Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Senin, 11 Mei 2015

Konstitusionalitas Pengawasan Advokat dan Notaris dalam UU Mahkamah Agung




Tiga orang Advokat asal Jakarta masing-masing bernama Dominggus Maurits Luitnan, S.H., L.A . Lada, S.H.,  dan H. Azi Ali Tjasa, S.H., M.H., pada tanggal 26 Agustus 2004 mengajukan Pengujian Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.
Para Advokat tersebut beranggapan bahwa pasal a quo telah menyebabkan terlanggarnya hak konstitusional para Pemohon selaku Advokat sehingga menurut para Pemohon pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
                Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Menimbang bahwa Para Pemohon mendalilkan, Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 (dengan Penjelasannya) tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan (3) UUD 1945. Pasal 36 a quo berbunyi, “Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris”. Dalam penjelasan Pasal 36 tersebut selanjutnya dinyatakan, “Pada umumnya pembinaan dan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris adalah tanggung jawab Pemerintah. Khusus dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya yang menyangkut peradilan, para Penasihat Hukum dan Notaris berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung. Dalam melakukan pengawasan itu Mahkamah Agung dan Pemerintah menghormati dan menjaga kemandirian Penasihat Hukum dan Notaris dalam melaksanakan tugas jabatan masing-masing. Dalam hal diperlukan penindakan terhadap diri seorang Penasihat Hukum atau seorang Notaris yang berupa pemecatan dan pemberhentian, termasuk pemberhentian sementara, organisasi profesi masing-masing terlebih dahulu didengar pendapatnya”.
Para Pemohon mendalilkan, pengawasan terhadap Penasihat Hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Pemerintah, sebagaimana tertuang dalam Pasal 36 dan penjelasannya di atas, telah merugikan hak konstitusional mereka karena menurut Para Pemohon hal itu bertentangan dengan Pasal 12 Undang-undang Advokat (Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003), yang menyatakan bahwa pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat. Oleh karena Undang-undang Advokat dimaksud, dalam pandangan Para Pemohon, didasari oleh semangat dan dijiwai oleh makna Pasal 24 UUD 1945, maka Pasal 36 dimaksud juga berarti bertentangan dengan UUD 1945.
Menimbang bahwa pengawasan terhadap suatu profesi, lebih-lebih yang fungsinya melayani kepentingan publik, adalah suatu keniscayaan, bahkan dapat dikatakan merupakan hal yang bersifat melekat (inherent) pada profesi itu sendiri. Sehingga, pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi suatu profesi yang melayani kepentingan publik dimaksud merupakan kebutuhan sekaligus keharusan agar publik yang dilayani oleh profesi itu tidak dirugikan. Oleh karena itu, independensi atau kemandirian suatu profesi tidak boleh diartikan bebas dari pengawasan. Namun, pengawasan juga tidak boleh diartikan sedemikian rupa sehingga sulit untuk dibedakan dengan campur tangan yang terlalu jauh yang mengakibatkan seseorang yang menjalankan suatu profesi, dalam hal ini profesi advokat, menjadi terhambat dalam melaksanakan fungsinya secara independen.
Menimbang bahwa, meskipun telah dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 (tentang Mahkamah Agung) dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, Pasal 36 ternyata tidak termasuk ketentuan yang mengalami perubahan, sehingga masih tetap sebagaimana rumusan aslinya. Kenyataan ini diperkuat oleh fakta lain yaitu tidak dimasukkannya substansi Pasal 36 tersebut sebagai agenda yang akan dibicarakan dalam rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah selama berlangsungnya proses perubahan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, sebagaimana diterangkan oleh kuasa hukum DPR dalam persidangan Mahkamah tanggal 2 Februari 2005, hal mana diperkuat oleh risalah yang memuat DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) Persandingan RUU Perubahan UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang dikeluarkan oleh Sekretariat Badan Legislasi DPR RI, dalam risalah mana memang tidak tercantum materi Pasal 36 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagai agenda yang akan dilakukan perubahan. Sebagai akibatnya, Pasal 36 a quo telah menimbulkan tidak terdapatnya persesuaian dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan sejumlah undang-undang lain;
Menimbang bahwa keberadaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dimaksud adalah berkait erat dengan perubahan pada sejumlah undang-undang lain yang disebabkan oleh adanya perubahan cara pandang dalam menilai keberadaan rejim hukum yang berkait dengan pengawasan, maka guna memahami esensi permohonan Para Pemohon dan alur pikir dalam menilai permohonan a quo, Mahkamah memandang perlu untuk terlebih dahulu memeriksa ketentuan terkait yang terdapat dalam sejumlah undang-undang tersebut, yaitu:
1. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985;
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004;
4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986;
5. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004;
6. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004:
a. Bahwa Pasal 36 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan, “Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris”. Selanjutnya, dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan, “Pada umumnya pembinaan dan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris adalah tanggung jawab Pemerintah. Khusus dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya yang menyangkut peradilan, para Penasihat Hukum dan Notaris berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung. Dalam melakukan pengawasan itu Mahkamah Agung dan Pemerintah menghormati dan menjaga kemandirian Penasehat Hukum dan Notaris dalam melaksanakan tugas jabatan masing-masing. Dalam hal diperlukan penindakan terhadap diri seorang Penasehat Hukum atau seorang Notaris yang berupa pemecatan dan pemberhentian, termasuk pemberhentian sementara, organisasi profesi masing-masing terlebih dahulu didengar pendapatnya”.
b. Bahwa, sebagaimana telah diuraikan di atas, ketentuan Pasal 36 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tersebut pada huruf a, tidak diubah oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
c. Bahwa, Pasal 54 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyatakan:
(1) Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pekerjaan penasihat hukum dan notaris di daerah hukumnya, dan melaporkan hasil pengawasannya kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman;
(2) Berdasarkan hasil laporan tersebut dalam ayat (1), Menteri Kehakiman dapat melakukan penindakan terhadap penasihat hukum dan notaris yang melanggar peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan yang bersangkutan, setelah mendengar usul/pendapat Ketua Mahkamah Agung dan organisasi profesi yang bersangkutan;
(3) Sebelum Menteri Kehakiman melakukan penindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), kepada yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk mengadakan pembelaan diri;
(4) Tata cara pengawasan dan penindakan serta pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur lebih lanjut oleh Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman berdasarkan undang-undang;
d. Bahwa Pasal 54 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 di atas kemudian diubah oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 (butir 35) sehingga menjadi berbunyi:
(1) Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pekerjaan notaris di daerah hukumnya, dan melaporkan hasil pengawasannya kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung, dan Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi jabatan notaris;
(2) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi jabatan notaris dapat melakukan penindakan terhadap notaris yang melanggar peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan yang bersangkutan, setelah mendengar pendapat organisasi profesi yang bersangkutan;
(3) Sebelum Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengadakan pembelaan diri;
(4) Tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung;
(5) Ketentuan mengenai tata cara penindakan dan pembelaan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Kata “penasihat hukum” dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986, yang diubah oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tersebut, dihapus. Dengan demikian, penasihat hukum (yang setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 disebut Advokat) sejak saat itu telah tidak lagi berada di bawah pengawasan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi (sebagai bagian dari pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum di bawah Mahkamah Agung);
e. Bab XIII Ketentuan Penutup, Pasal 91, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan,
Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku:
1. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb. 1860:3) sebagaimana telah diubah, terakhir dalam Lembaran Negara 1945 Nomor 101;
2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;
3. Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara 1954 Nomor 101);
4. Pasal 54 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan
5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Menimbang bahwa berdasarkan rangkaian ketentuan dalam sejumlah undang-undang di atas, dengan menggunakan penafsiran gramatikal dan sistematis, sesungguhnya Pasal 54 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 (yang telah diubah oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004) telah dicabut secara menyeluruh oleh Undang-undang Jabatan Notaris yang dengan demikian secara tidak langsung juga berarti telah mengubah ketentuan Pasal 36 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 juncto Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 sehingga membawa implikasi yuridis bahwa pengawasan terhadap advokat (yang sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 disebut “penasihat hukum”) yang sebelumnya dilakukan oleh Mahkamah Agung dan pengadilan-pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang berada di bawahnya, yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, sudah tidak berlaku lagi dan yang berlaku adalah ketentuan Pasal 12 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang ayat (1)-nya menyatakan, “Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh organisasi Advokat”, sementara pada ayat (2)-nya dikatakan, “Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar Advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundang-undangan”;
Menimbang bahwa berdasarkan analisis dan alur pikir sebagaimana diuraikan di atas, ternyata di satu pihak, Mahkamah tidak menemukan adanya hak konstitusional sebagaimana didalilkan oleh Para Pemohon yang dilanggar dengan tidak diubahnya ketentuan Pasal 36. Namun di pihak lain, telah nyata bagi Mahkamah bahwa pembentuk undang-undang tidak cermat dalam melaksanakan kewenangannya yang berakibat pada timbulnya inkonsistensi antara satu undang-undang dan undang-undang lainnya. Inkonsistensi demikian telah menimbulkan keragu-raguan dalam implementasi undang-undang bersangkutan yang bermuara pada timbulnya ketidakpastian hukum, keadaan mana potensial menimbulkan pelanggaran terhadap hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Ketidakpastian hukum demikian juga inkonsisten dengan semangat untuk menegakkan prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum di mana kepastian hukum merupakan prasyarat yang tak dapat ditiadakan;
Menimbang bahwa kendatipun Mahkamah menerima prinsip universal lex specialis derogat lex generalis sebagai salah satu asas dalam melakukan penafsiran hukum dan penafsiran konstitusi (constitutional interpretation), Mahkamah tidak sependapat dengan pandangan Pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam keterangan tertulis Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia bertanggal 17 Januari 2005 yang menyatakan bahwa permohonan a quo bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi, tetapi merupakan kewenangan pembentuk undang-undang (legislative review). Di samping itu pertentangan di antara kedua undang-undang tersebut tidaklah berkaitan dengan asas lex specialis derogat lex generalis sebagaimana dikemukakan oleh Pemerintah, karena kedua undang-undang dimaksud ternyata mengatur dua hal yang berbeda, sehingga yang satu bukan merupakan lex specialis dari yang lain;
Menimbang bahwa Mahkamah juga tidak sependapat dengan Para Pemohon yang dalam permohonannya menganggap dirinya memiliki hak konstitusional berdasarkan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, yang digunakan Para Pemohon untuk mendalilkan bahwa Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 bertentangan dengan prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman karena Pasal 36 dimaksud memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung dan Pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap advokat. Pengawasan terhadap Advokat yang menurut Pasal 12 ayat (1) Undang-undang Advokat (Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003) kewenangannya diberikan kepada Organisasi Advokat, adalah dengan maksud agar dalam menjalankan profesinya, Advokat selalu menjunjung tinggi kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-undang Advokat;
Menimbang bahwa terlepas dari kekurangan Para Pemohon dalam membangun argumentasi guna mendukung dalil-dalilnya, Mahkamah berkesimpulan bahwa ketidakcermatan dalam proses perubahan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 menjadi Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, yang tidak mengubah Pasal 36 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 dimaksud, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya, sehingga setelah berlakunya Pasal 12 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka keberadaan dan keberlakuan Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan oleh karenanya permohonan Para Pemohon harus dikabulkan;
Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berpendirian Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945, pendirian Mahkamah tersebut tidak dimaksudkan untuk diartikan bahwa Advokat sama sekali terlepas dari pengawasan oleh pihak-pihak lain di luar organisasi advokat. Pemerintah, begitu pun lembaga peradilan, dengan sendirinya tetap memiliki kewenangan yang bersifat melekat (inherent power) untuk melakukan pengawasan di luar pengawasan profesional sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Advokat, seperti halnya pengawasan terhadap organisasi Advokat dan pengawasan terhadap Advokat dalam beracara di persidangan pengadilan.
M E N G A D I L I:
Mengabulkan permohonan Para Pemohon;
Menyatakan Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

===============

Tidak ada komentar: