Pada tanggal 16 Januari 2010, tiga orang warga negara yang berprofesi advokat dan peneliti mengajukan permohonan pengujian Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Traksaksi Elektronik.
Salah
satu isu yang menjadi perdebatan hangat pada saat proses persidangan
berlangsung adalah terkait isu penyadapan. Dalam permohonannya para pemohon
yang terdiri atas Anggara, S.H., Supriyadi Widodo Eddyono, S.H., dan Wahyudi,
S.H., mengajukan pengujian Pasal 31 ayat (4) UU 11/2008 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah”. Menurut para Pemohon ketentuan pasal a quo berpotensi
melanggar hak konstitusional para Pemohon, karena Pemohon I dan Pemohon II sebagai Advokat
dilindungi hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya untuk menjalankan
profesinya secara bebas dan mandiri sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menyatakan, “Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya
dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap
penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi
elektronik Advokat”. Pemohon I dan Pemohon II dalam menjalankan profesinya tersebut,
melakukan komunikasi dengan klien, di mana komunikasi demikian tidak boleh
dilakukan penyadapan. Pemohon III dalam permohonan a quo berprofesi sebagai
peneliti Hak Asasi Manusia (HAM) dan Demokrasi, di mana dalam menjalankan
aktivitasnya tersebut mengharuskan Pemohon III untuk berhubungan dan/atau
mencari beragam sumber baik langsung ataupun tidak langsung. Dalam proses
mencari sumber dimaksud, Pemohon III membutuhkan komunikasi melalui beragam
sarana komunikasi untuk mencari, memperoleh, mendapatkan, memiliki, menyimpan,
meneruskan, penelitian yang akan dipublikasikan ke masyarakat luas.
Untuk
menjawab persoalan konstitusionalitas tersebut, setelah melalui proses
persidangan yang cukup komprehensif, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya
menyatakan sebagai berikut:
Bahwa
sejatinya penyadapan (interception) adalah sebuah perbuatan melawan hukum. Hal
ini dikarenakan penyadapan merupakan sebuah tindakan yang melanggar privasi
orang lain dan oleh karenanya melanggar hak asasi manusia (HAM). Dalam perkembangannya
penyadapan sering kali digunakan untuk membantu proses hukum tertentu, seperti
penyelidikan kasus-kasus kriminal dalam mengungkap aksi teror, korupsi, dan
tindak pidana narkoba. Penyadapan yang diperbolehkan ini dikenal juga sebagai
lawful interception (penyadapan yang legal/sah di mata hukum);
Bahwa
kegiatan dan kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat sensitif karena di
satu sisi merupakan pembatasan HAM namun di sisi lain memiliki aspek
kepentingan hukum. Oleh karena itu, pengaturan (regulation) mengenai legalitas
penyadapan harus dibentuk dan diformulasikan secara tepat sesuai dengan UUD
1945;
Bahwa
para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar mencabut Pasal 31 ayat (4) UU 11/2008
yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Pemohon
mendalilkan bahwa ketentuan a quo bertentangan dengan konstitusi Pasal 28G ayat
(1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945;
Bahwa
para Pemohon mendalilkan ketentuan tata cara mengenai penyadapan tidak
seharusnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah melainkan harus diatur
melalui Undang-Undang. Pemohon beralasan bahwasanya pembatasan terhadap Hak
Asasi Manusia hanya dapat dilakukan menggunakan formula pengaturan
Undang-Undang. Pengaturan penyadapan dalam Peraturan Pemerintah tidak akan
cukup menampung artikulasi pengaturan mengenai penyadapan;
Bahwa
para Pemohon juga mendalikan penyadapan oleh aparat hukum atau institusi resmi
negara tetap menjadi kontroversial karena merupakan praktik invasi atas hak-hak
privasi warga negaranya yang mencakup privasi atas kehidupan pribadi, kehidupan
keluarga maupun korespondensi. Ketidakjelasan pengaturan mengenai penyadapan,
akan berpotensi pada penyalahgunaan yang berdampak pada pelanggaran HAM para
Pemohon maupun masyarakat pada umumnya;
Bahwa
penyadapan sebagai alat pendeteksi dan pencegah kejahatan juga memiliki
kecenderungan yang berbahaya bagi hak asasi manusia, bila berada pada hukum
yang tidak tepat dikarenakan lemahnya pengaturan dan formulasi pengaturannya;
Bahwa
karena penyadapan merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia maka sangat
wajar dan sudah sepatutnya jika negara ingin menyimpangi hak privasi warga
negara tersebut, maka negara haruslah menyimpangi dalam bentuk Undang-Undang
dan bukan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Penyimpangan terhadap HAM
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, hanya dapat dilakukan
melalui Undang-Undang dan bukan bentuk lain apalagi Peraturan Pemerintah;
Bahwa
mengatur hal sensitif seperti halnya penyadapan haruslah diletakkan dalam kerangka
Undang-Undang, khususnya pada Hukum Acara Pidana karena hukum yang mengatur
penyadapan oleh institusi negara harus lebih ditekankan pada perlindungan hak
atas privasi individu dan/atau warga negara Indonesia;
Bahwa
Mahkamah telah mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR
RI) yang mendalilkan bahwa pasal a quo tidak dapat dipisahkan dari pasal sebelumnya
yakni Pasal 31 ayat (3) UU 11/2008 yang menyatakan bahwa penyadapan hanya dapat
dilakukan dalam rangka penegakan hukum oleh Kepolisian, Kejaksaan, dan/atau
institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang;
Bahwa
keberadaan Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (4)
UU 11/2008 tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena materi muatan dalam pasal
a quo hanya mengamanatkan pembuatan tata cara penyadapan. Adapun ketentuan
mengenai penyadapan, sudah terlebih dahulu ada di sejumlah Undang-Undang di
antaranya:
1.
Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan
merekam pembiacaraan.”
2.
Pasal 42 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
yang menyatakan:
Ayat
(2): Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi
dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa
komunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas:
a.
permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia
untuk tindak pidana tertentu;
b.
permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang- Undang
yang berlaku;
Ayat
(3): “Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
3.
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang
menyatakan: “Pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi
kepada pengguna jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan
untuk kepentingan proses peradilan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (2) tidak merupakan pelanggaran Pasal 40;”
Bahwa
pasal-pasal dalam Undang-Undang di atas telah memberikan payung hukum bagi
pembuatan Peraturan Pemerintah. Adapun muatan materi Peraturan Pemerintah
tentang tata cara penyadapan tidak akan bertentangan dengan Undang-Undang
disebabkan Peraturan Pemerintah merupakan aturan yang merupakan penjabaran dari
Undang-Undang, sehingga keberadaan Peraturan Pemerintah sama sekali tidak
bertentangan dengan UUD 1945;
Bahwa
penyadapan informasi termasuk salah satu kegiatan intelijen komunikasi, yaitu
suatu kegiatan merekam/mendengar dengan/atau tanpa memasang alat/perangkat
tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk mendapatkan informasi baik secara
diam-diam ataupun terang-terangan;
Bahwa
oleh karena itu, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dan gangguan ketertiban
dalam penyelenggaraan negara, pemerintah harus mengatur aktivitas penyadapan.
Regulasi penyadapan informasi telah dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia,
antara lain:
•
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 5062);
•
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3881);
•
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250);
•
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4843);
•
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284);
•
Peraturan Menteri Nomor 01/P/M.KOMINFO/03/2008 tentang Perekaman Informasi
untuk Kepentingan Pertahanan dan Keamanan Negara.
Bahwa
dari beberapa peraturan perundang-undangan tersebut di atas, terdapat regulasi
sebagai berikut:
•
Pertama, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas
informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun
yang dimaksudkan dalam pasal tersebut adalah kegiatan penyadapan yang tidak
sah/legal. Pasal 41 menyatakan,”...penyelenggara komunikasi wajib melakukan
perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa
telekomunikasi...”. Ini berarti selain badan penegak hukum, terdapat badan lain
yang berhak dan wajib dalam melakukan perekaman informasi. Selanjutnya Pasal 42
ayat (1) menyatakan, “Penyelenggara jasa
telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima,
oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau
jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya”. Jika perusahaan penyedia
telekomunikasi melanggar ketentuan yang terdapat dalam pasal tersebut yaitu
dengan membocorkan informasi mengenai pelanggannya maka perusahaan tersebut
akan mendapat sanksi pidana penjara atau denda sebanyak dua ratus juta rupiah;
•
Kedua, Pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik mengatur tentang larangan mengakses komputer dan/atau sistem
elektronik milik orang lain untuk mencuri informasi/dokumen elektronik dengan
cara apapun secara tanpa hak atau melawan hukum.
Selengkapnya
Pasal 31 ayat (1) menyatakan, ”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik
dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain, (2)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem
Elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa
pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau
penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang
ditransmisikan, (3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas
permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang
ditetapkan berdasarkan undang-undang, (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah”;
•
Ketiga, Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan
merekam pembicaraan”;
•
Keempat, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan
penyidik BNN membolehkan melakukan penyadapan baik atas izin pengadilan maupun
tanpa izin ketua pengadilan lebih dahulu. Penyadapan atas izin ketua pengadilan
yaitu apabila terdapat bukti awal yang cukup dan dalam waktu tidak lebih dari
tiga bulan terhitung sejak surat penyadapan diterima penyidik, sedangkan tanpa
izin ketua pengadilan lebih dahulu apabila dalam keadaan mendesak dan setelah
itu izin Ketua Pengadilan dalam waktu tidak lebih dari satu kali dua puluh
empat jam (vide Pasal 75, Pasaal 77, dan Pasal 78 UU 35/2009);
•
Kelima, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang memperbolehkan penyadapan
informasi dengan ketentuan memperoleh izin dari pengadilan negeri dan waktu
yang diberikan tidak lebih dari satu tahun;
•
Keenam, Peraturan Menteri Nomor 01/P/M.KOMINFO/03/2008 tentang Perekaman
Informasi untuk Kepentingan Pertahanan dan Keamanan Negara yang mengatur
mengenai ketentuan teknis dari penyadapan, tata cara penyadapan yang bertujuan
untuk kepentingan negara tanpa mengabaikan etika dan kerahasiaan informasi;
Bahwa
terdapat sejumlah definisi mengenai penyadapan yakni:
a)
Pasal 31 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik bahwa yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah
kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat,
dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun
jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi;
b)
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang
dimaksud dengan penyadapan adalah kegiatan memasang alat atau perangkat
tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan
cara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang dimiliki oleh seseorang adalah hak
pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang;
c)
Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang
menyatakan Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan
atau penyidikan dengan cara menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau
jaringan komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat komunikasi
elektronik lainnya;
Bahwa
dari ketiga definisi dapat disimpulkan bahwa penyadapan mencakup tiga aspek
yakni: a) proses penghambatan atau merekam informasi, b) kegiatan melanggar
hukum dan oleh karenanya harus dilarang, c) hanya dapat dilakukan oleh Penyidik
Pejabat Kepolisian yang bewenang;
Bahwa
Mahkamah menilai hingga saat ini belum ada pengaturan secara komprehensif
mengenai penyadapan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan mengenai penyadapan
masih tersebar di beberapa Undang- Undang dengan mekanisme dan tata cara yang
berbeda-beda. Tidak ada pengaturan yang baku mengenai penyadapan, sehingga
memungkinkan terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya;
Bahwa
mekanisme yang perlu diperhatikan dari penyadapan ini adalah penyadapan dapat
dilakukan oleh seseorang yang mengatasnamakan lembaga yang memiliki kewenangan
yang diberikan oleh Undang-Undang. Dalam hal inilah berlaku batasan penyadapan
agar tidak melanggar privasi ataupun hak asasi warga negara;
Bahwa
dalam penyadapan terdapat prinsip velox et exactus yang artinya bahwa informasi
yang disadap haruslah mengandung informasi terkini dan akurat. Dalam hal ini
penyadapan harus mengandung kepentingan khusus yang dilakukan dengan cepat dan
akurat. Dalam kondisi inilah, di dalam penyadapan terdapat kepentingan yang mendesak,
namun tetap harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,
sehingga tidak sewenang-wenang melanggar rights of privacy orang lain;
Bahwa
di beberapa negara pengaturan mengenai penyadapan diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, antara lain di Amerika Serikat, Belanda, dan Canada, sedangkan di
Indonesia, pengaturan mengenai penyadapan tersebar di beberapa peraturan
perundang-undangan;
Bahwa
pada dasarnya sangat dibutuhkan regulasi yang komprehensif dan tepat untuk
mengendalikan sejumlah kewenangan yang tersebar di beberapa Undang-Undang.
Sinkronisasi ini hanya dapat dilakukan oleh peraturan setingkat Undang- Undang
dan bukan dengan Peraturan Pemerintah;
Bahwa
Mahkamah menilai bahwa ada tiga isu hukum yang menjadi permasalahan dalam
pekara ini. Tiga isu hukum tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Rights of Privacy: para Pemohon mendalilkan bahwa penyadapan merupakan bentuk
dari pelanggaran HAM yang hak tersebut, dijamin oleh UUD 1945;
b.
Regulation form: para Pemohon menyatakan bahwa pasal a quo yang memperbolehkan
pengaturan penyadapan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah adalah tidak
tepat karena seharusnya diatur dalam Undang- Undang sebagaimana diamanatkan
oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 karena hal tersebut masuk dalam pembatasan HAM
yang hanya dapat dilakukan dengan Undang-Undang.
c.
Practical Aspect: Bahwa kondisi pembangunan dan penegakan hukum di Indonesia
belum stabil dan cenderung lemah bahkan terkesan karut marut, sehingga
keberadaan pasal a quo amat dimungkinkan disalahgunakan untuk melanggar HAM
orang lain;
Bahwa
terhadap isu hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwasanya penyadapan memang
merupakan bentuk pelanggaran terhadap rights of privacy yang bertentangan
dengan UUD 1945. Rights of privacy merupakan bagian dari hak asasi manusia yang
dapat dibatasi (derogable rights), namun pembatasan atas rights of privacy ini
hanya dapat dilakukan dengan Undang-Undang, sebagaimana ketentuan Pasal 28J
ayat (2) UUD 1945;
Bahwa
Mahkamah memang menemukan sejumlah Undang-Undang yang telah memberikan
kewenangan dan mengatur tentang penyadapan, namun pengaturan tersebut masih
belum memberikan tata cara yang lebih jelas mengenai penyadapan. Misalnya
tentang prosedur pemberian izin, batas kewenangan penyadapan, dan yang berhak
untuk melakukan penyadapan. Hal ini masih belum diatur secara jelas dalam
beberapa Undang-Undang;
Bahwa
keberlakuan penyadapan sebagai salah satu kewenangan penyelidikan dan
penyidikan telah membantu banyak proses hukum yang memudahkan para aparat
penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana. Namun demikian, kewenangan aparat
penegak hukum tersebut tetap harus dibatasi juga agar penyalahgunaan kewenangan
tidak terjadi;
Bahwa
meskipun para Pemohon menyatakan penyimpangan penyadapan terkadang tidak pernah
terjadi, namun untuk memastikan keterbukaan dan legalitas dari penyadapan itu
sendiri, Mahkamah berpendapat bahwa tata cara penyadapan tetap harus diatur
Undang-Undang. Hal ini dikarenakan hingga kini pengaturan mengenani penyadapan
masih sangat tergantung pada kebijakan masing-masing instansi;
Bahwa
Mahkamah sependapat dengan keterangan ad informandum Ifdhal Kasim dan Mohammad
Fajrul Falaakh. Adapun pokok-pokok keterangan Ifdhal Kasim menyatakan mekanisme
penyadapan di berbagai negara di dunia dilakukan dengan syarat (i) adanya
otoritas resmi yang ditunjuk dalam Undang-Undang untuk memberikan izin
penyadapan, (ii) adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan
penyadapan, (iii) pembatasan penanganan materi hasil penyadapan, (iv)
pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan. Adapun pokok-pokok
keterangan Mohammad Fajrul Falaakh menyatakan Undang-Undang mengenai penyadapan
seharusnya mengatur dengan jelas tentang: (i) wewenang untuk melakukan,
memerintahkan maupun meminta penyadapan, (ii) tujuan penyadapan secara
spesifik, (iii) kategori subjek hukum yang diberi wewenang untuk melakukan
penyadapan, (iv) adanya izin dari atasan atau izin hakim sebelum melakukan
penyadapan, (v) tata cara penyadapan, (vii) pengawasan terhadap penyadapan,
(viii) penggunaan hasil penyadapan. Menurut ahli, Pasal 31 ayat (4) UU 11/2008
tidak dapat dibenarkan karena Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang a quo tidak
membolehkan adanya penyadapan. Selain itu keseluruhan UU 11/2008 juga tidak
mengatur tentang tata cara penyadapan yang diatur Iebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Oleh karena itu, menurut ahli, Pasal 31 ayat (3) dan ayat (4) UU 11/2008
bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak memberikan kejelasan dan kepastian
aturan tentang penyadapan;
Bahwa
Mahkamah menilai perlu adanya sebuah Undang- Undang khusus yang mengatur
penyadapan pada umumnya hingga tata cara penyadapan untuk masing-masing lembaga
yang berwenang. Undang-Undang ini amat dibutuhkan karena hingga saat ini masih
belum ada pengaturan yang sinkron mengenai penyadapan sehingga berpotensi
merugikan hak konstitutional warga negara pada umumnya;
Bahwa
Peraturan Pemerintah tidak dapat mengatur pembatasan hak asasi manusia. Bentuk
Peraturan Pemerintah hanya merupakan pengaturan administratif dan tidak
memiliki kewenangan untuk menampung pembatasan atas HAM;
Bahwa
pengaturan tata cara penyadapan dengan Peraturan Pemerintah sesuai dengan
konsepsi delegated legislation di mana pembentukan Peraturan Pemerintah secara
materi adalah untuk menjalankan Undang-Undang (vide Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Selain
itu, secara sistematika, Pasal 31 ayat (4) Undang-
Undang
a quo merujuk pada ayat (3) yang pada dasarnya mensyaratkan adanya Undang-Undang
yang mengatur penyadapan yang sampai sekarang belum ada, sehingga dapat dikatakan
bahwa Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang a quo mendelegasikan sesuatu yang belum
diatur. Suatu peraturan yang secara hierarki lebih rendah merupakan derivasi
atau turunan dari peraturan yang secara hierarki lebih tinggi dan hanya
mengatur teknis operasional materi peraturan yang ada di atasnya, sedangkan
dalam kasus a quo, belum ada ketentuan yang mengatur syarat-syarat dan tata
cara penyadapan yang diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UU a quo;
Bahwa
sejalan dengan penilaian hukum di atas, Mahkamah dalam Putusan Nomor
006/PUU-I/2003, bertanggal 30 Maret 2004 mempertimbangkan, “Hak privasi
bukanlah bagian dari hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
(non-derogable rights), sehingga negara dapat melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan
hak-hak tersebut dengan menggunakan undang-undang sebagaimana diatur dalam
Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia”. Lebih lanjut
Mahkamah mempertimbangkan pula, “Untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan
untuk penyadapan dan perekaman Mahkamah Konstitusi berpendapat perlu ditetapkan
perangkat peraturan yang mengatur syarat dan tata cara penyadapan dan perekaman
dimaksud”.
Berkaitan
dengan pengaturan penyadapan, melalui Putusan Nomor 012-016-
019/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006,
Mahkamah menegaskan dan mengingatkan kembali pertimbangan hukum Putusan Nomor
006/PUU-I/2003, bertanggal 30 Maret 2004 yang menyatakan bahwa pembatasan
melalui penyadapan harus diatur dengan Undang-Undang guna menghindari penyalahgunaan
wewenang yang melanggar hak asasi. Dalam pertimbangan hukum putusan a quo,
dinyatakan bahwa: “Mahkamah memandang perlu untuk mengingatkan kembali bunyi pertimbangan
hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 006/PUU-I/2003 tersebut oleh karena
penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan terhadap hak-hak
asasi manusia, di mana pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan
undang-undang, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Undang-undang dimaksud itulah yang selanjutnya harus merumuskan, antara lain,
siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman dapat dikeluarkan
setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup, yang berarti bahwa penyadapan dan
perekaman pembicaraan itu untuk menyempurnakan alat bukti, ataukan justru
penyadapan dan perekaman pembicaraan itu sudah dapat dilakukan untuk mencari
bukti permulaan yang cukup. Sesuai dengan perintah Pasal 28J ayat (2) UUD 1945,
semua itu harus diatur dengan undang-undang guna menghindari penyalahgunaan wewenang
yang melanggar hak asasi”.
Bahwa
dari rangkaian pendapat Mahkamah di atas, dalam kaitannya yang satu dengan yang
lain, mengenai dalil Pemohon atas Pasal 31 ayat (4) UU 11/2008 adalah tepat dan
beralasan menurut hukum;
Berikut
kutipan lengkap amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor
5/PUU-VIII/2010, sebagai berikut :
5.
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
•
Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;
•
Menyatakan Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
•
Menyatakan Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
•
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana
mestinya.
====
Link
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 5/PUU-VIII/2010 >>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar