Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Senin, 27 April 2015

Petani Tembakau Gugat UU Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi




Bambang Sukarno perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai petani tembakau yang berasal dari Kabupaten Temanggung, pada tanggal 17 Maret 2010 mendatangi Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan .
Adapun bunyi lengkap pasal yang diajukan judicial review oleh Bambang Sukarno adalah sebagai berikut:
Pasal 113
(1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
(2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.
(3) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan.
Dalam permohonannya, Bambang Sukarno beranggapan bahwa oleh karena ada banyak warga desa di Kabupaten Temanggung yang latar belakang kehidupannya sebagai penghasil tembakau dan cengkeh yang menjadi tumpuan dan harapan serta penggerak roda perekonomian masyarakat Kabupaten Temanggung akan menyebabkan perekonomian masyarakat di Kabupaten Temanggung menjadi lumpuh akibat diberlakukannya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan a quo, menurut Bambang, pasal tersebut akan memunculkan ketidakpastian hukum dan perasaan was-was mengalami kerugian materiil apabila tidak menanam tembakau khususnya bagi para petani dan buruh pabrik rokok di Kabupaten Temanggung;
            Untuk menjawab permasalahan tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam persidangan telah mendengar keterangan dari Presiden dan DPR sebagai pembentuk UU serta Pihak Terkait yaitu Komisi Nasional Perlindungan Anak, Yayasan Jantung Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Perkumpulan Forum Warga Kota Jakarta, dan dr. drh. Mangku Sitepoe, Hakim Sorimuda Pohan, PT. Djarum, PT. HM Sampoerna, PT. Gudang Garam dan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia;
Setelah melalui proses persidangan yang cukup panjang akhirnya Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyampaikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Bahwa dari uraian dalil-dalil permohonan Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan DPR, dan keterangan Pihak Terkait serta fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, ada persoalan konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah, yang pada pokoknya, yaitu apakah Pasal 113 UU 36/2009 yang menyatakan tembakau dan produk yang mengandung tembakau (padat, cair, dan gas) digolongkan sebagai zat adiktif adalah bersifat diskriminatif dan melanggar hak konstitusional Pemohon serta melanggar asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kemanfaatan, sehingga bertentangan dengan konstitusi;
Bahwa terhadap dalil Pemohon di atas, Mahkamah berpendapat, terhadap diskriminasi yang selalu dihubungkan dengan adanya perlakuan yang berbeda terhadap sesuatu hal, tidaklah berarti bahwa secara serta-merta perlakuan yang berbeda tersebut akan menimbulkan diskriminasi hukum. Suatu pembedaan yang menimbulkan diskriminasi hukum, haruslah dipertimbangkan menyangkut pembedaan apa dan atas dasar apa pembedaan tersebut dilakukan. Pembedaan yang akan menimbulkan status hukum yang berbeda tentulah akan diikuti oleh hubungan hukum dan akibat hukum yang berbeda pula antara yang dibedakan. Dari pembedaan-pembedaan yang timbul dalam hubungan hukum dan akibat hukum karena adanya pembedaan status hukum akan tergambar aspek diskriminasi hukum dari suatu pembedaan, karena daripadanya akan diketahui adanya pembedaan hak-hak yang ditimbulkan oleh diskriminasi. Oleh karena itu, pembedaan yang dapat mengakibatkan diskriminasi hukum adalah pembedaan yang dapat menimbulkan hak yang berbeda di antara pihak yang dibedakan.
Dengan demikian, hanya pembedaan yang melahirkan hak dan/atau kewajiban yang berbeda saja yang dapat menimbulkan diskriminasi hukum. Karena pendukung hak dan/atau kewajiban adalah subjek hukum, maka hanya pembedaan yang menimbulkan kedudukan hukum yang berbeda terhadap subjek hukum saja yang dapat menimbulkan diskriminasi hukum. Tembakau bukanlah subjek hukum karena tembakau bukanlah pemangku hak, melainkan hanya sebagai objek hukum yang dalam Pasal 113 Undang-Undang a quo menurut  Pemohon dibedakan dengan produk lainnya, karena disebutkan sebagai zat adiktif sedangkan barang dan produk lain yang juga mengandung zat adiktif tidak disebutkan dalam pasal a quo. Hal demikian sejalan dengan UUD 1945 yang melindungi setiap orang dari perbuatan diskriminatif, yaitu setiap orang sebagai subjek hukum;
Bahwa tembakau bukan subjek hukum tetapi sebagai objek hak yang berupa benda (ius ad rem). Hukum justru telah sejak lama mengadakan pembedaan terhadap objek hak. Perbedaan antara benda publik dan benda privat dalam hukum administrasi negara tidak didasarkan atas wujud bendanya tetapi lebih kepada peruntukannya. Tanah yang digunakan jalan umum termasuk dalam pengertian benda publik sementara tanah yang digunakan sebagai jalan dalam lingkungan perumahan pribadi termasuk benda privat yang oleh karenanya dapat menjadi objek hukum perdata secara penuh. Padahal, bentuk fisik keduanya adalah sama. Demikian juga kapal dengan tonase tertentu termasuk sebagai benda tidak bergerak yang terhadapnya dapat dijadikan objek hipotek sedangkan perahu atau kendaraan darat seperti truk yang secara fungsi dan teknologi tidak banyak berbeda dengan fungsi dan aspek teknologi kapal, namun termasuk sebagai benda bergerak yang berbeda dengan kapal. Meskipun wujudnya sama tetapi hukum juga memperlakukan berbeda. Sebagai contoh, dalam aturan lalu lintas dapat ditetapkan untuk satu jalan tertentu kendaraan umum dilarang masuk, sedangkan kendaraan pribadi tidak dilarang. Mobil dengan merek dan kapasitas yang sama dibedakan oleh hukum, yaitu yang satu sebagai mobil angkutan umum sedangkan yang lain sebagai mobil pribadi. Dengan demikian, pembedaan yang dapat menimbulkan diskriminasi hukum adalah pembedaan terhadap subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban, bukan pembedaan terhadap objek hak;
Bahwa Kantor Komisi Tinggi untuk Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Komentar Umum (General Comment Nomor 18 Nondiscrimination: 10/11/89) dari Covenant on Civil and Political Rights pada angka 1 menyatakan, “Non-discrimination, together with equality before the law and equal protection of the law without any discrimination, constitute a basic and general principle relating to the protection of human rights”. Selanjutnya dinyatakan, “Thus, article 2 paragraph 1 of the International Covenant on Civil and Political Rights obligates each State party to respect and ensure to all persons within its territory …”. Dengan demikian, larangan diskriminasi adalah ditujukan kepada “persons” dan berkaitan dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam beberapa Konvensi Internasional jelas bahwa diskriminasi yang dilarang adalah diskriminasi terhadap manusia atau person sebagai subjek hukum dan tidak pernah ada larangan diskriminasi terhadap objek hak. Deklarasi umum PBB tanggal 20 November 1963 mengenai United Nations Declaration of All Forms of Racial Discrimination menegaskan larangan diskriminasi atas dasar ras, jenis kelamin, bahasa, agama, warna kulit, bangsa, dan suku bangsa. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination yang diadopsi oleh PBB tanggal 21 Desember 1965 menyebutkan larangan diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, bangsa, dan suku. International Convention on the Suppression and Punishment of Crime of Apartheid yang diadopsi tanggal 30 November 1973 melarang segregasi sosial dan apartheid di dalam praktik-praktik olah raga;
Bahwa dari konvensi-konvensi internasional tersebut jelas bahwa larangan diskriminasi tidak pernah ditujukan kepada objek hak tetapi kepada manusia yang diakui sebagai subjek hukum pemegang hak. Dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights ditemukan ada sepuluh dasar diskriminasi yaitu race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status yang kesemuanya berkaitan dengan person sebagai subjek hukum dan tidak berkaitan dengan objek hak.
Perbedaan dalam menikmati hak-hak yang dipunyai oleh seseorang terhadap satu objek hak tertentu dibandingkan dengan objek hak yang lain mempunyai implikasi dalam bidang ekonomi. Hal demikian tidak dapat dielakkan dan tidak melanggar larangan diskriminasi. Seseorang yang mempunyai tanah dengan status hak milik pasti akan berakibat secara ekonomis atas haknya dibandingkan dengan mereka yang misalnya hanya memiliki hak guna bangunan, karena lebih tinggi nilai ekonomi yaitu menjadikan harga tanah tersebut lebih mahal. Pengusaha angkutan umum pada jurusan atau trayek tertentu dapat saja lebih kecil pendapatannya dibandingkan dengan angkutan umum jurusan lainnya, tetapi perbedaan penghasilan tersebut tidak berarti telah mendiskriminasikan antar pengusaha angkutan. Pemerintah sebagai regulator dapat melakukan kebijakan-kebijakan tertentu dan bahkan harus mengambil kebijakan apabila ternyata terdapat perbedaan penghasilan yang sangat mencolok apalagi mengarah pada kerugian bagi pengusaha angkutan. Penetapan beras sebagai bahan sembako (sembilan bahan kebutuhan pokok) menjadikan Pemerintah perlu untuk menyediakan stok beras nasional yang cukup, sebab apabila tidak, maka akan terjadi kelangkaan beras nasional. Jika terjadi kelangkaan beras, dapat dipastikan harga beras akan naik. Secara ekonomi, kenaikan beras akan mempengaruhi juga kenaikan pendapatan petani dan semakin langka beras akan mendorong kenaikan harga beras semakin tinggi. Kenaikan harga beras yang sangat tinggi justru tidak dikehendaki oleh Pemerintah, oleh karenanya untuk menjaga stok beras nasional dilakukan impor beras. Dengan dimasukkannya beras menjadi sembako, petani padi tidak akan mungkin menikmati kenaikan pendapatan yang disebabkan oleh kenaikan harga beras dikarenakan kekurangan persediaan beras nasional, sebab Pemerintah selalu menjaga kecukupan persediaan beras sebagai salah satu bahan sembako dan mengadakan usaha-usaha agar harga beras stabil murah.
Keputusan pemerintah untuk menetapkan beras sebagai salah satu bahan sembako adalah membedakan beras dengan bahan makanan lain, yang penetapan demikian mengakibatkan adanya pengendalian harga beras di pasar agar tidak menjadi terlalu mahal. Secara langsung, akibatnya petani padi tidak akan pernah mendapatkan keuntungan ekonomi yang cukup besar dari hasil tanaman padinya karena beras dimasukkan dalam kategori bahan sembako. Hal demikian, tidaklah dapat dijadikan dasar bahwa telah terjadi diskriminasi karena Pemerintah menetapkan beras sebagai bahan sembako. Demikian juga adanya pembedaan antara kendaraan bermotor yang dibedakan antara jenis kendaraan mewah dan bukan kendaraan mewah sebagai dasar pengenaan pajak, tidaklah termasuk sebagai perlakuan diskriminatif sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena yang dibedakan adalah objek hak dan bukan subjek hukumnya. Apabila hak atas non-diskriminasi sebagai hak asasi manusia diterapkan kepada benda sebagai objek hak, maka akan merusak sendi-sendi hukum karena hukum justru membeda-bedakan benda atas dasar status hukumnya meskipun wujud dari benda tersebut sama;
Bahwa Pemohon lebih lanjut mendalilkan tidaklah adil Pasal 113 UU 36/2009 a quo hanya mencantumkan tembakau sebagai zat adiktif, sedangkan ganja tidak dimasukkan sebagai zat adiktif padahal ganja nyata-nyata sebagai zat adiktif. Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat, bahwa adanya ketentuan Pasal 113 Undang-Undang a quo yang hanya menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif tidaklah berarti bahwa jenis tanaman lain yang tidak disebutkan dalam Pasal a quo, secara serta-merta tidak termasuk zat adiktif, kalau memang nyata-nyata mengandung zat adiktif. Pasal 113 UU 36/2009 tidak menutup Undang-Undang lain untuk menyebutkan ada zat adiktif lain selain tembakau. Jauh sebelum UU 36/2009 diundangkan, pada 1976 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Dalam UU Narkotika 1976 tersebut, diatur antara lain:
• Pasal 2 menyatakan bahwa Menteri Kesehatan berwenang menetapkan: (i) alat-alat penyalahgunaan narkotika; (ii) bahan-bahan yang dapat dipakai sebagai bahan dalam pembuatan narkotika sebagai barang di bawah pengawasan;
• Pasal 3 menyatakan bahwa narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan dan terhadap narkotika tertentu yang sangat berbahaya dilarang digunakan untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan;
• Pasal 4 menyatakan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan kepada lembaga ilmu pengetahuan dan/atau lembaga pendidikan dapat diberi izin oleh Menteri Kesehatan untuk membeli, menanam, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan ataupun menguasai tanaman papaver, koka, dan ganja. Lembaga yang menanam papaver, koka, dan ganja wajib membuat laporan tentang luas tanaman, hasil tanaman, dan sebagainya, yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bahwa meskipun dalam UU Narkotika 1976 belum digunakan penyebutan zat adiktif, tetapi dalam bagian ”Menimbang huruf b” Undang-Undang tersebut dinyatakan, ”bahwa sebaliknya, narkotika dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang saksama”. Dengan demikian dasar pengaturan terhadap narkotika sama dengan dasar pengaturan terhadap tembakau dalam UU 36/2009 yaitu, ”dapat menimbulkan ketergantungan yang merugikan” yang artinya sebagai zat adiktif. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 huruf a UU Narkotika 1976, narkotika adalah bahan yang disebutkan pada Pasal 1 angka 2 sampai dengan angka 13, dan dalam angka 12 disebutkan, ”tanaman ganja adalah semua bagian dari semua tanaman genus Cannabis, termasuk biji dan buahnya”. Dengan demikian, terhadap tanaman ganja telah dilakukan pengawasan dan bahkan larangan penanaman jauh sebelum UU 36/2009 diundangkan, yaitu sejak tahun 1976. UU Narkotika 1976 digantikan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan terakhir digantikan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, yang dalam Undang- Undang terbaru ini, pengawasan dan larangan terhadap tanaman ganja masih tetap diberlakukan. Dengan demikian ternyata bahwa terhadap tanaman ganja telah diatur pengawasannya sejak tahun 1976. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penyebutan tembakau sebagai zat adiktif pada Pasal 113 UU 36/2009 tidak menjadikan hanya tembakau saja yang termasuk sebagai zat adiktif secara eksklusif. Berdasarkan uraian tersebut di atas, ketentuan Pasal 113 UU 36/2009 tersebut tidak melanggar larangan diskriminatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
Bahwa dalam persidangan terdapat ahli yang menyatakan bahwa penempatan pengaturan tembakau dalam Pasal 113 UU 36/2009 a quo adalah tidak tepat berdasarkan teori pembentukan Undang-Undang yang baik dan UU 36/2009 tersebut kurang sempurna pembuatannya karena Pasal 113 UU 36/2009 a quo terkesan tiba-tiba saja diatur, yang tidak terkait secara sistematis dengan materi lain yang diatur oleh UU 36/2009 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Terhadap hal tersebut, Mahkamah dalam beberapa putusannya telah menyatakan bahwa terhadap dalil bahwa sebuah norma adalah kabur yang dapat menimbulkan multitafsir, tidaklah serta-merta diputus sebagai norma yang tidak menjamin kepastian hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28D UUD 1945, tetapi Mahkamah menyatakan hal demikian termasuk dalam implementasi dari  norma tersebut sehingga tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum yang dimaksud oleh Pasal 28D UUD 1945. Dalam putusan-putusan yang lain, Mahkamah juga menyatakan bahwa apabila suatu norma yang dimohonkan untuk diuji ternyata dapat ditafsirkan secara berbeda dan perbedaan tafsir tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum yang menyebabkan dilanggarnya hak konstitusi warga negara, maka Mahkamah memberi putusan conditionally constitutional yaitu dengan memberi penafsiran tertentu supaya tidak menimbulkan ketidakpastian hukum atau terlanggarnya hak-hak warga negara. Dalam Pasal 113 a quo sama sekali tidak bersangkut paut dengan soal diskriminasi terhadap subjek hukum, termasuk Pemohon, melainkan berkaitan dengan tembakau sebagai objek yang diatur oleh hukum sebagai zat adiktif. Dengan demikian, maka dikabulkan atau ditolaknya permohonan pengujian mengenai Pasal 113 Undang-Undang a quo tidak ada subjek hukum yang diuntungkan ataupun dirugikan secara konstitusional. Jaminan dan perlindungan yang dimaksud oleh Pasal 28D UUD 1945 adalah jaminan terhadap pengakuan serta perlindungan hukum kepada Pemohon, sedangkan Pasal 113 UU 36/2009 a quo sama sekali tidak mengubah pengakuan terhadap Pemohon. Dan juga pasal a quo tidak bersangkut paut dengan larangan untuk menanam tembakau. Sekiranya sekarang terdapat anjuran untuk beralih dari tanaman tembakau sebagaimana terjadi di wilayah Pemohon, hal demikian merupakan kebijakan yang tidak berkaitan dengan ketentuan Pasal 113 UU 36/2009;
Bahwa pembentukan Pasal 113 UU 36/2009 a quo dimaksudkan untuk menyatakan bahwa tembakau adalah termasuk zat adiktif, dan karena termasuk zat adiktif, maka akan diatur produksi, peredaran, dan penggunaannya, sebagaimana kemudian ditentukan dalam Pasal 114, Pasal 115, dan Pasal 116 UU 36/2009. Apabila Pasal 113 Undang-Undang a quo dipandang kurang tepat penempatannya di dalam UU 36/2009, dan seandainya pun kemudian ditempatkan dalam Undang-Undang lain, hal demikian tidak akan mengubah daya berlaku dari substansi Pasal 113 tersebut. Artinya, substansi tersebut tetap menjadi sah meskipun tidak dicantumkan dalam UU 36/2009. Bahkan seandainyapun frasa ”zat  adiktif” dalam Pasal 113 Undang-Undang dihilangkan, hal demikian tidak akan mengubah fakta bahwa senyatanya tembakau memang mengandung zat adiktif;
Bahwa jaminan dan perlindungan hukum oleh Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 tidaklah dimaksudkan bahwa negara harus menjamin penghasilan setiap warga negara, yang dalam perkara ini, melindungi penghasilan yang didapatkan dari harga jual tanaman tembakau. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa petani padilah yang sangat rentan terhadap rendahnya penghasilan karena harga beras yang tinggi tidak diinginkan terjadi karena Pemerintah dengan segala kewenangannya harus menjaga agar harga beras, yang termasuk bagian dari sembako, tidak terlalu tinggi. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 adalah termasuk hak asasi dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya yaitu generasi kedua dari hak asasi manusia. Terhadap hak untuk bekerja ini perlu kiranya dikutip apa yang disampaikan oleh Matthew Craven dalam “The International Convention On Economic, Social and Cultural Rights. A Perspective on its Development”, bahwa, “….any States would not accept an obligation to “guarantee” the right to work in the sense of ensuring full employment or eliminating unemployment. In particular, it was feared that such a guarantee would bind States to a centralized system of government and require that all labour be under the direct control of the State.” Dengan demikian, pengertian bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan tidaklah dimaksudkan bahwa negara harus menyediakan lapangan kerja untuk seluruh warganya, karena jika hal demikian dilakukan, maka akan terjadi sentralisasi pemerintahan dan bahwa semua warga harus tunduk kepada pemerintah untuk bekerja dalam bidang yang disediakan oleh Pemerintah, padahal setiap warga negara mempunyai hak konstitusi untuk memilih lapangan kerja yang disukainya. Menyediakan lapangan kerja sesuai dengan keinginan setiap warga adalah sesuatu hal yang tidak mungkin dipenuhi oleh pemerintahan manapun juga.
Kewajiban Pemerintah terhadap hak asasi ekonomi, sosial, dan budaya adalah untuk mengusahakan kesempatan seluas mungkin dengan cara bersungguhsungguh agar setiap warga negara dapat menikmati hak tersebut dan bukannya negara harus bisa menyediakan lapangan kerja untuk setiap warga negaranya;
            Berikut bunyi lengkap amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara NOMOR 19/PUU-VIII/2010 :
5. AMAR PUTUSAN
Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
=======
Berikut link putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VIII/2010 >>>http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_19%20PUU%202010_TELAH%20BACA.pdf

Tidak ada komentar: