Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Selasa, 21 April 2015

Mantan Satpam Mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi




Marten Boiliu, pria kelahiran Kupang, yang berprofesi sebagai satpam di PT. Sandhy Putra Makmur pada tanggal 26 September 2012 mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ke  Mahkamah Konstitusi.
Adapun pasal yang diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi adalah Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan  yang menyatakan, “Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.”
Dalam permohonannya Marten menyampaikan bahwa dia yang pernah bekerja sebagai satpam di PT Sandhy Putra Makmur (PT. SPM) dan telah di-PHK sejak tanggal 2 Juli 2009 berdasarkan Surat Keterangan berakhirnya hubungan kerja Nomor 760/SEKR/01/SPM-02/VII/2009 bertanggal 2 Juli 2009  yang isinya menyatakan Sdr Marten adalah karyawan PT SPM yang bekerja sejak tanggal 15 Mei 2002 sampai dengan tanggal 30 Juni 2009. Atas PHK dimaksud, pihak PT.SPM tidak/belum membayarkan kepadaMareten uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 163 ayat (2) juncto Pasal 156 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan mengenai kewajiban Pengusaha/Perusahaan membayar uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak dalam hal terjadi PHK;
Menurut Marten, setelah berjalan 3 (tiga) tahun di-PHK, 2 Juli 2009 sampai dengan 11 Juni 2012, Marten, secara kronologis, mengalami hal-hal sebagai berikut: Marten baru mengajukan tuntutan pembayaran uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak yang dimulai dari perundingan bipartit dengan pihak PT SPM pada 11 Juni 2012, dilanjutkan dengan mediasi di Kantor Suku Dinas Tenaga kerja dan Transmigrasi Jakarta Selatan, dan akan memasuki gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), namun dengan adanya ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan a quo, mengakibatkan Sdr. Marten tidak dapat melakukan tuntutan mengenai uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 163 ayat (2) juncto Pasal 156 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan a quo. Oleh karenanya, Marten sedang maupun akan mengalami/merasakan secara langsung dampak kerugian yang diakibatkan ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan a quo;
Bahwa di samping kerugian tersebut di atas, Pasal 96 UU Ketenagakerjaan mencerminkan diskriminasi dan perlakukan yang tidak adil terhadap Marten yaitu menerima upah/gaji  dari PT SPM di bawah standar upah minimum yang ditetapkan Gubernur Provinsi DKI Jakarta berdasarkan ketentuan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan bahwa upah minimum ditetapkan oleh Gubernur, maupun ketentuan Pasal 90 UU Ketenagakerjaan yang melarang pengusaha/perusahaan membayar upah lebih rendah dari UMP yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan Pasal 91 UU Ketenagakerjaan yang mengatur kesepakatan antara perusahaan dengan pekerja mengenai upah tidak boleh lebih rendah dari UMP yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal kesepakatan mengenai upah lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum dan perusahaan wajib membayar upah/gaji pekerja menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adanya Pasal 96 UU Ketenagakerjaan, menguntungkan PT SPM karena lepas dari kewajiban membayar kekurangan upah/gaji yang seharusnya dibayarkan kepada Marten berdasarkan ketentuan standar UMP DKI Jakarta. Di lain pihak, Marten, setelah di-PHK, tidak dapat menuntut. Oleh karenanya, Marten harus menerima dampak kerugian atas diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil dari Pasal 96 UU Ketenagakerjaan a quo;
                Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas yang dialami oleh Marten, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan [vide Pasal 27 ayat (2) UUD 1945]. Pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan tersebut akan terpenuhi apabila mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja [vide Pasal 28D ayat (2) UUD 1945];
Bahwa konsiderans (Menimbang) huruf d UU Ketenagakerjaan menyatakan, “... perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha”;
Bahwa Pemohon pada pokoknya menganggap Pasal 96 UU Ketenagakerjaan telah menghalang-halangi hak konstitusionalnya untuk melakukan tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja karena adanya ketentuan kadaluwarsa yaitu penuntutan tersebut tidak dapat dilakukan setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak;
Bahwa hubungan ketenagakerjaan bukan semata-mata merupakan hubungan keperdataan karena hubungan tersebut telah menyangkut kepentingan yang lebih luas (ribuan buruh) artinya kepentingan publik, bahkan kepentingan negara, sehingga terdapat perbedaan yang tipis antara kepentingan privat dan kepentingan publik yang mengharuskan adanya pengaturan dan perlindungan secara adil oleh negara;
Bahwa ketentuan kedaluwarsa adalah terkait dengan penggunaan hak untuk menggunakan upaya hukum dan kehilangan hak untuk menggunakan upaya hukum;
Bahwa contoh kedaluwarsa penggunaan hak untuk menggunakan upaya hukum adalah adanya ketentuan mengenai batas waktu pengajuan upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa dalam suatu proses pengadilan yang biasanya dihitung sejak pemberitahuan amar putusan. Adapun kepastian  hukum terkait kedaluwarsa dalam proses peradilan adalah untuk mengetahui kepastian atau kejelasan dari pelaksanaan amar putusan, atau di sisi lain, bagi kepentingan para pihak yang berperkara, kedaluwarsa merupakan kesempatan untuk melakukan atau tidak melakukan upaya hukum lanjutan;
Bahwa contoh kedaluwarsa kehilangan hak untuk menggunakan upaya hukum, misalnya, dalam hukum waris, kepemilikan hak waris hanya dapat dilepaskan apabila ada pernyataan positif dari si pemilik hak untuk melepaskan haknya. Artinya, sejak dilakukannya pernyataan pelepasan hak tersebut, maka sejak saat itu seseorang tidak memiliki upaya hukum untuk menuntut haknya. Hal yang sama juga berlaku kepada hak milik terhadap benda. Di sinilah letak kepastian hukumnya, bahwa selama tidak ada pernyataan pelepasan hak maka hak kepemilikan itu tetap melekat kepada yang bersangkutan dan negara berkewajiban untuk melindungi hak tersebut;
Bahwa hak Pemohon untuk menuntut pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja adalah hak yang timbul karena Pemohon telah melakukan pengorbanan berupa adanya prestatie kerja sehingga hubungan antara hak tersebut dengan Pemohon adalah sebagai pemilik hak. Sama halnya perlakuannya dengan hak kepemilikan terhadap benda yang dalam perkara a quo, hak kebendaan tersebut berwujud pekerjaan yang sudah dilakukan sehingga memerlukan adanya perlindungan terhadap hak tersebut selama si pemilik hak tidak menyatakan melepaskan haknya tersebut;
Bahwa upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja merupakan hak buruh yang harus dilindungi sepanjang buruh tidak melakukan perbuatan yang merugikan pemberi kerja. Oleh sebab itu upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja tidak dapat hapus karena adanya lewat waktu tertentu. Oleh karena apa yang telah diberikan oleh buruh sebagai prestatie harus diimbangi dengan upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja sebagai tegen prestatie. Upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja adalah merupakan hak milik pribadi dan tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun, baik oleh perseorangan maupun melalui ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, Pasal 96 UU Ketenagakerjaan terbukti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945;
Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
1.1. Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2. Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
============

Tidak ada komentar: