Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Selasa, 05 Mei 2015

Konstitusionalitas Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum




Pada tanggal 4 April 2015 Prof. Dr. Zulhasril Nasir, MA., dkk., mendatangi Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan permohoan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012  tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum terhadap UUD 1945
                  Adapun pasal yang diajukan untuk dilakukan pengujian konstitusionalitasnya adalah Pasal 1 angka 10, Pasal 9 ayat (2), Pasal 31, Pasal 27 ayat (2) dan ayat (4), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum terhadap Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945).
                  Para Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang tergabung dalam warga peduli pembangunan jalan tol yang merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 1 angka 10, Pasal 9 ayat (2), Pasal 31, Pasal 27 ayat (2) dan ayat (4), UU 2/2012  yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
10. Ganti Kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah.
Pasal 9 ayat (2)
(2)  Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan dengan pemberian Ganti Kerugian yang layak dan adil.
Pasal 31
(1)    Lembaga Pertanahan menetapkan Penilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)    Lembaga Pertanahan mengumumkan Penilai yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk melaksanakan penilaian Objek Pengadaan Tanah.
Pasal 27
(2) Pelaksanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah;
b.   penilaian Ganti Kerugian;
c.   musyawarah penetapan Ganti Kerugian;
d.   pemberian Ganti Kerugian; dan
e.   pelepasan tanah Instansi.
 (4) Beralihnya hak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memberikan Ganti Kerugian yang nilainya ditetapkan saat nilai pengumuman penetapan lokasi.
yang menurut para Pemohon bertentangan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945
Menurut para Pemohon pasal tersebut tidak memberi kepastian hukum, karena tidak memberikan arti keadilan yang sesungguhnya, apakah keadilan  menurut pihak yang membebaskan tanah atau pihak yang tanahnya dibebaskan dan pasal tersebut telah memberikan kuasa tidak terbatas kepada pihak appraisal (penilai) dalam menjalankan tugasnya, sehingga dapat membuka peluang bagi pihak pembebas lahan dengan segala cara, yaitu dengan cara terang-terangan atau terselubung untuk selalu menetapakan ganti kerugian secara sewenang-wenang dengan menetapkan harga serendah mungkin. Selain itu, menurut para Pemohon pasal tersebut berpotensi mengandung multitafsir dan membuka celah atau potensi untuk terjadinya praktik lapangan yang melanggar hak asasi manusia dan konstitusional rakyat.
                  Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas tersebut Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Pendapat Mahkamah
Pokok Permohonan
[3.10]        Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 10, Pasal 9 ayat (2), Pasal 31, Pasal 27 ayat (2) dan ayat (4), UU 2/2012 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4), berdasarkan dalil sebagaimana diuraikan di atas;
[3.11]        Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya para Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan P-7, serta saksi yaitu Syamsuddin Slamet yang keterangan selengkapnya termuat  pada bagian Duduk Perkara;
[3.12]        Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Mahkamah telah mendengar keterangan secara lisan dan membaca keterangan tertulis Presiden yang pada pokoknya mengemukakan bahwa mekanisme pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum mulai dari tahap perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan penyerahan hasil telah memenuhi asas kepastian dan keterbukaan, serta tidak berpotensi multitafsir;
[3.13]        Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan dan bukti para Pemohon, mendengarkan keterangan saksi para Pemohon, serta membaca dan mendengarkan keterangan Presiden, sebagaimana telah disampaikan oleh yang mewakili, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa dalam kaitannya dengan dalil para Pemohon tentang multitafsirnya istilah atau kata yang digunakan dalam Undang-Undang yang menurut para Pemohon menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian, Mahkamah terlebih dahulu perlu mengutip Putusan Nomor 50/PUU-X/2012, bertanggal 13 Februari 2013, dalam paragraf [3.11.1] yang antara lain, mempertimbangkan, “... Bahwa di dalam Undang-Undang, mungkin saja ada suatu ketentuan yang tidak memberikan perincian mengenai istilah atau kata yang digunakan, meskipun hal tersebut dapat menimbulkan ketidakjelasan, ketidakpastian atas istilah atau kata yang dimaksud oleh Undang-Undang, namun hal tersebut dapat diatasi dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah untuk merincinya dengan tetap dalam semangat perlindungan terhadap berbagai kepentingan”. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon terkait multitafsirnya objektivitas perusahaan penilai dalam ganti kerugian, seharusnya dapat dilihat pada aturan perundang-undangan yang lebih rendah sebagai pelaksanaan lebih rinci dari Undang-Undang mengenai bagaimana proses pemilihan perusahaan penilai untuk melaksanakan pengadaan tanah bagi kepentingan umum;
[3.13.2] Bahwa selanjutnya terhadap dalil para Pemohon terkait persoalan keberatan ganti kerugian dan perusahaan penilai, Mahkamah juga perlu mengutip Putusan Nomor 50/PUU-X/2012, bertanggal 13 Februari 2013, yang dalam paragraf [3.11.3], paragraf [3.11.4], dan paragraf [3.11.6] antara lain mempertimbangkan  sebagai berikut:
[3.11.3] ....”ketentuan Pasal 18 UU 2/2012 yang menyatakan: (1) Pendataan awal lokasi rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b meliputi kegiatan pengumpulan data awal Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah; (2) Pendataan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak pemberitahuan rencana pembangunan; (3) Hasil pendataan awal lokasi rencana pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai data untuk pelaksanaan Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c. Pendataan awal meliputi kegiatan pengumpulan data pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah, yang akan digunakan sebagai data untuk pelaksanaan konsultasi publik rencana pembangunan. Selanjutnya konsultasi publik tersebut dilaksanakan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak yang berhak [vide Pasal 19 ayat (1) UU 2/2012]. Konsultasi publik tersebut melibatkan selain pihak yang berhak, juga dengan masyarakat yang terkena dampak, serta dilaksanakan di tempat rencana pembangunan kepentingan umum atau di tempat yang disepakati [vide Pasal 19 ayat (2) UU 2/2012]. Apabila sudah tercapai kesepakatan dibuatkan berita acara kesepakatan [vide Pasal 19 ayat (4) UU 2/2012], dan bila tidak, hingga waktu 60 hari, maka dilaksanakan konsultasi publik ulang [vide Pasal 20 ayat (2) UU 2/2012]. Seterusnya apabila setelah dilakukan konsultasi publik ulang ternyata masih ada pihak yang keberatan, maka yang memerlukan tanah melaporkan keberatan dimaksud kepada gubernur setempat [vide Pasal 21 ayat (1) UU 2/2012]. Bahkan 30 hari setelah penetapan lokasi pembangunan masih terdapat keberatan, pihak yang berhak terhadap penetapan lokasi dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) setempat [vide Pasal 23 ayat (1)]. Akhirnya, putusan pengadilan (tata usaha negara) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang menjadi patokan diteruskan atau tidak diteruskannya pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Dari ketentuan-ketentuan tersebut, Mahkamah tidak menemukan adanya pengabaian terhadap hak-hak dan kepentingan publik termasuk hak masyarakat atau orang yang memiliki tanah yang akan digunakan untuk kepentingan umum. Dengan perkataan lain, negara tidak dengan semena-mena mengambil alih atau mengizinkan penggunaan tanah yang dimiliki oleh masyarakat maupun pihak yang terdampak untuk digunakan bagi kepentingan umum, tetapi harus melalui tahapan dan proses yang diatur oleh Undang-Undang. Keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum telah terpenuhi di dalam ketentuan Undang-Undang tersebut.
   Berbeda dengan proses pembebasan tanah untuk kepentingan umum sebelumnya, ketentuan ini telah memberikan perlindungan hukum yang memadai dengan membuka kesempatan kepada pihak-pihak, baik kepada pemilik tanah maupun kepada pihak yang terkena dampak yang merasa dirugikan untuk mengajukan keberatan bahkan sampai ke Mahkamah Agung”...;
[3.11.4] ...menurut Mahkamah konsultasi publik ulang tetap dimaksudkan untuk mencapai mufakat. Apabila tidak dicapai mufakat, artinya masih ada pihak yang keberatan, maka instansi yang memerlukan tanah melaporkan kepada gubernur. Bahkan gubernur pun setelah mendapat laporan dari instansi yang memerlukan tanah, tidak serta merta mengambil sikap untuk memutuskan, tetapi harus membentuk tim untuk melakukan kajian atas keberatan rencana lokasi pembangunan  [vide Pasal 21 ayat (2) UU 2/2012] yang terdiri atas sekretaris daerah provinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai ketua merangkap anggota; Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagai sekretaris merangkap anggota; instansi yang menangani urusan di bidang perencanaan pembangunan daerah sebagai anggota; Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai anggota; bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota, dan akademisi sebagai anggota [vide Pasal 21 ayat (3) UU 2/2012], dengan tugas meliputi: a) menginventarisasi masalah yang menjadi keberatan; b) melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang keberatan; dan c) membuat rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan [vide Pasal 21 ayat (4) UU 2/2012]. Surat gubernur tentang diterima atau tidak diterimanya keberatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat (6) Undang-Undang a quo, bukanlah akhir dari proses pembebasan tanah yang tersedia, sebab berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang a quo, pihak yang merasa keberatan terhadap penetapan lokasi, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara setempat paling lama 30 hari sejak dikeluarkannya lokasi penetapan, dan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetaplah yang menjadi dasar diteruskan atau tidak diteruskannya pengadaan tanah untuk kepentingan umum [vide Pasal 23 ayat (5) UU 2/2012]. Dengan demikian ketetapan akhir ditentukan oleh putusan pengadilan, bukan oleh keputusan pejabat tata usaha negara, yakni bukan oleh keputusan gubernur”....;
[3.11.6] ....Pasal 19  ayat (2) UU 2/2012 jelas menyebutkan bahwa konsultasi publik dilakukan dengan melibatkan pihak yang berhak dan masyarakat yang terkena dampak. Penjelasan Pasal 19 ayat (1) UU 2/2012 menyatakan, “Dalam Konsultasi Publik, Instansi yang memerlukan tanah menjelaskan antara lain mengenai rencana pembangunan dan cara penghitungan Ganti Kerugian yang akan dilakukan oleh Penilai”. Selanjutnya Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU 2/2012 menyatakan, “Yang dimaksud dengan "masyarakat yang terkena dampak" misalnya masyarakat yang berbatasan langsung dengan lokasi Pengadaan Tanah”. Pelibatan masyarakat yang terkena dampak dalam konsultasi publik yang agendanya antara lain adalah tentang cara penghitungan ganti kerugian sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 19 ayat (1) UU 2/2012, menunjukkan bahwa masyarakat yang terkena dampak pun termasuk yang berhak mendapat ganti kerugian”....;
[3.13.3]  Bahwa sementara itu, dalam Putusan Mahkamah Nomor 88/PUU-XII/2014,  bertanggal 11 November 2014, dalam paragraf [3.13] dan paragraf [3.14] Mahkamah juga telah mempertimbangan antara lain sebagai berikut:
[3.13] ....”bahwa sebagaimana telah diatur dalam UU 2/2012 pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui tahapan:
a.    perencanaan;
b.    persiapan;
c.    pelaksanaan; dan
d.    penyerahan hasil. (vide Pasal 13 UU 2/2012)
Bahwa instansi yang memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi, berdasarkan dokumen perencanaan pengadaan tanah, melaksanakan:
a.    pemberitahuan rencana pembangunan;
b.    pendataan awal lokasi rencana pembangunan; dan
c.    Konsultasi Publik rencana pembangunan (vide Pasal 15 dan Pasal 16 UU 2/2012)
Bahwa ketiga hal di atas dilaksanakan dengan melibatkan Pihak yang Berhak dan masyarakat yang terkena dampak serta dilaksanakan di tempat rencana pembangunan kepentingan umum atau di tempat yang disepakati (vide Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 UU 2/2012). Apabila dalam proses konsultasi publik masih terdapat pihak yang keberatan mengenai rencana lokasi pembangunan, instansi yang memerlukan tanah melaporkan keberatan dimaksud kepada gubernur setempat yang kemudian gubernur setempat membentuk tim untuk melakukan kajian atas keberatan dimaksud yang bertugas:
a.    Menginventarisasi masalah yang menjadi alasan keberatan;
b.    Melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang keberatan; dan
c.    Membuat rekomendasi diterima atau diitolaknya keberatan (vide Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 UU 2/2012)
Bahwa berdasarkan hasil kajian dan rekomendasi di atas, gubernur mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya keberatan atas rencana lokasi pembangunan (vide Pasal 21 ayat (6) UU 2/2012). Apabila keberatan tersebut ditolak, gubernur menetapkan lokasi pembangunan dimaksud dan terhadap penetapan tersebut, pihak yang berhak dapat mengajukan gugatan ke PTUN hingga kasasi ke Mahkamah Agung (vide Pasal 22 dan Pasal 23 UU 2/2012)


[3.14] ...”bahwa proses pengadaan tanah melibatkan masyarakat, termasuk Pemohon, melalui tahapan konsultasi publik untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak yang berhak dan melibatkan pula masyarakat yang terkena dampak [vide Pasal 19 ayat (2) UU 2/2012] dan hasil kesepakatannya dituangkan dalam bentuk berita acara kesepakatan [vide Pasal 19 ayat (4) UU 2/2012], serta terdapat mekanisme konsultasi publik ulang bila ada pihak yang keberatan [vide Pasal 20 ayat (2) UU 2/2012;
Bahwa Undang-Undang a quo juga membuka peluang bagi pihak yang masih keberatan terhadap penetapan lokasi pembangunan yang dilakukan oleh gubernur untuk mengajukan gugatan ke PTUN setempat [vide Pasal 23 ayat (1) UU 2/2012] yang berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar diteruskan atau tidak diteruskannya Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk Kepentingan Umum [vide Pasal 19 ayat (2) UU 2/2012]. Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang menetapkan keputusan akhir ada pada pihak pengadilan, bukan pada instansi pemerintah dalam hal adanya keberatan. Dalam persidangan pengadilan tersebut, semua bukti-bukti termasuk dokumen perencanaan pengadaan tanah dapat dibuka seluas-luasnya dalam rangka pembuktian dengan melihat dokumen yang diperlukan;
Bahwa, selain itu, menurut Mahkamah, dengan adanya ketentuan bagi pihak yang masih berkeberatan untuk mengajukan gugatan ke PTUN sebagaimana dipertimbangkan di atas, akan lebih baik dilakukan karena prinsip pengadilan adalah tidak memihak dan lebih adil daripada hanya dengan mengajukan keberatan yang menyebabkan salah satu pihak, dalam hal ini gubernur, menurut Pemohon, demi hukum, harus menerimanya dengan segala konsekuensinya. Penyerahan penyelesaian akhir menurut putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atas suatu sengketa, dalam hal ini sengketa mengenai diteruskan atau tidak diteruskannya pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum [vide Pasal 23 ayat (5) UU 2/2012] mencerminkan ciri negara hukum yang tidak menghendaki adanya main hakim sendiri;

[3.13.4]  Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, terkait persoalan keberatan ganti kerugian dan perusahaan penilai, UU 2/2012 telah memberikan ruang dan mekanisme yang jelas bagi para pihak yang merasa dirugikan dalam pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Dengan demikian permohonan para Pemohon, menurut Mahkamah, merupakan implementasi norma yaitu bagaimana seharusnya mekanisme ganti kerugian dan proses keberatan diajukan bila ada pihak-pihak berkepentingan yang dirugikan, dan pertimbangan Mahkamah tersebut di atas menjadi mutatis mutandis berlaku terhadap dalil para Pemohon dalam perkara a quo.
[3.14]        Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon tidak  beralasan menurut hukum;
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.

================================


Tidak ada komentar: