Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Rabu, 22 April 2015

Tidak Membayar Upah Tepat Waktu Melanggar Konstitusi



Salah seorang pekerja PT. Megahbuana Citramasindo yang bernama Andriyani tanpa didampingi pengacara datang ke Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan:
“Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
...
a.  tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih”;
Dalam permohonannya Andriyani menyatakan bahwa dirinya telah tidak dibayar upahnya oleh perusahaan tersebut selama lebih dari 3 bulan berturut-turut yaitu selama 18 bulan (dari bulan Juni 2009 sampai dengan November 2010) yang seharusnya telah cukup alasan bagi Andriyani untuk mengajukan pemutusan hubunan kerja (PHK). Akan tetapi setelah Andriyani mengajukan PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial (selanjutnya disebut PHI) ternyata ditolak oleh PHI karena perusahaan kembali membayar upah kepada Pemohon secara rutin. Menurut Andriyani, Pasal 169 ayat (1) huruf c tersebut tidak memberikan kepastian hukum apakah dengan pembayaran upah secara rutin oleh pengusaha setelah pengusaha lalai membayar upah secara tepat waktu lebih dari tiga bulan menggugurkan hak Pemohon untuk mengajukan PHK, atau dengan adanya pembayaran rutin oleh pengusaha setelah pengusaha lalai membayar upah secara tepat waktu lebih dari tiga bulan adalah cukup beralasan bagi Andriyani untuk mengajukan PHK, sehingga menurut Andriyani Pasal 169 ayat (1) huruf c UU 13/2003 bertentangan dengan UUD 1945 yaitu
Pasal 28D ayat (1):
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
Pasal 28D ayat (2):
“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas tersebut, dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa membayar upah pekerja merupakan kewajiban hukum bagi pengusaha. Upah merupakan balasan atas prestasi pekerja/buruh yang diberikan oleh pengusaha yang secara seimbang merupakan kewajiban pengusaha untuk membayarnya. Kelalaian pengusaha membayar upah pekerja/buruh dapat menimbulkan hak bagi pekerja/buruh untuk menuntut pengusaha memenuhi kewajibannya, dan jika tidak, pekerja/buruh dapat meminta PHK sebagaimana diatur pasal a quo. Tidak membayar upah pekerja tiga bulan berturut-turut adalah pelanggaran serius atas hak-hak pekerja/buruh yang berimplikasi luas bagi kehidupan seseorang pekerja terutama hak konstitusionalnya untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan wajar dalam hubungan kerja [vide Pasal 28D ayat (2) UUD 1945]. Upah bagi pekerja adalah penopang bagi kehidupannya dan kehidupan keluarganya. Menurut Mahkamah, dengan lewatnya waktu tiga bulan berturut-turut pengusaha tidak membayar upah secara tepat waktu kepada pekerja, sudah cukup alasan menurut hukum bagi pekerja untuk meminta PHK. Hak ini tidak hapus ketika pengusaha kembali memberi upah secara tepat waktu setelah pelanggaran tersebut terjadi;
Menurut Mahkamah dalam hukum ketenagakerjaan hak pekerja untuk memutuskan hubungan kerja dengan alasan tertentu yang dapat dibenarkan adalah sesuatu yang lazim yang dikenal dengan istilah constructive dismissal, yaitu digunakan dalam situasi ketika seorang pekerja dipaksa untuk meninggalkan pekerjaan karena perilaku pengusaha itu sendiri yang tidak dapat diterima oleh pekerja. Constructive dismissal juga mencakup pengunduran diri pekerja karena pelanggaran serius yang dilakukan pengusaha terhadap ketentuan kontrak kerja. Alasan untuk meninggalkan pekerjaan haruslah merupakan pelanggaran fundamental terhadap kontrak kerja antara pekerja dan pengusaha, seperti :
§  Tidak membayar upah pekerja atau tiba-tiba menahan dan mengurangi upah pekerja secara tidak adil di luar persetujuan pekerja;
§  Memaksa pekerja untuk menyetujui perubahan dalam kondisi bekerja yang tidak ditetapkan dalam kontrak kerja seperti tiba-tiba memberitahukan bahwa pekerja yang bersangkutan harus bekerja di kota lain atau membuat pekerja memiliki giliran bekerja malam padahal dalam kontrak pekerja hanya bekerja siang hari;
§  Adanya intimidasi, penindasan, dan penyerangan dari orang lain di tempat kerja;
§  Membuat pekerja, bekerja di tempat berbahaya yang tidak disebutkan dalam kontrak kerja;
§  Menuduh pekerja secara tidak berdasar.
Berdasarkan prinsip constructive dismissal, pekerja mempunyai hak untuk meninggalkan pekerjaannya sesegera mungkin tanpa harus memberikan pemberitahuan kepada pengusaha dan tindakan tersebut (bila terbukti menurut hukum) dianggap sebagai pemberhentian oleh pengusaha dengan syarat pekerja tersebut harus membuktikan tiga unsur yaitu: 1) Pengusaha melakukan pelanggaran serius atas kontrak kerja, 2) Pelanggaran tersebut harus menjadi alasan mengapa pekerja tersebut dipaksa untuk berhenti, 3) Pekerja tidak melakukan apapun yang menunjukkan diterimanya pelanggaran atau perubahan dalam kondisi pekerjaan, yang berarti mereka tidak melakukan apapun yang membuat kontrak tersebut dilanggar oleh pengusaha melalui penerimaan secara implisit atau secara tersirat atas pelanggaran kontrak tersebut;
                  Selain itu menurut Mahkamah dengan merujuk kasus ketenagakerjaan yang dialami oleh Pemohon dan praktik dalam hukum ketenagakerjaan sebagaimana diuraikan di atas, pembayaran upah tepat waktu merupakan hal yang sangat penting bagi buruh/pekerja Indonesia karena upah tersebut seringkali merupakan satu-satunya penghasilan yang dijadikan tumpuan untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya sehari-hari. Hukum sudah seharusnya memberikan kepastian bagi pekerja atas pembayaran upahnya. Apabila kepastian dalam pembayaran upah tidak dapat diwujudkan oleh pengusaha, dalam hal ini pengusaha tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama tiga bulan berturut-turut atau lebih, maka pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja sesuai dengan ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf c UU 13/2003 dan pekerja berhak menerima hak-haknya sebagaimana diatur dalam Pasal 169 ayat (2) UU 13/2003.
Menurut Mahkamah, hak pekerja untuk mendapatkan PHK tidak terhalang oleh adanya tindakan pengusaha yang kembali membayar upah pekerja secara tepat waktu setelah adanya permohonan PHK oleh pekerja ke Pengadilan, dengan ketentuan bahwa pekerja telah melakukan upaya yang diperlukan untuk mendapatkan haknya agar upah dibayarkan secara tepat waktu namun tidak diindahkan oleh pengusaha. Hal itu untuk melindungi hak-hak pekerja untuk mendapatkan kepastian dan perlakuan hukum yang adil dan hak pekerja untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Mahkamah menilai ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang a quo tidak memberi kepastian apakah dengan pembayaran upah secara tepat waktu oleh pengusaha kepada pekerja setelah pengusaha tidak membayar upah secara tepat waktu selama lebih dari tiga bulan berturut-turut menggugurkan alasan pekerja untuk mendapatkan PHK? Dalam kasus yang dialami oleh Pemohon ternyata di Pengadilan Hubungan Industrial, permohonan PHK dari Pemohon ditolak oleh pengadilan karena pengusaha kembali membayar upah Pemohon secara tepat waktu setelah sebelumnya tidak membayar secara tepat waktu lebih dari tiga bulan berturut-turut. Berdasarkan kenyataan yang demikian, walaupun Mahkamah tidak mengadili perkara konkret, telah cukup bukti bahwa ketentuan pasal a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan hilangnya hak konstitusional pekerja untuk mendapatkan imbalan yang adil dan layak dalam hubungan kerja [vide Pasal 28D ayat (2) UUD 1945] yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi.
            Berikut amar lengkap putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor Nomor 58/PUU-IX/2011 sebagai berikut:
 AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
§  Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
§  Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)  bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai: Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu”;
§  Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu”;
§  Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

Link Putusan Mahkamah Konstitusi >>>
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_58%20PUU%202011-%20tenaga%20kerja%20-%20telah%20baca%2016-7-2012.pdf

Tidak ada komentar: