11 orang hakim ad hoc dari berbagai daerah di
Indonesia yang dipimpin oleh DR. Gazalba Saleh, S.H., M.H., dkk., pada
tanggal 6
Maret 2014 mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Pasal 122 huruf e Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang menyatakan, “Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 121 yaitu: ...
e.
Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua,
wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;”
Dalam uraian permohonannya, para
Pemohon beranggapan telah dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan untuk
mendapatkan hak atas perlindungan
diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi dengan berlakunya Pasal 122 huruf e UU ASN.
Menurut para Pemohon, pasal a quo telah
merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon sebagai hakim ad hoc yang dijamin oleh UUD 1945
khususnya Pasal 24 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD
1945, karena memuat norma hukum yang
menimbulkan ketidakjelasan, perlakuan yang tidak adil, perlakuan yang
berbeda di hadapan hukum, dan perlakuan diskriminatif. Dengan berlakunya pasal a quo, para Pemohon sebagai hakim ad hoc dirugikan hak konstitusionalnya
untuk mendapatkan perlakuan yang sama sebagai hakim pada umumnya yang merupakan
pejabat negara;
Menurut
para Pemohon norma yang terkandung dalam Pasal 122 huruf e UU ASN telah
menyebabkan para Pemohon sebagai pelaku kekuasaan kehakiman diperlakukan tidak
sama dengan jabatan hakim lainnya. Kerugian yang dialami oleh para Pemohon
tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Pemberlakuan Pajak atas Penghasilan para
Pemohon sebesar 15%;
2.
Adanya pemberlakuan yang berbeda terhadap hakim ad hoc
telah menyebabkan adanya kecemburuan di antara para hakim ad hoc dengan hakim karir yang pada akhirnya menyebabkan runtuhnya
kewibawaan dan kehormatan hakim ad hoc;
3.
Adanya pembedaan dalam hal pemberian
fasilitas dan tunjangan kepada hakim ad hoc yang dianggap sebagai bukan pejabat negara
telah menyebabkan adanya perlakuan yang tidak sama antara hakim ad hoc dengan hakim karir sehingga
menyebabkan runtuhnya wibawa hakim ad hoc;
Oleh
karena itu, menurut para Pemohon pasal a quo telah merugikan hak
konstitusional para Pemohon.
Untuk menjawan persoalan
konstitusionalitas mengenai isu pejabat negara tersebut khususnya mengenai
hakim ad hoc, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan
sebagai berikut:
Bahwa oleh karena pokok
permohonan para Pemohon adalah mengenai kualifikasi pejabat negara khususnya
hakim ad hoc dalam kekuasaan
kehakiman, Mahkamah sebelum mempertimbangkan pokok permohonan terlebih dahulu
perlu mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa
pengertian hakim ad
hoc tersebar dalam berbagai
Undang-Undang, antara lain:
1. Penjelasan Pasal 28 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, "Hakim ad hoc" adalah hakim
yang diangkat dari luar hakim karier yang memenuhi persyaratan profesional,
berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan
negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan menghormati hak
asasi manusia dan kewajiban dasar manusia;
2. Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, “Dalam
memeriksa dan memutus perkara Sengketa Pajak tertentu yang memerlukan keahlian
khusus, Ketua dapat menunjuk Hakim Ad Hoc sebagai Hakim Anggota”;
3. Penjelasan Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, “Yang
dimaksud dengan "hakim ad hoc" adalah seseorang yang berasal dari
lingkungan perikanan, antara lain, perguruan tinggi di bidang perikanan,
organisasi di bidang perikanan, dan mempunyai keahlian di bidang hukum
perikanan”;
4. Pasal 1 angka 19 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, “Hakim
Ad-Hoc adalah Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc
pada Mahkamah Agung yang pengangkatannya atas usul serikat pekerja/serikat
buruh dan organisasi pengusaha”;
5. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009
tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, “Hakim
ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan
dalam Undang-Undang ini sebagai hakim tindak pidana korupsi”;
6. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, “Hakim ad hoc adalah hakim
yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam
Undang-Undang”;
7. Pasal
1 angka 6 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, “Hakim ad hoc
adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di
bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
pengangkatannya diatur dalam Undang-Undang”.
Selain itu dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan, “…
Keberadaan Hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya sejalan dengan
kompleksitas perkara tindak pidana korupsi, baik yang menyangkut modus
operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan tindak pidana korupsi antara lain
di bidang keuangan dan perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan barang dan
jasa pemerintah”;
Hal tersebut juga dipertegas oleh Mahkamah
dalam Putusan Nomor 56/PUU-X/2012, bertanggal 15 Januari 2013, yang
mempertimbangkan pengertian Hakim Ad Hoc sebagai berikut, “… Pengertian Hakim Ad Hoc seharusnya menunjuk kepada sifat
kesementaraan dan tidak bersifat permanen, sehingga Hakim Ad Hoc diperlukan
hanya untuk mengadili kasus-kasus tertentu. Oleh karena itu seharusnya Hakim Ad
Hoc hanya berstatus hakim selama menangani perkara yang diperiksa dan
diadilinya”;
Bahwa
pengertian Pejabat Negara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “orang yang memegang jabatan penting dalam
pemerintahan”, sedangkan pengertian Pejabat Negara dalam berbagai
Undang-Undang, antara lain:
1. Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi
eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Pasal 2
Penyelenggara Negara meliputi:
1. Pejabat
Negara pada Lembaga
Tertinggi Negara;
2. Pejabat
Negara pada Lembaga
Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat
negara yang lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku; dan
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam
kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perUndang-Undangan yang berlaku.
Penjelasan Pasal 1 angka 6:
Yang dimaksud dengan “Pejabat negara yang lain” dalam
ketentuan ini misalnya Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang
berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur,
dan Bupati/Walikotamadya;
2. Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Pasal 1 angka 4, “Pejabat Negara adalah pimpinan
dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara
sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang”.
Pasal 11
(1)
Pejabat
Negara terdiri atas:
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis
Permusyarawatan Rakyat;
c. Ketua, Wakil ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat;
d. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada
Mahkamah Agung serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan;
e. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan
Agung;
f. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa
Keuangan;
g. Menteri dan jabatan yang setingkat Menteri;
h. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri
yang berkedudukan
sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
i. Gubernur dan Wakil Gubernur;
j. Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan
k. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh
Undang-Undang.
3. Pasal 1 angka 7
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan, “Pimpinan dan anggota lembaga
negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan Pejabat Negara yang
secara tegas ditentukan dalam Undang-Undang”.
4. Pasal 122 UU ASN, “Pejabat
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu:
a. Presiden
dan Wakil Presiden;
b. Ketua,
wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Ketua,
wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
d. Ketua,
wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah;
e. Ketua,
wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil
ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;
f. Ketua,
wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi;
g. Ketua,
wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
h. Ketua,
wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;
i. Ketua
dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
j. Menteri
dan jabatan setingkat menteri;
k. Kepala
perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta
Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
l. Gubernur
dan wakil gubernur;
m. Bupati/walikota
dan wakil bupati/wakil walikota; dan
n. Pejabat
negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang“.
Bahwa
dibentuknya hakim ad hoc pada
dasarnya karena adanya faktor kebutuhan akan keahlian dan efektivitas
pemeriksaan perkara di Pengadilan yang bersifat khusus. Hakim ad hoc pertama dibentuk pada lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) pada tahun 1986 (Pasal 135 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara) yang kemudian disusul
dalam lingkungan peradilan umum yaitu pada pengadilan khusus seperti Pengadilan
Hak Asasi Manusia (Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia), Pengadilan Pajak (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak), Pengadilan
Hubungan Industrial (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial), Pengadilan Perikanan (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan),
Pengadilan Niaga (Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi) dan pada Pengadilan Negeri
untuk perkara perusak hutan (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan). Pengangkatan hakim ad hoc dilakukan melalui serangkaian proses seleksi yang tidak sama
dengan proses rekruitmen dan pengangkatan hakim sebagai pejabat negara pada
umumnya.
Selain itu, tujuan awal
dibentuknya hakim ad
hoc adalah untuk memperkuat
peran dan fungsi kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum dan keadilan yang
sejalan dengan kompleksitas perkara yang ada. Hakim ad hoc merupakan hakim non-karir yang mempunyai keahlian dan kemampuan
untuk mengadili suatu perkara khusus sehingga hakim ad hoc dapat memberi dampak positif ketika hakim ad hoc bersama hakim karir menangani
sebuah perkara;
Bahwa
adanya pengecualian hakim ad hoc,
sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 122 huruf e UU ASN menurut
Mahkamah, dengan mengingat sifat, pola rekruitmen, tidak adanya pembatasan usia
berakhir masa tugasnya, serta ruang lingkup tugas dan kewenangan yang bersifat
terbatas dan sementara maka penentuan hakim ad
hoc yang dikategorikan sebagai bukan pejabat negara tidak bertentangan
dengan UUD 1945.
Menurut Mahkamah, adalah tidak
tepat apabila Pemohon beranggapan bahwa penegasan hakim karir dan hakim ad hoc sebagai pejabat negara dapat dirujuk dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan, “Hakim adalah hakim karir dan hakim ad hoc”
yang kemudian dikaitkan dengan
ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyebutkan bahwa,“Hakim di bawah Mahkamah Agung adalah
pejabat Negara”.
UUD 1945 tidak menentukan
batasan dan kualifikasi apakah hakim termasuk pejabat negara atau bukan pejabat
negara. Satu-satunya frasa pejabat negara dalam UUD 1945 hanya terdapat dalam
Pasal 24C ayat (5) yang menyatakan “Hakim
konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap
sebagai pejabat negara”.
Penentuan kualifikasi hakim in casu hakim ad hoc apakah sebagai pejabat negara atau bukan merupakan kebijakan
hukum terbuka (open legal policy),
yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan
tuntutan kebutuhan dan perkembangan yang ada sesuai dengan jenis dan
spesifikasi serta kualifikasi jabatan tersebut. Dengan demikian, penentuan
kualifikasi pejabat negara yang dikecualikan untuk hakim ad hoc sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang;
Bahwa
menurut Mahkamah benar ada perbedaan antara hakim ad hoc dan hakim karir, tetapi perbedaan tersebut tidak serta merta
menimbulkan perbedaan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945. Perbedaan dapat dibenarkan sepanjang sifat, karakter dan kebutuhan
atas jabatan tersebut berbeda. Justru akan menimbulkan diskriminasi apabila
memperlakukan sama terhadap suatu hal yang berbeda atau sebaliknya
memperlakukan berbeda terhadap hal yang sama. Menurut Mahkamah, walaupun antara
hakim ad hoc dan hakim karir sama-sama berstatus hakim,
tetapi karakter dan kebutuhan atas jabatannya berbeda. Hal itu merupakan
wilayah kebijakan pembentuk Undang-Undang;
Bahwa berdasarkan seluruh
pertimbangan hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil
permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Adapun bunyi lengkap amar putusan
Mahkamah Konstitusi dalam perkara 32/PUU-XII/2014 sebagai berikut:
AMAR PUTUSAN
Menyatakan menolak permohonan
para Pemohon untuk seluruhnya.
================================
Link
Putusan >>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar