Marten Boiliu,
pria kelahiran Kupang, yang berprofesi sebagai satpam di PT. Sandhy Putra
Makmur pada tanggal 26 September 2012 mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi.
Adapun pasal yang diajukan
judicial review ke Mahkamah Konstitusi adalah Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
menyatakan, “Tuntutan pembayaran upah
pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi
kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.”
Dalam
permohonannya Marten menyampaikan bahwa dia yang pernah bekerja sebagai satpam
di PT Sandhy Putra Makmur (PT. SPM) dan telah di-PHK sejak tanggal 2 Juli 2009
berdasarkan Surat Keterangan berakhirnya hubungan kerja Nomor
760/SEKR/01/SPM-02/VII/2009 bertanggal 2 Juli 2009 yang isinya menyatakan Sdr Marten adalah karyawan
PT SPM yang bekerja sejak tanggal 15 Mei 2002 sampai dengan tanggal 30 Juni
2009. Atas PHK dimaksud, pihak PT.SPM tidak/belum membayarkan kepadaMareten
uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur
dalam Pasal 163 ayat (2) juncto Pasal
156 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan mengenai kewajiban
Pengusaha/Perusahaan membayar uang pesangon, uang penghargaan, dan uang
penggantian hak dalam hal terjadi PHK;
Menurut
Marten, setelah berjalan 3 (tiga) tahun di-PHK, 2 Juli 2009 sampai dengan 11 Juni
2012, Marten, secara kronologis, mengalami hal-hal sebagai berikut: Marten baru
mengajukan tuntutan pembayaran uang pesangon, uang penghargaan, dan uang
penggantian hak yang dimulai dari perundingan bipartit dengan pihak PT SPM pada
11 Juni 2012, dilanjutkan dengan mediasi di Kantor Suku Dinas Tenaga kerja dan
Transmigrasi Jakarta Selatan, dan akan memasuki gugatan ke Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI), namun dengan adanya ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan a quo,
mengakibatkan Sdr. Marten tidak dapat melakukan tuntutan mengenai uang pesangon,
uang penghargaan, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 163 ayat (2) juncto Pasal 156 ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) UU Ketenagakerjaan a quo.
Oleh karenanya, Marten sedang maupun akan mengalami/merasakan secara langsung
dampak kerugian yang diakibatkan ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan a quo;
Bahwa di
samping kerugian tersebut di atas, Pasal 96 UU Ketenagakerjaan mencerminkan
diskriminasi dan perlakukan yang tidak adil terhadap Marten yaitu menerima
upah/gaji dari PT SPM di bawah standar
upah minimum yang ditetapkan Gubernur Provinsi DKI Jakarta berdasarkan
ketentuan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan bahwa upah minimum ditetapkan
oleh Gubernur, maupun ketentuan Pasal 90 UU Ketenagakerjaan yang melarang
pengusaha/perusahaan membayar upah lebih rendah dari UMP yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan dan Pasal 91 UU Ketenagakerjaan yang mengatur
kesepakatan antara perusahaan dengan pekerja mengenai upah tidak boleh lebih rendah
dari UMP yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal kesepakatan
mengenai upah lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum dan perusahaan
wajib membayar upah/gaji pekerja menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Adanya Pasal 96 UU Ketenagakerjaan, menguntungkan PT SPM karena lepas
dari kewajiban membayar kekurangan upah/gaji yang seharusnya dibayarkan kepada Marten
berdasarkan ketentuan standar UMP DKI Jakarta. Di lain pihak, Marten, setelah
di-PHK, tidak dapat menuntut. Oleh karenanya, Marten harus menerima dampak
kerugian atas diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil dari Pasal 96 UU
Ketenagakerjaan a quo;
Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas
yang dialami oleh Marten, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan
sebagai berikut:
Bahwa tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
[vide Pasal 27 ayat (2) UUD 1945]. Pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan tersebut akan terpenuhi apabila mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja [vide Pasal 28D ayat (2) UUD 1945];
Bahwa
konsiderans (Menimbang) huruf d UU Ketenagakerjaan menyatakan, “...
perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar
pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa
diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha”;
Bahwa Pemohon
pada pokoknya menganggap Pasal 96 UU Ketenagakerjaan telah menghalang-halangi
hak konstitusionalnya untuk melakukan tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh
dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja karena adanya ketentuan
kadaluwarsa yaitu penuntutan tersebut tidak dapat dilakukan setelah melampaui jangka
waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak;
Bahwa hubungan
ketenagakerjaan bukan semata-mata merupakan hubungan keperdataan karena
hubungan tersebut telah menyangkut kepentingan yang lebih luas (ribuan buruh)
artinya kepentingan publik, bahkan kepentingan negara, sehingga terdapat
perbedaan yang tipis antara kepentingan privat dan kepentingan publik yang
mengharuskan adanya pengaturan dan perlindungan secara adil oleh negara;
Bahwa
ketentuan kedaluwarsa adalah terkait dengan penggunaan hak untuk menggunakan
upaya hukum dan kehilangan hak untuk menggunakan upaya hukum;
Bahwa contoh
kedaluwarsa penggunaan hak untuk menggunakan upaya hukum adalah adanya
ketentuan mengenai batas waktu pengajuan upaya hukum biasa maupun upaya hukum
luar biasa dalam suatu proses pengadilan yang biasanya dihitung sejak
pemberitahuan amar putusan. Adapun kepastian
hukum terkait kedaluwarsa dalam proses peradilan adalah untuk mengetahui
kepastian atau kejelasan dari pelaksanaan amar putusan, atau di sisi lain, bagi
kepentingan para pihak yang berperkara, kedaluwarsa merupakan kesempatan untuk
melakukan atau tidak melakukan upaya hukum lanjutan;
Bahwa contoh
kedaluwarsa kehilangan hak untuk menggunakan upaya hukum, misalnya, dalam hukum
waris, kepemilikan hak waris hanya dapat dilepaskan apabila ada pernyataan
positif dari si pemilik hak untuk melepaskan haknya. Artinya, sejak
dilakukannya pernyataan pelepasan hak tersebut, maka sejak saat itu seseorang
tidak memiliki upaya hukum untuk menuntut haknya. Hal yang sama juga berlaku
kepada hak milik terhadap benda. Di sinilah letak kepastian hukumnya, bahwa
selama tidak ada pernyataan pelepasan hak maka hak kepemilikan itu tetap
melekat kepada yang bersangkutan dan negara berkewajiban untuk melindungi hak
tersebut;
Bahwa hak
Pemohon untuk menuntut pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang
timbul dari hubungan kerja adalah hak yang timbul karena Pemohon telah
melakukan pengorbanan berupa adanya prestatie kerja sehingga hubungan antara
hak tersebut dengan Pemohon adalah sebagai pemilik hak. Sama halnya
perlakuannya dengan hak kepemilikan terhadap benda yang dalam perkara a quo,
hak kebendaan tersebut berwujud pekerjaan yang sudah dilakukan sehingga
memerlukan adanya perlindungan terhadap hak tersebut selama si pemilik hak
tidak menyatakan melepaskan haknya tersebut;
Bahwa upah dan
segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja merupakan hak buruh yang
harus dilindungi sepanjang buruh tidak melakukan perbuatan yang merugikan
pemberi kerja. Oleh sebab itu upah dan segala pembayaran yang timbul dari
hubungan kerja tidak dapat hapus karena adanya lewat waktu tertentu. Oleh
karena apa yang telah diberikan oleh buruh sebagai prestatie harus diimbangi
dengan upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja sebagai tegen
prestatie. Upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja adalah
merupakan hak milik pribadi dan tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang
oleh siapapun, baik oleh perseorangan maupun melalui ketentuan peraturan perundang-undangan.
Oleh karenanya, menurut Mahkamah, Pasal 96 UU Ketenagakerjaan terbukti
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945;
Bahwa
berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, permohonan Pemohon
beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon
untuk seluruhnya;
1.1. Pasal 96 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2. Pasal 96 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Memerintahkan pemuatan putusan
ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
============
Tidak ada komentar:
Posting Komentar