Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Jumat, 19 Juni 2015

Konstitusionalitas Kawin Beda Agama




Pada tanggal 4 Juli 2014, Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Anbar Jayadi, dan Luthfi Sahputra mengajukan permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”. Permohonan tersebut kemudian di registrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 Juli 2014 dengan Nomor 68/PUU-XII/2014 pada tanggal 16 Juli 2014.

Dalam permohonannya para Pemohon menyatakan bahwa para Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang menganggap Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 merugikan hak konstitusional para Pemohon yang ditentukan dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:
1)    Penghakiman yang dilakukan oleh negara terhadap warga negara yang melangsungkan perkawinan melalui Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 merupakan pelanggaran terhadap hak beragama yang diakui melalui Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945;
2)    Pembatasan dalam Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 melanggar hak untuk melangsungkan perkawinan yang sah dan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945;
3)    Norma dalam Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 membuka ruang penafsiran yang amat luas dan menimbulkan pertentangan antar norma sehingga tidak dapat menjamin terpenuhinya hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
4)    Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengenai hak atas persamaan di hadapan hukum dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 mengenai kebebasan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif karena menyebabkan negara melalui aparaturnya memperlakukan warga negaranya secara berbeda;
5)    Pembatasan yang ditentukan melalui Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 tidak sesuai dengan konsep pembatasan terhadap hak dan kebebasan yang ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas norma tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:

Pendapat Mahkamah
[3.12]        Menimbang, setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, keterangan Presiden, keterangan para Pihak Terkait, keterangan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Perwakilan Umat Buddha Indonesia, Konferensi Waligereja Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, keterangan ahli dan saksi para Pemohon, keterangan ahli Pihak Terkait Tim Advokasi Untuk Kebhinekaan, serta bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon dan Pihak Terkait Tim Advokasi Untuk Kebhinekaan, sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1]      Bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Menurut para Pemohon, norma dalam Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 membuka ruang penafsiran dan pembatasan sehingga tidak dapat menjamin terpenuhinya hak atas kepastian hukum yang adil dan bertentangan dengan ketentuan kebebasan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945;
[3.12.2]      Bahwa Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, menyatakan “... yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bahwa ideologi negara Indonesia yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa juga dinyatakan dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Prinsip Ketuhanan yang diamanatkan dalam UUD 1945 tersebut merupakan perwujudan dari pengakuan keagamaan. Sebagai negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa maka tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh warga negara mempunyai hubungan yang erat dengan agama. Salah satu tindakan atau perbuatan yang terkait erat dengan negara adalah perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu bentuk perwujudan hak konstitusional warga negara yang harus dihormati dan dilindungi oleh setiap orang dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hak konstitusional perkawinan tersebut terkandung kewajiban penghormatan atas hak konstitusional orang lain. Oleh karenanya untuk menghindari benturan dalam pelaksanaan hak konstitusional tersebut diperlukan adanya pengaturan pelaksanaan hak konstitusional yang dilakukan oleh negara;
[3.12.3]      Bahwa para Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga terlanggar dengan adanya ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974. Menurut para Pemohon, hak untuk membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah telah dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 sehingga dengan adanya Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 para Pemohon merasa ada pembatasan terhadap hak warga negara dalam melangsungkan perkawinan tersebut. Menurut Mahkamah, dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J UUD 1945]. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan UUD 1945, menurut Mahkamah, UU 1/1974 telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 serta telah pula dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat;
[3.12.4]      Bahwa para Pemohon mendalilkan hak konstitusional para Pemohon dirugikan karena Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 “memaksa” setiap warga negara untuk mematuhi hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dalam bidang perkawinan. Menurut Mahkamah, perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia. Segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan. Perkawinan menurut UU 1/1974 diartikan sebagai hubungan lahir batin yang terjalin antara seorang pria dan seorang wanita yang diikat oleh tali pernikahan dan menjadikan status mereka sebagai suami istri. Perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama atau kepercayaannya serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan. Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Ikatan lahir tersebut merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat, sedangkan sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Bahwa ikatan lahir dan batin dalam sebuah perkawinan juga merupakan bentuk pernyataan secara tegas bahwa seorang pria dan seorang wanita ingin membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
[3.12.5]      Bahwa para Pemohon mendalilkan hak untuk menjalankan agama dan hak atas kebebasan beragama, terlanggar dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 karena pasal a quo memberikan legitimasi kepada negara untuk mencampuradukkan perihal administrasi dan pelaksanaan ajaran agama serta untuk mendikte penafsiran agama dan kepercayaan dalam bidang perkawinan. Menurut Mahkamah, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, agama menjadi landasan dan negara mempunyai kepentingan dalam hal perkawinan. Agama menjadi landasan bagi komunitas individu yang menjadi wadah kebersamaan pribadi-pribadi dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa serta turut bertanggung jawab terwujudnya kehendak Tuhan Yang Maha Esa untuk meneruskan dan menjamin keberlangsungan hidup manusia. Negara juga berperan memberikan pedoman untuk menjamin kepastian hukum kehidupan bersama dalam tali ikatan perkawinan. Secara khusus, negara berperan untuk memberikan perlindungan untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah yang merupakan wujud dan jaminan keberlangsungan hidup manusia. Perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan Undang-Undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara;
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.

================

Tidak ada komentar: