Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Rabu, 22 April 2015

Konstitusionalitas Hakim Ad Hoc sebagai Pejabat Negara



11 orang hakim ad hoc dari berbagai daerah di Indonesia yang dipimpin oleh DR. Gazalba Saleh, S.H., M.H., dkk., pada tanggal 6 Maret 2014 mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang menyatakan, “Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu: ...
e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;”

                  Dalam uraian permohonannya, para Pemohon beranggapan telah dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan untuk mendapatkan hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi dengan berlakunya Pasal 122 huruf e UU ASN.
                  Menurut para Pemohon, pasal a quo telah merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon sebagai hakim ad hoc yang dijamin oleh UUD 1945 khususnya Pasal 24 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, karena memuat norma hukum yang  menimbulkan ketidakjelasan, perlakuan yang tidak adil, perlakuan yang berbeda di hadapan hukum, dan perlakuan diskriminatif. Dengan berlakunya pasal a quo, para Pemohon sebagai hakim ad hoc dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan perlakuan yang sama sebagai hakim pada umumnya yang merupakan pejabat negara;
                  Menurut para Pemohon norma yang terkandung dalam Pasal 122 huruf e UU ASN telah menyebabkan para Pemohon sebagai pelaku kekuasaan kehakiman diperlakukan tidak sama dengan jabatan hakim lainnya. Kerugian yang dialami oleh para Pemohon tersebut adalah sebagai berikut:
1.  Pemberlakuan Pajak atas Penghasilan para Pemohon sebesar 15%;
2.  Adanya pemberlakuan yang berbeda terhadap hakim ad hoc telah menyebabkan adanya kecemburuan di antara para hakim ad hoc dengan hakim karir yang pada akhirnya menyebabkan runtuhnya kewibawaan dan kehormatan hakim ad hoc;
3.  Adanya pembedaan dalam hal pemberian fasilitas dan tunjangan kepada hakim   ad hoc yang dianggap sebagai bukan pejabat negara telah menyebabkan adanya perlakuan yang tidak sama antara hakim ad hoc dengan hakim karir sehingga menyebabkan runtuhnya wibawa hakim ad hoc;
                  Oleh karena itu, menurut para Pemohon pasal a quo telah merugikan hak konstitusional para Pemohon.
            Untuk menjawan persoalan konstitusionalitas mengenai isu pejabat negara tersebut khususnya mengenai hakim ad hoc, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
                  Bahwa oleh karena pokok permohonan para Pemohon adalah mengenai kualifikasi pejabat negara khususnya hakim ad hoc dalam kekuasaan kehakiman, Mahkamah sebelum mempertimbangkan pokok permohonan terlebih dahulu perlu mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa pengertian hakim ad hoc tersebar dalam berbagai Undang-Undang, antara lain:
1.  Penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, "Hakim ad hoc" adalah hakim yang diangkat dari luar hakim karier yang memenuhi persyaratan profesional, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia;
2.  Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, “Dalam memeriksa dan memutus perkara Sengketa Pajak tertentu yang memerlukan keahlian khusus, Ketua dapat menunjuk Hakim Ad Hoc sebagai Hakim Anggota”;
3.  Penjelasan Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, “Yang dimaksud dengan "hakim ad hoc" adalah seseorang yang berasal dari lingkungan perikanan, antara lain, perguruan tinggi di bidang perikanan, organisasi di bidang perikanan, dan mempunyai keahlian di bidang hukum perikanan”;
4.  Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, “Hakim Ad-Hoc adalah Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang pengangkatannya atas usul serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha”;
5.  Pasal 1 angka 3 Undang-Undang  Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, “Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini sebagai hakim tindak pidana korupsi”;
6.  Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, “Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam Undang-Undang”;
7.  Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, “Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam Undang-Undang”.
Selain itu dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan, “… Keberadaan Hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya sejalan dengan kompleksitas perkara tindak pidana korupsi, baik yang menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan tindak pidana korupsi antara lain di bidang keuangan dan perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan barang dan jasa pemerintah”;
Hal tersebut juga dipertegas oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 56/PUU-X/2012, bertanggal 15 Januari 2013, yang mempertimbangkan pengertian Hakim Ad Hoc sebagai berikut, “… Pengertian Hakim Ad Hoc seharusnya menunjuk kepada sifat kesementaraan dan tidak bersifat permanen, sehingga Hakim Ad Hoc diperlukan hanya untuk mengadili kasus-kasus tertentu. Oleh karena itu seharusnya Hakim Ad Hoc hanya berstatus hakim selama menangani perkara yang diperiksa dan diadilinya”;
                 Bahwa pengertian Pejabat Negara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “orang yang memegang jabatan penting dalam pemerintahan”, sedangkan pengertian Pejabat Negara dalam berbagai Undang-Undang, antara lain:
1.     Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Pasal 2
Penyelenggara Negara meliputi:
1.    Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2.    Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3.    Menteri;
4.    Gubernur;
5.    Hakim;
6.    Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku; dan
7.    Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
Penjelasan Pasal 1 angka 6:
Yang dimaksud dengan “Pejabat negara yang lain” dalam ketentuan ini misalnya Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur, dan Bupati/Walikotamadya;
2.     Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Pasal 1 angka 4, Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana dimaksud dalam  Undang-Undang  Dasar 1945 dan Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang”.
Pasal 11
(1)   Pejabat Negara terdiri atas:
a.     Presiden dan Wakil Presiden;
b.     Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyarawatan Rakyat;
c.      Ketua, Wakil ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
d.     Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan;
e.     Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung;
f.       Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
g.     Menteri dan jabatan yang setingkat Menteri;
h.     Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
i.       Gubernur dan Wakil Gubernur;
j.       Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan
k.      Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.
3.     Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan, Pimpinan dan anggota lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pejabat Negara yang secara tegas ditentukan dalam Undang-Undang”.
4.     Pasal 122 UU ASN, “Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu:
a.      Presiden dan Wakil Presiden;
b.      Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.      Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
d.      Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah;
e.      Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;
f.       Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi;
g.      Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
h.      Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;
i.       Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
j.       Menteri dan jabatan setingkat menteri;
k.      Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
l.       Gubernur dan wakil gubernur;
m.    Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan
n.      Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang“.
                  Bahwa dibentuknya hakim ad hoc pada dasarnya karena adanya faktor kebutuhan akan keahlian dan efektivitas pemeriksaan perkara di Pengadilan yang bersifat khusus. Hakim ad hoc pertama dibentuk pada lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) pada tahun 1986 (Pasal 135 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara) yang kemudian disusul dalam lingkungan peradilan umum yaitu pada pengadilan khusus seperti Pengadilan Hak Asasi Manusia (Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia), Pengadilan Pajak (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak), Pengadilan Hubungan Industrial (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial), Pengadilan Perikanan (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan), Pengadilan Niaga (Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi) dan pada Pengadilan Negeri untuk perkara perusak hutan (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan). Pengangkatan hakim ad hoc dilakukan melalui serangkaian proses seleksi yang tidak sama dengan proses rekruitmen dan pengangkatan hakim sebagai pejabat negara pada umumnya.
                  Selain itu, tujuan awal dibentuknya hakim ad hoc adalah untuk memperkuat peran dan fungsi kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum dan keadilan yang sejalan dengan kompleksitas perkara yang ada. Hakim ad hoc merupakan hakim non-karir yang mempunyai keahlian dan kemampuan untuk mengadili suatu perkara khusus sehingga hakim ad hoc dapat memberi dampak positif ketika hakim ad hoc bersama hakim karir menangani sebuah perkara;
                  Bahwa adanya pengecualian hakim ad hoc, sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 122 huruf e UU ASN menurut Mahkamah, dengan mengingat sifat, pola rekruitmen, tidak adanya pembatasan usia berakhir masa tugasnya, serta ruang lingkup tugas dan kewenangan yang bersifat terbatas dan sementara maka penentuan hakim ad hoc yang dikategorikan sebagai bukan pejabat negara tidak bertentangan dengan UUD 1945.
                  Menurut Mahkamah, adalah tidak tepat apabila Pemohon beranggapan bahwa penegasan hakim karir dan hakim ad hoc sebagai pejabat negara dapat  dirujuk dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan, “Hakim adalah hakim karir dan hakim ad hoc” yang kemudian dikaitkan dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa,Hakim di bawah Mahkamah Agung adalah pejabat Negara.
                  UUD 1945 tidak menentukan batasan dan kualifikasi apakah hakim termasuk pejabat negara atau bukan pejabat negara. Satu-satunya frasa pejabat negara dalam UUD 1945 hanya terdapat dalam Pasal 24C ayat (5) yang menyatakan “Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara”.
                  Penentuan kualifikasi hakim in casu hakim ad hoc apakah sebagai pejabat negara atau bukan merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan yang ada sesuai dengan jenis dan spesifikasi serta kualifikasi jabatan tersebut. Dengan demikian, penentuan kualifikasi pejabat negara yang dikecualikan untuk hakim ad hoc sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang;
                  Bahwa menurut Mahkamah benar ada perbedaan antara hakim ad hoc dan hakim karir, tetapi perbedaan tersebut tidak serta merta menimbulkan perbedaan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Perbedaan dapat dibenarkan sepanjang sifat, karakter dan kebutuhan atas jabatan tersebut berbeda. Justru akan menimbulkan diskriminasi apabila memperlakukan sama terhadap suatu hal yang berbeda atau sebaliknya memperlakukan berbeda terhadap hal yang sama. Menurut Mahkamah, walaupun antara hakim ad hoc dan hakim karir sama-sama berstatus hakim, tetapi karakter dan kebutuhan atas jabatannya berbeda. Hal itu merupakan wilayah kebijakan pembentuk Undang-Undang;
                  Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
               Adapun bunyi lengkap amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara 32/PUU-XII/2014 sebagai berikut:
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.

================================

Link Putusan >>

Tidak ada komentar: