Bambang
Sukarno perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai petani tembakau
yang berasal dari Kabupaten Temanggung, pada tanggal 17 Maret 2010 mendatangi
Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 113 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan .
Adapun
bunyi lengkap pasal yang diajukan judicial
review oleh Bambang Sukarno adalah sebagai berikut:
Pasal
113
(1) Pengamanan penggunaan bahan yang
mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan
kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
(2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat,
cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan
kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.
(3) Produksi, peredaran, dan penggunaan
bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan
yang ditetapkan.
Dalam
permohonannya, Bambang Sukarno beranggapan bahwa oleh karena ada banyak warga
desa di Kabupaten Temanggung yang latar belakang kehidupannya sebagai penghasil
tembakau dan cengkeh yang menjadi tumpuan dan harapan serta penggerak roda
perekonomian masyarakat Kabupaten Temanggung akan menyebabkan perekonomian
masyarakat di Kabupaten Temanggung menjadi lumpuh akibat diberlakukannya Pasal
113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan a quo, menurut Bambang, pasal
tersebut akan memunculkan ketidakpastian hukum dan perasaan was-was mengalami
kerugian materiil apabila tidak menanam tembakau khususnya bagi para petani dan
buruh pabrik rokok di Kabupaten Temanggung;
Untuk menjawab permasalahan
tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam persidangan telah mendengar keterangan dari
Presiden dan DPR sebagai pembentuk UU serta Pihak Terkait yaitu Komisi Nasional
Perlindungan Anak, Yayasan Jantung Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia, Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia,
Perkumpulan Forum Warga Kota Jakarta, dan dr. drh. Mangku Sitepoe, Hakim
Sorimuda Pohan, PT. Djarum, PT. HM Sampoerna, PT. Gudang Garam dan Gabungan
Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia;
Setelah
melalui proses persidangan yang cukup panjang akhirnya Mahkamah Konstitusi
dalam putusannya menyampaikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Bahwa
dari uraian dalil-dalil permohonan Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan
DPR, dan keterangan Pihak Terkait serta fakta-fakta hukum yang terungkap dalam
persidangan, ada persoalan konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah,
yang pada pokoknya, yaitu apakah Pasal 113 UU 36/2009 yang menyatakan tembakau
dan produk yang mengandung tembakau (padat, cair, dan gas) digolongkan sebagai
zat adiktif adalah bersifat diskriminatif dan melanggar hak konstitusional
Pemohon serta melanggar asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas
kemanfaatan, sehingga bertentangan dengan konstitusi;
Bahwa
terhadap dalil Pemohon di atas, Mahkamah berpendapat, terhadap diskriminasi
yang selalu dihubungkan dengan adanya perlakuan yang berbeda terhadap sesuatu
hal, tidaklah berarti bahwa secara serta-merta perlakuan yang berbeda tersebut
akan menimbulkan diskriminasi hukum. Suatu pembedaan yang menimbulkan
diskriminasi hukum, haruslah dipertimbangkan menyangkut pembedaan apa dan atas
dasar apa pembedaan tersebut dilakukan. Pembedaan yang akan menimbulkan status
hukum yang berbeda tentulah akan diikuti oleh hubungan hukum dan akibat hukum
yang berbeda pula antara yang dibedakan. Dari pembedaan-pembedaan yang timbul
dalam hubungan hukum dan akibat hukum karena adanya pembedaan status hukum akan
tergambar aspek diskriminasi hukum dari suatu pembedaan, karena daripadanya
akan diketahui adanya pembedaan hak-hak yang ditimbulkan oleh diskriminasi.
Oleh karena itu, pembedaan yang dapat mengakibatkan diskriminasi hukum adalah
pembedaan yang dapat menimbulkan hak yang berbeda di antara pihak yang
dibedakan.
Dengan
demikian, hanya pembedaan yang melahirkan hak dan/atau kewajiban yang berbeda
saja yang dapat menimbulkan diskriminasi hukum. Karena pendukung hak dan/atau
kewajiban adalah subjek hukum, maka hanya pembedaan yang menimbulkan kedudukan
hukum yang berbeda terhadap subjek hukum saja yang dapat menimbulkan diskriminasi
hukum. Tembakau bukanlah subjek hukum karena tembakau bukanlah pemangku hak,
melainkan hanya sebagai objek hukum yang dalam Pasal 113 Undang-Undang a quo
menurut Pemohon dibedakan dengan produk
lainnya, karena disebutkan sebagai zat adiktif sedangkan barang dan produk lain
yang juga mengandung zat adiktif tidak disebutkan dalam pasal a quo. Hal
demikian sejalan dengan UUD 1945 yang melindungi setiap orang dari perbuatan
diskriminatif, yaitu setiap orang sebagai subjek hukum;
Bahwa
tembakau bukan subjek hukum tetapi sebagai objek hak yang berupa benda (ius ad
rem). Hukum justru telah sejak lama mengadakan pembedaan terhadap objek hak.
Perbedaan antara benda publik dan benda privat dalam hukum administrasi negara
tidak didasarkan atas wujud bendanya tetapi lebih kepada peruntukannya. Tanah
yang digunakan jalan umum termasuk dalam pengertian benda publik sementara
tanah yang digunakan sebagai jalan dalam lingkungan perumahan pribadi termasuk
benda privat yang oleh karenanya dapat menjadi objek hukum perdata secara
penuh. Padahal, bentuk fisik keduanya adalah sama. Demikian juga kapal dengan
tonase tertentu termasuk sebagai benda tidak bergerak yang terhadapnya dapat
dijadikan objek hipotek sedangkan perahu atau kendaraan darat seperti truk yang
secara fungsi dan teknologi tidak banyak berbeda dengan fungsi dan aspek
teknologi kapal, namun termasuk sebagai benda bergerak yang berbeda dengan
kapal. Meskipun wujudnya sama tetapi hukum juga memperlakukan berbeda. Sebagai
contoh, dalam aturan lalu lintas dapat ditetapkan untuk satu jalan tertentu
kendaraan umum dilarang masuk, sedangkan kendaraan pribadi tidak dilarang.
Mobil dengan merek dan kapasitas yang sama dibedakan oleh hukum, yaitu yang
satu sebagai mobil angkutan umum sedangkan yang lain sebagai mobil pribadi.
Dengan demikian, pembedaan yang dapat menimbulkan diskriminasi hukum adalah
pembedaan terhadap subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban, bukan
pembedaan terhadap objek hak;
Bahwa
Kantor Komisi Tinggi untuk Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam
Komentar Umum (General Comment Nomor 18 Nondiscrimination: 10/11/89) dari
Covenant on Civil and Political Rights pada angka 1 menyatakan,
“Non-discrimination, together with equality before the law and equal protection
of the law without any discrimination, constitute a basic and general principle
relating to the protection of human rights”. Selanjutnya dinyatakan, “Thus, article
2 paragraph 1 of the International Covenant on Civil and Political Rights obligates
each State party to respect and ensure to all persons within its territory …”.
Dengan demikian, larangan diskriminasi adalah ditujukan kepada “persons” dan
berkaitan dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam beberapa Konvensi
Internasional jelas bahwa diskriminasi yang dilarang adalah diskriminasi terhadap
manusia atau person sebagai subjek hukum dan tidak pernah ada larangan
diskriminasi terhadap objek hak. Deklarasi umum PBB tanggal 20 November 1963
mengenai United Nations Declaration of All Forms of Racial Discrimination
menegaskan larangan diskriminasi atas dasar ras, jenis kelamin, bahasa, agama,
warna kulit, bangsa, dan suku bangsa. International Convention on the
Elimination of All Forms of Racial Discrimination yang diadopsi oleh PBB tanggal
21 Desember 1965 menyebutkan larangan diskriminasi atas dasar ras, warna kulit,
bangsa, dan suku. International Convention on the Suppression and Punishment of
Crime of Apartheid yang diadopsi tanggal 30 November 1973 melarang segregasi
sosial dan apartheid di dalam praktik-praktik olah raga;
Bahwa
dari konvensi-konvensi internasional tersebut jelas bahwa larangan diskriminasi
tidak pernah ditujukan kepada objek hak tetapi kepada manusia yang diakui
sebagai subjek hukum pemegang hak. Dalam International Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights ditemukan ada sepuluh dasar diskriminasi yaitu race,
colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social
origin, property, birth or other status yang kesemuanya berkaitan dengan person
sebagai subjek hukum dan tidak berkaitan dengan objek hak.
Perbedaan
dalam menikmati hak-hak yang dipunyai oleh seseorang terhadap satu objek hak
tertentu dibandingkan dengan objek hak yang lain mempunyai implikasi dalam
bidang ekonomi. Hal demikian tidak dapat dielakkan dan tidak melanggar larangan
diskriminasi. Seseorang yang mempunyai tanah dengan status hak milik pasti akan
berakibat secara ekonomis atas haknya dibandingkan dengan mereka yang misalnya
hanya memiliki hak guna bangunan, karena lebih tinggi nilai ekonomi yaitu
menjadikan harga tanah tersebut lebih mahal. Pengusaha angkutan umum pada jurusan
atau trayek tertentu dapat saja lebih kecil pendapatannya dibandingkan dengan
angkutan umum jurusan lainnya, tetapi perbedaan penghasilan tersebut tidak
berarti telah mendiskriminasikan antar pengusaha angkutan. Pemerintah sebagai
regulator dapat melakukan kebijakan-kebijakan tertentu dan bahkan harus
mengambil kebijakan apabila ternyata terdapat perbedaan penghasilan yang sangat
mencolok apalagi mengarah pada kerugian bagi pengusaha angkutan. Penetapan
beras sebagai bahan sembako (sembilan bahan kebutuhan pokok) menjadikan
Pemerintah perlu untuk menyediakan stok beras nasional yang cukup, sebab
apabila tidak, maka akan terjadi kelangkaan beras nasional. Jika terjadi
kelangkaan beras, dapat dipastikan harga beras akan naik. Secara ekonomi,
kenaikan beras akan mempengaruhi juga kenaikan pendapatan petani dan semakin
langka beras akan mendorong kenaikan harga beras semakin tinggi. Kenaikan harga
beras yang sangat tinggi justru tidak dikehendaki oleh Pemerintah, oleh
karenanya untuk menjaga stok beras nasional dilakukan impor beras. Dengan
dimasukkannya beras menjadi sembako, petani padi tidak akan mungkin menikmati
kenaikan pendapatan yang disebabkan oleh kenaikan harga beras dikarenakan
kekurangan persediaan beras nasional, sebab Pemerintah selalu menjaga kecukupan
persediaan beras sebagai salah satu bahan sembako dan mengadakan usaha-usaha
agar harga beras stabil murah.
Keputusan
pemerintah untuk menetapkan beras sebagai salah satu bahan sembako adalah
membedakan beras dengan bahan makanan lain, yang penetapan demikian
mengakibatkan adanya pengendalian harga beras di pasar agar tidak menjadi
terlalu mahal. Secara langsung, akibatnya petani padi tidak akan pernah
mendapatkan keuntungan ekonomi yang cukup besar dari hasil tanaman padinya
karena beras dimasukkan dalam kategori bahan sembako. Hal demikian, tidaklah
dapat dijadikan dasar bahwa telah terjadi diskriminasi karena Pemerintah
menetapkan beras sebagai bahan sembako. Demikian juga adanya pembedaan antara
kendaraan bermotor yang dibedakan antara jenis kendaraan mewah dan bukan
kendaraan mewah sebagai dasar pengenaan pajak, tidaklah termasuk sebagai
perlakuan diskriminatif sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28I ayat (2) UUD 1945
karena yang dibedakan adalah objek hak dan bukan subjek hukumnya. Apabila hak
atas non-diskriminasi sebagai hak asasi manusia diterapkan kepada benda sebagai
objek hak, maka akan merusak sendi-sendi hukum karena hukum justru membeda-bedakan
benda atas dasar status hukumnya meskipun wujud dari benda tersebut sama;
Bahwa
Pemohon lebih lanjut mendalilkan tidaklah adil Pasal 113 UU 36/2009 a quo hanya
mencantumkan tembakau sebagai zat adiktif, sedangkan ganja tidak dimasukkan
sebagai zat adiktif padahal ganja nyata-nyata sebagai zat adiktif. Terhadap dalil
tersebut, Mahkamah berpendapat, bahwa adanya ketentuan Pasal 113 Undang-Undang
a quo yang hanya menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif tidaklah berarti
bahwa jenis tanaman lain yang tidak disebutkan dalam Pasal a quo, secara
serta-merta tidak termasuk zat adiktif, kalau memang nyata-nyata mengandung zat
adiktif. Pasal 113 UU 36/2009 tidak menutup Undang-Undang lain untuk
menyebutkan ada zat adiktif lain selain tembakau. Jauh sebelum UU 36/2009
diundangkan, pada 1976 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976
tentang Narkotika. Dalam UU Narkotika 1976 tersebut, diatur antara lain:
•
Pasal 2 menyatakan bahwa Menteri Kesehatan berwenang menetapkan: (i) alat-alat
penyalahgunaan narkotika; (ii) bahan-bahan yang dapat dipakai sebagai bahan
dalam pembuatan narkotika sebagai barang di bawah pengawasan;
•
Pasal 3 menyatakan bahwa narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pengobatan
dan/atau tujuan ilmu pengetahuan dan terhadap narkotika tertentu yang sangat
berbahaya dilarang digunakan untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu
pengetahuan;
•
Pasal 4 menyatakan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu
pengetahuan kepada lembaga ilmu pengetahuan dan/atau lembaga pendidikan dapat
diberi izin oleh Menteri Kesehatan untuk membeli, menanam, menyimpan untuk
memiliki atau untuk persediaan ataupun menguasai tanaman papaver, koka, dan
ganja. Lembaga yang menanam papaver, koka, dan ganja wajib membuat laporan
tentang luas tanaman, hasil tanaman, dan sebagainya, yang akan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bahwa
meskipun dalam UU Narkotika 1976 belum digunakan penyebutan zat adiktif, tetapi
dalam bagian ”Menimbang huruf b” Undang-Undang tersebut dinyatakan, ”bahwa
sebaliknya, narkotika dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat
merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang saksama”.
Dengan demikian dasar pengaturan terhadap narkotika sama dengan dasar
pengaturan terhadap tembakau dalam UU 36/2009 yaitu, ”dapat menimbulkan
ketergantungan yang merugikan” yang artinya sebagai zat adiktif. Berdasarkan
Pasal 1 angka 1 huruf a UU Narkotika 1976, narkotika adalah bahan yang
disebutkan pada Pasal 1 angka 2 sampai dengan angka 13, dan dalam angka 12
disebutkan, ”tanaman ganja adalah semua bagian dari semua tanaman genus
Cannabis, termasuk biji dan buahnya”. Dengan demikian, terhadap tanaman ganja
telah dilakukan pengawasan dan bahkan larangan penanaman jauh sebelum UU
36/2009 diundangkan, yaitu sejak tahun 1976. UU Narkotika 1976 digantikan
dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan terakhir digantikan dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, yang dalam Undang- Undang terbaru ini,
pengawasan dan larangan terhadap tanaman ganja masih tetap diberlakukan. Dengan
demikian ternyata bahwa terhadap tanaman ganja telah diatur pengawasannya sejak
tahun 1976. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penyebutan tembakau
sebagai zat adiktif pada Pasal 113 UU 36/2009 tidak menjadikan hanya tembakau
saja yang termasuk sebagai zat adiktif secara eksklusif. Berdasarkan uraian
tersebut di atas, ketentuan Pasal 113 UU 36/2009 tersebut tidak melanggar
larangan diskriminatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
Bahwa
dalam persidangan terdapat ahli yang menyatakan bahwa penempatan pengaturan
tembakau dalam Pasal 113 UU 36/2009 a quo adalah tidak tepat berdasarkan teori
pembentukan Undang-Undang yang baik dan UU 36/2009 tersebut kurang sempurna
pembuatannya karena Pasal 113 UU 36/2009 a quo terkesan tiba-tiba saja diatur,
yang tidak terkait secara sistematis dengan materi lain yang diatur oleh UU
36/2009 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Terhadap hal tersebut,
Mahkamah dalam beberapa putusannya telah menyatakan bahwa terhadap dalil bahwa
sebuah norma adalah kabur yang dapat menimbulkan multitafsir, tidaklah
serta-merta diputus sebagai norma yang tidak menjamin kepastian hukum
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28D UUD 1945, tetapi Mahkamah menyatakan hal
demikian termasuk dalam implementasi dari
norma tersebut sehingga tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum
yang dimaksud oleh Pasal 28D UUD 1945. Dalam putusan-putusan yang lain, Mahkamah
juga menyatakan bahwa apabila suatu norma yang dimohonkan untuk diuji ternyata
dapat ditafsirkan secara berbeda dan perbedaan tafsir tersebut menyebabkan
ketidakpastian hukum yang menyebabkan dilanggarnya hak konstitusi warga negara,
maka Mahkamah memberi putusan conditionally constitutional yaitu dengan memberi
penafsiran tertentu supaya tidak menimbulkan ketidakpastian hukum atau
terlanggarnya hak-hak warga negara. Dalam Pasal 113 a quo sama sekali tidak
bersangkut paut dengan soal diskriminasi terhadap subjek hukum, termasuk
Pemohon, melainkan berkaitan dengan tembakau sebagai objek yang diatur oleh
hukum sebagai zat adiktif. Dengan demikian, maka dikabulkan atau ditolaknya
permohonan pengujian mengenai Pasal 113 Undang-Undang a quo tidak ada subjek
hukum yang diuntungkan ataupun dirugikan secara konstitusional. Jaminan dan
perlindungan yang dimaksud oleh Pasal 28D UUD 1945 adalah jaminan terhadap
pengakuan serta perlindungan hukum kepada Pemohon, sedangkan Pasal 113 UU
36/2009 a quo sama sekali tidak mengubah pengakuan terhadap Pemohon. Dan juga
pasal a quo tidak bersangkut paut dengan larangan untuk menanam tembakau.
Sekiranya sekarang terdapat anjuran untuk beralih dari tanaman tembakau
sebagaimana terjadi di wilayah Pemohon, hal demikian merupakan kebijakan yang
tidak berkaitan dengan ketentuan Pasal 113 UU 36/2009;
Bahwa
pembentukan Pasal 113 UU 36/2009 a quo dimaksudkan untuk menyatakan bahwa
tembakau adalah termasuk zat adiktif, dan karena termasuk zat adiktif, maka
akan diatur produksi, peredaran, dan penggunaannya, sebagaimana kemudian
ditentukan dalam Pasal 114, Pasal 115, dan Pasal 116 UU 36/2009. Apabila Pasal
113 Undang-Undang a quo dipandang kurang tepat penempatannya di dalam UU
36/2009, dan seandainya pun kemudian ditempatkan dalam Undang-Undang lain, hal
demikian tidak akan mengubah daya berlaku dari substansi Pasal 113 tersebut.
Artinya, substansi tersebut tetap menjadi sah meskipun tidak dicantumkan dalam
UU 36/2009. Bahkan seandainyapun frasa ”zat
adiktif” dalam Pasal 113 Undang-Undang dihilangkan, hal demikian tidak
akan mengubah fakta bahwa senyatanya tembakau memang mengandung zat adiktif;
Bahwa
jaminan dan perlindungan hukum oleh Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 28D ayat (2)
UUD 1945 tidaklah dimaksudkan bahwa negara harus menjamin penghasilan setiap
warga negara, yang dalam perkara ini, melindungi penghasilan yang didapatkan
dari harga jual tanaman tembakau. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa
petani padilah yang sangat rentan terhadap rendahnya penghasilan karena harga
beras yang tinggi tidak diinginkan terjadi karena Pemerintah dengan segala
kewenangannya harus menjaga agar harga beras, yang termasuk bagian dari
sembako, tidak terlalu tinggi. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (2)
juncto Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 adalah termasuk hak asasi dalam bidang
ekonomi, sosial, dan budaya yaitu generasi kedua dari hak asasi manusia.
Terhadap hak untuk bekerja ini perlu kiranya dikutip apa yang disampaikan oleh
Matthew Craven dalam “The International Convention On Economic, Social and
Cultural Rights. A Perspective on its Development”, bahwa, “….any States would
not accept an obligation to “guarantee” the right to work in the sense of
ensuring full employment or eliminating unemployment. In particular, it was
feared that such a guarantee would bind States to a centralized system of
government and require that all labour be under the direct control of the State.”
Dengan demikian, pengertian bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan tidaklah
dimaksudkan bahwa negara harus menyediakan lapangan kerja untuk seluruh
warganya, karena jika hal demikian dilakukan, maka akan terjadi sentralisasi
pemerintahan dan bahwa semua warga harus tunduk kepada pemerintah untuk bekerja
dalam bidang yang disediakan oleh Pemerintah, padahal setiap warga negara
mempunyai hak konstitusi untuk memilih lapangan kerja yang disukainya.
Menyediakan lapangan kerja sesuai dengan keinginan setiap warga adalah sesuatu
hal yang tidak mungkin dipenuhi oleh pemerintahan manapun juga.
Kewajiban
Pemerintah terhadap hak asasi ekonomi, sosial, dan budaya adalah untuk
mengusahakan kesempatan seluas mungkin dengan cara bersungguhsungguh agar
setiap warga negara dapat menikmati hak tersebut dan bukannya negara harus bisa
menyediakan lapangan kerja untuk setiap warga negaranya;
Berikut bunyi lengkap amar putusan
Mahkamah Konstitusi dalam perkara NOMOR 19/PUU-VIII/2010 :
5.
AMAR PUTUSAN
Menyatakan
menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
=======
Berikut
link putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VIII/2010 >>>http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_19%20PUU%202010_TELAH%20BACA.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar