Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Rabu, 22 April 2015

Penyadapan Harus atas Perintah Undang-Undang



Pada tanggal 16 Januari 2010, tiga orang warga negara yang berprofesi advokat dan peneliti mengajukan permohonan pengujian Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Traksaksi Elektronik.
Salah satu isu yang menjadi perdebatan hangat pada saat proses persidangan berlangsung adalah terkait isu penyadapan. Dalam permohonannya para pemohon yang terdiri atas Anggara, S.H., Supriyadi Widodo Eddyono, S.H., dan Wahyudi, S.H., mengajukan pengujian Pasal 31 ayat (4) UU 11/2008 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Menurut para Pemohon ketentuan pasal a quo berpotensi melanggar hak konstitusional para Pemohon, karena  Pemohon I dan Pemohon II sebagai Advokat dilindungi hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya untuk menjalankan profesinya secara bebas dan mandiri sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menyatakan, “Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat”. Pemohon I dan Pemohon II dalam menjalankan profesinya tersebut, melakukan komunikasi dengan klien, di mana komunikasi demikian tidak boleh dilakukan penyadapan. Pemohon III dalam permohonan a quo berprofesi sebagai peneliti Hak Asasi Manusia (HAM) dan Demokrasi, di mana dalam menjalankan aktivitasnya tersebut mengharuskan Pemohon III untuk berhubungan dan/atau mencari beragam sumber baik langsung ataupun tidak langsung. Dalam proses mencari sumber dimaksud, Pemohon III membutuhkan komunikasi melalui beragam sarana komunikasi untuk mencari, memperoleh, mendapatkan, memiliki, menyimpan, meneruskan, penelitian yang akan dipublikasikan ke masyarakat luas.
Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas tersebut, setelah melalui proses persidangan yang cukup komprehensif, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Bahwa sejatinya penyadapan (interception) adalah sebuah perbuatan melawan hukum. Hal ini dikarenakan penyadapan merupakan sebuah tindakan yang melanggar privasi orang lain dan oleh karenanya melanggar hak asasi manusia (HAM). Dalam perkembangannya penyadapan sering kali digunakan untuk membantu proses hukum tertentu, seperti penyelidikan kasus-kasus kriminal dalam mengungkap aksi teror, korupsi, dan tindak pidana narkoba. Penyadapan yang diperbolehkan ini dikenal juga sebagai lawful interception (penyadapan yang legal/sah di mata hukum);
Bahwa kegiatan dan kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat sensitif karena di satu sisi merupakan pembatasan HAM namun di sisi lain memiliki aspek kepentingan hukum. Oleh karena itu, pengaturan (regulation) mengenai legalitas penyadapan harus dibentuk dan diformulasikan secara tepat sesuai dengan UUD 1945;
Bahwa para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar mencabut Pasal 31 ayat (4) UU 11/2008 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan a quo bertentangan dengan konstitusi Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945;
Bahwa para Pemohon mendalilkan ketentuan tata cara mengenai penyadapan tidak seharusnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah melainkan harus diatur melalui Undang-Undang. Pemohon beralasan bahwasanya pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia hanya dapat dilakukan menggunakan formula pengaturan Undang-Undang. Pengaturan penyadapan dalam Peraturan Pemerintah tidak akan cukup menampung artikulasi pengaturan mengenai penyadapan;
Bahwa para Pemohon juga mendalikan penyadapan oleh aparat hukum atau institusi resmi negara tetap menjadi kontroversial karena merupakan praktik invasi atas hak-hak privasi warga negaranya yang mencakup privasi atas kehidupan pribadi, kehidupan keluarga maupun korespondensi. Ketidakjelasan pengaturan mengenai penyadapan, akan berpotensi pada penyalahgunaan yang berdampak pada pelanggaran HAM para Pemohon maupun masyarakat pada umumnya;
Bahwa penyadapan sebagai alat pendeteksi dan pencegah kejahatan juga memiliki kecenderungan yang berbahaya bagi hak asasi manusia, bila berada pada hukum yang tidak tepat dikarenakan lemahnya pengaturan dan formulasi pengaturannya;
Bahwa karena penyadapan merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia maka sangat wajar dan sudah sepatutnya jika negara ingin menyimpangi hak privasi warga negara tersebut, maka negara haruslah menyimpangi dalam bentuk Undang-Undang dan bukan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Penyimpangan terhadap HAM sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, hanya dapat dilakukan melalui Undang-Undang dan bukan bentuk lain apalagi Peraturan Pemerintah;
Bahwa mengatur hal sensitif seperti halnya penyadapan haruslah diletakkan dalam kerangka Undang-Undang, khususnya pada Hukum Acara Pidana karena hukum yang mengatur penyadapan oleh institusi negara harus lebih ditekankan pada perlindungan hak atas privasi individu dan/atau warga negara Indonesia;
Bahwa Mahkamah telah mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) yang mendalilkan bahwa pasal a quo tidak dapat dipisahkan dari pasal sebelumnya yakni Pasal 31 ayat (3) UU 11/2008 yang menyatakan bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan dalam rangka penegakan hukum oleh Kepolisian, Kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang;
Bahwa keberadaan Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (4) UU 11/2008 tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena materi muatan dalam pasal a quo hanya mengamanatkan pembuatan tata cara penyadapan. Adapun ketentuan mengenai penyadapan, sudah terlebih dahulu ada di sejumlah Undang-Undang di antaranya:
1. Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembiacaraan.”
2. Pasal 42 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang menyatakan:
Ayat (2): Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa komunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas:
a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang- Undang yang berlaku;
Ayat (3): “Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
3. Pasal 43 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang menyatakan: “Pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan untuk kepentingan proses peradilan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) tidak merupakan pelanggaran Pasal 40;”
Bahwa pasal-pasal dalam Undang-Undang di atas telah memberikan payung hukum bagi pembuatan Peraturan Pemerintah. Adapun muatan materi Peraturan Pemerintah tentang tata cara penyadapan tidak akan bertentangan dengan Undang-Undang disebabkan Peraturan Pemerintah merupakan aturan yang merupakan penjabaran dari Undang-Undang, sehingga keberadaan Peraturan Pemerintah sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945;
Bahwa penyadapan informasi termasuk salah satu kegiatan intelijen komunikasi, yaitu suatu kegiatan merekam/mendengar dengan/atau tanpa memasang alat/perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk mendapatkan informasi baik secara diam-diam ataupun terang-terangan;
Bahwa oleh karena itu, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dan gangguan ketertiban dalam penyelenggaraan negara, pemerintah harus mengatur aktivitas penyadapan. Regulasi penyadapan informasi telah dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia, antara lain:
• Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5062);
• Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881);
• Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250);
• Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843);
• Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284);
• Peraturan Menteri Nomor 01/P/M.KOMINFO/03/2008 tentang Perekaman Informasi untuk Kepentingan Pertahanan dan Keamanan Negara.
Bahwa dari beberapa peraturan perundang-undangan tersebut di atas, terdapat regulasi sebagai berikut:
• Pertama, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun yang dimaksudkan dalam pasal tersebut adalah kegiatan penyadapan yang tidak sah/legal. Pasal 41 menyatakan,”...penyelenggara komunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi...”. Ini berarti selain badan penegak hukum, terdapat badan lain yang berhak dan wajib dalam melakukan perekaman informasi. Selanjutnya Pasal 42 ayat (1) menyatakan,  “Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima, oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya”. Jika perusahaan penyedia telekomunikasi melanggar ketentuan yang terdapat dalam pasal tersebut yaitu dengan membocorkan informasi mengenai pelanggannya maka perusahaan tersebut akan mendapat sanksi pidana penjara atau denda sebanyak dua ratus juta rupiah;
• Kedua, Pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur tentang larangan mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain untuk mencuri informasi/dokumen elektronik dengan cara apapun secara tanpa hak atau melawan hukum.
Selengkapnya Pasal 31 ayat (1) menyatakan, ”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain, (2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan, (3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang, (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah”;
• Ketiga, Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”;
• Keempat, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan penyidik BNN membolehkan melakukan penyadapan baik atas izin pengadilan maupun tanpa izin ketua pengadilan lebih dahulu. Penyadapan atas izin ketua pengadilan yaitu apabila terdapat bukti awal yang cukup dan dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan terhitung sejak surat penyadapan diterima penyidik, sedangkan tanpa izin ketua pengadilan lebih dahulu apabila dalam keadaan mendesak dan setelah itu izin Ketua Pengadilan dalam waktu tidak lebih dari satu kali dua puluh empat jam (vide Pasal 75, Pasaal 77, dan Pasal 78 UU 35/2009);
• Kelima, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang memperbolehkan penyadapan informasi dengan ketentuan memperoleh izin dari pengadilan negeri dan waktu yang diberikan tidak lebih dari satu tahun;
• Keenam, Peraturan Menteri Nomor 01/P/M.KOMINFO/03/2008 tentang Perekaman Informasi untuk Kepentingan Pertahanan dan Keamanan Negara yang mengatur mengenai ketentuan teknis dari penyadapan, tata cara penyadapan yang bertujuan untuk kepentingan negara tanpa mengabaikan etika dan kerahasiaan informasi;
Bahwa terdapat sejumlah definisi mengenai penyadapan yakni:
a) Pasal 31 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi;
b) Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang dimaksud dengan penyadapan adalah kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang dimiliki oleh seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang;
c) Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang menyatakan Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat komunikasi elektronik lainnya;
Bahwa dari ketiga definisi dapat disimpulkan bahwa penyadapan mencakup tiga aspek yakni: a) proses penghambatan atau merekam informasi, b) kegiatan melanggar hukum dan oleh karenanya harus dilarang, c) hanya dapat dilakukan oleh Penyidik Pejabat Kepolisian yang bewenang;
Bahwa Mahkamah menilai hingga saat ini belum ada pengaturan secara komprehensif mengenai penyadapan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan mengenai penyadapan masih tersebar di beberapa Undang- Undang dengan mekanisme dan tata cara yang berbeda-beda. Tidak ada pengaturan yang baku mengenai penyadapan, sehingga memungkinkan terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya;
Bahwa mekanisme yang perlu diperhatikan dari penyadapan ini adalah penyadapan dapat dilakukan oleh seseorang yang mengatasnamakan lembaga yang memiliki kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang. Dalam hal inilah berlaku batasan penyadapan agar tidak melanggar privasi ataupun hak asasi warga negara;
Bahwa dalam penyadapan terdapat prinsip velox et exactus yang artinya bahwa informasi yang disadap haruslah mengandung informasi terkini dan akurat. Dalam hal ini penyadapan harus mengandung kepentingan khusus yang dilakukan dengan cepat dan akurat. Dalam kondisi inilah, di dalam penyadapan terdapat kepentingan yang mendesak, namun tetap harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, sehingga tidak sewenang-wenang melanggar rights of privacy orang lain;
Bahwa di beberapa negara pengaturan mengenai penyadapan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, antara lain di Amerika Serikat, Belanda, dan Canada, sedangkan di Indonesia, pengaturan mengenai penyadapan tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan;
Bahwa pada dasarnya sangat dibutuhkan regulasi yang komprehensif dan tepat untuk mengendalikan sejumlah kewenangan yang tersebar di beberapa Undang-Undang. Sinkronisasi ini hanya dapat dilakukan oleh peraturan setingkat Undang- Undang dan bukan dengan Peraturan Pemerintah;
Bahwa Mahkamah menilai bahwa ada tiga isu hukum yang menjadi permasalahan dalam pekara ini. Tiga isu hukum tersebut adalah sebagai berikut:
a. Rights of Privacy: para Pemohon mendalilkan bahwa penyadapan merupakan bentuk dari pelanggaran HAM yang hak tersebut, dijamin oleh UUD 1945;
b. Regulation form: para Pemohon menyatakan bahwa pasal a quo yang memperbolehkan pengaturan penyadapan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah adalah tidak tepat karena seharusnya diatur dalam Undang- Undang sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 karena hal tersebut masuk dalam pembatasan HAM yang hanya dapat dilakukan dengan Undang-Undang.
c. Practical Aspect: Bahwa kondisi pembangunan dan penegakan hukum di Indonesia belum stabil dan cenderung lemah bahkan terkesan karut marut, sehingga keberadaan pasal a quo amat dimungkinkan disalahgunakan untuk melanggar HAM orang lain;
Bahwa terhadap isu hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwasanya penyadapan memang merupakan bentuk pelanggaran terhadap rights of privacy yang bertentangan dengan UUD 1945. Rights of privacy merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dapat dibatasi (derogable rights), namun pembatasan atas rights of privacy ini hanya dapat dilakukan dengan Undang-Undang, sebagaimana ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945;
Bahwa Mahkamah memang menemukan sejumlah Undang-Undang yang telah memberikan kewenangan dan mengatur tentang penyadapan, namun pengaturan tersebut masih belum memberikan tata cara yang lebih jelas mengenai penyadapan. Misalnya tentang prosedur pemberian izin, batas kewenangan penyadapan, dan yang berhak untuk melakukan penyadapan. Hal ini masih belum diatur secara jelas dalam beberapa Undang-Undang;
Bahwa keberlakuan penyadapan sebagai salah satu kewenangan penyelidikan dan penyidikan telah membantu banyak proses hukum yang memudahkan para aparat penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana. Namun demikian, kewenangan aparat penegak hukum tersebut tetap harus dibatasi juga agar penyalahgunaan kewenangan tidak terjadi;
Bahwa meskipun para Pemohon menyatakan penyimpangan penyadapan terkadang tidak pernah terjadi, namun untuk memastikan keterbukaan dan legalitas dari penyadapan itu sendiri, Mahkamah berpendapat bahwa tata cara penyadapan tetap harus diatur Undang-Undang. Hal ini dikarenakan hingga kini pengaturan mengenani penyadapan masih sangat tergantung pada kebijakan masing-masing instansi;
Bahwa Mahkamah sependapat dengan keterangan ad informandum Ifdhal Kasim dan Mohammad Fajrul Falaakh. Adapun pokok-pokok keterangan Ifdhal Kasim menyatakan mekanisme penyadapan di berbagai negara di dunia dilakukan dengan syarat (i) adanya otoritas resmi yang ditunjuk dalam Undang-Undang untuk memberikan izin penyadapan, (ii) adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan, (iii) pembatasan penanganan materi hasil penyadapan, (iv) pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan. Adapun pokok-pokok keterangan Mohammad Fajrul Falaakh menyatakan Undang-Undang mengenai penyadapan seharusnya mengatur dengan jelas tentang: (i) wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan, (ii) tujuan penyadapan secara spesifik, (iii) kategori subjek hukum yang diberi wewenang untuk melakukan penyadapan, (iv) adanya izin dari atasan atau izin hakim sebelum melakukan penyadapan, (v) tata cara penyadapan, (vii) pengawasan terhadap penyadapan, (viii) penggunaan hasil penyadapan. Menurut ahli, Pasal 31 ayat (4) UU 11/2008 tidak dapat dibenarkan karena Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang a quo tidak membolehkan adanya penyadapan. Selain itu keseluruhan UU 11/2008 juga tidak mengatur tentang tata cara penyadapan yang diatur Iebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, menurut ahli, Pasal 31 ayat (3) dan ayat (4) UU 11/2008 bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak memberikan kejelasan dan kepastian aturan tentang penyadapan;
Bahwa Mahkamah menilai perlu adanya sebuah Undang- Undang khusus yang mengatur penyadapan pada umumnya hingga tata cara penyadapan untuk masing-masing lembaga yang berwenang. Undang-Undang ini amat dibutuhkan karena hingga saat ini masih belum ada pengaturan yang sinkron mengenai penyadapan sehingga berpotensi merugikan hak konstitutional warga negara pada umumnya;
Bahwa Peraturan Pemerintah tidak dapat mengatur pembatasan hak asasi manusia. Bentuk Peraturan Pemerintah hanya merupakan pengaturan administratif dan tidak memiliki kewenangan untuk menampung pembatasan atas HAM;
Bahwa pengaturan tata cara penyadapan dengan Peraturan Pemerintah sesuai dengan konsepsi delegated legislation di mana pembentukan Peraturan Pemerintah secara materi adalah untuk menjalankan Undang-Undang (vide Pasal 10 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Selain itu, secara sistematika, Pasal 31 ayat (4) Undang-
Undang a quo merujuk pada ayat (3) yang pada dasarnya mensyaratkan adanya Undang-Undang yang mengatur penyadapan yang sampai sekarang belum ada, sehingga dapat dikatakan bahwa Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang a quo mendelegasikan sesuatu yang belum diatur. Suatu peraturan yang secara hierarki lebih rendah merupakan derivasi atau turunan dari peraturan yang secara hierarki lebih tinggi dan hanya mengatur teknis operasional materi peraturan yang ada di atasnya, sedangkan dalam kasus a quo, belum ada ketentuan yang mengatur syarat-syarat dan tata cara penyadapan yang diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UU a quo;
Bahwa sejalan dengan penilaian hukum di atas, Mahkamah dalam Putusan Nomor 006/PUU-I/2003, bertanggal 30 Maret 2004 mempertimbangkan, “Hak privasi bukanlah bagian dari hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), sehingga negara dapat melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut dengan menggunakan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia”. Lebih lanjut Mahkamah mempertimbangkan pula, “Untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan untuk penyadapan dan perekaman Mahkamah Konstitusi berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan yang mengatur syarat dan tata cara penyadapan dan perekaman dimaksud”.
Berkaitan dengan pengaturan penyadapan, melalui Putusan Nomor 012-016-
 019/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006, Mahkamah menegaskan dan mengingatkan kembali pertimbangan hukum Putusan Nomor 006/PUU-I/2003, bertanggal 30 Maret 2004 yang menyatakan bahwa pembatasan melalui penyadapan harus diatur dengan Undang-Undang guna menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi. Dalam pertimbangan hukum putusan a quo, dinyatakan bahwa: “Mahkamah memandang perlu untuk mengingatkan kembali bunyi pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 006/PUU-I/2003 tersebut oleh karena penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan terhadap hak-hak asasi manusia, di mana pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan undang-undang, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Undang-undang dimaksud itulah yang selanjutnya harus merumuskan, antara lain, siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman dapat dikeluarkan setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup, yang berarti bahwa penyadapan dan perekaman pembicaraan itu untuk menyempurnakan alat bukti, ataukan justru penyadapan dan perekaman pembicaraan itu sudah dapat dilakukan untuk mencari bukti permulaan yang cukup. Sesuai dengan perintah Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, semua itu harus diatur dengan undang-undang guna menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi”.
Bahwa dari rangkaian pendapat Mahkamah di atas, dalam kaitannya yang satu dengan yang lain, mengenai dalil Pemohon atas Pasal 31 ayat (4) UU 11/2008 adalah tepat dan beralasan menurut hukum;
Berikut kutipan lengkap amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 5/PUU-VIII/2010, sebagai berikut :
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
• Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;
• Menyatakan Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843)  bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
• Menyatakan Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
• Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
====
Link Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 5/PUU-VIII/2010 >>>

Tidak ada komentar: