Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Kamis, 11 Juni 2015

KONSTITUSIONALITAS PIMPINAN MPR DALAM UU MD3 2009




Pada tanggal 1 September 2009, 5 orang anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) yaitu WAHIDIN ISMAIL,MARHANY VICTOR POLY PUA,SRI KADARWATI,K. H. SOFYAN YAHYA, dan INTSIAWATI AYUS, dengan dibantu kuasa hukum Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M, dkk., mengajukan permohonan pengujian Pasal 14 ayat (1)Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan, “Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR”, sepanjang menyangkut frasa “yang berasal dari anggota DPR” yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Selanjutnya perkara a quo di registrasi dengan Nomor Perkara  117/PUU-VII/2009;

Dalam positanya para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009 yang berbunyi, “Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR”, karena ketentuan tersebut, sepanjang yang menyangkut frasa “yang berasal dari anggota DPR” telah menutup kesempatan bagi para Pemohon sebagai anggota MPR yang berasal dari anggota DPD untuk menjadi Ketua MPR;

Kerugian hak konstitusional Pemohon tersebut bersifat spesifik dan potensial akan terjadi dengan berlakunya ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009, sehingga juga mempunyai hubungan sebab akibat dengan UU 27/2009 yang dimohonkan pengujian dan dipastikan tidak akan terjadi apabila permohonan para Pemohon dikabulkan;
Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas pasal a quo, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:

Pendapat Mahkamah

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil para Pemohon beserta alat bukti tulis dan keterangan ahli yang diajukan, keterangan Pemerintah, keterangan DPR, serta kesimpulan para Pemohon, Mahkamah sebelum menyampaikan pendapat tentang pokok permohonan para Pemohon terlebih dahulu menyampaikan hal-hal berikut:
a. Bahwa Perubahan UUD 1945 (tahun 1999 sampai dengan tahun 2002) telah mengubah pula desain konstitusional mengenai kelembagaan MPR yang meliputi susunan keanggotaannya, cara rekruitmen anggotanya, dan kewenangannya, yaitu:
1) Susunan keanggotaan MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang kesemuanya dipilih melalui pemilihan umum [Pasal 2 ayat (1) UUD 1945], sedangkan sebelum Perubahan UUD 1945, keanggotaan MPR terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, serta tidak ditentukan apakah direkrut melalui pemilihan umum atau tidak;
2) Kewenangan MPR meliputi enam hal, yaitu: i) mengubah dan menetapkan UUD [Pasal 3 ayat (1)]; ii) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden [Pasal 3 ayat (2)]; iii) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD [Pasal 3 ayat (3)]; iv) melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya [Pasal 8 ayat (1) juncto Pasal 3 ayat (2)]; v) memilih Wakil Presiden dari dua orang calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya [Pasal 8 ayat (2)]; dan vi) memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya [Pasal 8 ayat (3)]. Sebelum Perubahan UUD 1945, kewenangan MPR adalah: i) menetapkan UUD dan garis-garis besar haluan negara (Pasal 3); ii) memilih Presiden dan Wakil Presiden [Pasal 6 ayat (2)]; dan iii) mengubah UUD [Pasal 37];
b. Bahwa baik ditinjau dari susunan keanggotaan MPR sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, maupun dari kewenangan MPR yang tercantum dalam Pasal 3 dan Pasal 8 UUD 1945 menunjukkan bahwa anggota MPR, baik yang berasal dari anggota DPR maupun yang berasal dari anggota DPD, pada dasarnya sudah merupakan satu kesatuan sebagai sesama anggota MPR, sehingga tidak dibedakan lagi asal usul dari mana anggota MPR tersebut berasal, apakah dari DPR ataukah dari DPD. Pendapat tersebut sejalan dengan keterangan wakil DPR dalam Sidang Pleno Mahkamah tanggal 9 September 2009;
c. Bahwa sebagai konsekuensinya, sejalan dengan pendapat para Pemohon, pada hakikatnya, kedudukan, hak, dan kewajiban anggota MPR, dari mana pun asal usul keanggotaannya adalah setara atau sederajat (equal), termasuk haknya untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan pimpinan MPR. Kesetaraan demikian justru terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU 22/2003) yang dalam Pasal 7 ayat (1) menyatakan, “Pimpinan MPR terdiri atas seorang ketua dan tiga orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam Sidang Paripurna MPR”;
d. Bahwa desain konstitusional kelembagaan MPR berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 juga menunjukkan bukan lembaga perwakilan dengan sistem bikameral, karena baik DPR maupun DPD bukanlah kamar dari MPR, lain halnya jika rumusannya adalah “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah”. Bandingkan misalnya dengan Konstitusi Amerika yang menganut sistem bikameral yang tercermin dalam Congress sebagaimana tercantum dalam Article I Section 1, “All legislative Powers herein granted shall be vested in a Congress of the United Stated, which shall consist of a Senate and House of Representatives”.
e. Bahwa MPR sebagai lembaga negara yang merupakan organ konstitusi dengan enam kewenangannya, sudah sewajarnya apabila pimpinan MPR dipilih dari dan oleh anggota MPR sendiri dalam forum persidangan MPR, sebagaimana ketentuan UU 22/2003, bukan dipilih dan/atau ditentukan oleh sidang atau forum lain di luar MPR, termasuk oleh lembaga negara dari mana anggota MPR masing-masing berasal, sebagaimana ketentuan UU 27/2009. Pemilihan pimpinan MPR bukan oleh MPR pada dasarnya telah mendegradasi lembaga MPR;
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada paragraf [3.14] di atas, selanjutnya Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
a. Bahwa baik para Pemohon maupun pembentuk Undang-Undang tidak tepat dalam memahami hakikat lembaga MPR yang dimaksud oleh UUD 1945 setelah Perubahan, sehingga pola pikirnya menggunakan bikameralisme yang menganggap seolah-olah DPR dan DPD sebagai kamar MPR. Hal tersebut tercermin dalam rumusan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU 27/2009;
b. Bahwa para Pemohon bersikap mendua (ambivalen) dan hanya berpikir untung rugi dalam menerapkan prinsip kesetaraan (ekualitas) anggota MPR baik yang berasal dari DPR maupun yang berasal dari DPD. Di satu pihak tidak setuju apabila Ketua MPR secara serta merta berasal dari DPR, namun di lain pihak menghendaki kuota kelembagaan untuk komposisi wakil ketua MPR. Dengan kata lain, para Pemohon menganggap sesuatu itu inkonstitusional apabila merugikan, namun di sisi lain konstitusional apabila menguntungkan, meskipun pada hakikatnya juga tidak konstitusional;
c. Bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009 sepanjang menyangkut frasa “yang berasal dari anggota DPR” bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 adalah beralasan hukum karena telah mendiskriminasi sesama anggota MPR, yakni menutup peluang anggota DPD untuk memilih dan dipilih sebagai Ketua MPR;
d. Bahwa sejatinya, menurut Mahkamah, bukan hanya Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009 sepanjang menyangkut frasa “yang berasal dari anggota DPR” yang bertentangan dengan UUD 1945, melainkan juga:
1) frasa “yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD”, karena mencerminkan pola pikir bikameralisme dan pendekatan sektoral institusional yang tidak sesuai dengan norma konstitusi yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945; serta
2) Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU 27/2009 merupakan penjabaran dan pelaksanaan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009, sehingga apabila Pasal 14 ayat (1) dinyatakan inkonstitusional, maka mutatis mutandis Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dengan sendirinya juga inkonstitusional, karena norma-norma yang terkandung dalam pasal-pasal a quo telah mendistorsi pengertian UUD 1945 mengenai lembaga MPR, yakni menjadikan pemilihan pimpinan MPR bukan oleh dan dari anggota MPR dalam forum MPR, melainkan dipilih oleh dan dari anggota DPR atau anggota DPD dalam forum DPR atau forum DPD;
e. Bahwa meskipun yang dimohonkan pengujian hanya Pasal 14 ayat (1) sepanjang yang menyangkut frasa “yang berasal dari anggota DPR”, namun Mahkamah sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya, tidak akan membiarkan adanya norma dalam Undang-Undang, in casu yang terkandung dalam Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009 sepanjang frasa “yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD”, serta ayat (2) yang berbunyi, “Pimpinan MPR yang berasal dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR;” ayat (3) yang berbunyi, “Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, pimpinan MPR yang berasal dari DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR dan ditetapkan dalam rapat paripurna
DPR;”· ayat (4) yang berbunyi, “Pimpinan MPR yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam sidang paripurna DPD;”· ayat (5) yang berbunyi, “Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak tercapai, pimpinan MPR yang berasal dari DPD dipilih dari dan oleh anggota DPD serta ditetapkan dalam sidang paripurna DPD;” yang secara expressis verbis melanggar norma UUD 1945. Lagi pula, apabila Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009 baik sebagian atau seluruhnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka demi hukum akan melumpuhkan norma hukum yang terkandung dalam Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU 27/2009, sehingga keberadaannya tidak mempunyai makna apapun;
f. Bahwa Mahkamah juga memahami apabila pimpinan MPR dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam forum sidang paripurna MPR tanpa adanya ketentuan yang menyatakan “dengan memperhatikan unsur anggota DPR dan unsur anggota DPD”, akan menyebabkan kemungkinan pimpinan MPR semuanya akan diisi oleh anggota MPR yang berasal dari anggota DPR, mengingat bahwa jumlah anggota MPR yang berasal dari anggota DPR tiga kali lebih banyak dari jumlah anggota MPR yang berasal dari anggota DPD. Oleh karena itu, agar MPR tetap aspiratif mencerminkan representasi politik (rakyat) dan representasi teritorial (daerah), maka MPR melalui Peraturan Tata Tertib-nya dapat membuat konsensus politik menampung aspirasi yang merefleksikan keterwakilan anggota MPR yang mencakup representasi politik (DPR) dan representasi daerah (DPD), namun tidak perlu dinormakan dalam UU 27/2009;
g. Bahwa sebagai “negative legislator”, Mahkamah sedapat mungkin menghindari membuat rumusan norma baru kecuali dalam kondisi ketatanegaraan tertentu yang bersifat hoogdringend (urgen dan mendesak). Namun dalam kondisi biasa, Mahkamah hanya dapat meniadakan beberapa frasa dan/atau kata dari suatu norma yang dirumuskan dalam Undang-Undang dan memberikan tafsir yang tepat agar norma Undang-Undang tersebut konstitusional. Oleh karena itu, agar norma hukum yang terkandung dalam Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009 konstitusional, beberapa frasa dan/atau kata dalam Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009 ditiadakan dan diikuti dengan memberikan tafsir yang tepat mengenai kata “ditetapkan” dalam rumusan Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009 sebagai berikut: · meniadakan frasa, “yang berasal dari anggota DPR”; dan “yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD”, sehingga rumusannya berubah menjadi: “Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR”; · bahwa kata “ditetapkan” dalam Pasal 14 ayat (1) harus ditafsirkan mengandung makna di dalamnya “dipilih”;
h. Bahwa dalam perkara konstitusi yang berkaitan dengan pengujian konstitusionalitas suatu Undang-Undang sesungguhnya tidak mengenal istilah putusan “ultra petita” (putusan melebihi yang diminta oleh pemohon), karena Undang-Undang merupakan satu kesatuan sistem yang apabila sebagian pasalnya diuji pasti akan berpengaruh terhadap pasal-pasal lain yang mungkin tidak dimohonkan pengujian. Oleh karena itu, pernyataan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat norma hukum yang terkandung dalam Pasal 14 ayat (1) sepanjang frasa, “yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD” dan Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU 27/2009, meskipun tidak dimohonkan pengujian oleh para Pemohon, merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, karena selain bertentangan dengan UUD 1945 juga sebagai konsekuensi logis adanya peniadaan sebagian frasa dan penafsiran Mahkamah atas beberapa kata dan/atau frasa dalam rumusan norma Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009;
Amar Putusan :
Mengadili,
· Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan;
· Menyatakan Pasal 14 ayat (1) sepanjang menyangkut frasa “yang berasal dari anggota DPR” dan frasa “yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD”, serta Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
· Menyatakan Pasal 14 ayat (1) sepanjang menyangkut frasa “yang berasal dari anggota DPR” dan frasa “yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua dari anggota DPD”, serta Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
· Menyatakan kata, “ditetapkan” dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) harus dimaknai “dipilih”;
· Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

===========================

Tidak ada komentar: