Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Sabtu, 04 April 2015

Konstitusionalitas hak sewa tanah bagi Petani dan kelembagan Petani

  
       Isu hukum tentang pembentukan kelembagaan Petani dan hak sewa atas tanah untuk petani terhadap tanah milik negara menjadi isu krusial yang dibahas dalam permohonan  pengujian  Undang-Undang  Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani diajukan oleh gabungan LSM yaitu Serikat Petani Indonesia, dkk., yang mendalilkan  telah dirugikan dengan diberlakukannya UU tersebut. 

        Para Pemohon beranggapan bahwa Undang-Undang  Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani khususnya  Pasal 59  yang menyatakan, “Kemudahan bagi Petani untuk memperoleh lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf a diberikan dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan” sepanjang frasahak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan”,  Pasal 70 ayat (1) yang menyatakan, “(1) Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) terdiri atas: a. Kelompok Tani; b. Gabungan Kelompok Tani; c. Asosiasi Komoditas Pertanian; dan d. Dewan Komoditas Pertanian Nasional “  Pasal 71 yang menyatakan, “Petani berkewajiban bergabung dan berperan aktif dalam Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1)” sepanjang frasa “berkewajiban” bertentangan dengan UUD 1945, dengan alasan  sebagai berikut:
  • Dalam Undang-Undang a quo persoalan tanah tidak dimasukkan dalam permasalahan yang dihadapi petani sehingga undang-undang a quo tidak secara komprehensif mengupayakan redistribusi tanah kepada petani dan hanya mengatur tentang konsolidasi tanah, tanah terlantar, dan tanah “negara bebas” yang bisa diredistribusikan kepada petani. Selain itu, tanah yang diredistribusikan kepada petani tersebut tidak dapat menjadi hak milik petani, melainkan hanya berupa hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan;
  •  Pembatasan hak atas tanah petani yang diperoleh melalui redistribusi tanah berdasarkan hak sewa dan izin adalah merupakan bentuk dari tidak adanya upaya negara melakukan redistribusi tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemberlakuan Pasal 59 Undang-Undang a quo sepanjang frasa “hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan” bertentangan dengan prinsip atau konsep hak menguasai dari negara dan tidak ditujukan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, sehingga bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Selain itu, adanya hak sewa tanah negara telah menimbulkan ketidakpastian hukum sebab bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa penggunaan tanah negara dilakukan dengan hak pakai yang bukan sewa menyewa
  • Pasal 59 Undang-Undang a quo selain mengatur adanya hak sewa, juga mengatur adanya izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan akan tetapi dalam Undang-Undang a quo tidak menjelaskan dengan rinci apa yang dimaksud dengan izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan dan apa yang membedakannya dengan hak pengelolaan yang telah di atur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut telah menimbulkan adanya ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon pada khususnya dan rakyat tani pada umumnya karena tidak ada jaminan kepastian hak atas tanah. Berdasarkan hal-hal tersebut, pemberlakuan Pasal 59 Undang-Undang a quo sepanjang frasa “hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan” adalah sesuatu yang bertentangan dengan prinsip dan pengaturan yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum yang melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
  • Konsep petani menyewa tanah kepada negara adalah suatu konsep yang menghidupkan kembali praktek feodalisme, yang mana negara menjadi tuan tanah dan petani menjadi penggarap. Konsep sewa menyewa dan perizinan, dalam praktek dan pemberlakuannya berpotensi menyulitkan petani untuk memperoleh penghidupan yang layak mengingat petani sebagai kelompok rentan yang tidak akan mampu membayar sewa dan mengurus perizinan. Bagaimana mungkin petani dapat membayar biaya sewa dan izin, jika permasalahan utama mereka terkait penghidupan yang layak bagi dirinya dan keluarga saja sulit untuk terpenuhi, logikanya untuk memenuhi hak para petani tentang penghidupan yang layak sebagaimana amanat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, sudah sepatutnya Pemerintah berkewajiban untuk menyediakan tanah bagi para petani yang tidak bertanah tanpa harus membebani petani dengan kewajiban untuk membayar sewa. Selama ini petani kecil atau buruh tani menyewa tanah dari tanah individu, tanah kas desa dan tanah perusahaan, oleh karenanya petani mendapatkan tanah negara melalui mekanisme sewa bukanlah solusi kemiskinan petani dan penduduk yang bekerja di desa karena tetap saja tidak memiliki alat produksi berupa tanah milik sendiri karena tetap saja menyewa tanah;
  •  Selain pelanggaran terhadap penghidupan yang layak, pemberlakuan Pasal 59 Undang-Undang a quo sepanjang frasa “hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan” juga merupakan pengingkaran terhadap kewajiban negara untuk memberikan kemudahan dan perlakuan khusus bagi petani untuk memperoleh keadilan, khususnya terhadap akses hak atas tanah, sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 28H ayat (2) UUD 1945;
  •  Materi muatan Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang a quo adalah praktek dari korporatisme Negara yaitu Pemerintah memfasilitasi terbentuknya dan menentukan bentuk lembaga petani. Korporatisme negara di masa lalu dilakukan oleh rezim militer Orde Baru, yaitu pemberlakuan organisasi petani dalam wadah tunggal yang dikooptasi oleh negara. Artinya, petani hanya diberikan kesempatan berorganisasi dalam wadah yang sudah ditentukan. Penentuan bentuk kelembagaan petani secara sepihak oleh Pemerintah adalah mengabaikan bentuk kelembagaan petani yang lain yang sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang a quo, misalnya Serikat Petani, Kelembagaan Subak (Bali), kelompok perempuan tani, dan lain sebagainya.Padahal dalam Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang a quo telah menyatakan pembentukan kelembagaan petani harus dengan perpaduan dari budaya, norma, nilai, dan kearifan lokal petani. Hal tersebut memungkinkan terbentuknya lembaga petani dengan berbagai macam sesuai dengan sistem nilai yang berkembang dalam masyarakat petani;
  • Penentuan bentuk kelembagaan petani secara sepihak oleh Pemerintah, mengakibatkan petani yang tergabung dalam lembaga petani yang berbeda dari yang disebutkan oleh Undang-Undang a quo berpotensi untuk tidak diberdayakan dan tidak dilindungi oleh Pemerintah, sehingga pemberlakuan Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang a quo menimbulkan diskriminasi terhadap petani karena tidak mendapatkan hak dan kewajiban yang sama sehingga bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Selain itu, berdasarkan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, setiap orang diberi hak untuk bebas membentuk atau ikut serta dalam keanggotaan ataupun menjadi pengurus organisasi dalam kehidupan bermasyarakat dalam wilayah negara Republik Indonesia. Kebebasan berserikat sebagaimana dalam Pasal 28E ayat (3) merupakan hak bukanlah kewajiban sebagaimana di atur dalam Undang-Undang a quo, sehingga seharusnya Pemerintah tidak perlu mengintervensi atau menentukan bentuk kelembagaan petani dan melindungi keanekaragaman bentuk lembaga petani yang telah ada. Pemerintah juga harus membiarkan petani atas dasar kesadarannya untuk menentukan jenis kelembagaan dan jenis keikutsertaannya, sehingga kewajiban utama Pemerintah terhadap kelembagaan tersebut adalah melindungi dan mengakuinya. Mewajibkan petani untuk bergabung ke dalam kelembagaan petani yang bentuknya telah ditentukan secara sepihak oleh Pemerintah dan di luar dari inisiatif petani telah bertentangan dengan kemerdekaan atau kebebasan untuk berserikat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
        Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah berpendapat,  pemberian hak milik kepada petani atas tanah negara bebas yang menjadikan kawasan pertanian sangat berpotensi akan mengubah kebijakan politik negara untuk mempertahankan suatu kawasan pertanian menjadi kawasan non-pertanian. Apabila diberikan hak milik kepada para petani maka itu akan dimiliki secara turun temurun dan bebas untuk dialihkan dan diperjualbelikan yang pada akhirnya juga dapat mengubah peruntukan kawasan pertanian menjadi peruntukan yang lain sehingga akan mengurangi kawasan pertanian. Pemberian hak milik kepada petani memang akan memberikan kepastian kepada para petani untuk memiliki tanah, tetapi dalam hal ini pemberian hak milik tersebut akan mengancam upaya negara untuk mempertahankan suatu kawasan sebagai kawasan pertanian. Tanpa diberikan hak milik para petani pun dapat diberdayakan untuk memanfaatkan kawasan pertanian tersebut dengan memberikan izin pengelolaan, izin pengusahaan, dan izin pemanfaatan;
       Selain itu,menurut Mahkamah, sewa menyewa tanah antara negara dengan warga negara khususnya petani adalah politik hukum yang sudah ditinggalkan sejak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) karena politik hukum demikian adalah politik hukum peninggalan Hindia-Belanda yang bersifat eksploitatif terhadap rakyat. Menurut Mahkamah, jika membaca Pasal 59 yang menyatakan, “Kemudahan bagi Petani untuk memperoleh lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf a diberikan dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan”, maka dapat dimaknai bahwa negara atau Pemerintah dapat memberikan hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan terhadap tanah negara bebas kepada petani. Hal itu berarti bahwa negara dapat menyewakan tanah kepada petani. Menurut Mahkamah hal demikian bertentangan dengan prinsip pemberdayaan petani yang dianut dalam UUPA yang melarang sewa menyewa tanah antara negara dengan petani (warga negara). Walaupun Presiden dalam keterangannya menerangkan bahwa hak sewa dimaksud adalah hak sewa antara petani dengan petani, sehingga frasa “hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 59 adalah sewa menyewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan sesama petani yang telah memperoleh kemudahan dari Pemerintah dalam satu kawasan pertanian yang tidak dapat dialihfungsikan di luar usaha non-pertanian, menurut Mahkamah, sewa menyewa antara petani dengan petani tidak perlu diatur dalam Undang-Undang a quo karena praktik tersebut berada pada hubungan hukum keperdataan biasa yang juga dimungkinkan oleh UUPA. Demikian pula keterangan Presiden bahwa yang dimaksud “izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan” antara negara (Pemerintah) dengan petani adalah suatu konstruksi yang tidak mungkin secara hukum karena hubungan perizinan adalah hubungan antara negara (Pemerintah) dengan warga negara, sehingga jika yang dimaksud oleh Presiden adalah izin dari swasta atau petani kepada petani yang lain, hal itu juga tidak perlu diatur dalam Undang-Undang a quo karena praktik tersebut merupakan hubungan hukum keperdataan biasa. Walaupun demikian, Mahkamah perlu menegaskan bahwa negara dapat saja memberikan izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan kepada petani terhadap tanah negara bebas yang belum didistribusikan kepada petani, tetapi negara atau Pemerintah tidak boleh menyewakan tanah tersebut kepada petani. Sewa menyewa tanah antara negara atau Pemerintah dengan petani bertentangan dengan prinsip pengelolaan bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat [vide Pasal 33 ayat (3) UUD 1945]. Demikian pula dengan pemberian lahan sebesar 2 hektar tanah Negara bebas kepada petani haruslah memprioritaskan kepada petani yang betul-betul belum memiliki lahan pertanian dan bukan diberikan kepada petani yang cukup kuat dan telah memiliki lahan.
           Bahwa terhadap Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang a quo menurut Mahkamah penguatan kelembagaan petani memang sangat perlu dilakukan oleh negara dalam rangka pemberdayaan petani, untuk itu bisa saja negara membentuk organisasi-organisasi petani dengan tujuan memberikan perlindungan dan pemberdayaan petani, namun tidak dapat diartikan bahwa negara mewajibkan petani harus masuk dalam kelembagaan yang dibuat oleh Pemerintah atau Negara tersebut. Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang a quo telah membatasi kelembagaan petani terbatas pada Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, Asosiasi Komoditas Pertanian, dan Dewan Komoditas Pertanian Nasional. Penyebutan secara limitatif organisasi kelembagaan petani dalam pasal a quo dengan penulisan nama organisasi dalam huruf besar menunjukkan nomenklatur organisasi yang telah ditentukan. Menurut Mahkamah, pembentukan kelembagaan bagi petani yang dibentuk oleh negara harus juga diberikan kesempatan kepada petani untuk membentuk kelembagaan dari, oleh, dan untuk petani guna memperkuat dan memperjuangkan kepentingan petani itu sendiri.
       Negara sebagai fasilitator bagi petani sesuai dengan kewenangannya seharusnya juga bertugas mendorong dan memfasilitasi terbentuknya kelembagaan petani dan dilaksanakan sesuai dengan perpaduan antara budaya, norma, nilai, dan kearifan lokal petani. Adanya upaya perlindungan dan pemberdayaan petani yang dilakukan untuk memajukan dan mengembangkan pola pikir dan pola kerja petani, meningkatkan usaha tani, serta menumbuhkan dan menguatkan kelembagaan petani agar mampu mandiri dan berdaya saing tinggi. Itikad baik dari negara untuk membentuk organisasi ataupun kelembagaan petani sangatlah positif karena akan lebih efektif dalam melakukan pembinaan kepada para petani seperti penyuluhan, inventarisasi petani yang sesungguhnya, penyaluran bantuan, memudahkan pertanggungjawaban, koordinasi, dan komunikasi Pemerintah dengan petani, antar petani, kegiatan atau sosial gotong-royong. Akan tetapi, adanya pembentukan kelembagaan petani oleh negara tidak diartikan bahwa petani dilarang untuk membentuk kelembagaan petani lainnya, atau diwajibkannya petani untuk bergabung dalam organisasi atau kelembagaan petani bentukan Pemerintah saja. Petani harus diberikan hak dan kebebasan untuk bergabung atau tidak bergabung dengan kelembagaan petani bentukan Pemerintah dan juga dapat bergabung dengan kelembagaan petani yang dibentuk oleh petani itu sendiri.
        Selain itu, menurut Mahkamah kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani juga harus berorientasi pada tujuan untuk membantu dan memajukan segala hal ihwal yang ada kaitannya dengan pemberdayaan petani. Bantuan Pemerintah tidak boleh hanya diberikan kepada kelembagaan petani yang dibentuk oleh pemerintah atau hanya kepada petani yang bergabung pada kelembagaan petani yang dibentuk oleh Pemerintah saja, tetapi juga harus diberikan kepada kelembagaan yang dibentuk oleh petani sendiri atau kepada petani yang bergabung pada organisasi yang dibentuk oleh petani sendiri yang diberitahukan atau dikordinasikan kepada Pemerintah. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang a quo telah menghalangi hak para Pemohon yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 untuk membentuk wadah berserikat dalam bentuk kelembagaan petani. Mahkamah melihat adanya korelasi Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang a quo dengan terlanggarnya hak-hak para Pemohon untuk menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani khususnya dalam pembentukan wadah kelembagaan petani yang murni berasal dari petani itu sendiri sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang a quo harus dinyatakan bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai sebagaimana dimaksud dalam amar putusan di bawah;
Bahwa maksud dan tujuan keberadaan kelembagaan petani, sebagaimana dimaksudkan Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang a quo adalah untuk memudahkan akuntabilitas terhadap fasilitas dari Pemerintah agar tepat sasaran, mencegah terjadinya konflik antar petani dalam memanfaatkan fasilitas yang disediakan Pemerintah dan mengefektifkan pembinaan petani. Semangat tersebut bukan berarti melarang petani membuat kelompok petani yang sesuai dengan kemauan para petani. Mahkamah berpendapat bahwa frasa “berkewajiban” dapat disalahartikan sebagai sesuatu yang wajib sehingga akan mengekang kebebasan petani untuk berkumpul dan berserikat. Menurut Mahkamah, frasa “berkewajiban” tidak bisa dilepaskan dari adanya suatu keharusan ditaati, dipatuhi, dan tidak bisa dibantah, sehingga apabila ada petani yang tidak bergabung dengan organisasi yang dibentuk oleh Pemerintah akan mengalami diskriminasi atas perlindungan petani oleh Pemerintah. Dengan demikian frasa “berkewajiban” bertentangan dengan UUD 1945 sehingga dalil para Pemohon beralasan menurut hukum;
              Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Adapun bunyi amar putusan dalam perkara Nomor 87/PUU-XI/2013 adalah sebagai berikut: 
 


5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.    Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1.        Frasa “hak sewa” dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5433) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2.        Frasa “hak sewa” dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5433) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.3.        Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5433) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “termasuk kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani”;
1.4.        Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5433) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani”;
1.5.        Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5433) selengkapnya menjadi, Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) terdiri atas: a. Kelompok Tani; b. Gabungan Kelompok Tani; c. Asosiasi Komoditas Pertanian; dan d. Dewan Komoditas Pertanian Nasional, serta kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani”;
1.6.        Kata “berkewajiban” dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5433) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.7.        Kata “berkewajiban” dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5433) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.8.        Pasal 71 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5433) selengkapnya menjadi, “Petani bergabung dan berperan aktif dalam Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1);
2.    Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
3.    Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.


Link Putusan Mahkamah Konstitusi >>>




Tidak ada komentar: