Beberapa saat yang lalu Mahkamah Konstitusi telah memutus perkara tentang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah (karyawan PT. Chevron Pacific Indonesia) yang mendalilkan dirinya sebagai perseorangan warga negara telah dirugikan dengan diberlakukannya UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Menurut Bachtiar Abdul Fatah selaku Pemohon, Pasal 59 ayat (4) juncto
Pasal 102 dan Pasal 95 ayat (1) UU 32/2009 telah merugikan
hak-hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh UUD 1945 khususnya Pasal 28D
ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, karena memuat norma hukum yang tidak
jelas, bias, menimbulkan multitafsir, menimbulkan ketidakjelasan, perlakuan
yang tidak adil, perlakuan yang berbeda di hadapan hukum, dan perlakuan
diskriminatif. Dengan berlakunya kedua pasal a quo, Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang
bekerja sebagai General Manager Sumatera Light South pada PT. Chevron Pacific
Indonesia, dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum
yang adil;
Menurut Pemohon norma yang terkandung dalam Pasal 59 ayat
(4) juncto Pasal 102 yang mewajibkan
adanya izin bagi pengelolaan limbah B3 namun di sisi lain Pasal 95 ayat (1) UU
32/2009 mengatur bahwa penghasil limbah B3 diwajibkan untuk mengelola limbah B3
yang dihasilkan tersebut dengan ancaman sanksi pidana jika tidak melakukannya.
Menurut Pemohon, keberadaan dua norma yang bersifat
kontradiktif tersebut dapat menciptakan situasi dimana penghasil limbah B3 yang
belum memiliki izin mengolah limbah B3 karena izin pengolahan tersebut sedang
diurus perpanjangannya di instansi terkait terpaksa mengolah limbah B3 tersebut
karena ada ancaman pidana berdasarkan Pasal 53 ayat (1) juncto Pasal 103 UU 32/2009.
Namun di sisi lain, karena belum
memiliki izin mengolah limbah B3 maka penghasil limbah B3 tersebut dianggap
telah melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4) yang mensyaratkan adanya izin bagi
pengelolaan limbah B3. Situasi tersebut yang dialami Pemohon yang disidik dan
didakwa Kejaksaan Republik Indonesia atas tuduhan melanggar Pasal 2 dan Pasal 3
UU Tipikor dengan alasan antara lain bahwa proyek bioremediasi yang dikerjakan
atas tanah yang terkontaminasi minyak bumi (limbah B3), yang dihasilkan oleh
PT. Chevron Pacific Indonesia, dilakukan tanpa adanya izin. Dua norma hukum
yang bersifat kontradiktif tersebut jelas telah merugikan hak konstitusional
Pemohon atas ”pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil”
sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena pelanggaran Pasal
59 ayat (4) dan Pasal 95 ayat (1) UU 32/2009 masing-masing dikenai sanksi
pidana berdasarkan Pasal 103 dan Pasal 102 UU 32/2009.
Selain itu, kedua norma
yang kontradiktif tersebut jelas merugikan hak konstitusional Pemohon dan
potensial merugikan hak asasi manusia, mengingat, “mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat” adalah merupakan bagian dari hak asasi manusia yang
dilindungi oleh Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Dengan adanya ketentuan Pasal 59 ayat (4) UU 32/2009, yang
menyulitkan penghasil limbah B3 untuk mengolah limbah B3 sebelum adanya izin,
akan berakibat penghasil limbah tidak melaksanakan kewajibannya. Kondisi tidak
diolahnya limbah B3 tersebut akan berakibat pelanggaran terhadap hak asasi
manusia karena tidak “mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Oleh
karena itu, menurut Pemohon, kedua pasal a quo telah merugikan hak
konstitusional Pemohon;
Dalam pertimbangan hukumnya,
Mahkamah berpendapat bahwa limbah B3 adalah limbah yang dihasilkan
oleh industri yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3), yang apabila
dibuang ke dalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup,
kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Oleh karena
itu, upaya pengendalian dampak tersebut, baik secara preemptif, preventif,
maupun represif harus dikembangkan secara terus menerus seiring dengan
pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan kehidupan bangsa yang juga
dilaksanakan secara terus menerus. Sejalan dengan itu maka ketentuan bahwa
industri penghasil limbah B3 wajib melakukan pengelolaan dan untuk itu wajib
memperoleh izin dari instansi yang berwenang adalah tepat secara
konstitusional, karena alasan tersebut di atas. Hal tersebut mengandung makna
bahwa oleh karena limbah B3 berdampak dapat mengancam lingkungan hidup,
kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain maka pengelolaan
limbah B3 dilarang dan hanya yang mendapat izin negara atau pemerintah yang
diperbolehkan melakukan pengelolaan limbah B3 tersebut.
Menurut Mahkamah, bahwa izin dalam
perspektif hukum administrasi negara merupakan salah satu upaya dan strategi
negara, dalam hal ini Pemerintah atau Pemerintah Daerah, dalam rangka
penguasaan atau pengendalian terhadap suatu objek hukum dari kegiatan
terhadapnya. Upaya dan strategi dimaksud dilakukan dengan melarang tanpa izin
melakukan kegiatan apa pun tehadap objek hukum dimaksud. Izin diberikan kepada
pihak tertentu setelah yang bersangkutan mengajukan permohonan dengan disertai
syarat-syarat yang ditentukan. Permohonan tersebut kemudian dinilai dan
dipertimbangkan oleh pejabat yang berwenang. Manakala permohonan dan syarat-syaratnya
telah memenuhi kualifikasi tertentu yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan maka permohonan dikabulkan dan izin diberikan, di dalamnya
ditentukan pula adanya syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh pemegang
izin. Syarat-syarat yang terakhir tersebut sesungguhnya merupakan hal atau
kegiatan guna mewujudkan keadaan yang dikehendaki oleh negara.
Oleh karena itu, apabila dalam
pelaksanaannya syarat-syarat tersebut tidak diselenggarakan dengan
sebaik-baiknya, negara dapat mencabut izin tersebut atau apabila di dalamnya
terdapat unsur kriminal maka selain dicabutnya izin, negara dapat menyidik,
menuntut, bahkan menjatuhkan pidana sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang
tersedia menurut hukum. Dengan demikian, secara hukum dengan instrumen izin
tersebut negara masih memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap objek
hukumnya dan dengan demikian pula maka fungsi pengendalian negara terhadap
kegiatan yang dilakukan terhadap objek dimaksud secara rasional diharapkan
dapat berlangsung secara efektif. Oleh karena itu, sepanjang mengenai kewajiban
pengelolaan limbah B3 bagi yang menghasilkannya dan kewajiban pengelolaan
limbah B3 dengan mendapatkan izin adalah wajar dan semestinya. Namun demikian,
permasalahannya adalah apakah orang atau subjek hukum penghasil limbah B3 yang
sedang mengurus izin atau sedang mengurus perpanjangan izin pengelolaan limbah
B3 secara hukum dianggap telah memperoleh izin, sehingga secara hukum pula
dapat melakukan pengelolaan limbah B3. Terhadap permasalahan tersebut, menurut
Mahkamah, bahwa untuk subjek hukum yang belum memperoleh izin maka ketika yang
bersangkutan mengajukan permohonan izin dan proses pengurusan memperoleh izin
sedang berlangsung maka hal demikian tidak dapat secara hukum dianggap telah
memperoleh izin dan oleh karena itu tidak dapat melakukan pengelolaan limbah
B3.
Adapun untuk subjek hukum yang telah
memperoleh izin akan tetapi izinnya tersebut telah berakhir maka ketika yang
bersangkutan mengajukan permohonan perpanjangan izin sesuai dangan peraturan
perundang-undangan dan pengurusan izinnya sedang dalam proses, hal tersebut
secara formal memang belum mendapat izin, namun secara materiil sesungguhnya
harus dianggap telah memperoleh izin. Apalagi terlambat keluarnya izin tersebut
bukan karena faktor kesalahan dari pihak yang mengajukan perpanjangan izin maka
tidak layak Pemohon diperlakukan sama dengan subjek hukum yang tidak memiliki
izin sama sekali. Walaupun demikian tidak berarti subjek hukum tersebut boleh
melepaskan kewajibannya untuk terus mengurus perpanjangan izinnya. Terlebih
lagi apabila hasil pengawasan terakhir oleh instansi atau pejabat yang
berwenang setelah izin tersebut berakhir tidak terdapat pelanggaran terhadap
syarat-syarat pengelolaan limbah B3 yang ditentukan dalam pemberian izin.
Pertimbangan lain terkait dengan anggapan hukum demikian adalah karena keadaan
tersebut adalah keadaan transisional, izin yang baru belum terbit dan izin lama
secara formal telah tidak berlaku adalah suatu keadaan anomali, padahal terkait
dengan objek hukum dalam permasalahan tersebut adalah limbah B3, limbah yang
dapat berdampak buruk dan mengancam kelestarian lingkungan hidup, kesehatan,
dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Di samping itu, karena
subjek hukum tersebut adalah juga yang memproduksi limbah B3 maka menurut hukum
adalah kewajibannya untuk mengelola limbah yang apabila tidak dilakukan akan
dapat merusak kelestarian lingkungan hidup dan dapat diancam dengan pidana.
Apabila pengelolaan limbah B3 tersebut dihentikan dampaknya akan
sungguh-sungguh menjadi realitas yang merugikan, baik bagi perusahaan maupun
masyarakat dan negara. Hal tersebut benar-benar akan menjadi permasalahan
serius apabila tidak segera terbitnya izin pengelolaannya justru karena
lambatnya birokrasi pemerintahan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, permohonan
pengujian konstitusionalitas Pasal 59 ayat (4) UU 32/2009 beralasan menurut
hukum dan harus dimaknai sebagaimana akan disebutkan dalam amar putusan di
bawah ini;
Sedangkan
terkait dengan Pasal 95 ayat (1) UU 32/2009, Mahkamah berpendapat bahwa
Pasal 95 ayat (1) UU 32/2009 menyatakan, “Dalam
rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat
dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil,
kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri”. Pemohon mendalilkan
bahwa dengan adanya kata “dapat”
koordinasi penegakan hukum tersebut menjadi suatu kebijakan pilihan, sehingga
dalam praktiknya berjalan sendiri-sendiri. Selain itu, Pemohon mengajukan
permohonan konstitusionalitas norma yang menjadi materi muatan pada frasa “tindak pidana lingkungan hidup”, yang
seharusnya termasuk tindak pidana lain sebagai pelanggaran terhadap UU 32/2009
supaya sesuai dengan semangat UU 32/2009.
Bahwa dalam rangka memberikan
perlindungan hukum terhadap masyarakat dan lingkungan hidupnya UU 32/2009,
sebagaimana dipertimbangkan di atas, mendayagunakan berbagai ketentuan hukum,
baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana adalah suatu keharusan.
Oleh karena itu, UU 32/2009, antara lain, dalam penegakan hukum pidana
lingkungan mempergunakan keterpaduan penegakan hukum pidana dengan tetap
memperhatikan asas ultimum remedium
yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah
penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi
tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu
air limbah, emisi, dan gangguan [Penjelasan Umum UU 32/2009].
Bahwa berdasarkan pertimbangan
tersebut, pelanggaran terhadap hukum lingkungan adalah tidak bersifat tunggal,
karena di dalamnya terdapat pelanggaran hukum yang bersifat administratif,
perdata, maupun pidana. Selain itu, pelanggaran tersebut juga terkait dengan
permasalahan sosial dan ekonomi atau kesejahteraan yang diamanatkan oleh Pasal
33 UUD 1945. Oleh karena itu, koordinasi dalam penegakan hukum lingkungan
menjadi suatu yang niscaya. Keniscayaan koordinasi tersebut didasarkan pada fakta
tentang dampak buruk limbah B3 sebagaimana dipertimbangkan di atas.
Menggeneralisasi pelanggaran hukum lingkungan yang tidak tunggal sebagai suatu
kejahatan juga sebagai tindakan ketidakadilan. Untuk itu forum koordinasi
memastikan kategori pelanggaran terhadap hukum lingkungan tersebut. Dengan
koordinasi, ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dapat dihindari dan
bersamaan dengan itu terdapat peluang untuk mewujudkannya. Berdasarkan
pertimbangan hukum tersebut permohonan pengujian konstitusionalitas norma dalam
Pasal 95 ayat (1) UU 32/2009 beralasan menurut hukum, yaitu mengenai norma yang
terdapat dalam kata “dapat”;
Bahwa
terhadap permohonan Pemohon mengenai frasa “tindak
pidana lingkungan hidup”, menurut Mahkamah, tindak pidana yang bersumber
dari UU 32/2009 tidak saja tindak pidana lingkungan hidup, tetapi juga tindak
pidana lainnya, misalnya tindak pidana korupsi seperti kasus yang dimohonkan
oleh Pemohon [vide: permohonan Pemohon angka 11 halaman 13]. Mahkamah menilai
tujuan dari hukum acara pidana, antara lain, adalah untuk memberikan
perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara dari kesewenang-wenangan
negara dalam penegakan hukum. Oleh karena penegakan hukum terpadu yang diatur
dalam Undang-Undang a quo hanya
terhadap tindak pidana lingkungan hidup, padahal dapat saja tindak pidana lain,
seperti tindak pidana korupsi, terjadi sebagai akibat pelanggaran terhadap UU
32/2009 maka adalah tidak adil jika penegakan hukum terpadu tersebut hanya
mengenai tindak pidana lingkungan hidup, tidak mencakup tindak pidana lainnya.
Oleh karena itu, frasa “tindak pidana
lingkungan hidup” dalam pasal a quo
harus dimaknai sebagaimana amar putusan di bawah ini;
Bahwa
berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah
berpendapat dalil permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Berikut amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara 18/PUU-XII/2014 :
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
1.1.
Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5059) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, sepanjang tidak dimaknai “Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan bagi pengelolaan limbah B3 yang
permohonan perpanjangan izinnya masih dalam proses harus dianggap telah
memperoleh izin”;
1.2.
Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5059) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pengelolaan limbah B3 wajib
mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya dan bagi pengelolaan limbah B3 yang permohonan perpanjangan izinnya
masih dalam proses harus dianggap telah memperoleh izin”;
1.3.
Kata “dapat” dalam Pasal
95 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
1.4.
Kata
“dapat” dalam
Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5059)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.5.
Frasa
“tindak pidana lingkungan hidup” dalam Pasal 95 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “termasuk tindak
pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini”;
1.6.
Frasa
“tindak pidana lingkungan hidup” dalam Pasal 95 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai “termasuk tindak pidana lain yang bersumber
dari pelanggaran undang-undang ini”;
1.7.
Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5059) selengkapnya menjadi “Dalam
rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, termasuk tindak
pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini,
dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil,
kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri”;
2.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Link Putusan Mahkamah Konstitusi >>>
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_2110_18%20PUU%202014-UU_32_2009_Lingkungan-telahucap-21Jan2015-FINAL-%20wmActionWiz.pdf
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_2110_18%20PUU%202014-UU_32_2009_Lingkungan-telahucap-21Jan2015-FINAL-%20wmActionWiz.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar