Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Jumat, 19 Juni 2015

Konstitusionalitas Batas Usia Minimal Kawin dalam Undang-Undang Perkawinan




Pada tanggal tanggal 5 Maret 2014 para Pemohon yang terdiri atas Zumrotin (Ketua Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan), Indry Oktaviani (Direktur Organisasi Semerlak Cerlang Nusantara),  Fr. Yohana Tantria W (Koordinator Eksekutif Masyarakat untuk Keadilan Gender dan Antar Generasi), Hadiyatut Thoyyibah (Staf Sistem Manajemen Informasi pada Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia), Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA) yang dalam hal ini diwakili oleh Agus Hartono, mengajukan permohonan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai frasa “16 (enam belas) tahunyang selengkapnya menyatakan “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.” dengan menggunakan batu uji atau dasar pengujian Pasal 28A;  Pasal 28B ayat (1) dan (2); Pasal 28C ayat (1); Pasal 28D ayat (1); Pasal 28G ayat (1); Pasal 28H ayat (1), dan (2); serta Pasal 28I ayat (1) dan (2) UUD 1945;
              Dalam posita permohonannya, para Pemohon menyatakan bahwa Pemohon I adalah sebagai badan hukum privat yaitu Yayasan Kesehatan Perempuan  yang berkedudukan hukum di Indonesia yang memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD 1945;
                   Bahwa, menurut Pemohon I, Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menjadi landasan dan dasar hukum dibenarkannya perkawinan anak yang hal ini secara jelas dan tegas menunjukkan kontradiksi atau tidak konsisten dengan segala peraturan yang ada dalam rangka melindungi hak-hak anak, khususnya hak-hak anak perempuan, yang diatur dalam Pasal 28A, Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28I ayat (1) dan (2) UUD 1945, sehingga menimbulkan ketidakpastian, ketidakserasian, dan ketidakseimbangan hukum yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan;

                   Bahwa Pemohon I sebagai LSM menganggap hak konstitusionalnya sebagaimana dinyatakan di atas dirugikan dengan adanya Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa 16 (enam belas tahun UU Perkawinan a quo. Hak Pemohon I untuk melakukan advokasi terkait isu kesehatan reproduksi perempuan tidak dapat berjalan baik dan tidak dapat dipenuhi jika ketentuan yang dimohonkan tersebut masih berlaku. Kesadaran konstitusional Pemohon I untuk melindungi hak anak sebagai urusan utama dalam berbangsa dan bernegara [vide Pasal 28B ayat (2) UUD 1945] tidak dapat dilaksanakan. Menurut Pemohon I, ketentuan yang dimohonkan pengujian tersebut dianggap bertentangan dengan konstitusi khususnya tentang perlindungan anak yang diatur lebih lanjut oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan pengaturan perlindungan anak berusia sampai dengan 18 tahun;
                   Bahwa para Pemohon II, khususnya Pemohon I dan Pemohon II mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia dan sekaligus mewakili organisasi nirlaba tempat mereka mengabdikan diri yang bergerak pada upaya pemajuan dan perlindungan hak perempuan dan anak. Adapun Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia selaku orang tua yang memiliki anak yang bertanggung jawab untuk memenuhi hak konstitusional anak-anak mereka. Adapun Pemohon VI mendalilkan dirinya sebagai lembaga swadaya masyarakat yang aktif melakukan pemajuan dan perlindungan hak-hak anak di Indonesia dan Pemohon VII mendalilkan dirinya sebagai lembaga swadaya masyarakat yang aktif melakukan pembelaan terhadap hak-hak perempuan dan kelompok yang terpinggirkan;
                   Bahwa menurut para Pemohon II, ketentuan yang dimohonkan pengujian tersebut melanggar hak-hak konstitusional para Pemohon II sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, khususnya melanggar hak konstitusional anak-anak perempuan untuk tumbuh dan berkembang, termasuk memperoleh hak pendidikan dan hak kesehatan yang layak, serta terhindar dari tindak kekerasan fisik dan psikis, akibat pernikahan usia dini;
                   Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK serta syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, Pemohon I sebagai badan hukum privat (vide bukti P-19, P-20, dan P-21) memenuhi syarat sebagai Pemohon dalam perkara a quo yang sebagaimana tercantum dalam akta pendirian badan hukum tersebut memiliki maksud dan tujuan yayasan, salah satunya, berkepentingan meningkatkan kesehatan perempuan, terutama kesehatan reproduksi dan melakukan pendampingan bagi perempuan. Adapun para Pemohon II juga memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK yaitu sebagai perseorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama) yang memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur dalam pasal-pasal UUD 1945 sebagaimana didalilkan di atas;
                   Bahwa kerugian hak konstitusional para Pemohon tersebut bersifat spesifik dan aktual sebagaimana yang telah didalilkan oleh para Pemohon di atas yang memiliki hubungan sebab akibat dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam perkara a quo, sehingga apabila permohonan para Pemohon dikabulkan, maka kerugian hak konstitusional seperti yang didalilkan para Pemohon, tidak akan atau tidak lagi terjadi. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
                   Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas norma tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
 Pendapat Mahkamah
[3.13]         Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, keterangan Presiden, keterangan Pihak Terkait, keterangan ahli yang diajukan oleh para Pemohon, Presiden, dan Pihak Terkait, bukti tertulis yang diajukan para Pemohon dan Pihak Terkait, serta kesimpulan tertulis yang diajukan oleh para Pemohon, Presiden dan Pihak Terkait yang selengkapnya tercantum pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1]  Bahwa perkawinan adalah hak setiap orang yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara karena perkawinan merupakan hak yang bersifat asasi dan  naluriah kemanusiaan yang melekat pada diri setiap orang dan sesuatu yang kodrati. Secara hukum alam, perkawinan adalah kebutuhan yang tidak dapat dihalangi oleh siapapun selama perkawinan tersebut dilaksanakan menurut kaedah agama dan hukum negara yang berlaku. Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan fungsi biologis, melahirkan keturunan, dan kebutuhan kasih sayang serta pengangkatan status bagi laki-laki dan perempuan. Perkawinan juga mengandung makna membolehkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan secara sah yang akhirnya memunculkan hak dan kewajiban kepada suami dan istri. Dalam perspektif agama, seperti Islam, perkawinan merupakan salah satu anjuran bagi siapapun yang sudah dewasa dan punya kemampuan untuk berkeluarga supaya menikah untuk menenangkan hati, jiwa, dan raga, serta untuk melanjutkan keturunan dalam membentuk keluarga yang bahagia;
                   Dalam Al Qur’an surat Ar Rum: 21.  Allah Subhanahuwata’ala berfirman:



Yang artinya, dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
                   Ajaran Islam mendorong umatnya, khususnya kaum mudanya, untuk segera melakukan pernikahan sebagaimana Hadits Rasulullah Sallallahu alaihi wasallam yang diceritakan oleh Abdullah Bin Mas’ud Radiallahu anhu, bahwa:
لِلْبَصَرِ أَغَضُّ فَإِنَّهُ فَلْيَتَزَوَّجْ، الْبَاءَةَ مِنْكُمُ اسْتَطَاعَ مَنِ الشَّبَابِ، مَعْشَرَ يَا.
 وِجَاءٌ لَهُ فَإِنَّهُ بِالصَّوْمِ، فَعَلَيْهِ يَسْتَطِعْ لَمْ وَمَنْ لِلْفَرْجِ، وَأَحْصَنُ
Yang artinya, Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mampu maka segeralah menikah, karena hal itu lebih membuat mata tertunduk dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa belum mampu, berpuasalah karena ia bisa menahan nafsu.(Hadist riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim);
                   Ajaran agama Hindu (berdasarkan sumber dari Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:34) memberikan aturan tambahan di mana dalam Manava Dharmasastra IX.89-90 dikatakan bahwa walaupun seorang gadis telah mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang tuanya hingga akhir hayatnya tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat yang baik atau orang tuanya harus menunggu tiga tahun setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin. Dari Sloka tersebut disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun sehingga orang tua baru bisa mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun;
                   Pasal 1 UU Perkawinan menyatakan, “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”;
                   Penjelasan Pasal 1 UU Perkawinan menyatakan, “Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, di mana Sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.”;
                   Mahkamah telah memberikan pertimbangan hukum di Paragraf [3.15.2] dalam Perkara Nomor 12/PUU-V/2007 tentang permohonan pengujian UU Perkawinan, bertanggal 3 Oktober 2007, yang meskipun putusan tersebut terkait dengan ketentuan tentang perkawinan poligami, namun dalam Pendirian Mahkamah yang mendasarkan pula pada ajaran Islam, dinyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah, “...untuk mendapatkan ketenangan hati (sakinah). Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang hidup dalam perkawinan akan mendapatkan ketenangan. Sebelumnya seorang laki-laki atau seorang perempuan dalam keadaan sendiri mengalami gejolak asmara yang tidak tersalurkan, karena itu mereka tidak memperoleh ketenangan. Sakinah itu dapat lestari manakala kedua belah pihak yang berpasangan itu memelihara mawaddah, yaitu kasih sayang yang terjalin antara kedua belah pihak tanpa mengharapkan imbalan (pamrih) apapun melainkan semata-mata karena keinginannya untuk berkorban dengan memberikan kesenangan kepada pasangannya. Oleh karena itu, mawaddah bersifat altruistik, bukan egoistik. Sikap egoistik, yaitu hanya ingin mendapatkan segala hal yang menyenangkan bagi diri sendiri, sekalipun akan menyakitkan hati pasangannya, akan berarti memutuskan mawaddah. Dengan terputusnya mawaddah dengan sendirinya sakinah pun tidak terpelihara lagi... Selain keharusan memelihara mawaddah, sakinah pun akan terwujud dan terpelihara jika suami dan isteri memelihara rahmah, yaitu saling memberi dan menerima atas dasar kasih sayang dalam kedudukannya yang berbeda, yakni sebagai suami maupun isteri yang sama-sama mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing;
                   Penjelasan Umum angka 4 huruf d UU Perkawinan menyatakan, “Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih di bawah umur. Di samping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka Undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
                   Dalam pelaksanaannya, perkawinan berkaitan erat dengan keyakinan yang sakral berdasarkan kaidah dan nilai-nilai suci agama yang tidak dapat diabaikan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Pemahaman perkawinan yang sah tersebut harus dilihat dari dua aspek yakni sah menurut hukum agama dan sah menurut hukum negara;
                   Semua agama yang berlaku di Indonesia memiliki aturan masing-masing dalam perkawinan dan hukum agama tersebut mengikat semua pemeluknya, sedangkan negara memberikan pelayanan dalam pelaksanaan perkawinan dengan aturan negara termasuk pencatatan secara administrasi guna kepastian hukum bagi pasangan suami istri maupun keturunannya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” dan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.;
[3.13.2]      Bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28B ayat (1), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
                   Bahwa beberapa agama yang berlaku di Indonesia maupun dari berbagai latar belakang budaya di nusantara ini mempunyai pengaturan yang berbeda dalam masalah usia perkawinan. Salah satu contohnya, agama Islam tidaklah mengatur mengenai usia minimum perkawinan akan tetapi yang lazim adalah dikenal sudah aqil baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dan yang buruk, sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Kompilasi Hukum Islam;
                   Perkawinan tidaklah semata-mata urusan duniawi. Dalam ajaran Islam, perkawinan merupakan salah satu perintah Allah Subhanahuwata’ala karena merupakan ikatan yang sangat kuat dan sakral dan tidak dapat dianalogikan  dengan hal-hal yang bersifat material. Beberapa asas dalam perkawinan adalah kesukarelaan, persetujuan kedua belah pihak, kemitraan suami istri, untuk selama-lamanya, dan personalitas pasangan. Dari asas perkawinan tersebut tidaklah dikenal umur minimal demi untuk mencegah kemudharatan yang lebih besar, apalagi perkembangan dewasa ini, bagi manusia pada zaman sekarang, di mana kemungkinan kemudharatan tersebut jauh lebih cepat merebak karena dipengaruhi oleh berbagai macam keadaan seperti makanan, lingkungan, pergaulan, teknologi, keterbukaan informasi, dan lain sebagainya, sehingga mempercepat laju dorongan birahi. Dorongan birahi itu semestinya dapat disalurkan melalui perkawinan yang sah sebagaimana ajaran agama sehingga tidak melahirkan anak di luar perkawinan atau anak haram atau anak ranjang;
                   Dalam keterangan tertulisnya, DPR memberikan keterangan yang antara lain menyatakan  bahwa Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur mengenai batas usia minimal perkawinan dianggap sebagai kesepakatan nasional yang merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk Undang-Undang yang melihat secara bijaksana dengan berbagai macam pertimbangan dengan memperhatikan nilai-nilai yang ada pada saat itu yaitu tahun 1974;
                   Pada perkembangannya, beragam peraturan perundang-undangan yang selengkapnya telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara dan yang pada pokoknya tercantum pada paragraf [3.9] angka 1 di atas, menyatakan bahwa usia anak adalah sejak dia lahir, bahkan pada kondisi tertentu adalah saat masih dalam kandungan, sampai dengan mencapai usia 18 tahun. Namun, pembentuk undang-undang, dalam hal ini UU Perkawinan, saat itu menentukan batas umur untuk memenuhi tujuan ideal perkawinan, bagi pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan bagi wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
                   Sebagaimana telah diuraikan baik oleh para saksi maupun ahli serta Pihak Terkait dalam persidangan, bahwa perkawinan anak memang rentan dan berpotensi menghadapi beragam permasalahan mulai dari kesehatan fisik khususnya kesehatan reproduksi, kesehatan mental, hambatan psikologis dan sosial, dan yang tak kalah pentingnya adalah berpotensi mengalami kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak yang kesemuanya dapat berujung pada perceraian dan penelantaran anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut serta menambah beban ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan atau yang ikut menanggung kebutuhan dan keberlangsungan hidup anggota keluarga yang mengalami perceraian tersebut. Adapun Penjelasan Pasal 7 ayat (1)               UU Perkawinan menyatakan, “Untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.” Hal ini sesuai dengan tujuan luhur suatu perkawinan dan untuk menghindari beragam permasalahan sebagaimana didalilkan para Pemohon. Namun, terkait dengan norma yang mengatur batasan usia, Mahkamah dalam beberapa putusannya (vide Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011 bertanggal 18 Oktober 2011, Putusan Nomor 37-39/PUU-VIII/2010 bertanggal 15 Oktober 2010, dan Putusan Nomor 15/PUU-V/2007 bertanggal 27 November 2007) telah mempertimbangkan bahwa batasan usia minimum merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang yang, apa pun pilihannya, tidak dilarang dan selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam perkara         a quo, UUD 1945 tidak mengatur secara jelas perihal batasan usia seseorang disebut sebagai anak. Hal ini juga sama dengan pendapat dari perspektif hukum Islam yang dikemukakan oleh Ahli yang diajukan oleh para Pemohon yaitu         Prof. Muhammad Quraish Shihab yang menyatakan, “...kitab suci Al Quran, demikian juga Sunnah Nabi, tidak menetapkan usia tertentu. Ini sejalan dengan hikmah Ilahi yang tidak mencantumkan rincian sesuatu dalam kitab suci menyangkut hal-hal yang dapat mengalami perubahan. Yang dirincinya hanya hal-hal yang tidak terjangkau oleh nalar seperti persoalan metafisika atau hal-hal yang tidak mungkin mengalami perubahan dari sisi kemanusiaan, seperti misalnya, ketetapannya mengharamkan perkawinan anak dengan ibunya atau dengan ayahnya karena di situ selama manusia normal, tidak mungkin ada birahi terhadap mereka. Karena tidak adanya ketetapan yang pasti dari kitab suci, maka ulama-ulama Islam berbeda pendapat tentang usia tersebut bahkan ada di antara masyarakat Islam yang justru melakukan revisi dan perubahan menyangkut ketetapan hukum tentang usia tersebut. Ini untuk menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhannya.”;
                   Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, telah nyata bahwa kebutuhan untuk menentukan batasan usia perkawinan khususnya untuk perempuan adalah relatif menyesuaikan dengan perkembangan beragam aspek baik itu aspek kesehatan hingga aspek sosial-ekonomi. Bahkan, tidak ada jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin untuk wanita dari 16 (enam belas) tahun menjadi 18 (delapan belas) tahun, akan semakin mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalisir permasalahan sosial lainnya. Bukan berarti pula tidak perlu dilakukan upaya apa pun, terutama tindakan preventif, untuk mencegah terjadinya perkawinan usia anak yang dikhawatirkan akan menimbulkan beragam masalah sebagaimana yang didalilkan para Pemohon, yang menurut Mahkamah, beragam masalah tersebut merupakan masalah konkrit yang terjadi tidak murni disebabkan dari aspek usia semata. Jikalaupun memang dikehendaki adanya perubahan batas usia kawin untuk wanita, hal tersebut bisa diikhtiarkan melalui proses legislative review yang berada pada ranah pembentuk Undang-Undang untuk menentukan batas usia minimum ideal bagi wanita untuk kawin. Pada faktanya pun, sebagaimana didalilkan para Pemohon bahwa di negara-negara lain ada pula yang menetapkan bahwa batas usia minimal bagi wanita untuk kawin adalah 17 (tujuh belas) tahun, 19 (sembilan belas) tahun, maupun 20 (dua puluh) tahun. Jika Mahkamah diminta untuk menetapkan batas usia minimal tertentu sebagai batas usia minimal yang konstitusional, Mahkamah justru membatasi adanya upaya perubahan kebijakan oleh negara untuk menentukan yang terbaik bagi warga negaranya sesuai dengan perkembangan peradaban dari setiap masa atau generasi, yang dalam hal ini terkait dengan kebijakan menentukan batas usia minimal kawin. Tidak tertutup kemungkinan bahwa pada saatnya nanti, dengan mendasarkan pada perkembangan teknologi, kesehatan, sosial, budaya, dan ekonomi, serta aspek lainnya, usia 18 (delapan belas) tahun bukan lagi sebagai batas usia minimum yang ideal bagi wanita untuk menikah, namun bisa saja dianggap yang lebih rendah atau lebih tinggi dari 18 (delapan belas) tahun tersebut sebagai usia yang ideal;
                   Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” UU Perkawinan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karenanya, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.
[3.13.3]      Bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 7 ayat (2) sepanjang kata “penyimpangan” dan frasa “pejabat lain” UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
                   Menurut para Pemohon, Pasal 7 ayat (2) sepanjang kata “penyimpangan” UU Perkawinan harus dimaknai “penyimpangan dengan alasan kehamilan di luar perkawinan”;
                   Terhadap permohonan para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa  frasa “penyimpangan” a quo merupakan bentuk pengecualian yang diperbolehkan oleh hukum dan ketentuan a quo memang diperlukan sebagai “pintu darurat” apabila terdapat hal-hal yang bersifat memaksa atas permintaan orang tua dan/atau wali. Penyimpangan tersebut diperbolehkan berdasarkan dispensasi oleh Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk untuk itu;
                   Adapun terhadap frasa “pejabat lain” dalam Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan tersebut, menurut Mahkamah, ketentuan a quo tetap dibutuhkan karena juga dapat berfungsi sebagai “pintu darurat” apabila orang tua pihak pria maupun pihak wanita dan/atau wali mereka mengalami kesulitan atau keterbatasan akses untuk menjangkau dan meminta dispensasi kepada Pengadilan. Sebagai contoh, wewenang untuk memberikan dispensasi untuk melakukan penyimpangan tersebut dapat saja diberikan oleh pejabat dari Kantor Urusan Agama (KUA) atau bahkan pejabat dari kantor desa/kelurahan hingga kecamatan setempat karena alasan kemudahan akses bagi orang tua calon mempelai maupun karena pejabat tersebut memiliki kecakapan atau kompetensi untuk memberikan pertimbangan dan keputusan perihal dapat atau tidak dapatnya orang tua calon mempelai tersebut melakukan penyimpangan terhadap usia anaknya untuk melangsungkan perkawinan. Selain itu, hal ini tidak dapat dimaknai sebagai bentuk intervensi dari pihak di luar pengadilan terhadap lembaga peradilan itu sendiri karena ketentuan tersebut bersifat opsional dengan adanya kata “atau” yaitu untuk memberikan pilihan bebas bagi orang tua calon mempelai untuk menentukan akan meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain tersebut;
                   Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Pasal 7 ayat (2) sepanjang kata “penyimpangan” dan frasa “pejabat lain” UU Perkawinan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karenanya, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.
[3.14]         Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil-dalil yang dimohonkan para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
===================

Tidak ada komentar: