Pada
tanggal 18 Januari 2007, dua orang warga negara Indonesia (WNI) yaitu Edith Yunita Sianturi, Rani Andriani
(Melisa Aprilia) dan tiga orang warga negara asing (WNA) Myuran Sukumaran, Andrew Chan, Scott
Anthony Rush (ketiganya Warga Negara Australia) mengajukan permohonan
pengujian Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a,
Pasal 81 ayat (3) huruf a, serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a,
dan ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap
UUD 1945, sebagai berikut:
§ Pasal
80 ayat (1) huruf a, “Barang siapa tanpa
hak dan melawan hukum: memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi,
merakit, atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati …”.
§ Pasal
80 ayat (2) huruf a, “Apabila tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam: ayat (1) huruf a didahului dengan
permufakatan jahat, dipidana dengan pidana mati …”.
§ Pasal
80 ayat (3) huruf a, “Apabila tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam: ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi,
dipidana dengan pidana mati…”.
§ Pasal
81 ayat (3) huruf a, “Apabila tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam: ayat (1) huruf a dilakukan secara
terorganisasi dipidana dengan pidana mati …”.
§ Pasal
82 ayat (1) huruf a, “Barang siapa tanpa
hak dan melawan hukum: mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual,
menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam
hal jual beli, atau menukar narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati
…”.
§ Pasal
82 ayat (2) huruf a, “Apabila tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di dahului dengan permufakatan
jahat, maka terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: ayat (1) huruf
a, dipidana dengan pidana mati…”.
§ Pasal
82 ayat (3) huruf a, “Apabila tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam: ayat (1) huruf a dilakukan secara
terorganisasi, dipidana dengan pidana mati …”.
Adapun
isu hukum utama yang diajukan oleh para Pemohon adalah hal mengenai pidana mati
yang diatur dalam Undang-Undang Narkotika yang menurut para Pemohon bertentangan
dengan UUD 1945.
Dalam
pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi pada pokoknya menolak permohonan para
Pemohon dan menyatakan bahwa Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat
(3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat
(2) huruf a, ayat (3) huruf a UU Narkotika tidak bertentangan dengan UUD 1945
dan juga tidak melanggar kewajiban hukum internasional Indonesia yang lahir
dari perjanjian internasional sehingga permohonan para Pemohon tidak beralasan.
Selain itu, dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi juga menyatakan
bahwa demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah Konstitusi menyarankan agar
semua putusan pidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) segera
dilaksanakan sebagaimana mestinya;
Berikut
pertimbangan lengkap Mahkamah Konstitusi dalam menjawab persoalan
konstitusionalitas norma tersebut,
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 30 Oktober
2007 telah memutus permohonan 2-3/PUU-V/2007 dengan pertimbangan hukum sebagai
berikut:
Terkait Kedudukan Hukum (Legal Standing)para Pemohon
Bahwa
tentang kedudukan hukum (legal standing)
para Pemohon Warga Negara Asing dalam perkara a quo, Mahkamah berpendapat
sebagai berikut:
a. Pasal
51 ayat (1) huruf a UU MK beserta penjelasannya sangat tegas dan jelas (expressis
verbis) menyatakan bahwa perorangan yang berhak mengajukan permohonan pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945 (yang berarti yang mempunyai hak konstitusional
yang diberikan oleh UUD 1945) hanya WNI, WNA tidak berhak.
b. Tidak
dimungkinkannya WNA mempersoalkan suatu undang-undang Republik Indonesia tidak
berarti bahwa WNA tidak memperoleh perlindungan hukum menurut prinsip due
process of law, in casu dalam hal ketentuan pidana mati di mana Pemohon tetap
dapat melakukan upaya hukum (legal remedies) berupa banding, kasasi, dan
peninjauan kembali.
c. Penjelasan
Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK mengenai “perorangan” termasuk kelompok orang
yang mempunyai kepentingan sama haruslah dikaitkan dengan bunyi Pasal 51 ayat
(1) huruf a “perorangan warga negara Indonesia”, sehingga selengkapnya setelah
ada penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a harus dibaca “perorangan termasuk
orang yang mempunyai kepentingan sama warga negara Indonesia”. Dengan demikian,
Pemohon WNA tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana ketentuan Pasal 51 ayat (1)
huruf a beserta penjelasannya, sehingga para Pemohon WNA tidak mempunyai
kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara a quo. Dengan kata lain, para
Pemohon WNA telah keliru menafsirkan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK
yaitu bahwa, para Pemohon a quo, oleh karena tidak ada kata “Indonesia” pada
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK tersebut, maka berarti WNA pun
memiliki kedudukan hukum untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 karena
para WNA dimaksud termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama.
Pendapat Pemohon yang demikian telah keluar dari konteks Penjelasan Pasal 51
ayat (1) huruf a UU MK. Karena yang dijelaskan oleh Penjelasan Pasal 51 ayat
(1) huruf a UU MK tersebut adalah pengertian kata “perorangan” dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK yang berbunyi, “a.
perorangan warga negara Indonesia”. Sehingga, yang dimaksud oleh kalimat
“termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama” dalam Penjelasan
Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK adalah kelompok orang warga negara Indonesia yang
mempunyai kepentingan sama.
Bahwa
dengan demikian, karena para Pemohon warga negara asing tidak mempunyai legal
standing untuk mengajukan permohonan a quo, maka mutatis mutandis Pokok
Permohonan Pemohon III dan Pemohon IV untuk pengujian Pasal 51 ayat (1) huruf a
UU MK tidak perlu dipertimbangkan, sehingga permohonan tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk verklaard);
Dalam Pokok Permohonan
Bahwa
karena dua orang Pemohon WNI (Pemohon I dan Pemohon II) dalam Perkara Nomor
2/PUU-V/2007 memiliki legal standing, maka lebih lanjut Pokok Permohonan yang
diajukan yakni mengenai konstitusionalitas ketentuan pidana mati dalam UU
Narkotika harus dipertimbangkan. Sedangkan untuk Perkara Nomor 3/PUU-V/2007,
karena Pemohonnya tidak memiliki legal standing, maka pokok permohonannya tidak
perlu dipertimbangkan lebih lanjut;
Bahwa
dalil-dalil yang dikemukakan oleh para Pemohon terkait permohonan a quo pada pokoknya adalah sebagai berikut:
a. Pidana
mati bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh Pasal 28A dan Pasal
28I ayat (1) UUD 1945.
b. Pidana
mati bertentangan dengan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
c. Instrumen-instrumen
hak asasi manusia internasional menghendaki penghapusan pidana mati.
d. Dunia
internasional cenderung menghendaki penghapusan pidana mati.
e. Hukuman
mati bertentangan dengan filosofi pemidanaan Indonesia.
f. Efek
jera pidana mati dalam menurunkan jumlah tindak pidana diragukan.
Terhadap
argumentasi para Pemohon ini Mahkamah Konstitusi berpendapat sebagai berikut:
1) Bahwa
menurut sejarah penyusunan Pasal 28I UUD 1945, sebagaimana diterangkan pada
persidangan tanggal 23 Mei 2007 oleh Lukman Hakim Saefuddin, mantan anggota
Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (PAH I BP MPR) yang bertugas menyiapkan
rancangan perubahan UUD 1945, yang pada intinya menerangkan bahwa tatkala
merumuskan Bab XA (Hak Asasi Manusia) rujukannya atau yang melatarbelakanginya
adalah Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Dari ketetapan MPR tersebut kemudian
lahir Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semangat
keduanya (Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999) adalah sama yaitu menganut pendirian bahwa hak asasi manusia bukan tanpa
batas. Dikatakan pula bahwa semangat yang sama juga terdapat dalam pengaturan
tentang hak asasi dalam UUD 1945, yaitu bahwa hak asasi manusia bukanlah
sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan
dengan undang-undang. Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945.
Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A
sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Keterangan senada juga disampaikan oleh
Patrialis Akbar, mantan anggota PAH I BP MPR lainnya, pada persidangan yang
sama. Dari jawaban-jawaban kedua mantan anggota PAH I BP MPR atas pertanyaan
Kuasa Pemohon, Pemerintah, Pihak Terkait Badan Narkotika Nasional, dan Hakim
Konstitusi dalam persidangan, hal penting yang didapat adalah bahwa hak-hak
asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak,
termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. “... kembali
saya tegaskan bahwa keberadaan Pasal 28J ini adalah pasal, satu-satunya pasal,
yang terdiri dari dua ayat yang justru bicara kewajiban, padahal babnya hak
asasi manusia. Dan sengaja ditaruh di pasal yang paling akhir sebagai kunci
dari Pasal 28A sampai Pasal 28I”, demikian ditegaskan oleh Lukman Hakim
Saefuddin. Dengan seluruh uraian pada angka 1) di atas, tampak bahwa dilihat
dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, seluruh hak asasi manusia yang
tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent
pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga
diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh
ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945
tersebut. Jadi, secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak
asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945
tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Sistematika pengaturan
mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 sejalan dengan sistematika pengaturan
dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang
pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2)
yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be
subject only to such limitations as are
determined by law solely for the purpose of securing due recognition and
respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements
of morality, public order and the general welfare in a democratic society.”
2) Dilihat
dari sejarah perkembangan konstitusionalisme Indonesia, sebagaimana tercermin
dalam konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku, yakni UUD 1945 sebelum Perubahan,
Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945 sesudah Perubahan, juga tampak
adanya kecenderungan untuk tidak memutlakkan hak asasi manusia, dalam arti
bahwa dalam halhal tertentu, atas perintah konstitusi, hak asasi manusia dapat
dibatasi oleh suatu undang-undang, sebagai berikut:
a. UUD
1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap
pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup,
meskipun dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila
yang salah satunya adalah sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”;
b. Pasal
32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan “Hak-hak
dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai berikut, “Peraturan-peraturan
undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang
diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak
dan kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan
dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta
kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syaratsyarat yang adil untuk
ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang
demokrasi”;
c. Pasal
33 UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan Kebebasankebebasan Dasar Manusia)
sebagai berikut, “Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan
dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan undang-undang
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap
hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat
yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu
masyarakat yang demokratis”;
d. UUD
1945 pasca Perubahan, melalui Pasal 28J nampaknya melanjutkan faham konstitusi
(konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusikonstitusi Indonesia
sebelumnya, yakni melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia sebagaimana
telah diuraikan di atas;
3) Sejalan
dengan pandangan konstitusionalisme Indonesia tentang hak asasi manusia
sebagaimana diuraikan pada angka 2) di atas, ketika kemudian dikeluarkan
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian
dijabarkan lebih lanjut dalam UU HAM, kedua produk hukum ini tampak sebagai
kelanjutan sekaligus penegasan bahwa pandangan konstitusionalisme Indonesia
tidaklah berubah karena ternyata keduanya juga memuat pembatasan terhadap hak
asasi manusia, termasuk hak untuk hidup, sebagai berikut:
a. Tap
MPR Nomor XVII/MPR/1998 selain memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa Terhadap Hak
Asasi Manusia” yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan
nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, dalam
Pasal 1 Piagam Hak Asasi Manusia dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup yang
berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”,
namun dalam Pasal 36-nya juga dimuat pembatasan terhadap hak asasi manusia
termasuk hak untuk hidup sebagai berikut, “Di dalam menjalankan hak dan
kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang
ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis”;
b. UU
HAM dalam Pasal 9 ayat (1) dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan dalam
Pasal 4 ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Namun Penjelasan
Pasal 9 UU HAM menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi dalam dua hal,
yaitu dalam hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam hal pidana mati
berdasarkan putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 73 UU HAM juga memuat ketentuan
mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia sebagai berikut, “Hak dan
kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan
berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain,
kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.
4) Indonesia
sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia dan juga anggota
Organisasi Konferensi Islam (OKI) secara moral perlu memperhatikan isi
Deklarasi Cairo Mengenai Hak-hak Asasi Islami yang diselenggarakan oleh OKI
yang dalam Pasal 8 huruf a deklarasi tersebut menyatakan, “Kehidupan adalah
berkah Tuhan dan hak untuk hidup dijamin bagi setiap umat manusia. Adalah tugas
dari individu, masyarakat dan negara-negara untuk melindungi hak-hak ini dari
setiap pelanggaran apa pun, dan dilarang untuk mencabut kehidupan kecuali
berdasarkan syariat”. Sehingga, menurut pandangan negara-negara anggota OKI, pencabutan
hak untuk hidup yang tidak didasarkan atas hukum yang bersumber dari syariat
itulah yang dilarang;
5) Mahkamah
telah pernah menjatuhkan putusan dalam permohonan pengujian undang-undang yang
mendasarkan dalil-dalil pengujiannya pada Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, yaitu
dalam pengujian terhadap diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku surut dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang diajukan
oleh Pemohon Abilio Jose Osorio Soares. Sebagaimana dipahami, dalam Pasal 28I
ayat (1) UUD 1945, terdapat sejumlah hak yang secara harfiah dirumuskan sebagai
“hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, termasuk di dalamnya
hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku
surut. Dalam hubungan ini, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya, sebagaimana
selengkapnya dapat dibaca dalam Putusan Nomor 065/PUU-II/2004, yang pada
intinya menegaskan bahwa Pasal 28I ayat (1) haruslah dibaca bersama-sama dengan
Pasal 28J ayat (2), sehingga Mahkamah berpendirian bahwa hak untuk tidak
dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut tidaklah bersifat mutlak. Oleh
karena hak untuk hidup juga termasuk ke dalam kelompok hak yang diatur dalam
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu yang termasuk dalam rumusan “hak yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, maka pertimbangan hukum dan pendirian
Mahkamah tersebut berlaku pula terhadap dalil para Pemohon berkenaan dengan hak
untuk hidup (right to life) dalam permohonan a quo;
6) Bukti
lain yang menunjukkan ketidakmutlakan hak untuk hidup (right to life), baik
yang berwujud ketentuan-ketentuan yang membolehkan diberlakukannya pidana mati
dengan pembatasan-pembatasan tertentu ataupun ketentuan-ketentuan tentang
penghilangan nyawa secara absah, dapat ditemukan dalam sejumlah instrumen hukum
internasional yang mengatur tentang atau berkait dengan hak asasi manusia, di
antaranya, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR),
Protocol Additional I to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of
Victims of International Armed Conflict, Protocol Additional II to the 1949 Conventions
and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict,
Rome Statute of International Criminal Court, Convention for the Protection of
Human Rights and Fundamental Freedoms (European Convention on Human Rights),
American Convention on Human Rights, Protocol No. 6 to the Convention for the
Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms Concerning the Abolition of
the Death Penalty.
§ ICCPR,
Pasal 6 ayat (2) menyatakan, “In countries which have not abolished death
penalty, sentence of death may be imposed only for the most serious crimes in
accordance with the law in force at the time of the commission of the crime and
not contrary to the provisions of the present Covenant and to the Convention on
the Prevention and Punishment of Crime of Genocide.This penalty can only be
carried out pursuant to a final judgement rendered by a competent court”.
§ Protocol
Additional I to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims
of International Armed Conflict, yang populer disebut Protokol I: Pasal 76 ayat
(3) menyatakan, “To the maximum extent feasible, the Parties to the conflict
shall endeavour to avoid the pronouncement of the death penalty on pregnant
women or mothers having dependent infants, for an offence related to the armed
conflict. The death penalty for such offences shall not be executed on such
women”; Sementara itu dalam Pasal 77 ayat (5) dari instrumen yang sama dikatakan,
“The death penalty of an offence related to the armed conflict shall not be
executed on persons who had not attained the age of eighteen years at the time
the offence was committed”;
§ Protocol
Additional II to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims
of Non-International Armed Conflict, yang populer disebut Protokol II, Pasal 6
ayat (4) menyatakan, “The death penalty shall not be pronounced on persons who
were under the age of eighteen years at the time of the offence and shall not
carried out on pregnant women or mothers of young children”;
§ Rome
Statute of International Criminal Court, Pasal 80 ditegaskan, “Nothing in this
Part of the Statute affects the application by States of penalties prescribed
by their national law, nor the law of States which do not provide for penalties
prescribed in this Part”. Dengan ketentuan ini berarti, Rome Statute tidak
melarang jika hukum nasional negara-negara peserta Statuta ini memberlakukan
pidana mati.
§ Convention
for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (European
Convention on Human Rights), Pasal 2 ayat (2) menyatakan, “Deprivation of life
shall not be regarded as inflicted in contravention of this Article when it
results from the use of force which is no more than absolutely necessary:
(a) in defence of any person
from unlawful violence;
(b) in order to effect a
lawful arrest or to prevent the escape of person lawfully detained;
(c) in action lawfully taken
for the purpose of quelling a riot or insurrection”. Dengan ketentuan ini,
meskipun tidak mengatur tentang pidana mati, jelas bahwa jika hak untuk hidup
benar bersifat mutlak maka tentu tidak perlu ada penegasan sebagaimana disebut
pada huruf (a), (b), (c) di atas, khususnya huruf (b) dan (c).
§ American
Convention on Human Rights, dalam Pasal 4-nya berbunyi,
1. Every
person has the right to have his life respected. This right shall be protected
by law and, in general, from the moment of conception. No one shall be
arbitrarily depreived of his life.
2. In
countries that have not abolished the death penalty, it may be imposed only for
the most serious crimes and pursuant to a final judgement rendered by a
competent court and in accordance with a law establishing such a punishment,
enacted prior to the commission of the crime. The application of such
punishment shall not be extended to crimes to which it does not presently
apply.
3. The
death penalty shall not be reestablished in states that have abolished it.
4. In
no case shall capital punishment be inflicted for political offences or related
common crimes.
5. Capital
punishment shall not be imposed upon persons who, at the time the crime was
committed, were under 18 years of age or over 70 years of age; nor it shall be
apply to pregnant women.
6. Every
person condemned to death shall have the right to apply for amnesty, pardon, or
commutation of sentence, which may be granted in all cases. Capital punishment
shall not be imposed while such a petition is pending decision by the competent
authority.
Ketentuan dalam Pasal 4
American Convention on Human Rights di atas, meskipun jelas arahnya adalah pada
penghapusan pidana mati, masih membuka kemungkinan pemberlakuan pidana mati,
dengan pembatasan-pembatasan yang cukup ketat. Dengan kata lain, konvensi tersebut
tidak menempatkan hak untuk hidup sebagai hak yang bersifat mutlak.
§ Protocol
Number 6 to the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental
Freedoms Concerning the Abolition of the Death Penalty, Pasal 2 menyatakan, “A
State may make provision in its law for death penalty in respect of acts
committed in time of war or imminent threat of war; such penalty shall be
applied only in the instances laid down in the law and in accordance with its
provisions. The State shall communicate to Secretary General of the Council of
Europe the relevant provisions of that law”. Dengan ketentuan ini tampak nyata
bahwa bahkan protokol yang secara tegas dimaksudkan untuk menghapus pidana mati
pun masih memungkinkan diberlakukannya pidana mati menurut hukum nasional
negara-negara pesertanya. Ketentuan-ketentuan dalam berbagai instrumen hukum
internasional di atas menunjukkan bahwa pemberlakuan pidana mati atau
penghilangan nyawa dibenarkan sepanjang memenuhi persyaratan-persyaratan atau pembatasan-pembatasan
yang ditentukan. Artinya, penghapusan pidana mati belum menjadi norma hukum
yang berlaku umum yang diterima oleh masyarakat internasional secara universal.
Yang dapat dikatakan sebagai norma hukum demikian adalah pembatasan-pembatasan
terhadap pemberlakuan pidana mati tersebut. Berdasarkan uraian pada angka 1) sampai
dengan 5) di atas, telah nyata bahwa pengertian “tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun” dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 tersebut tidaklah bersifat
mutlak.
(c)
Berkenaan dengan argumentasi para Pemohon bahwa Indonesia adalah bagian dari
masyarakat internasional, sementara masyarakat internasional cenderung menghapuskan
pidana mati, maka menurut para Pemohon sudah seyogianya Indonesia juga
melakukan tindakan yang sama.
Terhadap
argumentasi para Pemohon ini Mahkamah berpendapat bahwa, secara hukum,
mengingat sifat hakikat hukum internasional yang merupakan tertib hukum
koordinatif, tanpa membantah pernyataan para Pemohon bahwa masyarakat
internasional cenderung menghapuskan pidana mati, maka relevansi argumentasi
para Pemohon ini baru akan mempunyai nilai hukum apabila dapat dibuktikan bahwa
dengan tetap mencantumkan ketentuan tentang pidana mati di dalam undang-undang
nasionalnya, Indonesia telah melanggar suatu kewajiban internasional yang lahir
dari perjanjian internasional. Jika tidak, maka argumentasi para Pemohon ini
haruslah diperlakukan dan diterima sebagai seruan moral belaka.
Berhubung
para Pemohon menekankan keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian internasional,
in casu International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang
menurut para Pemohon menghendaki dihapuskannya pidana mati, maka untuk
mengetahui ada-tidaknya pelanggaran suatu kewajiban internasional yang lahir
dari perjanjian internasional, ketentuan yang harus dijadikan rujukan pertama
adalah ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Konvensi Wina Tahun 1969 tentang
Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of Treaties 1969,
selanjutnya disebut Konvensi Wina 1969), yang khusus berlaku bagi perjanjian
internasional negara dengan negara.
Pasal
27 Konvensi Wina 1969, yang berada di bawah titel Internal law and observance
of treaties, berbunyi, “A party may not invoke the provisions of its internal
law as justification for its failure to perform a treaty. This rule is without prejudice
to article 46”. Sedangkan Pasal 46 Konvensi Wina yang ditunjuk oleh Pasal 27
tersebut berbunyi, pada ayat (1)-nya, “A State may not invoke the fact that its
consent to be bound by a treaty has been expressed in violation of a provision
of its internal law regarding competence to conclude treaties as invalidating
its consent unless that violation was manifest and corcerned a rule of its
internal law of fundamental importance”. Artinya, berdasarkan kedua ketentuan
dalam Konvensi Wina 1969 tersebut di atas, suatu negara tidak boleh membatalkan
keterikatannya kepada suatu perjanjian internasional dengan menggunakan
ketentuan hukum nasional sebagai alasan, kecuali jika ketentuan hukum nasional
dimaksud mempunyai nilai yang sangat penting (fundamental importance). Dengan
demikian, seandainya pun suatu negara terbukti tidak memenuhi ketentuan suatu
perjanjian (failure to perform a treaty) sepanjang pelanggaran demikian
bersifat nyata dan berkenaan dengan ketentuan hukum nasional negara
bersangkutan yang secara mendasar sangat penting (fundamental importance), hal
demikian dikecualikan dari ruang lingkup pelanggaran perjanjian internasional.
ICCPR,
yang oleh para Pemohon dijadikan sebagai instrumen hukum penting untuk
mendukung dalil-dalilnya, walaupun benar semangatnya adalah menghapuskan pidana
mati, tidaklah melarang negara-negara pihak (state parties) untuk memberlakukan
pidana mati meskipun dibatasi yaitu hanya “terhadap kejahatan-kejahatan yang
paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan
tersebut” [“the most serious crimes in accordance with the law in force at the
time of the commission of the crime...”, vide Pasal 6 ayat (2) ICCPR]. Hal mana
juga diakui oleh para Pemohon sendiri (vide Permohonan hal. 27 dan hal. 44-45).
Artinya, dengan dimungkinkannya suatu negara untuk memberlakukan pidana mati,
meskipun dengan pembatasan-pembatasan, hal itu merupakan bukti bahwa hak untuk hidup
tidaklah bersifat mutlak. Dengan demikian, dari sudut pandang bahwa ICCPR masih
membolehkan negara-negara pihak memberlakukan pidana mati dalam undang-undang
nasionalnya, Indonesia tidaklah melanggar suatu kewajiban internasional yang
lahir dari perjanjian. Namun, bagaimanakah halnya jika dilihat dari perspektif
bahwa kebolehan untuk memberlakukan pidana mati itu adalah terbatas pada
“kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada
saat dilakukannya kejahatan tersebut” (“the most serious crimes in accordance
with the law in force at the time of the commission of the crime..”). Adakah
Indonesia telah melanggar suatu kewajiban internasional dengan memberlakukan
pidana mati pada sejumlah tindak pidana tertentu dalam UU Narkotika. Hal ini
sangat bergantung pada jawaban atas pertanyaan apakah kejahatan yang dimohonkan
pengujian dalam permohonan a quo termasuk dalam pengertian “kejahatan yang
paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan
tersebut” dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR.
Dengan
kata lain, apakah tindak pidana dalam UU Narkotika yang diancam dengan pidana
mati, yaitu:
1) tindak
pidana “memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau
menyediakan narkotika Golongan I secara tanpa hak dan melawan hukum” [Pasal 80
ayat (1) huruf a];
2) tindak
pidana “memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau
menyediakan narkotika Golongan I secara tanpa hak dan melawan hukum yang
didahului dengan permufakatan jahat” [Pasal 80 ayat (2) huruf b];
3) tindak
pidana “memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau
menyediakan narkotika Golongan I secara tanpa hak dan melawan hukum yang
dilakukan secara terorganisasi” [Pasal 80 ayat (3) huruf a];
4) tindak
pidana “membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika Golongan I
secara tanpa hak dan melawan hukum” [Pasal 81 ayat (3) huruf a];
5) tindak
pidana “mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual,
membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar
narkotika Golongan I secara tanpa hak dan melawan hukum” [Pasal 82 ayat (1)
huruf a];
6) tindak
pidana “mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual,
membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar
narkotika Golongan I secara tanpa hak dan melawan hukum yang didahului dengan
permufakatan jahat” [Pasal 82 ayat (2) huruf a];
7) tindak
pidana “mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual,
membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar
narkotika Golongan I secara tanpa hak dan melawan hukum yang dilakukan secara
terorganisasi” [Pasal 82 ayat (3) huruf a] merupakan kejahatan-kejahatan yang
tergolong ke dalam pengertian “kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai
dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut” (“the most
serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission
of the crime”).
Terhadap
pertanyaan tersebut Mahkamah berpendapat:
a) Frasa
“kejahatan yang paling serius” (“the most serious crimes”) dalam Pasal 6 ayat
(2) ICCPR di atas tidaklah boleh dibaca terpisah dengan frasa berikutnya, yaitu
“sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat kejahatan itu dilakukan” (“in
accordance with the law in force at the time of the commission of the crime”).
Permohonan a quo adalah permohonan pengujian UU Narkotika terhadap UUD 1945.
Oleh karena itu, apakah kejahatan-kejahatan sebagaimana disebut pada angka 1)
sampai dengan 7) di atas termasuk ke dalam pengertian “kejahatan paling
serius”, hal itu harus dikaitkan dengan “hukum yang berlaku terhadap
kejahatan-kejahatan narkotika tersebut pada saat dilakukan, baik hukum nasional
maupun internasional”.
b) Pada
saat para Pemohon melakukan kejahatan narkotika, yang berakibat pada
dijatuhkannya pidana mati terhadap para Pemohon, di tingkat nasional hukum yang
berlaku adalah UU Narkotika, sementara itu di tingkat internasional hukum yang
berlaku adalah United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic
Drugs and Psychotropic Substances 1988 (selanjutnya disebut Konvensi Narkotika
dan Psikotropika), di mana Indonesia merupakan negara pihak (state party) yaitu
melalui ratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997.
c) UU
Narkotika adalah implementasi kewajiban hukum internasional yang lahir dari
perjanjian internasional, in casu Konvensi Narkotika dan Psikotropika,
sebagaimana ditegaskan pada konsiderans “Mengingat” angka 4 dan Penjelasan Umum
alinea ke-4 UU Narkotika. Salah satu kewajiban hukum internasional yang timbul
dari keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika tersebut
ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (6) Konvensi dimaksud yang menyatakan, “The
Parties shall endeavour to ensure that any discretionary legal power under
their domestic law relating to the prosecution of persons for offences in accordance
with this article are exercised to maximize the effectiveness of law
enforcement measures in respect of those offences, and with due regard to the
need to deter the commission of such offences”. Kejahatan-kejahatan yang
dimaksud oleh Pasal 3 ayat (6) Konvensi Narkotika dan Psikotropika tersebut
tercantum dalam Pasal 3 ayat (5), yang selengkapnya menyatakan, “The parties
shall ensure that their domestic courts and other competent authorities having
jurisdiction can take into account factual circumstances which make the
commission of the offences established in accordance with paragraph I of this
article particularly serious, such as:
(a)
the involvement in the offence of an organized criminal group to which the
offender belongs;
(b)
the involvement of the offender in other international organized activities;
(c)
the involvement of the offender in other illegal activities facilitated by
commission of the offence;
(d)
the use of violence or arms by the offender;
(e)
the fact that the offender holds a public office and that the offence is connected
with the office in question;
(f)
the victimization or use of minors;
(g)
the fact that the offence is committed in a penal institution or in an educational
institution or social service facility or in their immediate vicinity or in
other places to which school children and students resort for educational,
sports and social activitities;
(h)
prior conviction, particularly for similar offences, whether foreign or domestic,
to the extent permitted under domestic law of a Party”
Sementara
itu, ayat 1 (paragraph 1) yang ditunjuk oleh Pasal 3 ayat (5) di atas
menyatakan, antara lain, “Each Party shall adopt such measures as may be
necessary to establish as criminal offences under its domestic law, when
committed intentionally:
a)
i)
the production, manufacture, extraction, offering, offering for sale, distribution,
sale, delivery, on any terms whatsoever, brokerage, dispatch, dispatch in
transit, transport, importation or exportation of any narcotic drug or any
psychotropic substance contrary to the provisions of the 1961 Convention, the
1961 Convention as amended or the 1971 Convention;
ii)
the cultivation of opium poppy, coca bush or cannabis plant for the purpose of
the production of narcotic drugs contrary to the provisions of the 1961
Convention and the 1961 Convention as amended;
iii)
the possession or purchase of any narcotic drug or psychotropic substance for
the purpose of any of the activities enumerated in i) above;
iv)
the manufacture, transport or distribution of equipment, materials or of
substances listed in Table I and Table II, knowing that they are to be used in
or for the illicit cultivation, production or manufacture of narcotic drugs or
psychotropic substances;
v)
the organization, management or financing of any offences enumerated in i),
ii), iii) or iv) above;
b)
......
c)
..... “
(d)
Oleh karena itu, dengan menafsirkan secara sistematis (sistematische interpretatie)
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (5), serta ayat
(6) dan kemudian dihubungkan dengan ketentuanketentuan dalam UU Narkotika yang
dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, tampak bahwa ketentuan-ketentuan
dalam UU Narkotika yang dimohonkan pengujian tersebut adalah bentuk national implementation
dari kewajiban hukum internasional Indonesia yang lahir dari perjanjian
internasional, in casu Konvensi Narkotika dan Psikotropika, di mana menurut
Konvensi ini kejahatan-kejahatan demikian termasuk ke dalam kejahatan-kejahatan
yang sangat serius (particularly serious).
(e)
Penafsiran sebagaimana disebut pada huruf (d) di atas adalah sesuai dengan
ketentuan umum penafsiran (general rule of interpretation) perjanjian
internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Konvensi Wina 1969 yang pada
ayat (1)-nya berbunyi, “A treaty shall be interpreted in good faith in
accordance with the ordinary meaning to be given to the terms of a treaty in their
context and in the light of its object and purpose” (suatu perjanjian
internasional harus ditafsirkan dengan itikad baik sesuai dengan pengertian
sehari-hari yang diberikan terhadap istilah-istilah dalam suatu perjanjian
internasional sesuai dengan konteksnya dan dengan mengingat objek dan tujuan
perjanjian internasional tersebut).
Konteks
dari Konvensi Narkotika dan Psikotropika terlihat dari Pembukaan (Preamble)
Konvensi dimaksud, alinea pertama dan kedua, yang menyatakan, “Deeply concerned
by the magnitude of and rising trend in the illicit production of, demand for
and traffic in narcotic drugs and psychotropic substances, which pose a serious
threat to the health and welfare of human beings and adversarily affect the
economic, cultural and political foundation of society, Deeply concerned also
by the steadily increasing inroads into various social groups made by illicit
traffic in narcotic drugs and psychotropic substances, and particularly by the
fact that children are used in many parts of the world as an illicit drug
consumers market and for the purposes of illicit production, distribution and
trade in narcotic drugs and psychotropic substances, which entails a danger of
incalculable gravity”.
(f)
Jika kejahatan-kejahatan yang dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika dikatakan
sebagai kejahatan-kejahatan yang sangat serius (particularly serious)
diperbandingkan dengan kejahatan-kejahatan yang selama ini telah diterima
sebagai kelompok kejahatan paling serius (the most serious crimes), seperti kejahatan
genosida (genocide crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity), maka secara substantif tidak terdapat perbedaan diantara kedua
kelompok kejahatan itu. Karena, baik kejahatan-kejahatan yang tergolong ke
dalam “the most serious crimes” maupun kejahatan-kejahatan yang dalam Konvensi
Narkotika dan Psikotropika disebut sebagai kejahatan-kejahatan yang
“particularly serious” tersebut sama-sama “adversarily affect the economic,
cultural and political foundation of society” dan sama-sama pula membawa “a danger
of incalculable gravity”.
(g)
Berdasarkan uraian pada huruf (a) sampai dengan (f) di atas, telah cukup alasan
untuk menyatakan bahwa kejahatan-kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 80
ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3)
huruf a; serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf
a UU Narkotika adalah tergolong ke dalam kelompok kejahatan yang paling serius
baik menurut UU Narkotika maupun menurut ketentuan hukum internasional yang
berlaku pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Dengan demikian, kualifikasi
kejahatan pada pasal-pasal UU Narkotika di atas dapat disetarakan dengan “the
most serious crime” menurut ketentuan Pasal 6 ICCPR.
(h)
Bahwa, berdasarkan uraian pada huruf (a) sampai dengan (g) di atas, tidak terdapat
kewajiban hukum internasional apa pun yang lahir dari perjanjian internasional
yang dilanggar oleh Indonesia dengan memberlakukan pidana mati terhadap
kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf
a, ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; serta Pasal 82 ayat (1) huruf
a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a UU Narkotika. Sebaliknya,
pemberlakuan pidana mati terhadap kejahatan-kejahatan dimaksud justru merupakan
salah satu konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Narkotika dan
Psikotropika sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (6) Konvensi, yang intinya
bagi negara pihak dapat memaksimalkan efektivitas penegakan hukum dalam kaitan
dengan tindak pidana yang berkait dengan narkotika dan psikotropika dengan memperhatikan
kebutuhan untuk mencegah kejahatan dimaksud (to maximize the effectiveness of
law enforcement measures in respect of those offences, and with due regard to
the need to deter the commission of such offences), sebagaimana telah diuraikan
pada huruf (c) di atas.
(i)
Bahwa pemberlakuan pidana mati terhadap kejahatan-kejahatan yang diatur dalam
pasal-pasal UU Narkotika yang dimohonkan pengujian, di samping sebagai
konsekuensi Indonesia sebagai negara pihak (state party) seperti diuraikan pada
huruf (h), juga didukung oleh ketentuan Pasal 24 Konvensi Narkotika dan
Psikotropika yang menyatakan, “A party may adopt more strict of severe measures
than those provided by this Convention if, in its opinion, such measures are
desirable or necessary for the prevention or suppression of illicit traffic”.
Dengan kata lain, dalam hubungannya dengan permohonan a quo, jika menurut
Indonesia sebagai negara peserta Konvensi langkah-langkah yang lebih keras,
dalam hal ini ancaman pidana mati, dipandang diperlukan untuk mencegah dan
memberantas kejahatan-kejahatan tadi, maka langkah-langkah demikian bukan hanya
tidak bertentangan tetapi justru dibenarkan dan disarankan oleh Konvensi dimaksud.
Artinya Indonesia sebagai negara pihak yang menganut sistem pidana mati bagi
pelaku kejahatan Narkotika tertentu berhak menetapkan pidana mati bagi para
pelaku kejahatan Narkotika tersebut. Demikian pula jika pada suatu ketika
Indonesia akan mengadopsi gagasan ancaman pidana penjara seumur hidup tanpa
pengurangan (life sentence without parole) seperti yang didalilkan para
Pemohon, maka hal demikian juga tidak bertentangan dengan Konvensi.
(j)
Konsekuensi yang lahir dari keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Narkotika
dan Psikotropika untuk mengambil langkah-langkah secara nasional yang lebih
keras dalam upaya memberantas kejahatan narkotika secara hukum adalah lebih
tinggi derajat kekuatan mengikatnya dilihat dari sudut pandang kualifikasi
sumber hukum internasional, sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta
Mahkamah Internasional (Statute of International Court of Justice),
dibandingkan dengan pendapat Komisi HAM PBB yang berpendapat bahwa kejahatan
yang berhubungan dengan obat-obatan terlarang tidak termasuk dalam kejahatan
yang paling serius (most serious crime).
Bahwa
meskipun berdasarkan seluruh pertimbangan di atas telah nyata bahwa
pemberlakuan pidana mati terhadap kejahatan-kejahatan tertentu dalam UU
Narkotika tidak bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah memandang perlu untuk
memberikan catatan penting di bawah ini:
§ Sesuai
dengan ketentuan Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights juncto Pasal 6
ICCPR juncto UU HAM dan UUD 1945 serta berbagai Konvensi Internasional yang
menyangkut Narkotika, khususnya Konvensi PBB 1960 tentang Narkotika dan
Konvensi PBB 1988 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan
Psikotropika, ancaman pidana mati yang dimuat dalam UU Narkotika telah
dirumuskan dengan hati-hati dan cermat serta tidak diancamkan pada semua tindak
pidana Narkotika yang dimuat dalam UU tersebut, melainkan hanya diberikan
kepada:
(a) produsen dan pengedar
(termasuk produsen adalah penanamnya) yang melakukannya secara gelap (illicit),
tidak kepada penyalahguna atau pelanggar UU Narkotika/Psikotropika yang
dilakukan dalam jalur resmi (licit) misalnya pabrik obat/farmasi, pedagang
besar farmasi, rumah sakit, puskesmas, dan apotek;
(b) para pelaku sebagaimana
disebut dalam butir a di atas yang melakukan kejahatannya menyangkut Narkotika
Golongan I (misalnya Ganja dan Heroin);
§ Ancaman
pidana mati yang dimuat dalam pasal-pasal pidana UU Narkotika juga diberikan
ancaman hukuman pidana minimal khusus. Artinya, dalam menjatuhkan hukuman pada
pelaku pelanggaran Pasal-pasal Narkotika Golongan I tersebut, hakim berdasarkan
alat bukti yang ada dan keyakinannya dapat menghukum pelakunya dengan ancaman
maksimalnya yaitu pidana mati. Sebaliknya, kalau hakim berkeyakinan bahwa
sesuai dengan bukti yang ada, unsur sengaja dan tidak sengaja, pelakunya di
bawah umur, pelakunya perempuan yang sedang hamil, dan sebagainya, sehingga tidak
ada alasan untuk menjatuhkan hukuman maksimum, maka kepada pelakunya (walaupun menyangkut
Narkotika Golongan I) dapat pula tidak dijatuhi pidana mati. Dengan demikian,
jelaslah bahwa pemberlakuan pidana mati dalam kasus kejahatan Narkotika
tidaklah boleh secara sewenang-wenang diterapkan oleh hakim dan ini sesuai
dengan ketentuan dalam ICCPR;
§ Sebagai
perbandingan di bawah ini disandingkan ancaman pidana mati di tiga negara yaitu
Indonesia, Malaysia, dan Singapura terhadap pelaku kejahatan Narkotika.
Bahwa
dengan memperhatikan sifat irrevocable pidana mati, terlepas dari pendapat
Mahkamah perihal tidak bertentangannya pidana mati dengan UUD 1945 bagi
kejahatan-kejahatan tertentu dalam UU Narkotika yang dimohonkan pengujian dalam
permohonan a quo, Mahkamah berpendapat bahwa ke depan, dalam rangka pembaruan
hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan pidana mati, maka perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati dalam
sistem peradilan pidana di Indonesia hendaklah memperhatikan dengan sungguh-sungguh
hal-hal berikut:
a. pidana
mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat
khusus dan alternatif;
b. pidana
mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila
terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup
atau selama 20 tahun;
c. pidana
mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;
d. eksekusi
pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan
sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa
tersebut sembuh;
Bahwa
terlepas dari gagasan pembaruan hukum sebagaimana tersebut di atas, demi kepastian
hukum yang adil, Mahkamah menyarankan agar semua putusan pidana mati yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) segera dilaksanakan
sebagaimana mestinya;
Berdasarkan
seluruh pertimbangan di atas telah nyata bahwa Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat
(2) huruf a, ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; serta Pasal 82 ayat
(1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a UU Narkotika tidak bertentangan
dengan UUD 1945 dan juga tidak melanggar kewajiban hukum internasional Indonesia
yang lahir dari perjanjian internasional. Oleh karenanya, telah nyata pula
bahwa permohonan para Pemohon tidak beralasan;
==========
Berikut
bunyi lemgkap amar putusan perkara 2-3/PUU-V/2007 :
5.
AMAR PUTUSAN
MENGADILI:
§ Menyatakan
permohonan Pemohon I dan Pemohon II dalam Perkara Nomor 2/PUU-V/2007 ditolak
untuk seluruhnya;
§ Menyatakan
permohonan Pemohon III dan Pemohon IV dalam Perkara Nomor 2/PUU-V/2007 tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
§ Menyatakan
Permohonan Perkara Nomor 3/PUU-V/2007 tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard);
===============
Tidak ada komentar:
Posting Komentar