Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Rabu, 29 April 2015

Konstitusionalitas Penetapan Tersangka dalam KUHAP




Pada tangga 17 Februari 2014 salah seorang Karyawan PT. Chevron Pasific Indonesia yang bernama Bachtiar Abdul Fatah mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang diregistrasi dengan nomor 21/PUU-XII/2014 pada tanggal 26 Februari 2014. Dalam permohonannya Bachtiar menyampaikan bahwa sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak konstitusional atas “pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil” dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menurut Bachtiar selaku Pemohon hak konstitusionalnya tersebut telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 77 huruf a, Pasal 156 ayat (2) KUHAP karena terhadap diri Pemohon telah diberlakukan proses pidana yaitu penetapan Pemohon sebagai tersangka, penangkapan dan penahanan Pemohon dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP; sedangkan Pasal 77 huruf a diberlakukan dalam perkara praperadilan yang diajukan Pemohon dan Pasal 156 ayat (2) KUHAP diberlakukan atas eksepsi yang diajukan Pemohon dalam persidangan perkara pidana atas diri Pemohon.
Pada tanggal 28 April 2015 akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan permohonan a quo dan menyatakan mengabulkan sebagian permohonan Pemohon yaitu terkait dengan frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup”, dan bukti yang cukup dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup”, dan bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan menyatakan Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

Dalam putusan tersebut satu orang hakim konstitusi memiliki alasan berbeda (concurring opinion) yaitu Patrialis Akbar dan tiga orang hakim konstitusi memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) yaitu I Dewa Gede Palguna, Muhammad Alim dan Aswanto.
=====================
Berikut pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara 21/PUU-XII/2014 yang telah dibacakan dalam pengucapan putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 28 April 2015 :
Pendapat Mahkamah
[3.13]      Menimbang bahwa terhadap pengujian frasa dan guna menemukan tersangkanya” dalam Pasal 1 angka 2  KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
                 Bahwa Pasal 1 ayat (2) KUHAP termasuk dalam Bab I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum yang mengatur tentang pengertian Penyidikan yang menyatakan, “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang daitur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Adapun frasa “dan guna menemukan tersangkanya” harus ditafsirkan bersyarat seperti yang didalilkan oleh Pemohon, menurut Mahkamah, sebenarnya sudah dipenuhi oleh pasal tersebut, yaitu penyidik dalam rangkaian tindakan penyidikan melakukan suatu proses pengumpulan bukti yang dengan bukti tersebut kemudian penyidik menemukan tersangka dalam satu tindak pidana sehingga tidak serta merta penyidik menemukan tersangka sebelum melakukan pengumpulan bukti sebagaimana ditentukan dalam pasal a quo. Pasal 1 angka 2 KUHAP mengatur bagaimana penyidik menemukan tersangka sehingga pasal tersebut sudah jelas dan tidak perlu ditafsirkan.
                 Menurut Mahkamah, norma tersebut sudah tepat karena memberikan kepastian hukum yang adil kepada warga negara Indonesia ketika akan ditetapkan menjadi tersangka oleh penyidik, yaitu, harus melalui proses atau rangkaian tindakan penyidikan dengan cara mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut penyidik menemukan tersangkanya, bukan secara subjektif penyidik menemukan tersangka tanpa mengumpulkan bukti. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;
[3.14]      Menimbang bahwa terhadap pengujian frasa “bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup”, dan bukti yang cukup sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1.     Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Gagasan negara hukum sebagai prinsip umum yang dianut dalam penyelenggaraan negara yang, antara lain, bercirikan prinsip due process of law yang dijamin secara konstitusional. Sejalan dengan hal tersebut maka salah satu prinsip negara hukum adalah adanya pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
2.     Bahwa asas due process of law sebagai perwujudan pengakuan hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak, terutama bagi lembaga-lembaga penegak hukum. Perwujudan penghargaan hak asasi tersebut terlaksana dengan memberikan posisi yang sama, termasuk dalam proses peradilan pidana, khususnya bagi tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam mempertahankan hak-haknya secara seimbang.
3.     Negara hukum yang telah diadopsi dalam UUD 1945 meletakkan suatu prinsip bahwa setiap orang memiliki hak asasi (HAM), yang dengan demikian mewajibkan orang lain, termasuk di dalamnya negara, untuk menghormatinya. Bahkan secara konstitusional, ketentuan konstitusional tentang HAM tersebut dalam perspektif historis-filosofis dalam pembentukan negara dimaksudkan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab [vide Pembukaan UUD 1945]. Oleh karena itu, negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan terhadap HAM [vide Pasal 28I ayat (4) UUD 1945]. Prinsip sebagaimana diuraikan di atas, melahirkan suatu prinsip yang lain, yaitu bahwa proses peradilan dalam perkara pidana harus sampai pada kebenaran materiil, suatu kebenaran yang di dalamnya tidak terdapat lagi keraguan. Dari prinsip yang demikian lahir pula prinsip dalam proses peradilan pidana, yaitu, lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada menjatuhkan pidana kepada seseorang yang tidak bersalah”. Di dalam ungkapan tersebut terdapat makna yang dalam, bahwa ketika pengadilan menjatuhkan putusan yang menyatakan seseorang bersalah dan karena itu dijatuhi pidana haruslah benar-benar didasarkan pada suatu fakta hukum yang diyakini sebagai suatu kebenaran. Kalau tidak demikian maka akan terjadi bahwa negara melalui pengadilan pidana telah melanggar HAM, padahal secara konstitusional negara melalui proses peradilan justru harus melindungi HAM [vide Pasal 24 ayat (1) UUD 1945];
4.     Kewajiban negara untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai prinsip negara hukum yang demokratis mengharuskan pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat (5) UUD 1945]. Hukum acara pidana merupakan salah satu implementasi dari penegakan dan perlindungan HAM sebagai ketentuan konstitusional dalam UUD 1945. Hal demikian sesuai pula dengan salah satu prinsip negara hukum yang demokratis, yaitu due process of law;
5.      KUHAP sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia telah merumuskan sejumlah hak tersangka/terdakwa sebagai pelindung terhadap kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Namun demikian, masih terdapat beberapa frasa yang memerlukan penjelasan agar terpenuhi asas lex certa serta asas lex stricta sebagai asas umum dalam hukum pidana agar melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyelidik maupun penyidik, khususnya frasa “bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Ketentuan dalam KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah dari frasa “bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup”, dan bukti yang cukup”. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yaitu minimal dua alat bukti, seperti ditentukan dalam Pasal 44 ayat (2) yang menyatakan, “Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, ... dst”. Satu-satunya pasal yang menentukan batas minimum bukti adalah dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti ... dst”;
Oleh karena itu, dengan berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, agar memenuhi asas kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta memenuhi asas lex certa dan asas lex stricta dalam hukum pidana maka frasa “bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup”, dan bukti yang cukup sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia). Artinya, terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya tersebut, tidak diperlukan pemeriksaan calon tersangka.
Menimbang bahwa pertimbangan Mahkamah yang menyertakan pemeriksaan calon tersangka di samping minimum dua alat bukti tersebut di atas, adalah untuk tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah ditemukan oleh penyidik. Dengan demikian, berdasarkan alasan tersebut di atas, seorang penyidik di dalam menentukan “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dapat dihindari adanya tindakan sewenang-wenang, terlebih lagi di dalam menentukan bukti permulaan yang cukup selalu dipergunakan untuk pintu masuk bagi seorang penyidik di dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Dengan uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo beralasan menurut hukum;
[3.15]      Menimbang bahwa terhadap pengujian frasa “melakukan tindak pidana” dan frasa “dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa” dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945, frasa tersebut pernah diuji dan diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 018/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006, yang amarnya menyatakan menolak permohonan Pemohon.
                 Menurut Mahkamah, pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 018/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006, telah mempertimbangkan maksud dan tujuan dari Pasal 21 KUHAP, antara lain:
“... bahwa dalam hukum acara pidana tercerminkan penggunaan kekuasaan negara pada proses penyelidikan, penyidikan, di mana penggunaan kewenangan tersebut akan berakibat langsung kepada hak-hak warga negara. Penahanan merupakan tindakan yang diperlukan dalam proses penegakan hukum meskipun dalam penahanan itu sendiri terdapat pembatasan tehadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, penahanan haruslah diatur dengan undang-undang yang di dalamnya ditentukan tata cara serta syarat-syarat yang jelas. Hal demikian dilakukan untuk seminimal mungkin menghindari pelanggaran hak asasi manusia. Perubahan Hukum Acara Pidana dari HIR kepada KUHAP, dimaksudkan untuk lebih meningkatkan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Sebagaimana halnya dengan hukum acara pidana di negara lain, penahanan adalah hal yang tetap diperlukan dalam acara pidana. Oleh karena itu tidaklah mungkin dikeluarkannya penahanan dari ketentuan hukum acara pidana. Keberadaan penahanan dalam hukum acara pidana merupakan suatu hal menyakitkan tetapi diperlukan (a necessary evil). Usaha untuk meminimalisasi pelanggaran hak asasi manusia dalam penahanan dilakukan dengan banyak cara di antaranya dengan menetapkan syarat-syarat penahanan serta menetapkan alasan penahanan dan dengan memberikan upaya hukum kepada seseorang yang terhadapnya dikenai penahanan ...;
.... dengan adanya Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 77 KUHAP, hal tersebut haruslah dimaknai sebagai usaha untuk memberi dasar hukum bagi penahanan sekaligus sebagai usaha untuk mengurangi penggunaan kewenangan yang berlebihan dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan penahanan ...;
... penahanan oleh penyidik atau penuntut umum harus didasarkan atas pertimbangan yang cukup rasional dan tidak dengan serta merta saja dilakukan penahanan yang hanya didasari keinginan subjektif semata dari penyidik atau penuntut umum ...;
... keberadaan Pasal 21 ayat (1) KUHAP tidak dapat dilepaskan dengan adanya Pasal 77 KUHAP. Pasal 21 ayat (1) KUHAP dari aspek norma cukup untuk mempertemukan dua kepentingan, yaitu kepentingan umum untuk menegakkan ketertiban, serta kepentingan individu yang harus dilindungi hak asasinya, hal demikian diperkuat lagi dengan adanya pranata praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP...”;
                 Oleh karena itu, pertimbangan putusan tersebut mutatis mutandis berlaku pula untuk permohonan  Pemohon  a quo. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil Pemohon dalam permohonan a quo tidak beralasan menurut hukum;
[3.16]      Menimbang terhadap dalil Pemohon bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 apabila tidak dimaknai mencakup sah atau tidak sahnya penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat, Mahkamah berpendapat:
1.      Mengenai penetapan tersangka, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
a.  Sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam paragraf [3.14] bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dalam negara hukum, asas due process of law sebagai salah satu perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi lembaga penegak hukum. Perwujudan penghargaan hak asasi tersebut terlaksana dengan memberikan posisi yang seimbang berdasarkan kaidah hukum yang berlaku, termasuk dalam proses peradilan pidana, khususnya bagi tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam mempertahankan haknya secara seimbang. Oleh karena itu, negara terutama Pemerintah, berkewajiban untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan terhadap HAM [vide Pasal 28I ayat (4) UUD 1945]. KUHAP sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia telah merumuskan sejumlah hak tersangka/terdakwa sebagai pelindung terhadap kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia;
b.  Penegakan hukum harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku juga berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hukum tersebut harus ditegakkan demi terciptanya tujuan dan cita-cita Bangsa Indonesia sebagaimana yang dirumuskan pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat, yaitu, membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Rakyat Indonesia harus merasa aman dari berbagai ancaman dan bahaya yang datang,  rasa aman yang diberikan oleh negara kepada rakyat tidak hanya ditujukan bagi mereka yang benar saja, akan tetapi bagi mereka yang melakukan kesalahan ataupun bagi mereka yang diduga melakukan kesalahan juga berhak memperoleh jaminan rasa aman terhadap diri mereka.
c.   Sistem yang dianut dalam KUHAP adalah akusatur, yaitu tersangka atau terdakwa diposisikan sebagai subjek manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Dalam rangka melindungi hak tersangka atau terdakwa, KUHAP memberikan mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang penyidik atau penuntut umum melalui pranata praperadilan.
d.  Berkenaan dengan kebebasan seseorang dari tindakan penyidik, International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) menyatakan dalam Article 9:
“1. Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall be subjected to arbitrary arrest or detention. No one shall be deprived of his liberty except on such grounds and in accordance with such procedure as are established by law.
2. Anyone who is arrested shall be informed, at the time of arrest, of the reasons for his arrest and shall be promptly informed of any charges against him.
3. Anyone arrested or detained on a criminal charge shall be brought promptly before a judge or other officer authorized by law to exercise judicial power and shall be entitled to trial within a reasonable time or to release. It shall not be the general rule that persons awaiting trial shall be detained in custody, but release may be subject to guarantees to appear for trial, at any other stage of the judicial proceedings, and, should occasion arise, for execution of the judgement.
4. Anyone who is deprived of his liberty by arrest or detention shall be entitled to take proceedings before a court, in order that that court may decide without delay on the lawfulness of his detention and order his release if the detention is not lawful.
5. Anyone who has been the victim of unlawful arrest or detention shall have an enforceable right to compensation.
e.  Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, pertanyaan yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah selain yang ditetapkan dalam Pasal 77 huruf a KUHAP seperti penetapan tersangka dapat dijadikan objek praperadilan?
f.    Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 KUHAP menentukan bahwa praperadilan memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutus:
1)  sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan;
2)  sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan dan;
3)  permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan
g.  KUHAP tidak memiliki check and balance system atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik karena KUHAP tidak mengenal mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti dan tidak menerapkan prinsip pengecualian (exclusionary) atas alat bukti yang diperoleh secara tidak sah seperti di Amerika Serikat. Contoh mekanisme pengujian terhadap keabsahan perolehan alat bukti dapat dilihat dalam kasus Dominique Straus Kahn yang dituduh melakukan perkosaan terhadap Nafissatou Diallo di Hotel Manhattan New York pada tahun 2011. Kasus tersebut akhirnya dibatalkan pada Agustus 2011 di Magistrates Court New York, setelah adanya keraguan terhadap kredibilitas saksi korban, termasuk kesaksiannya yang tidak konsisten tentang apa yang terjadi. Hal yang melatarbelakangi alat bukti harus diuji keabsahan perolehannya. Menurut Paul Roberts dan Adrian Zuckerman, ada tiga prinsip yang mendasari perlunya mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti, yaitu: Pertama, rights protection by the state. Hak tersebut lahir karena terkadang upaya dari penyelidik atau penyidik dalam menemukan alat bukti dilakukan dengan melanggar hak asasi calon tersangka atau tersangka. Dalam rangka mengembalikan atau mempertahankan hak yang sudah dilanggar maka diperlukan suatu mekanisme pengujian perolehan alat bukti untuk mengetahui dan memastikan apakah alat bukti tersebut sudah benar-benar diambil secara sah. Kedua, deterrence (disciplining the police). Pengesampingan atau pengecualian alat bukti yang diambil atau diperoleh secara tidak sah, akan mencegah/menghalangi para penyidik maupun penuntut umum mengulangi kembali kesalahan mereka di masa mendatang. Apabila hakim secara rutin mengecualikan/mengesampingkan alat bukti yang didapat secara tidak sah tersebut, maka hal itu menjadi pesan yang sangat jelas kepada aparat penegak hukum bahwa tidak ada manfaat yang bisa diambil dari melanggar hukum, kemudian motivasi dari aparat untuk melanggar hukum akan menurun drastis. Ketiga, the legitimacy of the verdict. Dalam proses acara pidana diperlukan suatu sistem yang dapat dipercaya sehingga masyarakat yakin terhadap sistem hukum atau sistem peradilannya. Apabila hakim sudah terbiasa memaklumi aparat penyidik dan penuntut umum dalam menyajikan alat bukti yang didapat secara tidak sah, maka sistem hukum tersebut akan diragukan legitimasinya dan masyarakat akan segera mengurangi rasa hormatnya. [Paul Roberts and Adrian Zuckerman, Criminal Evidence. (New York: Oxford University Press Inc, reprinted 2008), hal. 149-159]. Dengan demikian, terlihat bahwa Hukum Acara Pidana Indonesia belum menerapkan prinsip due process of law secara utuh, oleh karena tindakan aparat penegak hukum dalam mencari dan menemukan alat bukti tidak dapat dilakukan pengujian keabsahan perolehannya.
h.  Bahwa hakikat keberadaan pranata praperadilan adalah sebagai bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia, sehingga pada zamannya aturan tentang praperadilan dianggap sebagai bagian dari mahakarya KUHAP. Namun demikian, dalam perjalanannya ternyata lembaga praperadilan tidak dapat berfungsi secara maksimal karena tidak mampu menjawab permasalahan yang ada dalam proses pra-ajudikasi. Fungsi pengawasan yang diperankan pranata praperadilan hanya bersifat post facto sehingga tidak sampai pada penyidikan dan pengujiannya hanya bersifat formal yang mengedepankan unsur objektif, sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi pengadilan. Hal itu justru menyebabkan praperadilan terjebak hanya pada hal-hal yang bersifat formal dan sebatas masalah administrasi sehingga jauh dari hakikat keberadaan pranata praperadilan.
i.    Bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Upaya paksa pada masa itu secara konvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan, namun pada masa sekarang bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah “penetapan tersangka oleh penyidik” yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas, sehingga seseorang tersebut dipaksa oleh negara untuk menerima status tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya untuk melakukan upaya hukum untuk menguji legalitas dan kemurnian tujuan dari penetapan tersangka tersebut. Padahal hukum harus mengadopsi tujuan keadilan dan kemanfaatan secara bersamaan sehingga jika kehidupan sosial  semakin kompleks maka hukum perlu lebih dikonkretkan secara ilmiah dengan menggunakan bahasa yang lebih baik dan sempurna (Shidarta, 2013: 207-214). Dengan kata lain, prinsip kehati-hatian haruslah dipegang teguh oleh penegak hukum dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
j.    Bahwa untuk memenuhi maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi dalam proses praperadilan adalah tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan (vide pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 65/PUU-IX/2011, bertanggal 1 Mei 2012, juncto putusan Mahkamah Nomor 78/PUU-XI/2013, bertanggal 20 Februari 2014), serta dengan memperhatikan nilai-nilai hak asasi manusia yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan perlindungan hak asasi manusia yang termaktub dalam Bab XA UUD 1945, maka setiap tindakan penyidik yang tidak memegang teguh prinsip kehati-hatian dan diduga telah melanggar hak asasi manusia dapat dimintakan perlindungan kepada pranata praperadilan, meskipun hal tersebut dibatasi secara limitatif oleh ketentuan Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 huruf a KUHAP. Padahal, penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang. Bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP salah satunya mengatur tentang sah atau tidak sahnya penghentian penyidikan. Sementara itu, penyidikan itu sendiri menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
k.   Betul bahwa apabila Pasal 1 angka 2 KUHAP dilakukan secara ideal dan benar maka tidak diperlukan pranata praperadilan. Namun permasalahannya adalah bagaimana ketika tidak dilakukan secara ideal dan benar, dimana seseorang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka memperjuangkan haknya dengan ikhtiar hukum bahwa ada yang salah dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Padahal oleh UUD 1945 setiap orang dijamin haknya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang didalili oleh pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum;
2.      Sepanjang menyangkut penggeledahan dan penyitaan, Mahkamah dalam Putusan Nomor 65/PUU-IX/2011, bertanggal 1 Mei 2012, yang mengadili dalam kaitannya dengan Pasal 83 ayat (2) KUHAP, antara lain, mempertimbangkan, “... Salah satu pengaturan kedudukan yang sama di hadapan hukum yang diatur dalam KUHAP tersebut adalah adanya sistem praperadilan sebagai salah satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penyidikan, penuntutan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, baik yang disertai dengan permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi atau pun tidak. Adapun maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi dalam proses praperadilan adalah tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Dengan demikian dibuatnya sistem praperadilan yang diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP adalah untuk kepentingan pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Kehadiran KUHAP dimaksudkan untuk mengoreksi pengalaman praktik peradilan masa lalu, di bawah aturan HIR, yang tidak sejalan dengan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Selain itu, KUHAP memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia bagi tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya di dalam proses hukum...”;
Dengan pertimbangan di atas, secara implisit Mahkamah sesungguhnya sudah menyatakan pendapatnya bahwa penggeledahan dan penyitaan merupakan bagian dari mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dan karenanya termasuk dalam ruang lingkup praperadilan. Oleh karena itu, permohonan Pemohon mengenai penggeledahan dan penyitaan beralasan menurut hukum;
3.     Adapun mengenai pemeriksaan surat seperti yang didalilkan Pemohon agar masuk dalam ruang lingkup kewenangan pranata praperadilan, menurut Mahkamah, pemeriksaan surat tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tindakan penggeledahan dan penyitaan, sehingga pertimbangan Mahkamah pada angka 2 di atas berlaku pula terhadap dalil Pemohon a quo.
[3.17]      Menimbang bahwa  terhadap frasa “sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan” dalam Pasal 156 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa membaca Pasal 156 ayat (2) khususnya frasa “sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP yang menyatakan, “Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan”.
                 Dari ketentuan tersebut maka yang diputus oleh hakim adalah mengenai i) kewenangan pengadilan untuk mengadili perkara, ii) dakwaan tidak dapat diterima, dan iii) surat dakwaan harus dibatalkan. Apabila keberatan tersebut diterima oleh hakim maka perkara tidak dilanjutkan namun apabila keberatan tersebut tidak diterima oleh hakim maka perkara tersebut dilanjutkan untuk diperiksa. Dengan demikian, tidak ada yang salah dengan frasa dimaksud.
                 Adapun yang didalilkan oleh Pemohon bahwa frasa tersebut menimbulkan ketidakadilan bagi terdakwa, menurut Mahkamah, ketentuan tersebut merupakan hal yang wajar dan tidak ada keterkaitan dengan ketidakadilan, karena pengajuan banding tidak menghentikan pemeriksaan terhadap pokok perkara melainkan hanya banding terhadap putusan sela yang berkaitan dengan proses pemeriksaan kecuali eksepsi mengenai kompetensi absolut. Dalam hal eksepsi mengenai kompetensi absolut dikabulkan, apabila ada permohonan pemeriksaan banding maka berkas perkaranya dikirim terlebih dahulu ke tingkat banding. Apalagi yang dimohonkan banding bukan mengenai pokok perkara tentang seseorang bersalah atau tidak bersalah.
                 Perkara pidana berkait erat dengan hak asasi manusia, sehingga makin cepat seseorang disidangkan maka makin cepat pula seseorang tersebut diputuskan bersalah atau tidak bersalah. Jika frasa tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 justru tidak sesuai dengan prinsip kepastian hukum yang adil yang dijamin oleh UUD 1945 karena proses hukum terhadap terdakwa menjadi tertunda. Hal tersebut menurut Mahkamah tidak sesuai dengan asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan sebagaimana termuat dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;
[3.18]      Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian;
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.     Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
1.1      Frasa “bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup”, dan bukti yang cukup sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup”, dan bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
1.2      Frasa “bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup”, dan bukti yang cukup sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup”, dan bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
1.3      Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
1.4      Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
2.     Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3.     Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
=========================

Tidak ada komentar: