Adanya
pembatasan dan persyarata quroum bagi
anggota DPR untuk mengajukan Hak Menyatakan Pendapat yang diatur dalam UU MD3 menjadi
alasan utama bagi M. Farhat Abbas, SH., MH., anggota DPR (Lili Chadijah
Wahid,Bambang Soesatyo, SE., MBA.,Akbar Faizal) dan Abdulrachim Kresno,dkk.,
untuk mengajukan permohonan pengujian UU 27 Tahun 2009 tentang MD3 ke Mahkamah
Konstitusi.
Para
Pemohon dalam permohonannya menyatakan bahwa Pasal 184 ayat (4) UU 27/2009 yang
menentukan persyaratan quorum dan persetujuan minimum ¾ anggota DPR untuk
menggunakan hak menyatakan pendapat bertentangan dengan konstitusi yaitu
melanggar hak fundamental anggota DPR untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya
pemerintahan serta bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat (democracy)
baik yang dilaksanakan secara langsung maupun melalui sistem perwakilan. Menurut
para Pemohon Pasal 184 ayat (4) UU 27/2009 bertentangan dengan prinsip
kedaulatan rakyat yang dijamin oleh konstitusi yang memberikan kewenangan
kepada DPR untuk melakukan pengawasan terhadap Presiden untuk mengungkap
kebenaran atas suatu kebijakan pemerintah yang berimplikasi pada kehidupan
berbangsa dan bernegara. Di samping itu, menurut para Pemohon, ketentuan Pasal
a quo, hanya melindungi kepentingan kelompok yang memiliki jumlah kursi dominan
untuk melanggengkan sistem kekuasaan, sehingga kebenaran yang muncul hanyalah kebenaran
berdasarkan jumlah suara kelompok dominan yang dapat mengabaikan kepentingan
hukum dan demokrasi. Apalagi ketentuan Pasal a quo melanggar ketentuan Pasal 7B
ayat (3) UUD 1945 yang bersifat imperatif dalam rangka membangun prinsip checks
and balances dan prinsip kesetaraan antara lembaga negara yang dianut oleh UUD
1945;
Untuk menjawab persoalan
konstitusionalitas tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya
menyatakan bahwa masalah pokok yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah:
1.
Apakah batas minimum 3/4 untuk quorum dan persetujuan anggota DPR untuk menyampaikan
hak menyatakan pendapat DPR bertentangan dengan UUD 1945?
2.
Berapakah batas minimum quorum dan persetujuan anggota DPR yang dimungkinkan
oleh UUD 1945 untuk menyampaikan hak menyatakan pendapat?
Bahwa
sebelum Mahkamah menjawab kedua pertanyaan tersebut, Mahkamah terlebih dahulu
menguraikan pengertian, pengaturan, dan praktik hak menyatakan pendapat dalam
ketatanegaraan Indonesia. Sebelum perubahan UUD 1945, hak menyatakan pendapat
adalah hak yang dimiliki oleh DPR untuk menyampaikan pendapat terhadap
kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah
air atau di dunia internasional.
UUD
1945 sebelum perubahan tidak mengenal hak menyatakan pendapat, akan tetapi hak
tersebut telah diakomodasi dalam berbagai undang-undang tentang hak-hak DPR,
seperti dalam Pasal 32 UU Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, dan DPRD yang memberikan hak kepada DPR untuk mengajukan hak
menyatakan pendapat yang merupakan kelanjutan dari hak interpelasi dapat
berbentuk memorandum, resolusi, dan/atau mosi. Demikian juga dalam Pasal 32
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 tentang Perubahan UU Nomor 16 Tahun 1969
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Namun
ditegaskan bahwa penggunaan hak menyatakan pendapat harus dilakukan dengan
bijaksana berdasarkan demokrasi Pancasila, agar tidak mengubah sistem pemerintahan
berdasarkan UUD 1945. Ketentuan yang sama ditemukan dalam Pasal 33
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan
DPRD, serta Pasal 27 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Selain itu, Pasal 75 UUDS Tahun 1950 yang
menganut sistem pemerintahan perlementer, hanya mengenal hak interpelasi dan
hak menyelidiki (enquette). Berbagai Undang- Undang tersebut tidak mengatur
ketentuan syarat minimum quorum maupun persetujuan anggota DPR, kecuali hanya
diatur dalam peraturan tata tertib DPR.
Ketentuan
quorum maupun persetujuan anggota untuk menggunakan hak menyatakan pendapat
dalam beberapa peraturan tata tertib DPR tersebut ditetapkan dengan kehadiran
dan persetujuan anggota secara mayoritas sederhana atau paling tinggi dengan
kehadiran dan persetujuan 2/3 anggota (seperti dalam Keputusan DPR Nomor 08/DPR
RI/I/2005.2006 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat RI). Dalam
praktik ketatanegaraan Indonesia sebelum Undang-Undang a quo, DPR telah banyak
menggunakan hak menyatakan pendapat terhadap Pemerintah antara lain:
§ Hak
mengajukan usul dan pendapat tentang penggantian Panglima TNI (Tahun Sidang
2004-2005);
§ Usul
hak menyatakan pendapat tentang kebijakan antisipatif Pemerintah atas kenaikan
harga pokok yang murah dan terjangkau bagi masyarakat (Tahun Sidang 2007-2008);
§ Usulan
hak menyatakan pendapat tentang Presiden telah melakukan pelanggaran terhadap
UU Nomor 41 Tahun 2008 tentang APBN 2009 (Tahun Sidang 2008-2009);
Bahwa
perubahan UUD 1945, menata kembali hubungan antar lembaga negara berdasarkan
prinsip checks and balances, yaitu suatu sistem pemerintahan yang dikembangkan
dari sistem pemisahan kekuasaan antara cabang-cabang utama kekuasaan negara
yang terdiri dari kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sistem checks
and balances menghendaki adanya keseimbangan dan saling mengawasi antar lembaga
negara untuk menghindari kekuasaan absolut dari suatu lembaga atau organ
negara. Dalam hubungan dengan jabatan Presiden sebagai penyelenggara kekuasaan
eksekutif, DPR, dan DPD selaku lembaga perwakilan rakyat secara terus menerus mengawasi
segala kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan oleh Presiden agar tetap sesuai
dengan konstitusi dan semangat serta tujuan negara. Dalam posisi inilah,
terletak arti penting jaminan konstitusional bagi DPR untuk dapat menjalankan
tugas dan tanggung jawab konstitusionalnya mengawasi Presiden sebagaimana
diatur dalam konstitusi;
Bahwa
untuk menjawab pertanyaan dalam paragraf diatas Mahkamah berpendapat sebagai
berikut:
UUD
1945 setelah perubahan, secara tegas memuat hak menyatakan pendapat DPR yang
diatur dalam Pasal 20A UUD 1945, sebagai bagian dari fungsi pengawasan DPR.
Tidak ada uraian lebih lanjut tentang mekanisme penggunaan hak menyatakan
pendapat tersebut dalam UUD 1945 kecuali secara implisit diamanatkan untuk
diatur dalam Undang-Undang. Di samping itu perubahan UUD 1945, juga mengenal
“pendapat DPR” atas hasil pengawasannya dalam rangka usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD
1945. Menurut Mahkamah, walaupun terdapat persamaan antara hak menyatakan
pendapat DPR yang diatur dalam Pasal 20A UUD 1945 dan pendapat DPR dalam rangka
usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diatur dalam Pasal 7A
dan 7B UUD 1945, yaitu sama-sama dalam rangka pengawasan DPR terhadap Presiden,
tetapi kedua ketentuan tersebut mengandung perbedaan. Pasal 20A UUD 1945, hanya
memberikan jaminan adanya hak DPR untuk menyatakan pendapat dengan tidak
disertai batasan apapun mengenai cara serta mekanisme penggunaan hak tersebut.
Hal itu diserahkan pengaturannya dalam Undang- Undang. Sedangkan pendapat DPR
dalam rangka usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diatur
dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945 mengatur juga mekanisme pengambilan
keputusannya, yaitu dilakukan dalam sidang paripurna yang dihadiri paling
sedikit 2/3 anggota DPR dan disetujui oleh paling sedikit 2/3 anggota DPR yang hadir.
Mekanisme penggunaan hak menyatakan pendapat berdasarkan Pasal 20A bersifat
terbuka untuk diatur dalam tingkat Undang-Undang, sedangkan pendapat DPR yang
diatur dalam Pasal 7B bersifat limitatif. Hal ini sejalan dengan pendapat ahli
Saldi Isra dan Aidul Fitriciada Azhari, yang berpendapat bahwa syarat quorum
dan pengambilan keputusan dalam rangka pemakzulan/pemberhentian Presiden
bersifat limitatif dan tidak dimungkinkan adanya delegasi pengaturan yang
berbeda kepada Undang- Undang. Selain itu Mahkamah sependapat juga dengan ahli
Fajrul Falaakh yang pada pokoknya berpendapat bahwa hak menyatakan pendapat
menurut sistem ketatanegaraan Indonesia ada yang bersifat umum (lex generalis)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20A UUD 1945 dan ada yang bersifat khusus
(lex specialis) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7B UUD 1945;
Bahwa
UU 27/2009 menggabungkan mekanisme penggunaan hak menyatakan pendapat, baik
yang bersumber dari Pasal 20A maupun Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945, tanpa
membedakan jenis dan bobot pernyataan pendapat yang seharusnya dibedakan atas
lex specialis dan lex generalis. Hak menyatakan pendapat dalam UU a quo
mencakup hak DPR untuk menyatakan pendapat atas kebijakan Pemerintah atau
mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia
internasional, tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket, serta
dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan
Pasal 184 ayat (4) UU a quo tidak membedakan semua jenis hak menyatakan
pendapat DPR baik berdasarkan Pasal 20A sebagai lex generalis maupun Pasal 7A
dan Pasal 7B UUD 1945 sebagai lex specialis yang mengatur bahwa semua jenis
pernyataan pendapat hanya dapat dilakukan melalui keputusan rapat paripurna DPR
yang dihadiri oleh paling sedikit 3/4 anggota DPR dan disetujui oleh paling
sedikit ¾ anggota DPR yang hadir. Penyamarataan ketentuan seperti ini menurut Mahkamah
bertentangan dengan maksud dan semangat UUD 1945;
Bahwa
menurut Mahkamah, DPR memang memiliki kebebasan legislasi untuk menentukan
mekanisme pengambilan keputusan dengan menetapkan syarat tertentu, baik syarat
quorum maupun syarat persetujuan anggota DPR terhadap hak menyatakan pendapat
yang bersifat umum yang bersumber dari Pasal 20A UUD 1945. Akan tetapi, DPR
tidak memiliki kebebasan untuk mengatur syarat quorum dan persetujuan anggota
DPR terkait dengan pendapat DPR dalam rangka usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden yang akan diajukan kepada Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang tidak dapat mengatur persyaratan yang lebih berat atau lebih
ringan berdasakan kebijakan legislasi selain yang ditentukan oleh konstitusi.
Mahkamah tidak sependapat dengan pandangan DPR yang pada pokoknya menyatakan
bahwa antara kedua ketentuan tersebut secara substansial mengandung dua hal
yang berbeda. Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 mengatur mengenai syarat formil
pengajuan permintaan DPR RI kepada Mahkamah Konstitusi, sedangkan Pasal 184
ayat (4) UU 27/2009 mengatur syarat formil pengajuan hak menyatakan pendapat
DPR terkait dengan pelaksanaan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20A ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Menurut Mahkamah, tidak mungkin terjadi
pendapat DPR terkait permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi dalam rangka
usul pemakzulan Presiden tanpa terlebih dahulu ada persetujuan DPR atas usul
penggunaan hak menyatakan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (4)
UU a quo. Dengan demikian, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU
27/2009 khususnya terkait dengan usul menyatakan pendapat mengenai dugaan
Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah tidak sejalan
dengan maksud dan semangat konstitusi;
Bahwa
menurut Mahkamah, memperberat syarat penggunaan hak menyatakan pendapat DPR
dengan menentukan syarat quorum maupun syarat persetujuan keputusan DPR, paling
sedikit 3/4 kehadiran dan persetujuan 3/4 anggota yang hadir, mempersulit
pelaksanaan hak dan kewenangan konstitusional DPR yang ditentukan secara tegas
dalam konstitusi. Mahkamah tidak sependapat dengan pandangan Pemerintah maupun
DPR bahwa tingginya persyaratan quorum maupun persetujuan anggota DPR adalah
dalam rangka memperkuat legitimasi putusan hak menyatakan pendapat serta memperkuat
sistem presidensial. Menurut Mahkamah, syarat quorum dan persetujuan tersebut,
mengakibatkan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat tidak dapat secara efektif
melaksanakan pengawasannya terhadap Presiden, sehingga tidak sejalan dengan
sistem checks and balances yang dianut dalam UUD 1945. Dengan pengaturan yang
demikian, sangat potensial melahirkan tidak efektifnya kontrol DPR terhadap
Presiden. Bahkan, seperti diungkapkan oleh Ahli Adnan Buyung Nasution, dengan
pengaturan Pasal 184 ayat (4) UU a quo maka persyaratan penggunaan hak
menyatakan pendapat menjadi jauh lebih berat dari persyaratan yang diperlukan
dalam perubahan UUD 1945 yang justru terkait dengan perubahan sistem
pemerintahan. Menurut Mahkamah, prosedur dan mekanisme pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden yang ditentukan dalam UUD 1945 telah mencerminkan
penguatan sistem Presidensial. Hal itu ditunjukkan dengan proses pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden yang harus melewati tiga lembaga negara yaitu,
DPR, Mahkamah Konstitusi, dan MPR. Demikian juga dengan mekanisme pengambilan
keputusan yang harus memenuhi persyaratan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3
anggota DPR dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3
dari jumlah anggota DPR. Adapun di tingkat MPR, ditentukan persyaratan
kehadiran sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota MPR dalam sidang paripurna
dan harus disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat limitatif, tidak boleh ditambah atau dikurangi.
Gagasan pembatasan oleh konstitusi tentang syarat dan mekanisme menyatakan
pendapat tentang dugaan pelanggaran hukum tertentu atau tidak terpenuhinya lagi
syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden ditentukan secara ketat dan
berat sehingga jika diperberat lagi oleh undang-undang dapat berakibat
terjadinya pelanggaran dalam proses kontrol terhadap Presiden/Wakil Presiden
dan merupakan pelemahan terhadap demokrasi;
Bahwa
berdasarkan uraian pertimbangan yang dikemukakan di atas, Mahkamah berpendapat
bahwa Pasal 184 ayat (4) UU 27/2009 bertentangan dengan UUD 1945. Menurut
Mahkamah, syarat pengambilan keputusan DPR untuk usul menggunakan hak
menyatakan pendapat mengenai dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan
pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak boleh melebihi batas persyaratan yang ditentukan
oleh Pasal 7B ayat (3) UUD 1945.
Bahkan
menurut Mahkamah, pada “tingkat usul” penggunaan hak menyatakan pendapat,
persyaratan pengambilan keputusan DPR harus lebih ringan dari persyaratan yang
ditentukan Pasal 7B ayat (3) UUD 1945, karena untuk dapat menindaklanjuti
pendapat tersebut kepada Mahkamah Konstitusi harus melalui persyaratan yang
lebih berat sebagaimana diatur dalam Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 tersebut.
Demikian juga, terhadap usul hak menyatakan pendapat atas kebijakan Pemerintah
atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia
internasional yang bersifat strategis dan tindak lanjut pelaksanaan hak
interpelasi dan hak angket harus lebih ringan daripada persyaratan pendapat DPR
terkait pengajuan permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi yang berhubungan
dengan proses pemberhentian Presiden yang ditentukan dalam Pasal 7B ayat (3)
UUD 1945;
Bahwa
dengan tidak berlakunya ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU 27/2009 berdasarkan putusan
Mahkamah ini, ketentuan persyaratan pengambilan keputusan mengenai “usul”
penggunaan hak menyatakan pendapat berlaku ketentuan mayoritas sederhana;
Menimbang
bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah
berpendapat dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum;
Adapun
bunyi lengkap amar putusan perkara 23-26/PUU-VIII/2010 adalah sebagai berikut:
5. AMAR PUTUSAN,
Mengadili,
Menyatakan:
- Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
- Pasal 184 ayat (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Pasal 184 ayat (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Link Putusan Mahkamah Konstitusi
>>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar