Pada
tanggal 4 Juli 2014, Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud
Widigda, Anbar Jayadi, dan Luthfi Sahputra mengajukan permohonan pengujian Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”. Permohonan
tersebut kemudian di registrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada
tanggal 16 Juli 2014 dengan Nomor
68/PUU-XII/2014 pada tanggal 16 Juli 2014.
Dalam
permohonannya para Pemohon menyatakan bahwa para Pemohon sebagai perseorangan
warga negara Indonesia yang menganggap Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 merugikan hak
konstitusional para Pemohon yang ditentukan dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E
ayat (1) dan ayat (2), Pasal
28I
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945,
dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:
1)
Penghakiman yang dilakukan oleh negara terhadap warga
negara yang melangsungkan perkawinan melalui Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974
merupakan pelanggaran terhadap hak beragama yang diakui melalui Pasal 28E ayat
(1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945;
2)
Pembatasan dalam Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 melanggar hak
untuk melangsungkan perkawinan yang sah dan hak untuk membentuk keluarga
sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945;
3)
Norma dalam Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 membuka ruang
penafsiran yang amat luas dan menimbulkan pertentangan antar norma sehingga
tidak dapat menjamin terpenuhinya hak atas kepastian hukum yang adil
sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
4)
Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 bertentangan dengan Pasal 27
ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengenai hak atas persamaan di hadapan
hukum dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 mengenai kebebasan dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif karena menyebabkan negara melalui aparaturnya
memperlakukan warga negaranya secara berbeda;
5)
Pembatasan yang ditentukan melalui Pasal 2 ayat (1) UU
1/1974 tidak sesuai dengan konsep pembatasan terhadap hak dan kebebasan yang
ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Untuk
menjawab persoalan konstitusionalitas norma tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam
pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Pendapat
Mahkamah
[3.12] Menimbang, setelah Mahkamah
memeriksa dengan saksama permohonan para
Pemohon,
keterangan Presiden, keterangan para Pihak Terkait, keterangan Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia,
Perwakilan Umat Buddha Indonesia, Konferensi Waligereja Indonesia, Parisada
Hindu Dharma Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, keterangan ahli dan
saksi para Pemohon, keterangan ahli Pihak
Terkait Tim Advokasi Untuk Kebhinekaan, serta bukti-bukti surat/tulisan
yang diajukan oleh para Pemohon dan Pihak Terkait Tim Advokasi Untuk Kebhinekaan, sebagaimana termuat pada
bagian Duduk Perkara, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian
konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 terhadap Pasal
27
ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal
29 ayat (2) UUD 1945. Menurut para Pemohon, norma dalam Pasal 2 ayat (1) UU
1/1974 membuka ruang penafsiran dan pembatasan sehingga tidak dapat menjamin
terpenuhinya hak atas kepastian hukum yang adil dan bertentangan dengan
ketentuan kebebasan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945;
[3.12.2] Bahwa
Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, menyatakan “... yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bahwa
ideologi negara Indonesia yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa juga dinyatakan dalam
Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Prinsip Ketuhanan yang diamanatkan dalam UUD 1945 tersebut
merupakan perwujudan dari pengakuan keagamaan. Sebagai negara yang berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa maka tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh warga
negara mempunyai hubungan yang erat dengan agama. Salah satu tindakan atau
perbuatan yang terkait erat dengan negara adalah perkawinan. Perkawinan
merupakan salah satu bentuk perwujudan hak konstitusional warga negara yang
harus dihormati dan dilindungi oleh setiap orang dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hak konstitusional perkawinan tersebut
terkandung kewajiban penghormatan atas hak konstitusional orang lain. Oleh
karenanya untuk menghindari benturan dalam pelaksanaan hak konstitusional
tersebut diperlukan adanya pengaturan pelaksanaan hak konstitusional yang
dilakukan oleh negara;
[3.12.3] Bahwa para Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya untuk
melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga terlanggar dengan adanya
ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974. Menurut para Pemohon, hak untuk membentuk
keluarga melalui perkawinan yang sah telah dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD
1945 sehingga dengan adanya Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 para Pemohon merasa ada
pembatasan terhadap hak warga negara dalam melangsungkan perkawinan tersebut. Menurut
Mahkamah, dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga
negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J UUD 1945]. Sesuai dengan landasan
falsafah Pancasila dan UUD 1945, menurut Mahkamah, UU 1/1974 telah dapat
mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 serta telah
pula dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat;
[3.12.4] Bahwa para Pemohon
mendalilkan hak konstitusional para Pemohon dirugikan karena Pasal 2
ayat (1) UU 1/1974 “memaksa” setiap warga negara untuk mematuhi hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya dalam bidang perkawinan. Menurut
Mahkamah, perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam
tatanan hukum di Indonesia. Segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh
warga negara termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat
dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan
perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk
untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam
kaitannya dengan perkawinan. Perkawinan menurut UU 1/1974 diartikan sebagai
hubungan lahir batin yang terjalin antara seorang pria dan seorang wanita yang
diikat oleh tali pernikahan dan menjadikan status mereka sebagai suami istri.
Perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Suatu perkawinan dianggap sah
apabila dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama atau kepercayaannya
serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan. Sebagai ikatan
lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang
wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Ikatan lahir tersebut merupakan hubungan formil yang sifatnya
nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau
masyarakat, sedangkan sebagai ikatan
batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan
yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup
bersama sebagai suami istri. Bahwa ikatan lahir dan batin dalam sebuah perkawinan
juga merupakan bentuk pernyataan secara
tegas bahwa seorang pria dan seorang wanita ingin membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa;
[3.12.5] Bahwa
para Pemohon mendalilkan hak untuk menjalankan agama dan hak atas kebebasan
beragama, terlanggar dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 karena pasal a quo memberikan legitimasi kepada
negara untuk mencampuradukkan perihal administrasi dan pelaksanaan ajaran agama
serta untuk mendikte penafsiran agama dan kepercayaan dalam bidang perkawinan.
Menurut Mahkamah, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945, agama menjadi landasan dan negara mempunyai kepentingan dalam hal
perkawinan. Agama menjadi landasan bagi komunitas individu yang menjadi wadah
kebersamaan pribadi-pribadi dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa serta
turut bertanggung jawab terwujudnya kehendak Tuhan Yang Maha Esa untuk
meneruskan dan menjamin keberlangsungan hidup manusia. Negara juga berperan
memberikan pedoman untuk menjamin kepastian hukum kehidupan bersama dalam tali
ikatan perkawinan. Secara khusus, negara berperan untuk memberikan perlindungan
untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah
yang merupakan wujud dan jaminan keberlangsungan hidup manusia. Perkawinan
tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat
dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan,
sedangkan Undang-Undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh
negara;
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan
menolak
permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar