Pada
tanggal 4 April 2015 Prof. Dr. Zulhasril Nasir, MA., dkk., mendatangi Mahkamah
Konstitusi untuk mengajukan permohoan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum terhadap
UUD 1945
Adapun
pasal yang diajukan untuk dilakukan pengujian konstitusionalitasnya adalah
Pasal 1 angka 10, Pasal 9 ayat (2), Pasal 31, Pasal 27 ayat (2) dan ayat (4),
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum terhadap Pasal 28A,
Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945).
Para
Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang tergabung dalam warga
peduli pembangunan jalan tol yang merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 1
angka 10, Pasal 9 ayat (2), Pasal 31, Pasal 27 ayat (2) dan ayat (4), UU
2/2012 yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
10.
Ganti Kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak
dalam proses pengadaan tanah.
Pasal 9 ayat (2)
(2) Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
dilaksanakan dengan pemberian Ganti Kerugian yang layak dan adil.
Pasal 31
(1) Lembaga Pertanahan menetapkan
Penilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Lembaga Pertanahan mengumumkan
Penilai yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
melaksanakan penilaian Objek Pengadaan Tanah.
Pasal 27
(2) Pelaksanaan
Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah;
b. penilaian Ganti Kerugian;
c. musyawarah penetapan Ganti Kerugian;
d. pemberian Ganti Kerugian; dan
e. pelepasan tanah Instansi.
(4) Beralihnya hak sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan dengan memberikan Ganti Kerugian yang nilainya ditetapkan
saat nilai pengumuman penetapan lokasi.
yang
menurut para Pemohon bertentangan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H
ayat (4) UUD 1945
Menurut para Pemohon pasal tersebut tidak memberi
kepastian hukum, karena tidak memberikan arti keadilan yang sesungguhnya,
apakah keadilan menurut pihak yang
membebaskan tanah atau pihak yang tanahnya dibebaskan dan pasal tersebut telah
memberikan kuasa tidak terbatas kepada pihak appraisal (penilai) dalam menjalankan tugasnya, sehingga dapat
membuka peluang bagi pihak pembebas lahan dengan segala cara, yaitu dengan cara
terang-terangan atau terselubung untuk selalu menetapakan ganti kerugian secara
sewenang-wenang dengan menetapkan harga serendah mungkin. Selain itu, menurut
para Pemohon pasal tersebut berpotensi mengandung multitafsir dan membuka celah
atau potensi untuk terjadinya praktik lapangan yang melanggar hak asasi manusia
dan konstitusional rakyat.
Untuk menjawab persoalan
konstitusionalitas tersebut Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menyatakan
sebagai berikut:
Pendapat
Mahkamah
Pokok Permohonan
[3.10] Menimbang
bahwa para Pemohon mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 10, Pasal 9 ayat (2), Pasal 31,
Pasal 27 ayat (2) dan ayat (4), UU 2/2012 yang menurut para Pemohon bertentangan
dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4),
berdasarkan dalil sebagaimana diuraikan di atas;
[3.11]
Menimbang bahwa untuk membuktikan
dalilnya para Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda
bukti P-1 sampai dengan P-7, serta saksi yaitu Syamsuddin Slamet yang keterangan
selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara;
[3.12] Menimbang bahwa terhadap permohonan para
Pemohon, Mahkamah telah mendengar keterangan secara lisan dan membaca keterangan
tertulis Presiden yang pada pokoknya mengemukakan bahwa mekanisme pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum mulai dari tahap perencanaan, persiapan,
pelaksanaan dan penyerahan hasil telah memenuhi asas
kepastian dan keterbukaan, serta tidak berpotensi multitafsir;
[3.13] Menimbang
bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama
permohonan dan bukti para Pemohon, mendengarkan
keterangan saksi para Pemohon, serta membaca dan mendengarkan keterangan Presiden,
sebagaimana telah disampaikan oleh yang mewakili, Mahkamah berpendapat sebagai
berikut:
[3.13.1] Bahwa
dalam kaitannya dengan dalil para Pemohon tentang multitafsirnya istilah atau kata yang digunakan dalam
Undang-Undang yang menurut para Pemohon menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian,
Mahkamah terlebih dahulu perlu mengutip Putusan Nomor 50/PUU-X/2012, bertanggal
13 Februari 2013, dalam paragraf [3.11.1]
yang antara lain, mempertimbangkan, “... Bahwa di dalam Undang-Undang,
mungkin saja ada suatu ketentuan yang tidak memberikan perincian mengenai
istilah atau kata yang digunakan, meskipun hal tersebut dapat menimbulkan
ketidakjelasan, ketidakpastian atas istilah atau kata yang dimaksud oleh
Undang-Undang, namun hal tersebut dapat diatasi dengan menerbitkan peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah untuk merincinya dengan tetap dalam
semangat perlindungan terhadap berbagai kepentingan”. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon terkait
multitafsirnya objektivitas perusahaan penilai dalam ganti kerugian, seharusnya
dapat dilihat pada aturan perundang-undangan yang lebih rendah sebagai pelaksanaan
lebih rinci dari Undang-Undang mengenai bagaimana proses pemilihan perusahaan
penilai untuk melaksanakan pengadaan tanah bagi kepentingan umum;
[3.13.2] Bahwa
selanjutnya terhadap dalil para Pemohon terkait persoalan keberatan ganti
kerugian dan perusahaan penilai, Mahkamah juga perlu mengutip Putusan Nomor
50/PUU-X/2012, bertanggal 13 Februari 2013, yang dalam paragraf [3.11.3],
paragraf [3.11.4], dan paragraf [3.11.6] antara lain
mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.3] ....”ketentuan Pasal 18 UU 2/2012 yang menyatakan:
‘(1) Pendataan awal lokasi rencana pembangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b meliputi kegiatan pengumpulan data
awal Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah; (2) Pendataan awal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja sejak pemberitahuan rencana pembangunan; (3) Hasil
pendataan awal lokasi rencana pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan sebagai data untuk pelaksanaan Konsultasi Publik rencana pembangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c’. Pendataan awal meliputi kegiatan pengumpulan data
pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah, yang akan digunakan sebagai data
untuk pelaksanaan konsultasi publik rencana pembangunan. Selanjutnya konsultasi
publik tersebut dilaksanakan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana
pembangunan dari pihak yang berhak [vide Pasal 19 ayat (1) UU 2/2012]. Konsultasi
publik tersebut melibatkan selain pihak yang berhak, juga dengan masyarakat
yang terkena dampak, serta dilaksanakan di tempat rencana pembangunan
kepentingan umum atau di tempat yang disepakati [vide Pasal 19 ayat (2) UU
2/2012]. Apabila sudah tercapai kesepakatan dibuatkan berita acara kesepakatan [vide Pasal 19 ayat (4) UU 2/2012], dan
bila tidak, hingga waktu 60 hari, maka dilaksanakan konsultasi publik ulang
[vide Pasal 20 ayat (2) UU 2/2012]. Seterusnya apabila setelah dilakukan
konsultasi publik ulang ternyata masih ada pihak yang keberatan, maka yang
memerlukan tanah melaporkan keberatan dimaksud kepada gubernur setempat [vide
Pasal 21 ayat (1) UU 2/2012]. Bahkan 30 hari setelah penetapan lokasi
pembangunan masih terdapat keberatan, pihak yang berhak terhadap penetapan
lokasi dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) setempat
[vide Pasal 23 ayat (1)]. Akhirnya, putusan pengadilan (tata usaha negara) yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang menjadi patokan diteruskan atau
tidak diteruskannya pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut, Mahkamah tidak menemukan adanya pengabaian
terhadap hak-hak dan kepentingan publik termasuk hak masyarakat atau orang yang
memiliki tanah yang akan digunakan untuk kepentingan umum. Dengan perkataan
lain, negara tidak dengan semena-mena mengambil alih atau mengizinkan
penggunaan tanah yang dimiliki oleh masyarakat maupun pihak yang terdampak
untuk digunakan bagi kepentingan umum, tetapi harus melalui tahapan dan proses
yang diatur oleh Undang-Undang. Keseimbangan antara kepentingan pribadi dan
kepentingan umum telah terpenuhi di dalam ketentuan Undang-Undang tersebut.
Berbeda dengan
proses pembebasan tanah untuk kepentingan umum sebelumnya, ketentuan ini telah
memberikan perlindungan hukum yang memadai dengan membuka kesempatan kepada
pihak-pihak, baik kepada pemilik tanah maupun kepada pihak yang terkena dampak
yang merasa dirugikan untuk mengajukan keberatan bahkan sampai ke Mahkamah Agung”...;
[3.11.4] ... “menurut
Mahkamah konsultasi publik ulang tetap dimaksudkan untuk mencapai mufakat.
Apabila tidak dicapai mufakat, artinya masih ada pihak yang keberatan, maka
instansi yang memerlukan tanah melaporkan kepada gubernur. Bahkan gubernur pun
setelah mendapat laporan dari instansi yang memerlukan tanah, tidak serta merta
mengambil sikap untuk memutuskan, tetapi harus membentuk tim untuk melakukan
kajian atas keberatan rencana lokasi pembangunan [vide Pasal 21 ayat (2) UU 2/2012] yang
terdiri atas sekretaris daerah provinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai
ketua merangkap anggota; Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
sebagai sekretaris merangkap anggota; instansi yang menangani urusan di bidang
perencanaan pembangunan daerah sebagai anggota; Kepala Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai anggota; bupati/walikota atau
pejabat yang ditunjuk sebagai anggota, dan akademisi sebagai anggota [vide
Pasal 21 ayat (3) UU 2/2012], dengan tugas meliputi: a) menginventarisasi
masalah yang menjadi keberatan; b) melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan
pihak yang keberatan; dan c) membuat rekomendasi diterima atau ditolaknya
keberatan [vide Pasal 21 ayat (4) UU 2/2012]. Surat gubernur tentang diterima
atau tidak diterimanya keberatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat (6)
Undang-Undang a quo, bukanlah akhir dari proses pembebasan tanah yang tersedia,
sebab berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang a quo, pihak yang
merasa keberatan terhadap penetapan lokasi, dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara setempat paling lama 30 hari sejak dikeluarkannya
lokasi penetapan, dan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetaplah yang menjadi dasar diteruskan atau tidak
diteruskannya pengadaan tanah untuk kepentingan umum [vide Pasal 23 ayat (5) UU
2/2012]. Dengan demikian ketetapan akhir ditentukan oleh putusan pengadilan,
bukan oleh keputusan pejabat tata usaha negara, yakni bukan oleh keputusan
gubernur”....;
[3.11.6] .... “Pasal 19 ayat
(2) UU 2/2012 jelas menyebutkan bahwa konsultasi publik dilakukan dengan
melibatkan pihak yang berhak dan masyarakat yang terkena dampak. Penjelasan
Pasal 19 ayat (1) UU 2/2012 menyatakan, “Dalam Konsultasi Publik, Instansi yang
memerlukan tanah menjelaskan antara lain mengenai rencana pembangunan dan
cara penghitungan Ganti Kerugian yang akan dilakukan oleh Penilai”.
Selanjutnya Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU 2/2012 menyatakan, “Yang dimaksud
dengan "masyarakat yang terkena dampak" misalnya masyarakat yang
berbatasan langsung dengan lokasi Pengadaan Tanah”. Pelibatan masyarakat yang
terkena dampak dalam konsultasi publik yang agendanya antara lain adalah
tentang cara penghitungan ganti kerugian sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan
Pasal 19 ayat (1) UU 2/2012, menunjukkan bahwa masyarakat yang terkena dampak
pun termasuk yang berhak mendapat ganti kerugian”....;
[3.13.3] Bahwa sementara itu, dalam Putusan Mahkamah
Nomor 88/PUU-XII/2014, bertanggal 11 November 2014, dalam paragraf [3.13]
dan paragraf [3.14] Mahkamah juga telah mempertimbangan antara lain sebagai
berikut:
[3.13]
....”bahwa sebagaimana telah diatur
dalam UU 2/2012 pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui
tahapan:
a. perencanaan;
b. persiapan;
c. pelaksanaan; dan
d. penyerahan hasil. (vide Pasal 13 UU 2/2012)
Bahwa instansi yang memerlukan
tanah bersama pemerintah provinsi, berdasarkan dokumen perencanaan pengadaan
tanah, melaksanakan:
a. pemberitahuan rencana pembangunan;
b. pendataan awal lokasi rencana pembangunan; dan
c. Konsultasi Publik rencana pembangunan (vide Pasal 15
dan Pasal 16 UU 2/2012)
Bahwa ketiga hal
di atas dilaksanakan dengan melibatkan Pihak yang Berhak dan masyarakat yang
terkena dampak serta dilaksanakan di tempat rencana pembangunan kepentingan umum
atau di tempat yang disepakati (vide Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 UU
2/2012). Apabila dalam proses konsultasi publik masih terdapat pihak yang
keberatan mengenai rencana lokasi pembangunan, instansi yang memerlukan tanah
melaporkan keberatan dimaksud kepada gubernur setempat yang kemudian gubernur
setempat membentuk tim untuk melakukan kajian atas keberatan dimaksud yang
bertugas:
a. Menginventarisasi masalah yang menjadi alasan
keberatan;
b. Melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang
keberatan; dan
c. Membuat rekomendasi diterima atau diitolaknya
keberatan (vide Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 UU 2/2012)
Bahwa berdasarkan hasil kajian
dan rekomendasi di atas, gubernur mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya
keberatan atas rencana lokasi pembangunan (vide Pasal 21 ayat (6) UU 2/2012).
Apabila keberatan tersebut ditolak, gubernur menetapkan lokasi pembangunan
dimaksud dan terhadap penetapan tersebut, pihak yang berhak dapat mengajukan
gugatan ke PTUN hingga kasasi ke Mahkamah Agung (vide Pasal 22 dan Pasal 23 UU
2/2012)
[3.14]
...”bahwa proses pengadaan tanah melibatkan
masyarakat, termasuk Pemohon, melalui tahapan konsultasi publik untuk
mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak yang berhak dan
melibatkan pula masyarakat yang terkena dampak [vide Pasal 19 ayat (2) UU
2/2012] dan hasil kesepakatannya dituangkan dalam bentuk berita acara
kesepakatan [vide Pasal 19 ayat (4) UU 2/2012], serta terdapat mekanisme
konsultasi publik ulang bila ada pihak yang keberatan [vide Pasal 20 ayat (2)
UU 2/2012;
Bahwa Undang-Undang a quo juga
membuka peluang bagi pihak yang masih keberatan terhadap penetapan lokasi
pembangunan yang dilakukan oleh gubernur untuk mengajukan gugatan ke PTUN
setempat [vide Pasal 23 ayat (1) UU 2/2012] yang berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar diteruskan atau tidak
diteruskannya Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk Kepentingan Umum [vide
Pasal 19 ayat (2) UU 2/2012]. Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang
menetapkan keputusan akhir ada pada pihak pengadilan, bukan pada instansi
pemerintah dalam hal adanya keberatan. Dalam persidangan pengadilan tersebut,
semua bukti-bukti termasuk dokumen perencanaan pengadaan tanah dapat dibuka
seluas-luasnya dalam rangka pembuktian dengan melihat dokumen yang diperlukan;
Bahwa, selain itu, menurut
Mahkamah, dengan adanya ketentuan bagi pihak yang masih berkeberatan untuk
mengajukan gugatan ke PTUN sebagaimana dipertimbangkan di atas, akan lebih baik
dilakukan karena prinsip pengadilan adalah tidak memihak dan lebih adil
daripada hanya dengan mengajukan keberatan yang menyebabkan salah satu pihak,
dalam hal ini gubernur, menurut Pemohon, demi hukum, harus menerimanya dengan
segala konsekuensinya. Penyerahan penyelesaian akhir menurut putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atas suatu sengketa, dalam hal ini
sengketa mengenai diteruskan atau tidak diteruskannya pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum [vide Pasal 23 ayat (5) UU 2/2012] mencerminkan
ciri negara hukum yang tidak menghendaki adanya main hakim sendiri;
[3.13.4] Bahwa
berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, terkait
persoalan keberatan ganti kerugian dan perusahaan penilai, UU 2/2012 telah memberikan ruang dan
mekanisme yang jelas bagi para pihak yang merasa dirugikan dalam pengadaan
tanah bagi kepentingan umum. Dengan demikian
permohonan para Pemohon, menurut Mahkamah, merupakan implementasi
norma yaitu bagaimana seharusnya
mekanisme ganti kerugian dan proses keberatan diajukan bila ada pihak-pihak
berkepentingan yang dirugikan, dan pertimbangan
Mahkamah tersebut di atas menjadi mutatis mutandis berlaku
terhadap dalil para
Pemohon dalam perkara a quo.
[3.14]
Menimbang bahwa berdasarkan seluruh
uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon
tidak beralasan menurut hukum;
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
================================
Link Putusan >>> http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/42_PUU-XII_2014.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar