Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Jumat, 03 April 2015

Konstitusionalitas Hukum Pidana Lingkungan Hidup


Beberapa saat yang lalu Mahkamah Konstitusi telah memutus perkara  tentang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup  diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah (karyawan PT. Chevron Pacific Indonesia) yang mendalilkan dirinya sebagai perseorangan warga negara telah dirugikan dengan diberlakukannya UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

              Menurut Bachtiar Abdul Fatah selaku Pemohon, Pasal 59 ayat (4) juncto Pasal 102 dan Pasal 95 ayat (1) UU 32/2009 telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh UUD 1945 khususnya Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, karena memuat norma hukum yang tidak jelas, bias, menimbulkan multitafsir, menimbulkan ketidakjelasan, perlakuan yang tidak adil, perlakuan yang berbeda di hadapan hukum, dan perlakuan diskriminatif. Dengan berlakunya kedua pasal a quo, Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang bekerja sebagai General Manager Sumatera Light South pada PT. Chevron Pacific Indonesia, dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil;

              Menurut Pemohon norma yang terkandung dalam Pasal 59 ayat (4) juncto Pasal 102 yang mewajibkan adanya izin bagi pengelolaan limbah B3 namun di sisi lain Pasal 95 ayat (1) UU 32/2009 mengatur bahwa penghasil limbah B3 diwajibkan untuk mengelola limbah B3 yang dihasilkan tersebut dengan ancaman sanksi pidana jika tidak melakukannya.  

               Menurut Pemohon, keberadaan dua norma yang bersifat kontradiktif tersebut dapat menciptakan situasi dimana penghasil limbah B3 yang belum memiliki izin mengolah limbah B3 karena izin pengolahan tersebut sedang diurus perpanjangannya di instansi terkait terpaksa mengolah limbah B3 tersebut karena ada ancaman pidana berdasarkan Pasal 53 ayat (1) juncto Pasal 103 UU 32/2009. 

                    Namun di sisi lain, karena belum memiliki izin mengolah limbah B3 maka penghasil limbah B3 tersebut dianggap telah melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4) yang mensyaratkan adanya izin bagi pengelolaan limbah B3. Situasi tersebut yang dialami Pemohon yang disidik dan didakwa Kejaksaan Republik Indonesia atas tuduhan melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor dengan alasan antara lain bahwa proyek bioremediasi yang dikerjakan atas tanah yang terkontaminasi minyak bumi (limbah B3), yang dihasilkan oleh PT. Chevron Pacific Indonesia, dilakukan tanpa adanya izin. Dua norma hukum yang bersifat kontradiktif tersebut jelas telah merugikan hak konstitusional Pemohon atas ”pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil” sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena pelanggaran Pasal 59 ayat (4) dan Pasal 95 ayat (1) UU 32/2009 masing-masing dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 103 dan Pasal 102 UU 32/2009. 

                             Selain itu, kedua norma yang kontradiktif tersebut jelas merugikan hak konstitusional Pemohon dan potensial merugikan hak asasi manusia, mengingat, “mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat” adalah merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Dengan adanya  ketentuan Pasal 59 ayat (4) UU 32/2009, yang menyulitkan penghasil limbah B3 untuk mengolah limbah B3 sebelum adanya izin, akan berakibat penghasil limbah tidak melaksanakan kewajibannya. Kondisi tidak diolahnya limbah B3 tersebut akan berakibat pelanggaran terhadap hak asasi manusia karena tidak “mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Oleh karena itu, menurut Pemohon, kedua pasal a quo telah merugikan hak konstitusional Pemohon;
 
              Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah berpendapat  bahwa limbah B3 adalah limbah yang dihasilkan oleh industri yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3), yang apabila dibuang ke dalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Oleh karena itu, upaya pengendalian dampak tersebut, baik secara preemptif, preventif, maupun represif harus dikembangkan secara terus menerus seiring dengan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan kehidupan bangsa yang juga dilaksanakan secara terus menerus. Sejalan dengan itu maka ketentuan bahwa industri penghasil limbah B3 wajib melakukan pengelolaan dan untuk itu wajib memperoleh izin dari instansi yang berwenang adalah tepat secara konstitusional, karena alasan tersebut di atas. Hal tersebut mengandung makna bahwa oleh karena limbah B3 berdampak dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain maka pengelolaan limbah B3 dilarang dan hanya yang mendapat izin negara atau pemerintah yang diperbolehkan melakukan pengelolaan limbah B3 tersebut.

            Menurut Mahkamah, bahwa izin dalam perspektif hukum administrasi negara merupakan salah satu upaya dan strategi negara, dalam hal ini Pemerintah atau Pemerintah Daerah, dalam rangka penguasaan atau pengendalian terhadap suatu objek hukum dari kegiatan terhadapnya. Upaya dan strategi dimaksud dilakukan dengan melarang tanpa izin melakukan kegiatan apa pun tehadap objek hukum dimaksud. Izin diberikan kepada pihak tertentu setelah yang bersangkutan mengajukan permohonan dengan disertai syarat-syarat yang ditentukan. Permohonan tersebut kemudian dinilai dan dipertimbangkan oleh pejabat yang berwenang. Manakala permohonan dan syarat-syaratnya telah memenuhi kualifikasi tertentu yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka permohonan dikabulkan dan izin diberikan, di dalamnya ditentukan pula adanya syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh pemegang izin. Syarat-syarat yang terakhir tersebut sesungguhnya merupakan hal atau kegiatan guna mewujudkan keadaan yang dikehendaki oleh negara. 

Oleh karena itu, apabila dalam pelaksanaannya syarat-syarat tersebut tidak diselenggarakan dengan sebaik-baiknya, negara dapat mencabut izin tersebut atau apabila di dalamnya terdapat unsur kriminal maka selain dicabutnya izin, negara dapat menyidik, menuntut, bahkan menjatuhkan pidana sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang tersedia menurut hukum. Dengan demikian, secara hukum dengan instrumen izin tersebut negara masih memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap objek hukumnya dan dengan demikian pula maka fungsi pengendalian negara terhadap kegiatan yang dilakukan terhadap objek dimaksud secara rasional diharapkan dapat berlangsung secara efektif. Oleh karena itu, sepanjang mengenai kewajiban pengelolaan limbah B3 bagi yang menghasilkannya dan kewajiban pengelolaan limbah B3 dengan mendapatkan izin adalah wajar dan semestinya. Namun demikian, permasalahannya adalah apakah orang atau subjek hukum penghasil limbah B3 yang sedang mengurus izin atau sedang mengurus perpanjangan izin pengelolaan limbah B3 secara hukum dianggap telah memperoleh izin, sehingga secara hukum pula dapat melakukan pengelolaan limbah B3. Terhadap permasalahan tersebut, menurut Mahkamah, bahwa untuk subjek hukum yang belum memperoleh izin maka ketika yang bersangkutan mengajukan permohonan izin dan proses pengurusan memperoleh izin sedang berlangsung maka hal demikian tidak dapat secara hukum dianggap telah memperoleh izin dan oleh karena itu tidak dapat melakukan pengelolaan limbah B3. 

Adapun untuk subjek hukum yang telah memperoleh izin akan tetapi izinnya tersebut telah berakhir maka ketika yang bersangkutan mengajukan permohonan perpanjangan izin sesuai dangan peraturan perundang-undangan dan pengurusan izinnya sedang dalam proses, hal tersebut secara formal memang belum mendapat izin, namun secara materiil sesungguhnya harus dianggap telah memperoleh izin. Apalagi terlambat keluarnya izin tersebut bukan karena faktor kesalahan dari pihak yang mengajukan perpanjangan izin maka tidak layak Pemohon diperlakukan sama dengan subjek hukum yang tidak memiliki izin sama sekali. Walaupun demikian tidak berarti subjek hukum tersebut boleh melepaskan kewajibannya untuk terus mengurus perpanjangan izinnya. Terlebih lagi apabila hasil pengawasan terakhir oleh instansi atau pejabat yang berwenang setelah izin tersebut berakhir tidak terdapat pelanggaran terhadap syarat-syarat pengelolaan limbah B3 yang ditentukan dalam pemberian izin. Pertimbangan lain terkait dengan anggapan hukum demikian adalah karena keadaan tersebut adalah keadaan transisional, izin yang baru belum terbit dan izin lama secara formal telah tidak berlaku adalah suatu keadaan anomali, padahal terkait dengan objek hukum dalam permasalahan tersebut adalah limbah B3, limbah yang dapat berdampak buruk dan mengancam kelestarian lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Di samping itu, karena subjek hukum tersebut adalah juga yang memproduksi limbah B3 maka menurut hukum adalah kewajibannya untuk mengelola limbah yang apabila tidak dilakukan akan dapat merusak kelestarian lingkungan hidup dan dapat diancam dengan pidana. Apabila pengelolaan limbah B3 tersebut dihentikan dampaknya akan sungguh-sungguh menjadi realitas yang merugikan, baik bagi perusahaan maupun masyarakat dan negara. Hal tersebut benar-benar akan menjadi permasalahan serius apabila tidak segera terbitnya izin pengelolaannya justru karena lambatnya birokrasi pemerintahan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 59 ayat (4) UU 32/2009 beralasan menurut hukum dan harus dimaknai sebagaimana akan disebutkan dalam amar putusan di bawah ini;
                 Sedangkan terkait dengan Pasal 95 ayat (1) UU 32/2009, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 95 ayat (1) UU 32/2009 menyatakan, “Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri”. Pemohon mendalilkan bahwa dengan adanya kata “dapat” koordinasi penegakan hukum tersebut menjadi suatu kebijakan pilihan, sehingga dalam praktiknya berjalan sendiri-sendiri. Selain itu, Pemohon mengajukan permohonan konstitusionalitas norma yang menjadi materi muatan pada frasa “tindak pidana lingkungan hidup”, yang seharusnya termasuk tindak pidana lain sebagai pelanggaran terhadap UU 32/2009 supaya sesuai dengan semangat UU 32/2009.
Bahwa dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat dan lingkungan hidupnya UU 32/2009, sebagaimana dipertimbangkan di atas, mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana adalah suatu keharusan. Oleh karena itu, UU 32/2009, antara lain, dalam penegakan hukum pidana lingkungan mempergunakan keterpaduan penegakan hukum pidana dengan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan [Penjelasan Umum UU 32/2009].

            Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, pelanggaran terhadap hukum lingkungan adalah tidak bersifat tunggal, karena di dalamnya terdapat pelanggaran hukum yang bersifat administratif, perdata, maupun pidana. Selain itu, pelanggaran tersebut juga terkait dengan permasalahan sosial dan ekonomi atau kesejahteraan yang diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, koordinasi dalam penegakan hukum lingkungan menjadi suatu yang niscaya. Keniscayaan koordinasi tersebut didasarkan pada fakta tentang dampak buruk limbah B3 sebagaimana dipertimbangkan di atas. Menggeneralisasi pelanggaran hukum lingkungan yang tidak tunggal sebagai suatu kejahatan juga sebagai tindakan ketidakadilan. Untuk itu forum koordinasi memastikan kategori pelanggaran terhadap hukum lingkungan tersebut. Dengan koordinasi, ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dapat dihindari dan bersamaan dengan itu terdapat peluang untuk mewujudkannya. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut permohonan pengujian konstitusionalitas norma dalam Pasal 95 ayat (1) UU 32/2009 beralasan menurut hukum, yaitu mengenai norma yang terdapat dalam kata “dapat”;
            Bahwa terhadap permohonan Pemohon mengenai frasa “tindak pidana lingkungan hidup”, menurut Mahkamah, tindak pidana yang bersumber dari UU 32/2009 tidak saja tindak pidana lingkungan hidup, tetapi juga tindak pidana lainnya, misalnya tindak pidana korupsi seperti kasus yang dimohonkan oleh Pemohon [vide: permohonan Pemohon angka 11 halaman 13]. Mahkamah menilai tujuan dari hukum acara pidana, antara lain, adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara dari kesewenang-wenangan negara dalam penegakan hukum. Oleh karena penegakan hukum terpadu yang diatur dalam Undang-Undang a quo hanya terhadap tindak pidana lingkungan hidup, padahal dapat saja tindak pidana lain, seperti tindak pidana korupsi, terjadi sebagai akibat pelanggaran terhadap UU 32/2009 maka adalah tidak adil jika penegakan hukum terpadu tersebut hanya mengenai tindak pidana lingkungan hidup, tidak mencakup tindak pidana lainnya. Oleh karena itu, frasa “tindak pidana lingkungan hidup” dalam pasal a quo harus dimaknai sebagaimana amar putusan di bawah ini;
                  Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Berikut amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara 18/PUU-XII/2014 :


5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.    Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
1.1.        Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan bagi pengelolaan limbah B3 yang permohonan perpanjangan izinnya masih dalam proses harus dianggap telah memperoleh izin;
1.2.        Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan bagi pengelolaan limbah B3 yang permohonan perpanjangan izinnya masih dalam proses harus dianggap telah memperoleh izin;
1.3.        Kata “dapat” dalam Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.4.        Kata “dapat” dalam Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.5.        Frasa “tindak pidana lingkungan hidup” dalam Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini”;
1.6.        Frasa “tindak pidana lingkungan hidup” dalam Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini”;
1.7.        Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059) selengkapnya menjadi “Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini, dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri;
2.    Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.


              





Tidak ada komentar: