Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Rabu, 22 April 2015

Konstitusionalitas Peninjauan Kembali (PK) dan Penangguhan Eksekusi Mati



Dua lembaga swadaya masyarakat (LSM) yaitu Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia  (LP3HI) yang mempunyai kepedulian terhadap proses penegakan hukum pada tanggal 6 Januari 2015 mengajukan permohonan pengujian undang-undang Pasal 268 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan, “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.
                  Dalam permohonannya, para Pemohon yang merupakan badan hukum privat  yang aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi serta melakukan pengawasan, pengawalan, dan penegakan hukum terhadap perkara perdata maupun pidana beranggapan telah dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dan memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dengan berlakunya Pasal 268 ayat (1) KUHAP. Menurut para Pemohon, pasal a quo akan berpotensi merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon yang dijamin oleh UUD 1945 karena memuat norma hukum yang tidak jelas, bias, menimbulkan multi tafsir, menimbulkan ketidakjelasan, perlakuan yang tidak adil, dan perlakuan yang berbeda di hadapan hukum. Dengan berlakunya pasal a quo, para Pemohon sebagai badan hukum privat yang concern terhadap penegakan hukum dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum. Oleh karena itu, menurut para Pemohon pasal a quo telah merugikan hak konstitusional para Pemohon
Untuk menjawab persoalan tersebut Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
                  Bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah perlu mengutip Pasal 54 UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden” dalam melakukan pengujian atas suatu Undang-Undang. Dengan kata lain, Mahkamah dapat meminta atau tidak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, tergantung pada urgensi dan relevansinya. Oleh karena permasalahan hukum dan permohonan a quo cukup jelas, Mahkamah akan memutus permohonan a quo tanpa mendengar keterangan dan/atau meminta risalah rapat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden;
                  Bahwa menurut Mahkamah, pasal a quoyang mengatur tentangpelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap meskipun terhadap putusan tersebut terdapat upaya hukum PK. Dengan kata lain, pasal tersebut meneguhkan suatu asas bahwaputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, harusdilaksanakan.
                  Dengan demikian, ada atau tidak adanya permohonan PK, tidak menghalangi pelaksanaan putusan tersebut demi kepastian hukumyang adil.Asas tersebut justru mengimplementasikan salah satu prinsip negara hukum. Olehsebab itu, pasal yang dimohonkan pengujian tidak menimbulkan kerugiankonstitusional baik yang bersifat spesifik (khusus) maupun yang bersifat aktual,serta tidak ada hubungan sebabakibat (causal verband) antara kerugian dimaksuddan berlakunya pasal yang dimohonkan pengujian, apalagi secara fakta bahwa kekhawatiran para Pemohon terkait ditundanya pelaksanaan eksekusi pidana mati karena adanya upaya hukum PK tidak menghalangi eksekusi pidana mati;
                  Bahwa PK merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat ditempuh oleh terpidana atau ahli warisnya atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sesuai dengan syarat yang ditentukan di dalam Undang-Undang dan tanpa dibatasi jangka waktunya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 264 ayat (3) KUHAP. Oleh karena itu, apabila ketentuan Pasal 268 ayat (1) KUHAP tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, justru akan timbul ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, baik terhadap terpidana dan ahli warisnya maupun bagi hukum itu sendiri. Kalaupun terdapat permasalahan, hal tersebut bukanlah masalah konstitusionalitas norma melainkan masalah implementasi suatu norma dan di dalam hal ini jaksa selaku eksekutor di dalam mengeksekusi terpidana mati yang memang harus sangat hati-hati karena menyangkut nyawa seseorang yang berkaitan erat dengan hak asasi yang sangat mendasar.
                  Bahwa sikap kehati-hatian jaksa selaku eksekutor haruslah dihormati, mengingat seorang terpidana mati yang sedang mengajukan PK haruslah ditunggu terlebih dahulu sampai adanya putusan untuk menghindari jangan sampai ada permohonan PK yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung sesudah eksekusi dilaksanakan. Demikian pula halnya dengan permohonan grasi yang diajukan oleh terpidana mati maupun keluarganya.
Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
 AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;

===========================

Tidak ada komentar: