Pada
tanggal 5 Agustus 2014, salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang konseun di
bidang hukum yaitu Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam permohonannya
Pemohon beranggapan bahwa Pasal 245 Undang-Undang MD3, yang menyatakan,
(1) Pemanggilan
dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2) Dalam
hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan
oleh Mahkamah
Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak diterimanya
permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku apabila anggota DPR:
a. tertangkap
tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka
melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan
keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
c. disangka
melakukan tindak pidana khusus.
bertentangan
dengan Pasal 1 ayat
(3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat
(2) UUD 1945 yang menyatakan:
Pasal 1 ayat (3): “Negara
Indonesia adalah negara hukum”.
Pasal
24 ayat (1): “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan”.
Pasal 27 ayat (1): “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum”.
Pasal 28 ayat (2): “Setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa
pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu”.
Dalam
uraian positanya Pemohon menyatakan bahwa :
1)
Bahwa anggota DPR
sebagai subjek hukum, terlepas dari jabatannya
sebagai anggota DPR harus diberlakukan sama di hadapan hukum, bahwa ketentuan dalam Pasal 245 UU
MD3 telah memberikan keistimewaan terhadap anggota DPR yang sedang menjalani proses
hukum tanpa rasionalitas hukum yang tepat;
2)
Bahwa dalam rangka prinsip persamaan, segala sikap
dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya seperti
keistimewaan proses diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali
tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative
actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau
kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai
tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan
yang sudah jauh lebih maju;
3)
Bahwa keistimewaan dalam proses peradilan atau affirmative
actions dalam prinsip kesetaraan harusnya diberikan kepada
subjek yang tepat dalam hal subjek hukum adalah kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga
masyarakat tertentu, anak atau kelompok rentan, ataupun dalam hal perlindungan
saksi dan korban serta praktik restorative justice;
4)
Bahwa proses peradilan oleh
penyidik terhadap anggota dewan yang hanya dapat dilakukan dengan persetujuan
Mahkamah Kehormatan Dewan, merupakan kelompok pengaturan yang seharusnya tidak
mengandung perlakukan berbeda yang bertentangan dengan prinsip equal protection sebagaimana yang
dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yaitu persamaan atau
kesederajatan di hadapan hukum dan pemerintahan.
5)
Bahwa berdasarkan
instrumen hukum yang ada, Indonesia telah mengakui adanya prinsip non-diskriminasi terhadap warga negaranya, bahwa
berdasarkan prinsip negara hukum, pengakuan terhadap hak asasi manusia menjadi
suatu hal yang mutlak, dimana hak untuk tidak didiskriminasi dan hak untuk
diperlakukan setara adalah prinsip utama hak asasi manusia;
6) Bahwa
Pasal 245 UU MD3 hanya diterapkan untuk anggota DPR, sehingga terdapat
perlakukan yang berbeda untuk warga negara Indonesia (WNI) yang berhadapan
dengan proses hukum dimana
pihak penyidik harus memperoleh izin
tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan sebelum melakukan penyidikan yang
diduga dilakukan oleh anggota DPR. Perlakuan berbeda tersebut tidak diterapkan untuk WNI Iainnya, pihak penyidik dapat secara
langsung melakukan penyidikan. Hal inilah yang mengakibatkan diskriminasi atas
dasar status jabatan publik dan bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi;
Untuk menjawa isu
konstitusional norma a quo, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya
menyatakan sebagai berikut:
[3.15] Menimbang bahwa hal penting yang menjadi penilaian
Mahkamah dalam permohonan a quo
adalah, apakah Pasal 245 Undang-Undang a
quo bertentangan dengan prinsip judicial independent, prinsip equality
before the law, dan prinsip non-diskriminasi, yang dijamin oleh Pasal 24
ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat(1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD
1945;
[3.16] Menimbang
bahwa anggota DPR yang dipilih melalui pemilihan umum berdasarkan Pasal 20 ayat
(1) UUD 1945 memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Sebagai pejabat negara pemegang kekuasaan
pembentuk Undang-Undang dalam pelaksanaan kekuasaannya masing-masing anggota
DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan
pendapat, hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak
imunitas sebagaimana diatur dalam Pasal 20A UUD 1945. Pelaksanaan
fungsi dan hak konstitusional anggota DPR tersebut juga harus diimbangi dengan
adanya perlindungan hukum yang memadai dan proporsional, sehingga anggota DPR
tidak dengan mudah dan bahkan tidak boleh dikriminalisasi pada saat dan/atau
dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan konstitusonalnya sepanjang
dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
[3.17] Menimbang bahwa menurut
Mahkamah adanya persyaratan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan
dalam hal pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota
DPR bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan di hadapan hukum dan
pemerintahan. Proses penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan
tindak pidana, sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan, meskipun dapat
mengganggu kinerja anggota DPR dalam menjalankan tugas dan fungsinya, namun
tidak menghalangi yang bersangkutan untuk melaksanakan tugasnya. Anggota DPR
yang diselidiki dan/atau disidik masih tetap dapat melaksanakan tugasnya
sehari-hari. Adanya adagium yang menyatakan bahwa terhadap sesuatu yang berbeda
seharusnya diperlakukan berbeda dan terhadap sesuatu yang sama harus
diperlakukan sama, menurut Mahkamah, pejabat negara dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya terkait jabatan negara yang diembannya memang berbeda dari warga
negara lain yang bukan pejabat negara, karena dalam rangka menjalankan fungsi
dan haknya, pejabat negara memiliki risiko yang berbeda dengan warga negara
lainnya. Namun demikian, adanya pembedaan itu harus berdasarkan prinsip logika
hukum yang wajar dan proporsional yang secara eksplisit dimuat dalam
Undang-Undang serta tidak diartikan sebagai pemberian keistimewaan yang
berlebihan. Meskipun memang diperlukan adanya perlakuan yang berbeda untuk menjaga
independensi dan imparsialitas lembaga negara dan pejabat negara, namun
perlakuan demikian tidak boleh bertentangan dengan prinsip negara hukum dan
asas-asas peradilan pidana, apalagi sampai berakibat pada terhambatnya proses
hukum.
[3.18]
Menimbang bahwa
menurut Mahkamah, adanya proses pengaturan persetujuan tertulis dari Mahkamah
Kehormatan Dewan kepada anggota DPR yang sedang dilakukan penyidikan menurut
Mahkamah adalah tidak tepat karena Mahkamah Kehormatan Dewan meskipun disebut
“Mahkamah” sesungguhnya adalah alat kelengkapan DPR yang merupakan lembaga etik yang tidak memiliki hubungan
langsung dalam sistem peradilan pidana. Proses pengisian anggota Mahkamah
Kehormatan Dewan yang bersifat dari dan oleh anggota DPR akan menimbulkan
konflik kepentingan. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, proses persetujuan
tertulis terhadap anggota DPR yang kepadanya akan dilakukan penyidikan maka
persetujuan tertulis tersebut haruslah dikeluarkan oleh Presiden dalam kedudukannya
sebagai kepala negara dan bukan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan.
[3.19]
Menimbang bahwa salah
satu bentuk perlindungan hukum yang memadai dan bersifat khusus bagi anggota
DPR dalam melaksanakan fungsi dan hak konstitusionalnya adalah dengan diperlukannya persetujuan atau izin
tertulis dari Presiden dalam hal anggota DPR tersebut dipanggil dan dimintai
keterangan karena diduga melakukan tindak pidana. Hal ini penting sebagai salah
satu fungsi dan upaya menegakkan mekanisme checks
and balances antara pemegang kekuasaan legislatif dengan pemegang
kekuasaaan eksekutif sehingga Mahkamah berpendapat bahwa izin tertulis a quo seharusnya berasal dari Presiden
dan bukan berasal dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
Dengan
adanya persyaratan izin atau persetujuan tertulis dari Presiden dalam hal
anggota DPR dipanggil dan dimintai keterangan dalam konteks adanya dugaan
tindak pidana diharapkan, di satu pihak, tetap dapat melaksanakan fungsi dan
kewenangannya sebagai anggota DPR, di lain pihak, tetap menjamin adanya kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin
oleh UUD 1945. Namun demikian, tindakan penyidikan yang dilakukan sebagaimana
diatur dalam Pasal 245 Undang-Undang a
quo yang memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden tersebut harus
diterbitkan dalam waktu yang singkat. Hal tersebut dilakukan dalam rangka mewujudkan
proses hukum yang berkeadilan, efektif, dan efisien, serta menjamin adanya kepastian
hukum. Pemberian persetujuan
secara tertulis dari Presiden kepada pejabat negara yang sedang menghadapi
proses hukum, khususnya penyidikan terhadap pejabat negara, telah diatur di
beberapa Undang-Undang, antara lain, UU MK, UU BPK, dan UU MA, sehingga hal
demikian bukan merupakan sesuatu yang baru.
Berdasarkan
pertimbangan tersebut, permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 245 UU MD3
beralasan menurut hukum untuk sebagian dan harus dimaknai sebagaimana akan disebutkan
dalam amar putusan di bawah;
[3.20] Menimbang bahwa terkait
dengan proses penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang a quo memang hanya dikhususkan untuk anggota DPR sedangkan untuk
anggota MPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota tidak diatur dalam
bagian atau paragraf secara khusus. Hal ini berbeda dengan UU Nomor 27 Tahun
2009 (UU MD3 2009) dimana ketentuan mengenai proses penyidikan diatur secara
khusus bukan hanya untuk anggota DPR tetapi juga untuk semua anggota MPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD dan DPRD, ketentuan mengenai penyidikan terhadap anggota MPR diatur
dalam Bab II, Bagian Kesebelas, Penyidikan, Pasal 66. Penyidikan terhadap
anggota DPR diatur dalam Bagian Keenam Belas, Penyidikan, Pasal 220. Penyidikan
terhadap anggota DPD diatur dalam Bagian Keempat Belas, Penyidikan, Pasal 289.
Penyidikan terhadap anggota DPRD provinsi diatur dalam Bagian Kelima Belas,
Penyidikan, Pasal 340, dan penyidikan terhadap anggota DPRD kabupaten/kota
diatur dalam Bagian Kelima Belas, Penyidikan, Pasal 391.
Dengan demikian menurut Mahkamah perihal pengaturan
proses penyidikan khususnya terkait dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari
Presiden juga harus diberlakukan untuk anggota MPR dan anggota DPD, sedangkan
untuk anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota pemanggilan dan
permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPRD provinsi yang disangka
melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam
Negeri dan untuk anggota DPRD kabupaten/kota harus mendapat persetujuan
tertulis dari Gubernur.
[3.21] Menimbang bahwa adanya syarat
persetujuan tertulis dari Presiden bagi anggota DPR dalam proses penyidikan
sebagaimana telah diuraikan Mahkamah di atas juga berlaku terhadap Pasal 224
ayat (5) Undang-Undanga quo sehingga
Pasal 224 ayat (5) juga harus dimaknai sebagaimana akan disebutkan
dalam amar putusan di bawah;
[3.22] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh
pertimbangan hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil
permohonan Pemohon II beralasan menurut hukum untuk sebagian;
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Permohonan Pemohon I tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan
permohonan Pemohon II untuk
sebagian:
2.1. Frasa
“persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan”
dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari
Presiden”;
2.2. Frasa
“persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan”
dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5568) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden”;
2.3. Pasal
245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) selengkapnya menjadi, “Pemanggilan
dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden”;
2.4. Frasa
“persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan”
dalam Pasal 224 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari
Presiden”;
2.5. Frasa
“persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan”
dalam Pasal 224 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5568) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden”;
2.6. Pasal
224 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) selengkapnya menjadi,“Pemanggilan
dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak
pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden”.
3. Menolak permohonan Pemohon II untuk selain dan selebihnya;
4. Memerintahkan
pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
===================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar