Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Jumat, 03 April 2015

Konstitusionalitas Hak Menyatakan Pendapat anggota DPR


Adanya pembatasan dan persyarata quroum  bagi anggota DPR untuk mengajukan Hak Menyatakan Pendapat yang diatur dalam UU MD3 menjadi alasan utama bagi M. Farhat Abbas, SH., MH., anggota DPR (Lili Chadijah Wahid,Bambang Soesatyo, SE., MBA.,Akbar Faizal) dan Abdulrachim Kresno,dkk., untuk mengajukan permohonan pengujian UU 27 Tahun 2009 tentang MD3 ke Mahkamah Konstitusi.
Para Pemohon dalam permohonannya menyatakan bahwa Pasal 184 ayat (4) UU 27/2009 yang menentukan persyaratan quorum dan persetujuan minimum ¾ anggota DPR untuk menggunakan hak menyatakan pendapat bertentangan dengan konstitusi yaitu melanggar hak fundamental anggota DPR untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan serta bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat (democracy) baik yang dilaksanakan secara langsung maupun melalui sistem perwakilan. Menurut para Pemohon Pasal 184 ayat (4) UU 27/2009 bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin oleh konstitusi yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan pengawasan terhadap Presiden untuk mengungkap kebenaran atas suatu kebijakan pemerintah yang berimplikasi pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping itu, menurut para Pemohon, ketentuan Pasal a quo, hanya melindungi kepentingan kelompok yang memiliki jumlah kursi dominan untuk melanggengkan sistem kekuasaan, sehingga kebenaran yang muncul hanyalah kebenaran berdasarkan jumlah suara kelompok dominan yang dapat mengabaikan kepentingan hukum dan demokrasi. Apalagi ketentuan Pasal a quo melanggar ketentuan Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 yang bersifat imperatif dalam rangka membangun prinsip checks and balances dan prinsip kesetaraan antara lembaga negara yang dianut oleh UUD 1945;
            Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya menyatakan bahwa masalah pokok yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah:
1. Apakah batas minimum 3/4 untuk quorum dan persetujuan anggota DPR untuk menyampaikan hak menyatakan pendapat DPR bertentangan dengan UUD 1945?
2. Berapakah batas minimum quorum dan persetujuan anggota DPR yang dimungkinkan oleh UUD 1945 untuk menyampaikan hak menyatakan pendapat?
Bahwa sebelum Mahkamah menjawab kedua pertanyaan tersebut, Mahkamah terlebih dahulu menguraikan pengertian, pengaturan, dan praktik hak menyatakan pendapat dalam ketatanegaraan Indonesia. Sebelum perubahan UUD 1945, hak menyatakan pendapat adalah hak yang dimiliki oleh DPR untuk menyampaikan pendapat terhadap kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional.
UUD 1945 sebelum perubahan tidak mengenal hak menyatakan pendapat, akan tetapi hak tersebut telah diakomodasi dalam berbagai undang-undang tentang hak-hak DPR, seperti dalam Pasal 32 UU Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang memberikan hak kepada DPR untuk mengajukan hak menyatakan pendapat yang merupakan kelanjutan dari hak interpelasi dapat berbentuk memorandum, resolusi, dan/atau mosi. Demikian juga dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 tentang Perubahan UU Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Namun ditegaskan bahwa penggunaan hak menyatakan pendapat harus dilakukan dengan bijaksana berdasarkan demokrasi Pancasila, agar tidak mengubah sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945. Ketentuan yang sama ditemukan dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, serta Pasal 27 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Selain itu, Pasal 75 UUDS Tahun 1950 yang menganut sistem pemerintahan perlementer, hanya mengenal hak interpelasi dan hak menyelidiki (enquette). Berbagai Undang- Undang tersebut tidak mengatur ketentuan syarat minimum quorum maupun persetujuan anggota DPR, kecuali hanya diatur dalam peraturan tata tertib DPR.
Ketentuan quorum maupun persetujuan anggota untuk menggunakan hak menyatakan pendapat dalam beberapa peraturan tata tertib DPR tersebut ditetapkan dengan kehadiran dan persetujuan anggota secara mayoritas sederhana atau paling tinggi dengan kehadiran dan persetujuan 2/3 anggota (seperti dalam Keputusan DPR Nomor 08/DPR RI/I/2005.2006 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat RI). Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia sebelum Undang-Undang a quo, DPR telah banyak menggunakan hak menyatakan pendapat terhadap Pemerintah antara lain:
§  Hak mengajukan usul dan pendapat tentang penggantian Panglima TNI (Tahun Sidang 2004-2005);
§  Usul hak menyatakan pendapat tentang kebijakan antisipatif Pemerintah atas kenaikan harga pokok yang murah dan terjangkau bagi masyarakat (Tahun Sidang 2007-2008);
§  Usulan hak menyatakan pendapat tentang Presiden telah melakukan pelanggaran terhadap UU Nomor 41 Tahun 2008 tentang APBN 2009 (Tahun Sidang 2008-2009);
Bahwa perubahan UUD 1945, menata kembali hubungan antar lembaga negara berdasarkan prinsip checks and balances, yaitu suatu sistem pemerintahan yang dikembangkan dari sistem pemisahan kekuasaan antara cabang-cabang utama kekuasaan negara yang terdiri dari kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sistem checks and balances menghendaki adanya keseimbangan dan saling mengawasi antar lembaga negara untuk menghindari kekuasaan absolut dari suatu lembaga atau organ negara. Dalam hubungan dengan jabatan Presiden sebagai penyelenggara kekuasaan eksekutif, DPR, dan DPD selaku lembaga perwakilan rakyat secara terus menerus mengawasi segala kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan oleh Presiden agar tetap sesuai dengan konstitusi dan semangat serta tujuan negara. Dalam posisi inilah, terletak arti penting jaminan konstitusional bagi DPR untuk dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab konstitusionalnya mengawasi Presiden sebagaimana diatur dalam konstitusi;
Bahwa untuk menjawab pertanyaan dalam paragraf diatas Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
UUD 1945 setelah perubahan, secara tegas memuat hak menyatakan pendapat DPR yang diatur dalam Pasal 20A UUD 1945, sebagai bagian dari fungsi pengawasan DPR. Tidak ada uraian lebih lanjut tentang mekanisme penggunaan hak menyatakan pendapat tersebut dalam UUD 1945 kecuali secara implisit diamanatkan untuk diatur dalam Undang-Undang. Di samping itu perubahan UUD 1945, juga mengenal “pendapat DPR” atas hasil pengawasannya dalam rangka usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Menurut Mahkamah, walaupun terdapat persamaan antara hak menyatakan pendapat DPR yang diatur dalam Pasal 20A UUD 1945 dan pendapat DPR dalam rangka usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945, yaitu sama-sama dalam rangka pengawasan DPR terhadap Presiden, tetapi kedua ketentuan tersebut mengandung perbedaan. Pasal 20A UUD 1945, hanya memberikan jaminan adanya hak DPR untuk menyatakan pendapat dengan tidak disertai batasan apapun mengenai cara serta mekanisme penggunaan hak tersebut. Hal itu diserahkan pengaturannya dalam Undang- Undang. Sedangkan pendapat DPR dalam rangka usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945 mengatur juga mekanisme pengambilan keputusannya, yaitu dilakukan dalam sidang paripurna yang dihadiri paling sedikit 2/3 anggota DPR dan disetujui oleh paling sedikit 2/3 anggota DPR yang hadir. Mekanisme penggunaan hak menyatakan pendapat berdasarkan Pasal 20A bersifat terbuka untuk diatur dalam tingkat Undang-Undang, sedangkan pendapat DPR yang diatur dalam Pasal 7B bersifat limitatif. Hal ini sejalan dengan pendapat ahli Saldi Isra dan Aidul Fitriciada Azhari, yang berpendapat bahwa syarat quorum dan pengambilan keputusan dalam rangka pemakzulan/pemberhentian Presiden bersifat limitatif dan tidak dimungkinkan adanya delegasi pengaturan yang berbeda kepada Undang- Undang. Selain itu Mahkamah sependapat juga dengan ahli Fajrul Falaakh yang pada pokoknya berpendapat bahwa hak menyatakan pendapat menurut sistem ketatanegaraan Indonesia ada yang bersifat umum (lex generalis) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20A UUD 1945 dan ada yang bersifat khusus (lex specialis) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7B UUD 1945;
Bahwa UU 27/2009 menggabungkan mekanisme penggunaan hak menyatakan pendapat, baik yang bersumber dari Pasal 20A maupun Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945, tanpa membedakan jenis dan bobot pernyataan pendapat yang seharusnya dibedakan atas lex specialis dan lex generalis. Hak menyatakan pendapat dalam UU a quo mencakup hak DPR untuk menyatakan pendapat atas kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional, tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket, serta dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU a quo tidak membedakan semua jenis hak menyatakan pendapat DPR baik berdasarkan Pasal 20A sebagai lex generalis maupun Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 sebagai lex specialis yang mengatur bahwa semua jenis pernyataan pendapat hanya dapat dilakukan melalui keputusan rapat paripurna DPR yang dihadiri oleh paling sedikit 3/4 anggota DPR dan disetujui oleh paling sedikit ¾ anggota DPR yang hadir. Penyamarataan ketentuan seperti ini menurut Mahkamah bertentangan dengan maksud dan semangat UUD 1945;
Bahwa menurut Mahkamah, DPR memang memiliki kebebasan legislasi untuk menentukan mekanisme pengambilan keputusan dengan menetapkan syarat tertentu, baik syarat quorum maupun syarat persetujuan anggota DPR terhadap hak menyatakan pendapat yang bersifat umum yang bersumber dari Pasal 20A UUD 1945. Akan tetapi, DPR tidak memiliki kebebasan untuk mengatur syarat quorum dan persetujuan anggota DPR terkait dengan pendapat DPR dalam rangka usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang akan diajukan kepada Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang tidak dapat mengatur persyaratan yang lebih berat atau lebih ringan berdasakan kebijakan legislasi selain yang ditentukan oleh konstitusi. Mahkamah tidak sependapat dengan pandangan DPR yang pada pokoknya menyatakan bahwa antara kedua ketentuan tersebut secara substansial mengandung dua hal yang berbeda. Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 mengatur mengenai syarat formil pengajuan permintaan DPR RI kepada Mahkamah Konstitusi, sedangkan Pasal 184 ayat (4) UU 27/2009 mengatur syarat formil pengajuan hak menyatakan pendapat DPR terkait dengan pelaksanaan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Menurut Mahkamah, tidak mungkin terjadi pendapat DPR terkait permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi dalam rangka usul pemakzulan Presiden tanpa terlebih dahulu ada persetujuan DPR atas usul penggunaan hak menyatakan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (4) UU a quo. Dengan demikian, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU 27/2009 khususnya terkait dengan usul menyatakan pendapat mengenai dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah tidak sejalan dengan maksud dan semangat konstitusi;
Bahwa menurut Mahkamah, memperberat syarat penggunaan hak menyatakan pendapat DPR dengan menentukan syarat quorum maupun syarat persetujuan keputusan DPR, paling sedikit 3/4 kehadiran dan persetujuan 3/4 anggota yang hadir, mempersulit pelaksanaan hak dan kewenangan konstitusional DPR yang ditentukan secara tegas dalam konstitusi. Mahkamah tidak sependapat dengan pandangan Pemerintah maupun DPR bahwa tingginya persyaratan quorum maupun persetujuan anggota DPR adalah dalam rangka memperkuat legitimasi putusan hak menyatakan pendapat serta memperkuat sistem presidensial. Menurut Mahkamah, syarat quorum dan persetujuan tersebut, mengakibatkan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat tidak dapat secara efektif melaksanakan pengawasannya terhadap Presiden, sehingga tidak sejalan dengan sistem checks and balances yang dianut dalam UUD 1945. Dengan pengaturan yang demikian, sangat potensial melahirkan tidak efektifnya kontrol DPR terhadap Presiden. Bahkan, seperti diungkapkan oleh Ahli Adnan Buyung Nasution, dengan pengaturan Pasal 184 ayat (4) UU a quo maka persyaratan penggunaan hak menyatakan pendapat menjadi jauh lebih berat dari persyaratan yang diperlukan dalam perubahan UUD 1945 yang justru terkait dengan perubahan sistem pemerintahan. Menurut Mahkamah, prosedur dan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang ditentukan dalam UUD 1945 telah mencerminkan penguatan sistem Presidensial. Hal itu ditunjukkan dengan proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang harus melewati tiga lembaga negara yaitu, DPR, Mahkamah Konstitusi, dan MPR. Demikian juga dengan mekanisme pengambilan keputusan yang harus memenuhi persyaratan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 anggota DPR dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. Adapun di tingkat MPR, ditentukan persyaratan kehadiran sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota MPR dalam sidang paripurna dan harus disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat limitatif, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Gagasan pembatasan oleh konstitusi tentang syarat dan mekanisme menyatakan pendapat tentang dugaan pelanggaran hukum tertentu atau tidak terpenuhinya lagi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden ditentukan secara ketat dan berat sehingga jika diperberat lagi oleh undang-undang dapat berakibat terjadinya pelanggaran dalam proses kontrol terhadap Presiden/Wakil Presiden dan merupakan pelemahan terhadap demokrasi;
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan yang dikemukakan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 184 ayat (4) UU 27/2009 bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah, syarat pengambilan keputusan DPR untuk usul menggunakan hak menyatakan pendapat mengenai dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak boleh melebihi batas persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 7B ayat (3) UUD 1945.
Bahkan menurut Mahkamah, pada “tingkat usul” penggunaan hak menyatakan pendapat, persyaratan pengambilan keputusan DPR harus lebih ringan dari persyaratan yang ditentukan Pasal 7B ayat (3) UUD 1945, karena untuk dapat menindaklanjuti pendapat tersebut kepada Mahkamah Konstitusi harus melalui persyaratan yang lebih berat sebagaimana diatur dalam Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 tersebut. Demikian juga, terhadap usul hak menyatakan pendapat atas kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional yang bersifat strategis dan tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket harus lebih ringan daripada persyaratan pendapat DPR terkait pengajuan permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi yang berhubungan dengan proses pemberhentian Presiden yang ditentukan dalam Pasal 7B ayat (3) UUD 1945;
Bahwa dengan tidak berlakunya ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU 27/2009 berdasarkan putusan Mahkamah ini, ketentuan persyaratan pengambilan keputusan mengenai “usul” penggunaan hak menyatakan pendapat berlaku ketentuan mayoritas sederhana;
Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum;
Adapun bunyi lengkap amar putusan perkara 23-26/PUU-VIII/2010 adalah sebagai berikut:
5. AMAR PUTUSAN,
Mengadili,
Menyatakan:

  • Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
  • Pasal 184 ayat (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  • Pasal 184 ayat (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  •  Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

Link Putusan Mahkamah Konstitusi >>>

Tidak ada komentar: