Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Senin, 11 Mei 2015

Konstitusionalitas Pihak Ketiga dalam KUHAP




Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi (MAKI), yang diwakili ole Boyamin dan Supriyadi pada tanggal 26 September 2012 mengajukan pengujian  Pasal 80 UU 8/1981 sepanjang frasa “pihak ketiga yang berkepentingan”, sebagai berikut: “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan dengan menyebutkan alasannya” terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945
Adapun alasan para Pemohon mengajukan pengujian pasa tersebut adalah karena Pemohon selaku perkumpulan mendalilkan memiliki hak konstitusional yang dilindungi oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Menurut Pemohon, hak konstitusionalnya tersebut telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 80 UU 8/1981 dikarenakan adanya penafsiran yang sempit mengenai frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” yaitu saksi korban tindak pidana atau pelapor dan bukan pihak ketiga dalam arti luas yang meliputi masyarakat luas yang diwakili oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dan diatur dalam Undang-Undang. Dengan adanya penafsiran yang sempit tersebut, mengakibatkan Pemohon tidak serta merta dapat mengajukan praperadilan atas perkara-perkara korupsi sehingga proses pencegahan dan pemberantasan korupsi berjalan tidak seimbang dan meniadakan prinsip keadilan yang diatur dalam UUD 1945;
            Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas tersebut Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Bahwa terhadap penafsiran frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 UU 8/1981, Mahkamah telah menjatuhkan putusan dalam perkara Nomor 76/PUU-X/2012 pada tanggal 8 Januari 2013, yang dalam pertimbangannya, antara lain:
paragraf [3.15] menyatakan, “...walaupun KUHAP tidak memberikan interpretasi yang jelas mengenai siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, namun menurut Mahkamah, yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan bukan hanya saksi korban tindak pidana atau pelapor tetapi harus juga diinterpretasikan secara luas. Dengan demikian, interpretasi mengenai pihak ketiga dalam pasal a quo tidak hanya terbatas pada saksi korban atau pelapor saja tetapi juga harus mencakup masyarakat luas yang dalam hal ini bisa diwakili oleh perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama yaitu untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy) seperti Lembaga Swadaya Masyarakat atau Organisasi Masyarakat lainnya karena pada hakikatnya KUHAP adalah instrumen hukum untuk menegakkan hukum pidana. Hukum pidana adalah hukum yang ditujukan untuk melindungi kepentingan umum”;
paragraf [3.16] menyatakan, “...peran serta masyarakat baik perorangan warga negara ataupun perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy) sangat diperlukan dalam pengawasan penegakan hukum. Mahkamah sebagai pengawal konstitusi dalam beberapa putusannya juga telah menguraikan mengenai kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang yang bukan hanya kepada perseorangan warga negara Indonesia tetapi juga perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy) yaitu berbagai asosiasi dan Non-Governmental Organization (NGO) atau LSM yang concern terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan publik ...”;
Bahwa norma yang dimohonkan oleh Pemohon dalam perkara a quo adalah sama dengan norma yang dimohonkan dalam permohonan Nomor 76/PUU-X/2012, namun maksud permohonan dalam perkara Nomor 76/PUUX/ 2012 adalah untuk mempersempit penafsiran frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 UU 8/1981 sehingga permohonannya ditolak, sedangkan maksud permohonan Pemohon a quo adalah sebaliknya, yaitu untuk memperluas penafsiran frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 UU 8/1981. Oleh karena maksud permohonan dalam permohonan a quo sudah sejalan dengan pertimbangan Mahkamah dalam perkara Nomor 76/PUU-X/2012 tersebut di atas maka pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitus Nomor 76/PUU-X/2012 tersebut mutatis mutandis menjadi pertimbangan pula dalam permohonan a quo;
Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Mahkamah menilai dalil-dalil Pemohon beralasan menurut hukum;
AMAR PUTUSAN,
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
1.1. Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“ dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) adalah bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”;
1.2. Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“ dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

=======================

Tidak ada komentar: