2 ayat (2) menyatakan, “Deprivation of life shall not be regarded as inflicted in contravention of this Article when it results from the use of force which is no more than absolutely necessary:
(a) in defence of any person from unlawful violence;
(b) in order to effect a lawful arrest or to prevent the escape of person lawfully detained;
(c) in action lawfully taken for the purpose of quelling a riot or insurrection”. Dengan ketentuan ini, meskipun tidak mengatur tentang pidana mati, jelas bahwa jika hak untuk hidup benar bersifat mutlak maka tentu tidak perlu ada penegasan sebagaimana disebut pada huruf (a), (b), (c) di atas, khususnya huruf (b) dan (c).
§  American Convention on Human Rights, dalam Pasal 4-nya berbunyi,
1.  Every person has the right to have his life respected. This right shall be protected by law and, in general, from the moment of conception. No one shall be arbitrarily depreived of his life.
2.  In countries that have not abolished the death penalty, it may be imposed only for the most serious crimes and pursuant to a final judgement rendered by a competent court and in accordance with a law establishing such a punishment, enacted prior to the commission of the crime. The application of such punishment shall not be extended to crimes to which it does not presently apply.
3.  The death penalty shall not be reestablished in states that have abolished it.
4.  In no case shall capital punishment be inflicted for political offences or related common crimes.
5.  Capital punishment shall not be imposed upon persons who, at the time the crime was committed, were under 18 years of age or over 70 years of age; nor it shall be apply to pregnant women.
6.  Every person condemned to death shall have the right to apply for amnesty, pardon, or commutation of sentence, which may be granted in all cases. Capital punishment shall not be imposed while such a petition is pending decision by the competent authority.
Ketentuan dalam Pasal 4 American Convention on Human Rights di atas, meskipun jelas arahnya adalah pada penghapusan pidana mati, masih membuka kemungkinan pemberlakuan pidana mati, dengan pembatasan-pembatasan yang cukup ketat. Dengan kata lain, konvensi tersebut tidak menempatkan hak untuk hidup sebagai hak yang bersifat mutlak.
§  Protocol Number 6 to the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms Concerning the Abolition of the Death Penalty, Pasal 2 menyatakan, “A State may make provision in its law for death penalty in respect of acts committed in time of war or imminent threat of war; such penalty shall be applied only in the instances laid down in the law and in accordance with its provisions. The State shall communicate to Secretary General of the Council of Europe the relevant provisions of that law”. Dengan ketentuan ini tampak nyata bahwa bahkan protokol yang secara tegas dimaksudkan untuk menghapus pidana mati pun masih memungkinkan diberlakukannya pidana mati menurut hukum nasional negara-negara pesertanya. Ketentuan-ketentuan dalam berbagai instrumen hukum internasional di atas menunjukkan bahwa pemberlakuan pidana mati atau penghilangan nyawa dibenarkan sepanjang memenuhi persyaratan-persyaratan atau pembatasan-pembatasan yang ditentukan. Artinya, penghapusan pidana mati belum menjadi norma hukum yang berlaku umum yang diterima oleh masyarakat internasional secara universal. Yang dapat dikatakan sebagai norma hukum demikian adalah pembatasan-pembatasan terhadap pemberlakuan pidana mati tersebut. Berdasarkan uraian pada angka 1) sampai dengan 5) di atas, telah nyata bahwa pengertian “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 tersebut tidaklah bersifat mutlak.
(c) Berkenaan dengan argumentasi para Pemohon bahwa Indonesia adalah bagian dari masyarakat internasional, sementara masyarakat internasional cenderung menghapuskan pidana mati, maka menurut para Pemohon sudah seyogianya Indonesia juga melakukan tindakan yang sama.
Terhadap argumentasi para Pemohon ini Mahkamah berpendapat bahwa, secara hukum, mengingat sifat hakikat hukum internasional yang merupakan tertib hukum koordinatif, tanpa membantah pernyataan para Pemohon bahwa masyarakat internasional cenderung menghapuskan pidana mati, maka relevansi argumentasi para Pemohon ini baru akan mempunyai nilai hukum apabila dapat dibuktikan bahwa dengan tetap mencantumkan ketentuan tentang pidana mati di dalam undang-undang nasionalnya, Indonesia telah melanggar suatu kewajiban internasional yang lahir dari perjanjian internasional. Jika tidak, maka argumentasi para Pemohon ini haruslah diperlakukan dan diterima sebagai seruan moral belaka.
Berhubung para Pemohon menekankan keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian internasional, in casu International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang menurut para Pemohon menghendaki dihapuskannya pidana mati, maka untuk mengetahui ada-tidaknya pelanggaran suatu kewajiban internasional yang lahir dari perjanjian internasional, ketentuan yang harus dijadikan rujukan pertama adalah ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, selanjutnya disebut Konvensi Wina 1969), yang khusus berlaku bagi perjanjian internasional negara dengan negara.
Pasal 27 Konvensi Wina 1969, yang berada di bawah titel Internal law and observance of treaties, berbunyi, “A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for its failure to perform a treaty. This rule is without prejudice to article 46”. Sedangkan Pasal 46 Konvensi Wina yang ditunjuk oleh Pasal 27 tersebut berbunyi, pada ayat (1)-nya, “A State may not invoke the fact that its consent to be bound by a treaty has been expressed in violation of a provision of its internal law regarding competence to conclude treaties as invalidating its consent unless that violation was manifest and corcerned a rule of its internal law of fundamental importance”. Artinya, berdasarkan kedua ketentuan dalam Konvensi Wina 1969 tersebut di atas, suatu negara tidak boleh membatalkan keterikatannya kepada suatu perjanjian internasional dengan menggunakan ketentuan hukum nasional sebagai alasan, kecuali jika ketentuan hukum nasional dimaksud mempunyai nilai yang sangat penting (fundamental importance). Dengan demikian, seandainya pun suatu negara terbukti tidak memenuhi ketentuan suatu perjanjian (failure to perform a treaty) sepanjang pelanggaran demikian bersifat nyata dan berkenaan dengan ketentuan hukum nasional negara bersangkutan yang secara mendasar sangat penting (fundamental importance), hal demikian dikecualikan dari ruang lingkup pelanggaran perjanjian internasional.
ICCPR, yang oleh para Pemohon dijadikan sebagai instrumen hukum penting untuk mendukung dalil-dalilnya, walaupun benar semangatnya adalah menghapuskan pidana mati, tidaklah melarang negara-negara pihak (state parties) untuk memberlakukan pidana mati meskipun dibatasi yaitu hanya “terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut” [“the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime...”, vide Pasal 6 ayat (2) ICCPR]. Hal mana juga diakui oleh para Pemohon sendiri (vide Permohonan hal. 27 dan hal. 44-45). Artinya, dengan dimungkinkannya suatu negara untuk memberlakukan pidana mati, meskipun dengan pembatasan-pembatasan, hal itu merupakan bukti bahwa hak untuk hidup tidaklah bersifat mutlak. Dengan demikian, dari sudut pandang bahwa ICCPR masih membolehkan negara-negara pihak memberlakukan pidana mati dalam undang-undang nasionalnya, Indonesia tidaklah melanggar suatu kewajiban internasional yang lahir dari perjanjian. Namun, bagaimanakah halnya jika dilihat dari perspektif bahwa kebolehan untuk memberlakukan pidana mati itu adalah terbatas pada “kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut” (“the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime..”). Adakah Indonesia telah melanggar suatu kewajiban internasional dengan memberlakukan pidana mati pada sejumlah tindak pidana tertentu dalam UU Narkotika. Hal ini sangat bergantung pada jawaban atas pertanyaan apakah kejahatan yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo termasuk dalam pengertian “kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut” dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR.
Dengan kata lain, apakah tindak pidana dalam UU Narkotika yang diancam dengan pidana mati, yaitu:
1)  tindak pidana “memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan I secara tanpa hak dan melawan hukum” [Pasal 80 ayat (1) huruf a];
2)  tindak pidana “memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan I secara tanpa hak dan melawan hukum yang didahului dengan permufakatan jahat” [Pasal 80 ayat (2) huruf b];
3)  tindak pidana “memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan I secara tanpa hak dan melawan hukum yang dilakukan secara terorganisasi” [Pasal 80 ayat (3) huruf a];
4)  tindak pidana “membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika Golongan I secara tanpa hak dan melawan hukum” [Pasal 81 ayat (3) huruf a];
5)  tindak pidana “mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan I secara tanpa hak dan melawan hukum” [Pasal 82 ayat (1) huruf a];
6)  tindak pidana “mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan I secara tanpa hak dan melawan hukum yang didahului dengan permufakatan jahat” [Pasal 82 ayat (2) huruf a];
7)  tindak pidana “mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan I secara tanpa hak dan melawan hukum yang dilakukan secara terorganisasi” [Pasal 82 ayat (3) huruf a] merupakan kejahatan-kejahatan yang tergolong ke dalam pengertian “kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut” (“the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime”).
Terhadap pertanyaan tersebut Mahkamah berpendapat:
a)  Frasa “kejahatan yang paling serius” (“the most serious crimes”) dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR di atas tidaklah boleh dibaca terpisah dengan frasa berikutnya, yaitu “sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat kejahatan itu dilakukan” (“in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime”). Permohonan a quo adalah permohonan pengujian UU Narkotika terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, apakah kejahatan-kejahatan sebagaimana disebut pada angka 1) sampai dengan 7) di atas termasuk ke dalam pengertian “kejahatan paling serius”, hal itu harus dikaitkan dengan “hukum yang berlaku terhadap kejahatan-kejahatan narkotika tersebut pada saat dilakukan, baik hukum nasional maupun internasional”.
b)  Pada saat para Pemohon melakukan kejahatan narkotika, yang berakibat pada dijatuhkannya pidana mati terhadap para Pemohon, di tingkat nasional hukum yang berlaku adalah UU Narkotika, sementara itu di tingkat internasional hukum yang berlaku adalah United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988 (selanjutnya disebut Konvensi Narkotika dan Psikotropika), di mana Indonesia merupakan negara pihak (state party) yaitu melalui ratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997.
c)  UU Narkotika adalah implementasi kewajiban hukum internasional yang lahir dari perjanjian internasional, in casu Konvensi Narkotika dan Psikotropika, sebagaimana ditegaskan pada konsiderans “Mengingat” angka 4 dan Penjelasan Umum alinea ke-4 UU Narkotika. Salah satu kewajiban hukum internasional yang timbul dari keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika tersebut ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (6) Konvensi dimaksud yang menyatakan, “The Parties shall endeavour to ensure that any discretionary legal power under their domestic law relating to the prosecution of persons for offences in accordance with this article are exercised to maximize the effectiveness of law enforcement measures in respect of those offences, and with due regard to the need to deter the commission of such offences”. Kejahatan-kejahatan yang dimaksud oleh Pasal 3 ayat (6) Konvensi Narkotika dan Psikotropika tersebut tercantum dalam Pasal 3 ayat (5), yang selengkapnya menyatakan, “The parties shall ensure that their domestic courts and other competent authorities having jurisdiction can take into account factual circumstances which make the commission of the offences established in accordance with paragraph I of this article particularly serious, such as:
(a) the involvement in the offence of an organized criminal group to which the offender belongs;
(b) the involvement of the offender in other international organized activities;
(c) the involvement of the offender in other illegal activities facilitated by commission of the offence;
(d) the use of violence or arms by the offender;
(e) the fact that the offender holds a public office and that the offence is connected with the office in question;
(f) the victimization or use of minors;
(g) the fact that the offence is committed in a penal institution or in an educational institution or social service facility or in their immediate vicinity or in other places to which school children and students resort for educational, sports and social activitities;
(h) prior conviction, particularly for similar offences, whether foreign or domestic, to the extent permitted under domestic law of a Party”
Sementara itu, ayat 1 (paragraph 1) yang ditunjuk oleh Pasal 3 ayat (5) di atas menyatakan, antara lain, “Each Party shall adopt such measures as may be necessary to establish as criminal offences under its domestic law, when committed intentionally:
a)
i) the production, manufacture, extraction, offering, offering for sale, distribution, sale, delivery, on any terms whatsoever, brokerage, dispatch, dispatch in transit, transport, importation or exportation of any narcotic drug or any psychotropic substance contrary to the provisions of the 1961 Convention, the 1961 Convention as amended or the 1971 Convention;
ii) the cultivation of opium poppy, coca bush or cannabis plant for the purpose of the production of narcotic drugs contrary to the provisions of the 1961 Convention and the 1961 Convention as amended;
iii) the possession or purchase of any narcotic drug or psychotropic substance for the purpose of any of the activities enumerated in i) above;
iv) the manufacture, transport or distribution of equipment, materials or of substances listed in Table I and Table II, knowing that they are to be used in or for the illicit cultivation, production or manufacture of narcotic drugs or psychotropic substances;
v) the organization, management or financing of any offences enumerated in i), ii), iii) or iv) above;
b) ......
c) ..... “
(d) Oleh karena itu, dengan menafsirkan secara sistematis (sistematische interpretatie) ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (5), serta ayat (6) dan kemudian dihubungkan dengan ketentuanketentuan dalam UU Narkotika yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, tampak bahwa ketentuan-ketentuan dalam UU Narkotika yang dimohonkan pengujian tersebut adalah bentuk national implementation dari kewajiban hukum internasional Indonesia yang lahir dari perjanjian internasional, in casu Konvensi Narkotika dan Psikotropika, di mana menurut Konvensi ini kejahatan-kejahatan demikian termasuk ke dalam kejahatan-kejahatan yang sangat serius (particularly serious).
(e) Penafsiran sebagaimana disebut pada huruf (d) di atas adalah sesuai dengan ketentuan umum penafsiran (general rule of interpretation) perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Konvensi Wina 1969 yang pada ayat (1)-nya berbunyi, “A treaty shall be interpreted in good faith in accordance with the ordinary meaning to be given to the terms of a treaty in their context and in the light of its object and purpose” (suatu perjanjian internasional harus ditafsirkan dengan itikad baik sesuai dengan pengertian sehari-hari yang diberikan terhadap istilah-istilah dalam suatu perjanjian internasional sesuai dengan konteksnya dan dengan mengingat objek dan tujuan perjanjian internasional tersebut).
Konteks dari Konvensi Narkotika dan Psikotropika terlihat dari Pembukaan (Preamble) Konvensi dimaksud, alinea pertama dan kedua, yang menyatakan, “Deeply concerned by the magnitude of and rising trend in the illicit production of, demand for and traffic in narcotic drugs and psychotropic substances, which pose a serious threat to the health and welfare of human beings and adversarily affect the economic, cultural and political foundation of society, Deeply concerned also by the steadily increasing inroads into various social groups made by illicit traffic in narcotic drugs and psychotropic substances, and particularly by the fact that children are used in many parts of the world as an illicit drug consumers market and for the purposes of illicit production, distribution and trade in narcotic drugs and psychotropic substances, which entails a danger of incalculable gravity”.
(f) Jika kejahatan-kejahatan yang dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika dikatakan sebagai kejahatan-kejahatan yang sangat serius (particularly serious) diperbandingkan dengan kejahatan-kejahatan yang selama ini telah diterima sebagai kelompok kejahatan paling serius (the most serious crimes), seperti kejahatan genosida (genocide crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), maka secara substantif tidak terdapat perbedaan diantara kedua kelompok kejahatan itu. Karena, baik kejahatan-kejahatan yang tergolong ke dalam “the most serious crimes” maupun kejahatan-kejahatan yang dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika disebut sebagai kejahatan-kejahatan yang “particularly serious” tersebut sama-sama “adversarily affect the economic, cultural and political foundation of society” dan sama-sama pula membawa “a danger of incalculable gravity”.
(g) Berdasarkan uraian pada huruf (a) sampai dengan (f) di atas, telah cukup alasan untuk menyatakan bahwa kejahatan-kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a UU Narkotika adalah tergolong ke dalam kelompok kejahatan yang paling serius baik menurut UU Narkotika maupun menurut ketentuan hukum internasional yang berlaku pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Dengan demikian, kualifikasi kejahatan pada pasal-pasal UU Narkotika di atas dapat disetarakan dengan “the most serious crime” menurut ketentuan Pasal 6 ICCPR.
(h) Bahwa, berdasarkan uraian pada huruf (a) sampai dengan (g) di atas, tidak terdapat kewajiban hukum internasional apa pun yang lahir dari perjanjian internasional yang dilanggar oleh Indonesia dengan memberlakukan pidana mati terhadap kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a UU Narkotika. Sebaliknya, pemberlakuan pidana mati terhadap kejahatan-kejahatan dimaksud justru merupakan salah satu konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (6) Konvensi, yang intinya bagi negara pihak dapat memaksimalkan efektivitas penegakan hukum dalam kaitan dengan tindak pidana yang berkait dengan narkotika dan psikotropika dengan memperhatikan kebutuhan untuk mencegah kejahatan dimaksud (to maximize the effectiveness of law enforcement measures in respect of those offences, and with due regard to the need to deter the commission of such offences), sebagaimana telah diuraikan pada huruf (c) di atas.
(i) Bahwa pemberlakuan pidana mati terhadap kejahatan-kejahatan yang diatur dalam pasal-pasal UU Narkotika yang dimohonkan pengujian, di samping sebagai konsekuensi Indonesia sebagai negara pihak (state party) seperti diuraikan pada huruf (h), juga didukung oleh ketentuan Pasal 24 Konvensi Narkotika dan Psikotropika yang menyatakan, “A party may adopt more strict of severe measures than those provided by this Convention if, in its opinion, such measures are desirable or necessary for the prevention or suppression of illicit traffic”. Dengan kata lain, dalam hubungannya dengan permohonan a quo, jika menurut Indonesia sebagai negara peserta Konvensi langkah-langkah yang lebih keras, dalam hal ini ancaman pidana mati, dipandang diperlukan untuk mencegah dan memberantas kejahatan-kejahatan tadi, maka langkah-langkah demikian bukan hanya tidak bertentangan tetapi justru dibenarkan dan disarankan oleh Konvensi dimaksud. Artinya Indonesia sebagai negara pihak yang menganut sistem pidana mati bagi pelaku kejahatan Narkotika tertentu berhak menetapkan pidana mati bagi para pelaku kejahatan Narkotika tersebut. Demikian pula jika pada suatu ketika Indonesia akan mengadopsi gagasan ancaman pidana penjara seumur hidup tanpa pengurangan (life sentence without parole) seperti yang didalilkan para Pemohon, maka hal demikian juga tidak bertentangan dengan Konvensi.
(j) Konsekuensi yang lahir dari keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika untuk mengambil langkah-langkah secara nasional yang lebih keras dalam upaya memberantas kejahatan narkotika secara hukum adalah lebih tinggi derajat kekuatan mengikatnya dilihat dari sudut pandang kualifikasi sumber hukum internasional, sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (Statute of International Court of Justice), dibandingkan dengan pendapat Komisi HAM PBB yang berpendapat bahwa kejahatan yang berhubungan dengan obat-obatan terlarang tidak termasuk dalam kejahatan yang paling serius (most serious crime).
Bahwa meskipun berdasarkan seluruh pertimbangan di atas telah nyata bahwa pemberlakuan pidana mati terhadap kejahatan-kejahatan tertentu dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah memandang perlu untuk memberikan catatan penting di bawah ini:
§  Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights juncto Pasal 6 ICCPR juncto UU HAM dan UUD 1945 serta berbagai Konvensi Internasional yang menyangkut Narkotika, khususnya Konvensi PBB 1960 tentang Narkotika dan Konvensi PBB 1988 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, ancaman pidana mati yang dimuat dalam UU Narkotika telah dirumuskan dengan hati-hati dan cermat serta tidak diancamkan pada semua tindak pidana Narkotika yang dimuat dalam UU tersebut, melainkan hanya diberikan kepada:
(a) produsen dan pengedar (termasuk produsen adalah penanamnya) yang melakukannya secara gelap (illicit), tidak kepada penyalahguna atau pelanggar UU Narkotika/Psikotropika yang dilakukan dalam jalur resmi (licit) misalnya pabrik obat/farmasi, pedagang besar farmasi, rumah sakit, puskesmas, dan apotek;
(b) para pelaku sebagaimana disebut dalam butir a di atas yang melakukan kejahatannya menyangkut Narkotika Golongan I (misalnya Ganja dan Heroin);
§  Ancaman pidana mati yang dimuat dalam pasal-pasal pidana UU Narkotika juga diberikan ancaman hukuman pidana minimal khusus. Artinya, dalam menjatuhkan hukuman pada pelaku pelanggaran Pasal-pasal Narkotika Golongan I tersebut, hakim berdasarkan alat bukti yang ada dan keyakinannya dapat menghukum pelakunya dengan ancaman maksimalnya yaitu pidana mati. Sebaliknya, kalau hakim berkeyakinan bahwa sesuai dengan bukti yang ada, unsur sengaja dan tidak sengaja, pelakunya di bawah umur, pelakunya perempuan yang sedang hamil, dan sebagainya, sehingga tidak ada alasan untuk menjatuhkan hukuman maksimum, maka kepada pelakunya (walaupun menyangkut Narkotika Golongan I) dapat pula tidak dijatuhi pidana mati. Dengan demikian, jelaslah bahwa pemberlakuan pidana mati dalam kasus kejahatan Narkotika tidaklah boleh secara sewenang-wenang diterapkan oleh hakim dan ini sesuai dengan ketentuan dalam ICCPR;
§  Sebagai perbandingan di bawah ini disandingkan ancaman pidana mati di tiga negara yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura terhadap pelaku kejahatan Narkotika.
Bahwa dengan memperhatikan sifat irrevocable pidana mati, terlepas dari pendapat Mahkamah perihal tidak bertentangannya pidana mati dengan UUD 1945 bagi kejahatan-kejahatan tertentu dalam UU Narkotika yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, Mahkamah berpendapat bahwa ke depan, dalam rangka pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pidana mati, maka perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia hendaklah memperhatikan dengan sungguh-sungguh hal-hal berikut:
a.  pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif;
b.  pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun;
c.   pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;
d.  eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh;
Bahwa terlepas dari gagasan pembaruan hukum sebagaimana tersebut di atas, demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah menyarankan agar semua putusan pidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) segera dilaksanakan sebagaimana mestinya;
Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas telah nyata bahwa Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a UU Narkotika tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan juga tidak melanggar kewajiban hukum internasional Indonesia yang lahir dari perjanjian internasional. Oleh karenanya, telah nyata pula bahwa permohonan para Pemohon tidak beralasan;
==========
Berikut bunyi lemgkap amar putusan perkara 2-3/PUU-V/2007 :
5. AMAR PUTUSAN
MENGADILI:
§  Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II dalam Perkara Nomor 2/PUU-V/2007 ditolak untuk seluruhnya;
§  Menyatakan permohonan Pemohon III dan Pemohon IV dalam Perkara Nomor 2/PUU-V/2007 tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
§  Menyatakan Permohonan Perkara Nomor 3/PUU-V/2007 tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);

===============

Tidak ada komentar: