Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Rabu, 23 September 2015

Konstitusionalitas Persetujuan Tertulis Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam Penyidikan Anggota DPR






Pada tanggal 5 Agustus 2014, salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang konseun di bidang hukum yaitu Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana  mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam  permohonannya Pemohon beranggapan bahwa  Pasal 245 Undang-Undang MD3, yang menyatakan,
(1)   Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2)   Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3)    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:
a.    tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b.  disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
c.   disangka melakukan tindak pidana khusus.
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:

Pasal 1 ayat (3): Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Pasal 24 ayat (1): Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pasal 27 ayat (1): Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Pasal 28 ayat (2): Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Dalam uraian positanya Pemohon menyatakan bahwa :
1)     Bahwa anggota DPR sebagai subjek hukum, terlepas dari jabatannya sebagai anggota DPR harus diberlakukan sama di hadapan hukum, bahwa ketentuan dalam Pasal 245 UU MD3 telah memberikan keistimewaan terhadap anggota DPR yang sedang menjalani proses hukum tanpa rasionalitas hukum yang tepat;
2)     Bahwa dalam rangka prinsip persamaan, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya seperti keistimewaan proses diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju;
3)     Bahwa keistimewaan dalam proses peradilan atau affirmative actions dalam prinsip kesetaraan harusnya diberikan kepada subjek yang tepat dalam hal subjek hukum adalah kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu, anak atau kelompok rentan, ataupun dalam hal perlindungan saksi dan korban serta praktik restorative justice;
4)     Bahwa proses peradilan oleh penyidik terhadap anggota dewan yang hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Mahkamah Kehormatan Dewan, merupakan kelompok pengaturan yang seharusnya tidak mengandung perlakukan berbeda yang bertentangan dengan prinsip equal protection sebagaimana yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yaitu persamaan atau kesederajatan di hadapan hukum dan pemerintahan.
5)     Bahwa berdasarkan instrumen hukum yang ada, Indonesia telah mengakui adanya prinsip non-diskriminasi terhadap warga negaranya, bahwa berdasarkan prinsip negara hukum, pengakuan terhadap hak asasi manusia menjadi suatu hal yang mutlak, dimana hak untuk tidak didiskriminasi dan hak untuk diperlakukan setara adalah prinsip utama hak asasi manusia;
6)     Bahwa Pasal 245 UU MD3 hanya diterapkan untuk anggota DPR, sehingga terdapat perlakukan yang berbeda untuk warga negara Indonesia (WNI) yang berhadapan dengan proses hukum dimana pihak penyidik harus memperoleh izin tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan sebelum melakukan penyidikan yang diduga dilakukan oleh anggota DPR. Perlakuan berbeda tersebut tidak diterapkan untuk WNI Iainnya, pihak penyidik dapat secara langsung melakukan penyidikan. Hal inilah yang mengakibatkan diskriminasi atas dasar status jabatan publik dan bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi;
Untuk menjawa isu konstitusional norma a quo, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
[3.15]     Menimbang bahwa hal penting yang menjadi penilaian Mahkamah dalam permohonan a quo adalah, apakah Pasal 245 Undang-Undang a quo bertentangan dengan prinsip judicial independent, prinsip equality before the law, dan prinsip non-diskriminasi, yang dijamin oleh Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat(1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
[3.16]     Menimbang bahwa anggota DPR yang dipilih melalui pemilihan umum berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Sebagai pejabat negara pemegang kekuasaan pembentuk Undang-Undang dalam pelaksanaan kekuasaannya masing-masing anggota DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas sebagaimana diatur dalam Pasal 20A UUD 1945. Pelaksanaan fungsi dan hak konstitusional anggota DPR tersebut juga harus diimbangi dengan adanya perlindungan hukum yang memadai dan proporsional, sehingga anggota DPR tidak dengan mudah dan bahkan tidak boleh dikriminalisasi pada saat dan/atau dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan konstitusonalnya sepanjang dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
[3.17]     Menimbang bahwa menurut Mahkamah adanya persyaratan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan dalam hal pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan. Proses penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana, sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan, meskipun dapat mengganggu kinerja anggota DPR dalam menjalankan tugas dan fungsinya, namun tidak menghalangi yang bersangkutan untuk melaksanakan tugasnya. Anggota DPR yang diselidiki dan/atau disidik masih tetap dapat melaksanakan tugasnya sehari-hari. Adanya adagium yang menyatakan bahwa terhadap sesuatu yang berbeda seharusnya diperlakukan berbeda dan terhadap sesuatu yang sama harus diperlakukan sama, menurut Mahkamah, pejabat negara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya terkait jabatan negara yang diembannya memang berbeda dari warga negara lain yang bukan pejabat negara, karena dalam rangka menjalankan fungsi dan haknya, pejabat negara memiliki risiko yang berbeda dengan warga negara lainnya. Namun demikian, adanya pembedaan itu harus berdasarkan prinsip logika hukum yang wajar dan proporsional yang secara eksplisit dimuat dalam Undang-Undang serta tidak diartikan sebagai pemberian keistimewaan yang berlebihan. Meskipun memang diperlukan adanya perlakuan yang berbeda untuk menjaga independensi dan imparsialitas lembaga negara dan pejabat negara, namun perlakuan demikian tidak boleh bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas-asas peradilan pidana, apalagi sampai berakibat pada terhambatnya proses hukum.
[3.18]     Menimbang bahwa menurut Mahkamah, adanya proses pengaturan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan kepada anggota DPR yang sedang dilakukan penyidikan menurut Mahkamah adalah tidak tepat karena Mahkamah Kehormatan Dewan meskipun disebut “Mahkamah” sesungguhnya adalah alat kelengkapan DPR yang merupakan lembaga etik yang tidak memiliki hubungan langsung dalam sistem peradilan pidana. Proses pengisian anggota Mahkamah Kehormatan Dewan yang bersifat dari dan oleh anggota DPR akan menimbulkan konflik kepentingan. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, proses persetujuan tertulis terhadap anggota DPR yang kepadanya akan dilakukan penyidikan maka persetujuan tertulis tersebut haruslah dikeluarkan oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara dan bukan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan.
[3.19]     Menimbang bahwa salah satu bentuk perlindungan hukum yang memadai dan bersifat khusus bagi anggota DPR dalam melaksanakan fungsi dan hak konstitusionalnya adalah  dengan diperlukannya persetujuan atau izin tertulis dari Presiden dalam hal anggota DPR tersebut dipanggil dan dimintai keterangan karena diduga melakukan tindak pidana. Hal ini penting sebagai salah satu fungsi dan upaya menegakkan mekanisme checks and balances antara pemegang kekuasaan legislatif dengan pemegang kekuasaaan eksekutif sehingga Mahkamah berpendapat bahwa izin tertulis a quo seharusnya berasal dari Presiden dan bukan berasal dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
Dengan adanya persyaratan izin atau persetujuan tertulis dari Presiden dalam hal anggota DPR dipanggil dan dimintai keterangan dalam konteks adanya dugaan tindak pidana diharapkan, di satu pihak, tetap dapat melaksanakan fungsi dan kewenangannya sebagai anggota DPR, di lain pihak, tetap menjamin adanya kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Namun demikian, tindakan penyidikan yang dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 245 Undang-Undang a quo yang memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden tersebut harus diterbitkan dalam waktu yang singkat. Hal tersebut dilakukan dalam rangka mewujudkan proses hukum yang berkeadilan, efektif, dan efisien, serta menjamin adanya kepastian hukum. Pemberian persetujuan secara tertulis dari Presiden kepada pejabat negara yang sedang menghadapi proses hukum, khususnya penyidikan terhadap pejabat negara, telah diatur di beberapa Undang-Undang, antara lain, UU MK, UU BPK, dan UU MA, sehingga hal demikian bukan merupakan sesuatu yang baru.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 245 UU MD3 beralasan menurut hukum untuk sebagian dan harus dimaknai sebagaimana akan disebutkan dalam amar putusan di bawah;
[3.20]     Menimbang bahwa terkait dengan proses penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang a quo memang hanya dikhususkan untuk anggota DPR sedangkan untuk anggota MPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota tidak diatur dalam bagian atau paragraf secara khusus. Hal ini berbeda dengan UU Nomor 27 Tahun 2009 (UU MD3 2009) dimana ketentuan mengenai proses penyidikan diatur secara khusus bukan hanya untuk anggota DPR tetapi juga untuk semua anggota MPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, ketentuan mengenai penyidikan terhadap anggota MPR diatur dalam Bab II, Bagian Kesebelas, Penyidikan, Pasal 66. Penyidikan terhadap anggota DPR diatur dalam Bagian Keenam Belas, Penyidikan, Pasal 220. Penyidikan terhadap anggota DPD diatur dalam Bagian Keempat Belas, Penyidikan, Pasal 289. Penyidikan terhadap anggota DPRD provinsi diatur dalam Bagian Kelima Belas, Penyidikan, Pasal 340, dan penyidikan terhadap anggota DPRD kabupaten/kota diatur dalam Bagian Kelima Belas, Penyidikan, Pasal 391.
Dengan demikian menurut Mahkamah perihal pengaturan proses penyidikan khususnya terkait dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari Presiden juga harus diberlakukan untuk anggota MPR dan anggota DPD, sedangkan untuk anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPRD provinsi yang disangka melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri dan untuk anggota DPRD kabupaten/kota harus mendapat persetujuan tertulis dari Gubernur.
[3.21]     Menimbang bahwa adanya syarat persetujuan tertulis dari Presiden bagi anggota DPR dalam proses penyidikan sebagaimana telah diuraikan Mahkamah di atas juga berlaku terhadap Pasal 224 ayat (5) Undang-Undanga quo sehingga Pasal 224 ayat (5) juga harus dimaknai sebagaimana akan disebutkan dalam amar putusan di bawah;
[3.22]     Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon II beralasan menurut hukum untuk sebagian;
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.    Permohonan Pemohon I tidak dapat diterima;
2.    Mengabulkan permohonan Pemohon II untuk sebagian:
2.1.    Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden;
2.2.    Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewandalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden;
2.3.    Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) selengkapnya menjadi, “Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden”;
2.4.    Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 224 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden;
2.5.    Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewandalam Pasal 224 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden;
2.6.    Pasal 224 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) selengkapnya menjadi,Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden”.
3.    Menolak permohonan Pemohon II untuk selain dan selebihnya;
4.    Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

===================

Tidak ada komentar: