Dua
lembaga swadaya masyarakat (LSM) yaitu Perkumpulan
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) yang mempunyai kepedulian
terhadap proses penegakan hukum pada tanggal 6 Januari 2015 mengajukan
permohonan pengujian undang-undang Pasal 268 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan, “Permintaan peninjauan kembali atas suatu
putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan
tersebut.
Dalam permohonannya, para Pemohon
yang merupakan badan hukum privat yang aktif dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan korupsi serta melakukan pengawasan, pengawalan, dan penegakan
hukum terhadap perkara perdata maupun pidana beranggapan
telah dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dan
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dengan berlakunya Pasal 268
ayat (1) KUHAP. Menurut para
Pemohon, pasal a quo akan berpotensi merugikan hak-hak konstitusional para
Pemohon yang dijamin oleh UUD 1945 karena memuat norma hukum yang tidak jelas,
bias, menimbulkan multi tafsir, menimbulkan ketidakjelasan, perlakuan yang
tidak adil, dan perlakuan yang berbeda di hadapan hukum. Dengan berlakunya
pasal a quo, para Pemohon sebagai badan
hukum privat yang concern terhadap
penegakan hukum dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan kepastian
hukum. Oleh karena itu, menurut para Pemohon pasal a quo telah merugikan
hak konstitusional para Pemohon
Untuk
menjawab persoalan tersebut Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya
menyatakan sebagai berikut:
Bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah perlu mengutip Pasal 54 UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat
yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden”
dalam melakukan pengujian atas suatu Undang-Undang. Dengan kata lain, Mahkamah
dapat meminta atau tidak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang
berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan/atau Presiden, tergantung pada urgensi dan relevansinya. Oleh karena
permasalahan hukum dan permohonan a quo
cukup jelas, Mahkamah akan memutus permohonan a quo tanpa mendengar keterangan dan/atau meminta risalah rapat
dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan/atau Presiden;
Bahwa
menurut Mahkamah, pasal a quoyang mengatur
tentangpelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap meskipun terhadap putusan tersebut terdapat upaya hukum PK. Dengan kata
lain, pasal tersebut meneguhkan suatu asas bahwaputusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, harusdilaksanakan.
Dengan demikian, ada atau
tidak adanya permohonan PK, tidak menghalangi pelaksanaan putusan tersebut demi
kepastian hukumyang adil.Asas tersebut justru mengimplementasikan salah satu prinsip
negara hukum. Olehsebab itu, pasal yang dimohonkan pengujian tidak menimbulkan
kerugiankonstitusional baik yang bersifat spesifik (khusus) maupun yang
bersifat aktual,serta tidak ada hubungan sebabakibat (causal verband) antara kerugian dimaksuddan berlakunya pasal yang
dimohonkan pengujian, apalagi secara fakta bahwa kekhawatiran para Pemohon
terkait ditundanya pelaksanaan eksekusi pidana mati karena adanya upaya hukum PK
tidak menghalangi eksekusi pidana mati;
Bahwa
PK merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat ditempuh oleh terpidana atau
ahli warisnya atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, sesuai dengan syarat yang ditentukan di dalam Undang-Undang dan tanpa
dibatasi jangka waktunya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 264 ayat (3) KUHAP.
Oleh karena itu, apabila ketentuan Pasal 268 ayat (1) KUHAP tersebut dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945, justru akan timbul ketidakpastian hukum dan
ketidakadilan, baik terhadap terpidana dan ahli warisnya maupun bagi hukum itu
sendiri. Kalaupun terdapat permasalahan, hal tersebut bukanlah masalah konstitusionalitas
norma melainkan masalah implementasi suatu norma dan di dalam hal ini jaksa
selaku eksekutor di dalam mengeksekusi terpidana mati yang memang harus sangat
hati-hati karena menyangkut nyawa seseorang yang berkaitan erat dengan hak
asasi yang sangat mendasar.
Bahwa sikap kehati-hatian
jaksa selaku eksekutor haruslah dihormati, mengingat seorang terpidana mati
yang sedang mengajukan PK haruslah ditunggu terlebih dahulu sampai adanya
putusan untuk menghindari jangan sampai ada permohonan PK yang dikabulkan oleh
Mahkamah Agung sesudah eksekusi dilaksanakan. Demikian pula halnya dengan
permohonan grasi yang diajukan oleh terpidana mati maupun keluarganya.
Bahwa
berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah
berpendapat dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan
menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
===========================
Link
Putusan >> http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/17_PUU-XIII_2015.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar