Salah satu putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang menjadi milestone adalah putusan dengan Nomor perkara 002/PUU-I/2003 tentang pengujian UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Permohonan tersebut diajukan oleh
APHI, PBHI, SNB (SOLIDARITAS NUSA BANGSA), SP KEP - FSPSI PERTAMINA, Dr. Ir.
Pandji R. Hadinoto, PE, M.H, pada tanggal 3 Januari 2003 melalui Kuasa
Hukumnya: Hotma Timbul H., S.H., Johnson Panjaitan, S.H., Saor Siagian, S.H.,
dkk., yang telah mengajukan pengujian UU UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi ke Mahkamah Agung yang kemudian setelah Mahkamah konstitusi
terbentuk perkara tersebut dialihkan dan di terima oleh Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi pada bulan Oktober 2003.
Dalam urain positanya dalam
permohonan tersebut, para Pemohon menyatakan bahwa alasan utama mengapa para
Pemohon mengajukan permohonan a quo adalah karena Pertamina, yang selama ini
merupakan satu-satunya BUMN yang mengelola sektor migas dan telah memberikan
sumbangsihnya bagi bangsa, negara dan masyarakat, bukan hanya karena telah
menjalankan fungsi untuk menyediakan bahan bakar minyak dan gas bumi kepada
seluruh masyarakat dengan harga terjangkau melainkan juga telah memberikan
peran yang besar bagi perekenomian nasional, berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2001
tidak lagi merupakan cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup
orang banyak, sehingga tidak adanya jaminan dan kepastian bagi seluruh
masyarakat untuk memperoleh bahan bakar minyak dan gas bumi dengan harga
terjangkau melainkan juga akan merugikan perekonomian negara, yang pada
akhirnya akan mengurangi tingkat kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia;
Menurut para Pemohon, bahwa
Minyak dan gas bumi, sebagai kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia,
ternyata tidak lagi semata-mata milik bangsa Indonesia yang pada akhirnya akan
mengurangi hak masyarakat untuk menikmati kesejahteraan dan/atau kemakmuran
yang seharusnya dapat dinikmati dengan adanya kekayaan alam tersebut;
Adapun bentuk-bentuk dampak yang
merugikan kepentingan bangsa, negara dan masyarakat (publik) Indonesia sebagaimana
telah diuraikan dalam butir 1 dan 2 di atas adalah sebagai berikut:
- Mengarahkan industri perminyakan nasional menjadi tidak efisien: menghapus sistem natural monopoly Pertamina, kontrol atas crude intake kilang Pertamina tidak lagi dibawah Pertamina, membuka peluang untuk dipisahkannya Kilang Balikpapan dan Cilacap dari Pertamina, dan sebagainya. Kesemua ini akan berujung pada tidak efisiennya industri minyak nasional. Akibatnya, biaya pokok BBM akan menjadi sangat mahal;
- Perubahan status Pertamina dari BUMN berdasarkan Undang-undang menjadi P.T. Persero, membuka peluang bagi Pertamina untuk diprivatisasi sehingga negara tidak punya lagi alat (= BUMN) untuk menguasai sumber daya alam migasnya dan menguasai cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak (BBM);
- Prosodur investasi sektor hulu yang lebih birokratik, dari satu atap menjadi banyak atap;
- Pola Perjanjian Kerjasama (KPS) B2G yang menempatkan seluruh asset negara rawan disita oleh pihak investor kalau terjadi dispute;
- Undang-undang Migas telah merusak tatanan Industri LNG nasional yang selama ini telah berhasil dikembangkan dengan menciptakan sistem persaingan yang justru akan merugikan Indonesia sebagai negara produsen;
- Memperpanjang mata rantai penjualan migas bagian negara: BP Migas yang harus menunjuk Penjual karena status BP Migas yang bukan Badan Usaha;
- Wewenang penjualan migas bagian negara yang diserahkan kepada KPS, telah terbukti merugikan negara karena: harga jual LNG Tangguh ke Fujian yang sangat murah telah memicu pembeli LNG Bdaka meminta penurunan harga; serta KPS dengan bebas menentukan syarat-syarat penjulan gas ke pembeli dalam negeri (PLN) yang mewajibkan uang jaminan yang besar;
- Tidak ada mekanisme kontrol yang jelas, siapa yang mengontrol BP Migas dan Batur dan Bagaimana hubungan antara kedua Lembaga Pengawas ini juga tidak jelas;
- Pengelolaan Sektor Hulu yang menjadi lebih mahal karena hierarki pengelolanya berubah dari hanya sebuah Direktorat dibawah Pertamina menjadi sebuah BP Migas yang langsung lapor ke Presiden, padahal yang diurus objek yang sama dan sudah berjalan lebih 40 tahun, sehingga biaya BP Migas lebih tinggi;
- Kalau harga Gas sepenuhnya diserahkan ke mekanisme pasar/pemain sesuai dengan Pasal 28, maka: pabrik pupuk akan tutup. Ini membahayakan sektor pertanian;
- Kalau struktur pasar BBM sudah berbentuk pasar persaingan dan harga jual sudah sama dengan harga pasar (dimana harga pasar jauh lebih tinggi dari biaya pokok natural monopolist Pertamina) maka negara akan kehilangan potensi penerimaan Laba Bersih Minyak (LBM), dan sebagainya.
Dalam
pertimbangan hukumnya Mahkamh Konstitusi menyatakan bahwa yang dimohonkan oleh
Para Pemohon untuk dilakukan pengujian secara materiil adalah Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2001 secara keseluruhan, dengan dalil bahwa pasal-pasal dalam
undang-undang a quo tidak dapat dipisahkan oleh karena filosofi diadakannya
undang-undang tersebut adalah untuk meliberalisasi sektor minyak dan gas bumi
di Indonesia sehingga menurut Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 33 ayat
(2) dan (3) UUD 1945 (vide Permohonan hal. 16), yang perinciannya lebih lanjut
oleh Pemohon dijelaskan dalam bagan dengan membandingkan antara Undang-undang
Nomor 44 Tahun 1960, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971, dan Undang-undang Nomor
22 Tahun 2001 (vide Permohonan hal. 37-41);
Bahwa sebelum
memeriksa dalil Para Pemohon, Mahkamah harus menjelaskan beberapa pengertian
penting yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, yang
menyatakan:
Ayat (2) : “Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara”; Menimbang bahwa yang dimohonkan oleh Para Pemohon untuk
dilakukan pengujian secara materiil adalah Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001
secara keseluruhan, dengan dalil bahwa pasal-pasal dalam undang-undang a quo
tidak dapat dipisahkan oleh karena filosofi diadakannya undang-undang tersebut
adalah untuk meliberalisasi sektor minyak dan gas bumi di Indonesia sehingga
menurut Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945
(vide Permohonan hal. 16), yang perinciannya lebih lanjut oleh Pemohon
dijelaskan dalam bagan dengan membandingkan antara Undang-undang Nomor 44 Tahun
1960, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971, dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001
(vide Permohonan hal. 37-41);
Bahwa sebelum memeriksa
dalil Para Pemohon, Mahkamah harus menjelaskan beberapa pengertian penting yang
terdapat dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, yang menyatakan:
Ayat (2) : “Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara”;
Bahwa
berdasarkan pengertian “penguasaan oleh negara” yang telah menjadi pendirian Mahkamah
dalam hubungannya dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagaimana diuraikan di atas,
ditambah dengan keterangan lisan dan tertulis Pemerintah maupun Dewan
Perwakilan Rakyat serta pendapat para ahli, telah nyata bagi Mahkamah bahwa
dalil-dalil yang diajukan oleh Para Pemohon tidak cukup beralasan, sehingga
tidak terbukti pula undang-undang a quo secara keseluruhan bertentangan dengan
UUD 1945. Karena substansi penguasaan oleh negara tampak cukup jelas dalam alur
pikiran undang-undang a quo baik pada sektor hulu maupun hilir, kendatipun
menurut Mahkamah masih ada hal-hal yang harus dipastikan jaminan penguasaan
oleh negara tersebut sebagaimana nanti akan tampak dalam butir-butir
pertimbangan Mahkamah atas pasal-pasal yang didalilkan Para Pemohon. Hal tersebut
berbeda dengan Undang-undang Ketenagalistrikan yang telah diuji oleh Mahkamah
dengan Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang dibacakan pada tanggal
15 Desember 2004, yang alur pikir tentang prinsip penguasaan negara dimaksud
tidak tampak dengan jelas penjabarannya dalam pasal-pasal Undang-undang
Ketenagalistrikan tersebut yang seharusnya menjadi acuan pertama dan utama
sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Perbedaan alur pikir dimaksud tercermin
dalam konsiderans “Menimbang” kedua undang-undang yang bersangkutan, yang
kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal kedua undang-undang a quo;
Bahwa meskipun
demikian, dengan pendirian Mahkamah sebagaimana tersebut di atas, tidak dengan
sendirinya mengakibatkan seluruh dalil Para Pemohon menjadi tidak beralasan,
sehingga oleh karenanya Mahkamah selanjutnya harus memeriksa seluruh butir
dalil Para Pemohon satu demi satu dengan mengujinya terhadap UUD 1945;
Bahwa oleh
karena Para Pemohon mendasarkan seluruh butir atau perincian permohonannya yang
mendalilkan sejumlah substansi undang-undang a quo bertentangan UUD 1945 dengan
bertumpu pada Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, dan telah ternyata bahwa baik
Pemerintah, DPR, maupun para ahli memandang minyak dan gas bumi adalah cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, maka
dalam mempertimbangkan permohonan dimaksud Mahkamah akan menilainya berdasarkan
pengertian penguasaan oleh negara sebagaimana diuraikan di atas dan keharusan
tujuan penguasaan oleh negara itu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat:
1. Para
Pemohon mendalilkan, Pasal 12 ayat (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001
bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dengan argumentasi bahwa perusahaan asing
akan menguasai industri minyak dan gas nasional, di samping mengurangi wewenang
Presiden dan menumpukkan kekuasaan atas sumber daya minyak dan gas bumi di
tangan Menteri ESDM. Pasal 12 ayat (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001
menyatakan, “Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang diberi
wewenang melakukan kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)”. Terhadap hal ini Mahkamah tidak
sependapat dengan Para Pemohon yang menganggap ketentuan tersebut menyebabkan
terjadinya penumpukan kekuasaan yang sangat besar pada Menteri ESDM, karena hal
itu merupakan masalah internal Pemerintah yang tidak relevan dalam perkara a
quo. Namun, Mahkamah menilai ketentuan dimaksud tidak sesuai dengan Pasal 4
ayat (2) undang-undang a quo yang menyatakan bahwa penguasaan oleh negara
diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan. Secara
yuridis, wewenang penguasaan oleh negara hanya ada pada Pemerintah, yang tidak
dapat diberikan kepada badan usaha sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 5
undang-undang a quo. Sementara, Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap hanya
melaksanakan kegiatan tersebut berdasarkan kontrak kerjasama dengan hak ekonomi
terbatas, yaitu pembagian atas sebagian manfaat minyak dan gas bumi sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 ayat (2). Dalam lapangan hukum administrasi negara,
pengertian pemberian wewenang (delegation of authority) adalah pelimpahan
kekuasaan dari pemberi wewenang, yaitu negara, sehingga dengan pencantuman kata
“diberi wewenang kepada Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap” maka penguasaan
negara menjadi hilang. Oleh karena itu, kata-kata “diberi wewenang” tidak
sejalan dengan makna Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, di mana wilayah kerja sektor
hulu adalah mencakup bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
yang salah satunya adalah minyak dan gas bumi, yang merupakan hak negara untuk
menguasai melalui pelaksanaan fungsi mengatur (regelen), mengurus (bestuuren),
mengelola (beheeren), dan mengawasi (toezichthouden). Oleh karena itu, adanya
kata-kata “diberi wewenang” dalam Pasal 12 ayat (3) dimaksud adalah
bertentangan dengan UUD 1945;
2. Para
Pemohon mendalilkan bahwa pengertian Kuasa Pertambangan dalam Pasal 1 angka 5
undang-undang a quo yang hanya mencakup kegiatan eksplorasi dan eksploitasi,
sementara kegiatan pemurnian/pengilangan, pengangkutan, dan penjualan bahan
bakar minyak tidak termasuk di dalamnya, bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Menurut Para Pemohon, ketentuan Pasal 1 angka 5 tersebut telah meniadakan
penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak. Terhadap dalil Para Pemohon ini, Mahkamah
berpendapat, untuk menilai ada tidaknya penguasaan oleh negara, pasal dimaksud
tidak dapat dinilai secara berdiri sendiri melainkan harus dihubungkan dengan
pasal-pasal lain secara sistematis. Pasal 1 angka 5 undang-undang a quo yang
berbunyi, “Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada
Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi”,
hanyalah memberikan pengertian tentang Kuasa Pertambangan dan sama sekali belum
menggambarkan implementasi pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD
1945. Lagipula, dalam hubungannya dengan minyak dan gas bumi, yang juga harus
dinilai adalah bahwa tujuan penguasaan oleh negara itu, sebagaimana diamanatkan
oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bukanlah untuk penguasaan an sich melainkan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, dalam memeriksa
dalil Pemohon ini, Mahkamah harus mempertimbangkan secara sistematis konteks
pengertian Kuasa Pertambangan dimaksud tatkala diimplementasikan dalam
pasal-pasal lain dari undang-undang a quo. Jika pengertian Kuasa Pertambangan
dimaksud dihubungkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1), (2), (3), Pasal 6 ayat
(1), (2), dan Pasal 7 ayat (1) tampak jelas hal-hal sebagai berikut:
bahwa minyak dan gas bumi dikuasai oleh negara;
§
penyelenggara penguasaan oleh negara dimaksud
adalah Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan;
§
Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan
membentuk Badan Pelaksana, yaitu suatu badan yang dibentuk untuk melakukan
pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang minyak dan gas bumi (Pasal 1 angka
23);
§
Pelaksanaan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi
(Kegiatan Usaha Hulu) dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama,
yaitu Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan
Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 1 angka 19);
§
Kontrak Kerja Sama dimaksud, paling sedikit
harus memuat persyaratan: (a) kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan
Pemerintah sampai pada titik penyerahan (yaitu titik penjualan minyak atau gas
bumi); (b) pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; (c)
modal dan risiko ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Yang dimaksud
“pengendalian manajemen operasi” menurut Penjelasan Pasal 6 ayat (2) adalah
pemberian persetujuan atas rencana kerja dan anggaran, rencana pengembangan
lapangan, serta pengawasan terhadap realisasi dari rencana tersebut;
§
Pelaksanaan kegiatan pengolahan, pengangkutan,
penyimpanan, dan niaga (Kegiatan Usaha Hilir) dilaksanakan dengan Izin Usaha;
Uraian di
atas menunjukkan bahwa semua unsur yang terkandung dalam pengertian “penguasaan
oleh negara”, yaitu mengatur (regelen), mengurus (bestuuren), mengelola
(beheeren), dan mengawasi (toezichthouden) masih tetap berada di tangan
Pemerintah, sebagai penyelenggara “penguasaan oleh negara” dimaksud, atau
badan-badan yang dibentuk untuk tujuan itu. Oleh karena itu, Mahkamah
berpendapat, dalil Para Pemohon harus dinyatakan tidak beralasan dan karenanya
harus ditolak;
3. Para
Pemohon mendalilkan, pola industri minyak dan gas nasional yang memisahkah
antara kegiatan hulu dan hilir (unbundling), sebagaimana diatur dalam Pasal 10
undang-undang a quo, akan berakibat lebih mahalnya biaya/harga produk bahan
bakar minyak dan non-bahan bakar minyak karena setiap sektor kegiatan mempunyai
biaya dan profit tersendiri. Hal ini, oleh Para Pemohon, juga dinilai
bertentangan dengan trend industri minyak dan gas dunia. Pasal 10 dimaksud
menyatakan, “(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan
Usaha Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir. (2) Badan Usaha yang
melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu”.
Adanya Pasal 10 haruslah dipahami agar supaya tidak terjadi pemusatan
penguasaan minyak dan gas bumi di satu tangan sehingga mengarah kepada monopoli
yang merugikan kepentingan masyarakat. Namun, ketentuan pasal dimaksud harus
ditafsirkan tidak berlaku terhadap badan usaha yang telah dimiliki oleh negara
yang justru harus diberdayakan agar penguasaan negara menjadi semakin kuat. Pasal
61 yang termasuk dalam Ketentuan Peralihan harus ditafsirkan bahwa peralihan
dimaksud terbatas pada status Pertamina untuk menjadi persero dan tidak
menghapuskan keberadaannya sebagai Badan Usaha yang masih tetap melakukan
kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir, meskipun untuk usaha hilir dan
hulu tersebut harus dilakukan oleh dua Badan Usaha “Pertamina Hulu” dan
“Pertamina Hilir” yang keduanya tetap dikuasai oleh negara. Dengan alur pikir
demikian, kekhawatiran Para Pemohon menjadi tidak beralasan;
4. Para
Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 60 undang-undang a quo yang mengubah
fungsi perusahaan negara minyak dan gas mengakibatkan negara tidak lagi
menyelenggarakan pengusahaan minyak dan gas bumi karena wewenang melakukan
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi diserahkan Pemerintah langsung kepada
swasta (asing/nasional), sedangkan pada sektor hilir, kegiatan dilakukan
berdasarkan mekanisme pasar. Pasal 60 dimaksud menyatakan, “Pada saat
undang-undang ini berlaku: a. dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun,
Pertamina dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dengan
Peraturan Pemerintah; b. selama Persero sebagaimana dimaksud dalam huruf a
belum terbentuk, Pertamina yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 8
Tahun 1971 (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2971) wajib melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi serta mengatur dan
mengelola kekayaan, pegawai dan hal penting lainnya yang diperlukan; c. saat
terbentuknya Persero yang baru, kewajiban Pertamina sebagaimana dimaksud dalam
huruf b, dialihkan kepada Persero yang bersangkutan”. Dengan memperhatikan
bunyi Pasal 60 undang-undang a quo dan penjelasannya serta pertimbangan
Mahkamah yang diuraikan pada angka 2 dan 3 di atas, maka permohonan Para
Pemohon tidak cukup beralasan karena ketentuan peralihan tersebut diperlukan
untuk mencegah kekosongan hukum (rechtsvacuum) dan menjamin kepastian hukum
(rechtszekerheid);
5. Para
Pemohon mendalilkan, Pasal 44 ayat (3) huruf g undang-undang a quo, dalam hal
ini yang berkait dengan diberikannya tugas kepada Badan Pelaksana (BHMN) untuk
menunjuk penjual minyak dan/atau gas bumi bagian negara kepada pihak lain yang
bukan BUMN, menurut Para Pemohon, di satu sisi akan merugikan negara karena fee
penjualan akan diperoleh swasta dan membuka peluang korupsi, kolusi, dan
nepotisme, dan di lain pihak akan membuka persaingan antar sesama LNG Indonesia
di pasar internasional. Terhadap dalil Para Pemohon ini, Mahkamah berpendapat
bahwa masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme memang harus diberantas dalam
rangka mewujudkan prinsip good corporate governance dalam BUMN, namun hal
tersebut bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Sementara itu, 2
(dua) Hakim Konstitusi berpendapat bahwa terlepas dari masalah tersebut di
atas, Pasal 44 ayat (3) huruf g undang-undang a quo tidak menggambarkan adanya
penguasaan oleh negara sebagaimana diperintahkan Pasal 33 UUD 1945, karena
memberikan kewenangan diskresioner untuk menunjuk penjual selain Badan Usaha
Milik Negara yang seharusnya diberdayakan oleh negara sendiri sebagai instrumen
penguasaan oleh negara dalam kegiatan penjualan Migas. Namun demikian, Mahkamah
berpendirian bahwa ketentuan pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945,
tetapi harus ditafsirkan dalam penunjukan penjual oleh Badan Pelaksana
sebagaimana dimaksud, harus mendahulukan (voorrecht) Badan Usaha Milik Negara.
Karena itu, Mahkamah menyarankan agar jaminan hak mendahulukan dimaksud diatur
dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana mestinya;
6. Para
Pemohon mendalilkan, sebagai akibat diserahkannya harga minyak dan gas bumi
kepada mekanisme persaingan usaha, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat
(2) undang-undang a quo, di samping akan menimbulkan perbedaan harga antar
daerah/pulau yang, menurut Para Pemohon, dapat memicu disintegrasi bangsa dan
kecemburuan sosial, juga bertentangan dengan praktik kebijaksanaan harga BBM di
setiap negara di mana Pemerinah ikut mengatur harga BBM sesuai dengan
kebijaksanaan energi dan ekonomi nasional setiap negara, karena komoditas BBM
tidak termasuk dalam agenda WTO. Terhadap dalil Para Pemohon dimaksud, Mahkamah
berpendapat bahwa campur tangan Pemerintah dalam kebijakan penentuan harga
haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting
dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah dapat mempertimbangkan
banyak hal dalam menetapkan kebijakan harga tersebut termasuk harga yang
ditawarkan oleh mekanisme pasar. Pasal 28 ayat (2) dan (3) undang-undang a quo
mengutamakan mekanisme persaingan dan baru kemudian campur tangan Pemerintah
sebatas menyangkut golongan masyarakat tertentu, sehingga tidak menjamin makna
prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945,
guna mencegah timbulnya praktik yang kuat memakan yang lemah. Menurut Mahkamah,
seharusnya harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi dalam negeri ditetapkan
oleh Pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu
dan mempertimbangkan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Oleh
karena itu Pasal 28 ayat (2) dan (3) tersebut harus dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945;
7. Pemohon
mendalilkan bahwa pembebanan kewajiban bagi Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap
yang melakukan kegiatan usaha hulu (eksplorasi dan eksploitasi) untuk membayar
berbagai penerimaan negara yang berupa pajak dan penerimaan negara bukan pajak,
sebagaimana diatur dalam Pasal 31 undang-undang a quo, akan merusak iklim
usaha, antara lain, membuat investor tidak tertarik untuk menanamkan modalnya
di bidang ekplorasi dan ekploitasi. Terhadap dalil Pemohon ini Mahkamah dapat
membenarkan sepanjang menyangkut usaha eksplorasi karena masih berupa pencarian
sumber migas yang belum pasti menghasilkan, sehingga secara konstitusional
tidak adil bagi Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan untuk
dikenakan pajak sehingga dapat mengurangi minat investor untuk menanamkan
modalnya dalam kegiatan eksplorasi yang pada gilirannya akan berdampak
mengurangi kesempatan untuk mencapai tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Akan tetapi terhadap usaha eksploitasi tidak terdapat alasan untuk menyatakan
ketentuan dimaksud bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, karena kegiatan usaha
hulu di bidang eksploitasi sudah menghasilkan migas. Dengan pertimbangan
demikian, meskipun Mahkamah sependapat dengan sebagian dalil Para Pemohon, akan
tetapi Mahkamah tidak mungkin mengabulkan permohonan Para Pemohon, karena
ketentuan pengenaan pajak dalam pasal a quo mencakup kegiatan eksplorasi maupun
eksploitasi. Oleh karena Mahkamah tidak berwenang melakukan perubahan atau
perbaikan rumusan pasal dalam undang-undang, maka Mahkamah menganjurkan pada
pembentuk undang-undang untuk melakukan amandemen terhadap pasal undang-undang
a quo (legislative review). Berdasarkan pertimbangan tersebut permohonan Para
Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 31 ayat (1) undang-undang a quo tidak
mungkin dikabulkan;
8. Para
Pemohon mendalilkan, undang-undang a quo, melalui ketentuan Pasal 23 ayat (2),
telah meliberalisasi sektor hilir pengusahaan minyak dan gas bumi. Para Pemohon
menilai, dengan cara itu berarti undang-undang a quo mendahulukan kepentingan
pengusaha yang berorientasi pada laba maksimum serta mengabaikan kepentingan
hajat hidup orang banyak. Padahal sebelumnya, kegiatan demikian dilakukan oleh
Pemerintah melalui BUMN sehingga Pemerintah senantiasa dapat menyediakan bahan
bakar minyak di mana saja di seluruh Indonesia dengan harga yang seragam dan
terjangkau karena hal itu merupakan misi Badan Usaha Milik Negara. Karenanya Para
Pemohon berpendapat bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (2) tersebut bertentangan
dengan Pasal 33 UUD 1945. Pasal 23 ayat (2) dimaksud menyatakan, “Izin usaha
yang diperlukan untuk kegiatan usaha Minyak Bumi dan/atau kegiatan usaha Gas
Bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibedakan atas: a. Izin Usaha
Pengolahan; b. Izin Usaha Pengangkutan; c. Izin Usaha Penyimpanan; d. Izin
Usaha Niaga”. Dalil permohonan Para Pemohon tersebut tidak beralasan, karena
Pasal 23 ayat (2) dimaksud meskipun memang mengatur unbundling, namun ketentuan
unbundling tersebut tidak merugikan BUMN (Pertamina) karena haknya telah
dijamin berdasarkan Pasal 61 huruf b sebagaimana telah diuraikan pada
pertimbangan nomor 3 di atas. Pasal 61 huruf b tersebut berbunyi, “Pada saat
terbentuknya Persero sebagai pengganti Pertamina, badan usaha milik negara
tersebut wajib mengadakan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana untuk
melanjutkan Eksplorasi dan Eksploitasi pada bekas Wilayah Kuasa Pertambangan
Pertamina dan dianggap telah mendapatkan Izin Usaha yang diperlukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 untuk usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan
Niaga”. Dengan demikian, kekhawatiran Para Pemohon terhadap berlakunya Pasal 23
ayat (2) dimaksud tidak beralasan;
9. Para
Pemohon, meskipun tidak secara jelas mendalilkan dalam permohonannya akan
tetapi di depan persidangan tanggal 16 Februari 2004 telah mempermasalahkan
Pasal 22 ayat (1) undang-undang a quo yang berbunyi “Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen)
bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri” sebagai bertentangan dengan UUD 1945. Dari bunyi pasal
tersebut bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling
banyak 25% (duapuluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi migas untuk
menehui kebutuhan dalam negeri, dapat mengakibatkan pihak Badan Usaha atau
Bentuk Usaha Tetap tidak melaksanakan tanggungjawabnya untuk turut memenuhi
kebutuhan BBM dalam negeri sebagaimana diamanatkan Pasal 1 angka 19 dalam
rangka penjabaran Pasal 33 ayat (3) yaitu prinsip sebesar-besar kemakmuran
rakyat dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri. Mahkamah menilai bahwa
prinsip sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam cabang produksi migas mengandung
pengertian bukan hanya harga murah maupun mutu yang baik, tetapi juga adanya
jaminan ketersediaan BBM dan pasokan bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan
ketentuan Pasal 22 ayat (1) undang-undang a quo yang mencantumkan kata-kata
“paling banyak” maka hanya ada pagu atas (patokan persentase tertinggi) tanpa
memberikan batasan pagu terendah, hal ini dapat saja digunakan oleh pelaku
usaha sebagai alasan yuridis untuk hanya menyerahkan bagiannya dengan
persentase serendah-rendahnya (misalnya hingga 0,1%). Oleh karena itu, Mahkamah
menganggap kata-kata “paling banyak” dalam anak kalimat “.... wajib menyerahkan
paling banyak 25% (duapuluh lima persen) ...” harus dihapuskan karena
bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Selanjutnya, pengaturan
mengenai pelaksanaan penyerahan 25% bagiannya yang dimaksud, dituangkan dalam
Peraturan Pemerintah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (2)
undang-undang a quo;
Bahwa
berdasarkan pertimbangan dan saran-saran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pertimbangan untuk amar putusan ini, yang ditujukan baik
kepada pembentuk undang-undang maupun pelaksana undang-undang, maka permohonan
Para Pemohon tentang pengujian formil harus dinyatakan ditolak sedangkan
permohonan pengujian materiil harus dikabulkan untuk sebagian sebagaimana akan
disebut dalam amar putusan di bawah, sementara bagian-bagian lainnya harus
dinyatakan ditolak karena tidak cukup beralasan, dan bagian-bagian selebihnya
dari permohonan a quo yang tidak berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas
tidak dipertimbangkan lebih lanjut;
Mengingat Pasal 56 ayat (1), (3)
dan (5) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Adapun
bunyi lengkap amar putusan tersebut adalah sebagai berikut:
M E N G A D I L I
- Mengabulkan permohonan Para Pemohon dalam pengujian materiil untuk sebagian;
- Menyatakan: Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata “diberi wewenang”;Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata “paling banyak”;Pasal 28 ayat (2) dan (3) yang berbunyi “(2) Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar; (3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu” Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
- Menyatakan Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata “diberi wewenang”, Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata “paling banyak”, dan Pasal 28 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- Menolak permohonan Para Pemohon dalam pengujian formil;
- Menolak permohonan Para Pemohon selebihnya;
- Menyatakan permohonan Pemohon VI tidak dapat diterima (niet onvantkelijk verklaard);
- Memerintahkan agar Putusan ini dimuat dalam Berita Negara paling lambat 30 hari kerja sejak putusan ini diucapkan;
Berikut link putusan tersebut
>>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar