Salah seorang pekerja PT. Megahbuana Citramasindo yang bernama Andriyani tanpa didampingi pengacara datang ke Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan:
“Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan
pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
...
a. tidak membayar upah tepat pada
waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih”;
Dalam
permohonannya Andriyani menyatakan bahwa dirinya telah tidak dibayar upahnya
oleh perusahaan tersebut selama lebih dari 3 bulan berturut-turut yaitu selama
18 bulan (dari bulan Juni 2009 sampai dengan November 2010)
yang seharusnya telah cukup alasan bagi Andriyani untuk mengajukan pemutusan
hubunan kerja (PHK). Akan tetapi setelah Andriyani mengajukan PHK ke Pengadilan
Hubungan Industrial (selanjutnya disebut PHI) ternyata ditolak oleh PHI karena
perusahaan kembali membayar upah kepada Pemohon secara rutin. Menurut Andriyani,
Pasal 169 ayat (1) huruf c tersebut tidak memberikan kepastian hukum apakah
dengan pembayaran upah secara rutin oleh pengusaha setelah pengusaha lalai
membayar upah secara tepat waktu lebih dari tiga bulan menggugurkan hak Pemohon
untuk mengajukan PHK, atau dengan adanya pembayaran rutin oleh pengusaha
setelah pengusaha lalai membayar upah secara tepat waktu lebih dari tiga bulan
adalah cukup beralasan bagi Andriyani untuk mengajukan PHK, sehingga menurut Andriyani
Pasal 169 ayat (1) huruf c UU 13/2003 bertentangan dengan UUD 1945 yaitu
Pasal 28D ayat
(1):
“Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
Pasal 28D ayat
(2):
“Setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja”.
Untuk menjawab
persoalan konstitusionalitas tersebut, dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa membayar upah pekerja
merupakan kewajiban hukum bagi pengusaha. Upah merupakan balasan atas prestasi
pekerja/buruh yang diberikan oleh pengusaha yang secara seimbang merupakan
kewajiban pengusaha untuk membayarnya. Kelalaian pengusaha membayar upah
pekerja/buruh dapat menimbulkan hak bagi pekerja/buruh untuk menuntut pengusaha
memenuhi kewajibannya, dan jika tidak, pekerja/buruh dapat meminta PHK
sebagaimana diatur pasal a quo. Tidak
membayar upah pekerja tiga bulan berturut-turut adalah pelanggaran serius atas
hak-hak pekerja/buruh yang berimplikasi luas bagi kehidupan seseorang pekerja terutama
hak konstitusionalnya untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan
wajar dalam hubungan kerja [vide
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945]. Upah bagi pekerja adalah penopang bagi
kehidupannya dan kehidupan keluarganya. Menurut Mahkamah, dengan lewatnya waktu
tiga bulan berturut-turut pengusaha tidak membayar upah secara tepat waktu
kepada pekerja, sudah cukup alasan menurut hukum bagi pekerja untuk meminta
PHK. Hak ini tidak hapus ketika pengusaha kembali memberi upah secara tepat
waktu setelah pelanggaran tersebut terjadi;
Menurut Mahkamah dalam hukum ketenagakerjaan hak
pekerja untuk memutuskan hubungan kerja dengan alasan tertentu yang dapat
dibenarkan adalah sesuatu yang lazim yang dikenal dengan istilah constructive
dismissal, yaitu digunakan dalam situasi ketika seorang pekerja dipaksa
untuk meninggalkan pekerjaan karena perilaku pengusaha itu sendiri yang tidak
dapat diterima oleh pekerja. Constructive dismissal juga mencakup
pengunduran diri pekerja karena pelanggaran serius yang dilakukan pengusaha
terhadap ketentuan kontrak kerja. Alasan untuk meninggalkan pekerjaan haruslah
merupakan pelanggaran fundamental terhadap kontrak kerja antara pekerja dan
pengusaha, seperti :
§
Tidak membayar upah
pekerja atau tiba-tiba menahan dan mengurangi upah pekerja secara tidak adil di
luar persetujuan pekerja;
§
Memaksa pekerja untuk
menyetujui perubahan dalam kondisi bekerja yang tidak ditetapkan dalam kontrak
kerja seperti tiba-tiba memberitahukan bahwa pekerja yang bersangkutan harus
bekerja di kota lain atau membuat pekerja memiliki giliran bekerja malam
padahal dalam kontrak pekerja hanya bekerja siang hari;
§
Adanya intimidasi,
penindasan, dan penyerangan dari orang lain di tempat kerja;
§
Membuat pekerja, bekerja
di tempat berbahaya yang tidak disebutkan dalam kontrak kerja;
§
Menuduh pekerja secara
tidak berdasar.
Berdasarkan prinsip constructive dismissal,
pekerja mempunyai hak untuk meninggalkan pekerjaannya sesegera mungkin tanpa
harus memberikan pemberitahuan kepada pengusaha dan tindakan tersebut (bila
terbukti menurut hukum) dianggap sebagai pemberhentian oleh pengusaha dengan
syarat pekerja tersebut harus membuktikan tiga unsur yaitu: 1) Pengusaha
melakukan pelanggaran serius atas kontrak kerja, 2) Pelanggaran tersebut harus
menjadi alasan mengapa pekerja tersebut dipaksa untuk berhenti, 3) Pekerja
tidak melakukan apapun yang menunjukkan diterimanya pelanggaran atau perubahan
dalam kondisi pekerjaan, yang berarti mereka tidak melakukan apapun yang
membuat kontrak tersebut dilanggar oleh pengusaha melalui penerimaan secara
implisit atau secara tersirat atas pelanggaran kontrak tersebut;
Selain
itu menurut Mahkamah dengan merujuk kasus ketenagakerjaan yang dialami oleh
Pemohon dan praktik dalam hukum ketenagakerjaan sebagaimana diuraikan di atas, pembayaran
upah tepat waktu merupakan hal yang sangat penting bagi buruh/pekerja Indonesia
karena upah tersebut seringkali merupakan satu-satunya penghasilan yang
dijadikan tumpuan untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya
sehari-hari. Hukum sudah seharusnya memberikan kepastian bagi pekerja atas
pembayaran upahnya. Apabila kepastian dalam pembayaran upah tidak dapat
diwujudkan oleh pengusaha, dalam hal ini pengusaha tidak membayar upah tepat
pada waktu yang telah ditentukan selama tiga bulan berturut-turut atau lebih,
maka pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja sesuai dengan
ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf c UU 13/2003 dan pekerja berhak menerima
hak-haknya sebagaimana diatur dalam Pasal 169 ayat (2) UU 13/2003.
Menurut
Mahkamah, hak pekerja untuk mendapatkan PHK tidak terhalang oleh adanya
tindakan pengusaha yang kembali membayar upah pekerja secara tepat waktu
setelah adanya permohonan PHK oleh pekerja ke Pengadilan, dengan ketentuan
bahwa pekerja telah melakukan upaya yang diperlukan untuk mendapatkan haknya
agar upah dibayarkan secara tepat waktu namun tidak diindahkan oleh pengusaha.
Hal itu untuk melindungi hak-hak pekerja untuk mendapatkan kepastian dan
perlakuan hukum yang adil dan hak pekerja untuk mendapatkan imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Mahkamah menilai ketentuan Pasal 169
ayat (1) huruf c Undang-Undang a quo tidak
memberi kepastian apakah dengan pembayaran upah secara tepat waktu oleh
pengusaha kepada pekerja setelah pengusaha tidak membayar upah secara tepat
waktu selama lebih dari tiga bulan berturut-turut menggugurkan alasan pekerja
untuk mendapatkan PHK? Dalam kasus yang dialami oleh Pemohon ternyata di
Pengadilan Hubungan Industrial, permohonan PHK dari Pemohon ditolak oleh
pengadilan karena pengusaha kembali membayar upah Pemohon secara tepat waktu
setelah sebelumnya tidak membayar secara tepat waktu lebih dari tiga bulan
berturut-turut. Berdasarkan kenyataan yang demikian, walaupun Mahkamah tidak
mengadili perkara konkret, telah cukup bukti bahwa ketentuan pasal a quo telah menimbulkan ketidakpastian
hukum yang adil dan hilangnya hak konstitusional pekerja untuk mendapatkan
imbalan yang adil dan layak dalam hubungan kerja [vide Pasal 28D ayat (2) UUD
1945] yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi.
Berikut amar lengkap putusan
Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor Nomor 58/PUU-IX/2011 sebagai berikut:
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
§ Mengabulkan
permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
§ Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sepanjang tidak dimaknai: “Pekerja/buruh
dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak
membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut
atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah
secara tepat waktu sesudah itu”;
§ Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “Pekerja/buruh dapat
mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat
pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau
lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu
sesudah itu”;
§ Memerintahkan
pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Link Putusan Mahkamah Konstitusi >>>
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_58%20PUU%202011-%20tenaga%20kerja%20-%20telah%20baca%2016-7-2012.pdf
Link Putusan Mahkamah Konstitusi >>>
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_58%20PUU%202011-%20tenaga%20kerja%20-%20telah%20baca%2016-7-2012.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar