Tiga orang Advokat asal Jakarta
masing-masing bernama Dominggus Maurits Luitnan, S.H., L.A . Lada, S.H., dan H. Azi Ali Tjasa, S.H., M.H., pada
tanggal 26 Agustus 2004 mengajukan Pengujian Pasal 36 Undang-undang Nomor 5
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.
Para Advokat tersebut beranggapan
bahwa pasal a quo telah menyebabkan terlanggarnya hak konstitusional para
Pemohon selaku Advokat sehingga menurut para Pemohon pasal a quo bertentangan
dengan UUD 1945 dan harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Untuk menjawab
persoalan konstitusionalitas tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan
hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Menimbang
bahwa Para Pemohon mendalilkan, Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004
(dengan Penjelasannya) tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung (UU MA) bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan (3)
UUD 1945. Pasal 36 a quo berbunyi, “Mahkamah
Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris”.
Dalam penjelasan Pasal 36 tersebut selanjutnya dinyatakan, “Pada umumnya pembinaan
dan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris adalah tanggung jawab
Pemerintah. Khusus dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya yang menyangkut
peradilan, para Penasihat Hukum dan Notaris berada di bawah pengawasan Mahkamah
Agung. Dalam melakukan pengawasan itu Mahkamah Agung dan Pemerintah menghormati
dan menjaga kemandirian Penasihat Hukum dan Notaris dalam melaksanakan tugas
jabatan masing-masing. Dalam hal diperlukan penindakan terhadap diri seorang
Penasihat Hukum atau seorang Notaris yang berupa pemecatan dan pemberhentian,
termasuk pemberhentian sementara, organisasi profesi masing-masing terlebih
dahulu didengar pendapatnya”.
Para Pemohon
mendalilkan, pengawasan terhadap Penasihat Hukum yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung dan Pemerintah, sebagaimana tertuang dalam Pasal 36 dan penjelasannya di
atas, telah merugikan hak konstitusional mereka karena menurut Para Pemohon hal
itu bertentangan dengan Pasal 12 Undang-undang Advokat (Undang-undang Nomor 18
Tahun 2003), yang menyatakan bahwa pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh
Organisasi Advokat. Oleh karena Undang-undang Advokat dimaksud, dalam pandangan
Para Pemohon, didasari oleh semangat dan dijiwai oleh makna Pasal 24 UUD 1945,
maka Pasal 36 dimaksud juga berarti bertentangan dengan UUD 1945.
Menimbang
bahwa pengawasan terhadap suatu profesi, lebih-lebih yang fungsinya melayani
kepentingan publik, adalah suatu keniscayaan, bahkan dapat dikatakan merupakan
hal yang bersifat melekat (inherent) pada profesi itu sendiri. Sehingga,
pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi suatu profesi yang melayani kepentingan
publik dimaksud merupakan kebutuhan sekaligus keharusan agar publik yang
dilayani oleh profesi itu tidak dirugikan. Oleh karena itu, independensi atau
kemandirian suatu profesi tidak boleh diartikan bebas dari pengawasan. Namun,
pengawasan juga tidak boleh diartikan sedemikian rupa sehingga sulit untuk
dibedakan dengan campur tangan yang terlalu jauh yang mengakibatkan seseorang
yang menjalankan suatu profesi, dalam hal ini profesi advokat, menjadi
terhambat dalam melaksanakan fungsinya secara independen.
Menimbang
bahwa, meskipun telah dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 14 Tahun
1985 (tentang Mahkamah Agung) dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, Pasal 36
ternyata tidak termasuk ketentuan yang mengalami perubahan, sehingga masih
tetap sebagaimana rumusan aslinya. Kenyataan ini diperkuat oleh fakta lain
yaitu tidak dimasukkannya substansi Pasal 36 tersebut sebagai agenda yang akan
dibicarakan dalam rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah selama
berlangsungnya proses perubahan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, sebagaimana
diterangkan oleh kuasa hukum DPR dalam persidangan Mahkamah tanggal 2 Februari
2005, hal mana diperkuat oleh risalah yang memuat DIM (Daftar Inventarisasi
Masalah) Persandingan RUU Perubahan UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung yang dikeluarkan oleh Sekretariat Badan Legislasi DPR RI, dalam risalah
mana memang tidak tercantum materi Pasal 36 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
sebagai agenda yang akan dilakukan perubahan. Sebagai akibatnya, Pasal 36 a quo
telah menimbulkan tidak terdapatnya persesuaian dengan Undang-undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat dan sejumlah undang-undang lain;
Menimbang
bahwa keberadaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
dimaksud adalah berkait erat dengan perubahan pada sejumlah undang-undang lain
yang disebabkan oleh adanya perubahan cara pandang dalam menilai keberadaan
rejim hukum yang berkait dengan pengawasan, maka guna memahami esensi
permohonan Para Pemohon dan alur pikir dalam menilai permohonan a quo, Mahkamah
memandang perlu untuk terlebih dahulu memeriksa ketentuan terkait yang terdapat
dalam sejumlah undang-undang tersebut, yaitu:
1. Undang-undang Nomor 18 Tahun
2003;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun
1985;
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun
2004;
4. Undang-undang Nomor 2 Tahun
1986;
5. Undang-undang Nomor 8 Tahun
2004;
6. Undang-undang Nomor 30 Tahun
2004:
a. Bahwa Pasal 36 Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan, “Mahkamah Agung dan
Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris”. Selanjutnya,
dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan, “Pada umumnya pembinaan dan
pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris adalah tanggung jawab Pemerintah.
Khusus dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya yang menyangkut peradilan, para
Penasihat Hukum dan Notaris berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung. Dalam
melakukan pengawasan itu Mahkamah Agung dan Pemerintah menghormati dan menjaga
kemandirian Penasehat Hukum dan Notaris dalam melaksanakan tugas jabatan
masing-masing. Dalam hal diperlukan penindakan terhadap diri seorang Penasehat
Hukum atau seorang Notaris yang berupa pemecatan dan pemberhentian, termasuk
pemberhentian sementara, organisasi profesi masing-masing terlebih dahulu
didengar pendapatnya”.
b. Bahwa, sebagaimana telah
diuraikan di atas, ketentuan Pasal 36 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
tersebut pada huruf a, tidak diubah oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung;
c. Bahwa, Pasal 54 Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyatakan:
(1) Ketua Pengadilan Negeri
melakukan pengawasan atas pekerjaan penasihat hukum dan notaris di daerah
hukumnya, dan melaporkan hasil pengawasannya kepada Ketua Pengadilan Tinggi,
Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman;
(2) Berdasarkan hasil laporan
tersebut dalam ayat (1), Menteri Kehakiman dapat melakukan penindakan terhadap
penasihat hukum dan notaris yang melanggar peraturan perundang-undangan yang
mengatur jabatan yang bersangkutan, setelah mendengar usul/pendapat Ketua
Mahkamah Agung dan organisasi profesi yang bersangkutan;
(3) Sebelum Menteri Kehakiman
melakukan penindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), kepada yang
bersangkutan diberikan kesempatan untuk mengadakan pembelaan diri;
(4) Tata cara pengawasan dan
penindakan serta pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), diatur lebih lanjut oleh Ketua Mahkamah Agung dan Menteri
Kehakiman berdasarkan undang-undang;
d. Bahwa Pasal 54 Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1986 di atas kemudian diubah oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 (butir 35)
sehingga menjadi berbunyi:
(1) Ketua Pengadilan Negeri
melakukan pengawasan atas pekerjaan notaris di daerah hukumnya, dan melaporkan
hasil pengawasannya kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung, dan
Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi jabatan notaris;
(2) Berdasarkan hasil laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya
meliputi jabatan notaris dapat melakukan penindakan terhadap notaris yang
melanggar peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan yang bersangkutan,
setelah mendengar pendapat organisasi profesi yang bersangkutan;
(3) Sebelum Menteri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) melakukan penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
kepada yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengadakan pembelaan diri;
(4) Tata cara pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung;
(5) Ketentuan mengenai tata cara
penindakan dan pembelaan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur
lebih lanjut oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Kata “penasihat hukum” dalam
Pasal 54 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986, yang diubah oleh Undang-undang Nomor
8 Tahun 2004 tersebut, dihapus. Dengan demikian, penasihat hukum (yang setelah diundangkannya
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 disebut Advokat) sejak saat itu telah tidak
lagi berada di bawah pengawasan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi
(sebagai bagian dari pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum di bawah
Mahkamah Agung);
e. Bab XIII Ketentuan Penutup,
Pasal 91, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan,
Pada saat Undang-undang ini mulai
berlaku:
1. Reglement op Het Notaris Ambt
in Indonesie (Stb. 1860:3) sebagaimana telah diubah, terakhir dalam Lembaran
Negara 1945 Nomor 101;
2. Ordonantie 16 September 1931
tentang Honorarium Notaris;
3. Undang-undang Nomor 33 Tahun
1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara 1954
Nomor 101);
4. Pasal 54 Undang-undang Nomor 8
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan
5. Peraturan Pemerintah Nomor 11
Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Menimbang
bahwa berdasarkan rangkaian ketentuan dalam sejumlah undang-undang di atas,
dengan menggunakan penafsiran gramatikal dan sistematis, sesungguhnya Pasal 54
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 (yang telah diubah oleh Undang-undang Nomor 8
Tahun 2004) telah dicabut secara menyeluruh oleh Undang-undang Jabatan Notaris
yang dengan demikian secara tidak langsung juga berarti telah mengubah
ketentuan Pasal 36 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 juncto Undang-undang Nomor
5 Tahun 2004 sehingga membawa implikasi yuridis bahwa pengawasan terhadap
advokat (yang sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 disebut
“penasihat hukum”) yang sebelumnya dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
pengadilan-pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang berada di bawahnya,
yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, sudah tidak berlaku lagi dan
yang berlaku adalah ketentuan Pasal 12 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat yang ayat (1)-nya menyatakan, “Pengawasan terhadap Advokat
dilakukan oleh organisasi Advokat”, sementara pada ayat (2)-nya dikatakan,
“Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar Advokat dalam
menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan
peraturan perundang-undangan”;
Menimbang
bahwa berdasarkan analisis dan alur pikir sebagaimana diuraikan di atas,
ternyata di satu pihak, Mahkamah tidak menemukan adanya hak konstitusional
sebagaimana didalilkan oleh Para Pemohon yang dilanggar dengan tidak diubahnya
ketentuan Pasal 36. Namun di pihak lain, telah nyata bagi Mahkamah bahwa
pembentuk undang-undang tidak cermat dalam melaksanakan kewenangannya yang
berakibat pada timbulnya inkonsistensi antara satu undang-undang dan
undang-undang lainnya. Inkonsistensi demikian telah menimbulkan keragu-raguan
dalam implementasi undang-undang bersangkutan yang bermuara pada timbulnya
ketidakpastian hukum, keadaan mana potensial menimbulkan pelanggaran terhadap
hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Ketidakpastian hukum demikian juga inkonsisten dengan semangat untuk menegakkan
prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD
1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum di mana
kepastian hukum merupakan prasyarat yang tak dapat ditiadakan;
Menimbang
bahwa kendatipun Mahkamah menerima prinsip universal lex specialis derogat lex
generalis sebagai salah satu asas dalam melakukan penafsiran hukum dan
penafsiran konstitusi (constitutional interpretation), Mahkamah tidak
sependapat dengan pandangan Pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam keterangan
tertulis Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia bertanggal 17 Januari 2005 yang
menyatakan bahwa permohonan a quo bukan merupakan kewenangan Mahkamah
Konstitusi, tetapi merupakan kewenangan pembentuk undang-undang (legislative
review). Di samping itu pertentangan di antara kedua undang-undang tersebut
tidaklah berkaitan dengan asas lex specialis derogat lex generalis sebagaimana dikemukakan
oleh Pemerintah, karena kedua undang-undang dimaksud ternyata mengatur dua hal
yang berbeda, sehingga yang satu bukan merupakan lex specialis dari yang lain;
Menimbang
bahwa Mahkamah juga tidak sependapat dengan Para Pemohon yang dalam permohonannya
menganggap dirinya memiliki hak konstitusional berdasarkan Pasal 24 ayat (1)
dan ayat (3) UUD 1945, yang digunakan Para Pemohon untuk mendalilkan bahwa
Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 bertentangan dengan prinsip
kemerdekaan kekuasaan kehakiman karena Pasal 36 dimaksud memberikan kewenangan
kepada Mahkamah Agung dan Pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap
advokat. Pengawasan terhadap Advokat yang menurut Pasal 12 ayat (1)
Undang-undang Advokat (Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003) kewenangannya
diberikan kepada Organisasi Advokat, adalah dengan maksud agar dalam
menjalankan profesinya, Advokat selalu menjunjung tinggi kode etik profesi dan
peraturan perundang-undangan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 ayat (2)
Undang-undang Advokat;
Menimbang
bahwa terlepas dari kekurangan Para Pemohon dalam membangun argumentasi guna
mendukung dalil-dalilnya, Mahkamah berkesimpulan bahwa ketidakcermatan dalam
proses perubahan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 menjadi Undang-undang Nomor
5 Tahun 2004, yang tidak mengubah Pasal 36 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
dimaksud, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya, sehingga
setelah berlakunya Pasal 12 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka
keberadaan dan keberlakuan Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945 dan oleh karenanya permohonan Para Pemohon harus dikabulkan;
Menimbang
bahwa meskipun Mahkamah berpendirian Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD
1945, pendirian Mahkamah tersebut tidak dimaksudkan untuk diartikan bahwa
Advokat sama sekali terlepas dari pengawasan oleh pihak-pihak lain di luar
organisasi advokat. Pemerintah, begitu pun lembaga peradilan, dengan sendirinya
tetap memiliki kewenangan yang bersifat melekat (inherent power) untuk
melakukan pengawasan di luar pengawasan profesional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Advokat, seperti halnya pengawasan terhadap organisasi Advokat
dan pengawasan terhadap Advokat dalam beracara di persidangan pengadilan.
M E N G A D I L I:
Mengabulkan permohonan Para
Pemohon;
Menyatakan Pasal 36 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 36 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan
ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
===============
Tidak ada komentar:
Posting Komentar