Pada tanggal 15 Agustus 2014, Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) akhirnya mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam permohonannya Pemohon menyampaikan
bahwa kerugian
konstitusional Pemohon dalam permohonan pengujian materiil UU MD3 berupa:
-
dikuranginya
kewenangan Pemohon untuk dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang [vide Pasal
22D ayat (1) UUD 1945)] tercantum dalam Pasal 166 ayat (2), Pasal 167 ayat (1),
Pasal 276 ayat (1), dan Pasal 277 ayat (1) UU MD3:
-
dikuranginya
kewenangan Permohon untuk ikut membahas
Rancangan Undang-Undang [vide Pasal 22D ayat (2) UUD 1945] tercantum
dalam Pasal 71 huruf c, Pasal 165 dan Pasal 166, Pasal 170 ayat (5), Pasal 171
ayat (1), dan Pasal 249 huruf b UU MD3;
-
dikuranginya
kewenangan Pemohon dalam kedudukannya sebagai lembaga perwakilan daerah (territorial representative) [vide Pasal
22C dan Pasal 22D UUD 1945] tercantum dalam Pasal 72, 174 ayat (1), Pasal 174
ayat (4), Pasal 174 ayat (5), Pasal 250 ayat (1), Pasal 245 ayat (1), Pasal 252
ayat (4), Pasal 281, Pasal 238, dan Pasal 239 ayat (2) UU MD3;
Untuk menjawab persoalan
konstitusionalitas pasal dalam undang-undang a quo, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan
sebagai berikut:
Dalam
Pokok Permohonan
Pengujian
Formil
[3.15] Menimbang bahwa pada pokoknya alasan permohonan pengujian formil UU
17/2014 Pemohon adalah sebagai berikut:
a. Pembentukan UU
17/2014 tidak sesuai dengan bentuk, format/struktur, tata cara/prosedur, asas keterbukaan, organ/lembaga
yang sebagaimana diatur UU 12/2011. Pengaturan MPR, DPR, DPD, dan DPRD seharusnya diatur dengan Undang-Undang sendiri-sendiri;
b. Pembentukan UU
17/2014 tidak memenuhi kesesuaian kewenangan lembaga yang mengambil keputusan
karena tidak melibatkan DPD (Pemohon) dalam pembahasan tingkat I dan tingkat II
sebelum tahap persetujuan; dan
c. Pembentukan UU
17/2014 tidak memenuhi kesesuaian tata cara/prosedur yang ditentukan karena rancangan
Undang-Undang a quo pada waktu masuk
Prolegnas tahun 2012 tidak dimaksudkan untuk membuat UU MD3 yang baru,
melainkan membuat perubahan atas UU MD3 yang lama (UU 27/2009);
[3.15.1] Menimbang bahwa terhadap permohonan pengujian formil Pemohon, menurut Mahkamah, setelah mencermati dengan
saksama alasan yang dijadikan dasar pengujian formil oleh Pemohon tersebut
adalah kurang lebih sama dengan alasan pengujian formil yang diajukan oleh
Pemohon lain dalam Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 yang telah
diputus oleh Mahkamah tanggal 19 September 2014. Namun sebelum mengutip pertimbangan hukum
pengujian formil dalam Putusan 73/PUU-XII/2014, bertanggal 19 September 2014, Mahkamah terlebih dahulu
akan mengutip
pendapat Mahkamah terhadap pengujian formil dalam Putusan Nomor
27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010, yang antara lain, mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16] … dasar yang digunakan oleh
Mahkamah untuk melakukan pengujian formil terhadap Undang-Undang a quo adalah Pasal 20 UUD 1945 yang
rumusan lengkapnya sebagai berikut:
(1) Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undangundang.
(2) Setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika
rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan
undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan
Rakyat masa itu.
(4) Presiden
mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi
undang-undang.
(5) Dalam hal
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan
oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang
tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang
dan wajib diundangkan.
[3.17] … pembentukan Undang-Undang menurut ketentuan UUD
1945 melibatkan lembaga negara Presiden dan DPR yaitu bahwa kedua lembaga
tersebut telah membahas RUU dan menyetujui bersama. Pemberian persetujuan oleh
Presiden terhadap RUU dilakukan oleh Presiden sendiri dengan atau tanpa
mendelegasikan kepada menteri untuk mewakilinya, sedangkan pemberian
persetujuan oleh DPR dilakukan melalui mekanisme pengambilan keputusan yang
melibatkan anggota DPR. Pemberian persetujuan baik oleh Presiden maupun DPR
merupakan syarat konstitusionalitas sah atau tidaknya suatu Undang-Undang. UUD
1945 tidak mengatur tata cara pembahasan dan pengambilan keputusan DPR dalam
pembentukan Undang-Undang, tetapi pelaksanaannya diatur dalam UU 10/2004 Bab VI
Bagian ke satu, Pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR, UU Nomor 22 Tahun
2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (yang berlaku pada
saat itu) dan diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR. Ketentuan yang terdapat
dalam UU 10/2004 dan UU 22/2003 adalah merupakan Undang-Undang yang diperlukan
untuk menampung ketentuan Pasal 22A UUD 1945. Dalam kedua Undang-Undang
disebutkan juga adanya Peraturan Tata Tertib DPR dalam pembentukan
Undang-Undang, yaitu Pasal 19 UU 10/2004 dan Pasal 102 ayat (1) dan ayat (4) UU
22/2003;
Dengan demikian hanya berdasar Peraturan Tata Tertib DPR sajalah dapat
dipastikan apakah DPR telah menyetujui atau menolak RUU. Tanpa adanya Peraturan
Tata Tertib DPR, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan karena UUD 1945 tidak
mengatur tata cara pengambilan keputusan DPR, maka Peraturan Tata Tertib DPR
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam implementasi UUD 1945;
[3.18] … dalam Putusan Nomor
001-021-022/PUU-I/2003, tanggal 16 Desember 2004 perihal pengujian UU Nomor 20
Tahun 2002 dalam pokok perkara yang berkaitan dengan pengujian formil
permohonan Perkara Nomor 001/PUU-I/2003 tanggal 16 Desember 2004, Mahkamah
menyatakan, ”Menimbang terhadap apa
yang didalilkan oleh Pemohon Perkara Nomor 001/PUU-I/2003 tersebut Mahkamah
berpendapat bahwa pada saat Undang-Undang Kelistrikan diundangkan pada tahun
2002, Undang-Undang tentang tata cara pembentukan Undang-Undang yang
diamanatkan oleh Pasal 22A UUD 1945 belum ada sehingga belum ada tolok ukur
yang jelas tentang prosedur pembentukan Undang-Undang yang sesuai UUD 1945.
Oleh karena itu UU Susduk 1999 yang merupakan amanat Pasal 19 ayat (1) [sic, seharusnya ayat (2)] UUD 1945 juncto Peraturan Tata Tertib DPR
yang diamanatkan oleh UU Susduk tersebut dijadikan kriteria pemeriksaan
prosedur pembuatan Undang-Undang”;
[3.19] … oleh karenanya sudah sejak
Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, Mahkamah berpendapat Peraturan Tata
Tertib DPR RI Nomor 08/DPR RI/I/2005.2006 (yang selanjutnya disebut Tatib DPR)
adalah merupakan bagian yang sangat penting dalam perkara a quo untuk melakukan pengujian
formil UU 3/2009 terhadap UUD 1945, karena hanya dengan berdasarkan Peraturan
Tata Tertib DPR tersebut dapat ditentukan apakah DPR telah memberikan
persetujuan terhadap RUU yang dibahasnya sebagai syarat pembentukan
Undang-Undang yang diharuskan oleh UUD 1945;
Terkait dengan hal-hal tersebut, menurut Mahkamah jika tolok ukur pengujian
formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja, maka hampir dapat
dipastikan tidak akan pernah ada pengujian formil karena UUD 1945 hanya memuat
hal-hal prinsip dan tidak mengatur secara jelas aspek formilproseduralnya.
Padahal dari logika tertib tata hukum sesuai dengan konstitusi, pengujian
secara formil itu harus dapat dilakukan. Oleh sebab itu, sepanjang
Undang-Undang, tata tertib produk lembaga negara, dan peraturan
perundangundangan yang mengatur mekanisme atau formil-prosedural itu mengalir
dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, maka peraturan perundang-undangan
itu dapat dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji
dalam pengujian formil;
[3.20] … menurut Pasal 136 Peraturan Tata
Tertib DPR, Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua)
tingkat pembicaraan, yaitu (a) Tingkat I dalam Rapat Komisi, Rapat Gabungan
Komisi, Rapat Badan Legislasi, Rapat Panitia Anggaran, atau Rapat Panita
Khusus; dan (b) Tingkat II Rapat Paripurna;
...
[3.33] … pengujian Undang-Undang dilakukan
antara Undang-Undang terhadap UUD 1945, bukannya diuji dengan Undang-Undang
atau yang lain, dalam hal ini UU 10/2004. Materi UU 10/2004 diantaranya
dimaksudkan untuk mengatur tata cara pembentukan Undang-Undang yang baik.
Adanya kekurangan dalam suatu pembentukan Undang-Undang karena tidak sesuai
dengan ketentuan yang terdapat dalam UU 10/2004, tidak dengan serta merta
menyebabkan Undang-Undang tersebut batal. Undang-Undang yang tidak baik proses
pembentukannya mungkin dapat menyebabkan materi pengaturannya kurang sempurna
atau dapat juga materinya bertentangan dengan UUD 1945, namun dapat pula
menghasilkan suatu peraturan yang baik dari segi teori pembentukan
Undang-Undang. Dengan pertimbangan di atas, Mahkamah tidak melakukan pengujian
Undang-Undang secara formil langsung berdasarkan setiap ketentuan yang ada
dalam UU 10/2004, karena apabila hal demikian dilakukan berarti Mahkamah melakukan
pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan hal tersebut bukan maksud
UUD 1945. Apabila Mahkamah mempertimbangkan adanya pengaturan yang berbeda,
yang dimuat dalam Undang-Undang yang berbeda, sebelum memberikan putusan pada
suatu perkara, hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga adanya konsistensi dalam
pengaturan demi menjaga kepastian hukum dan bukan untuk menguji substansi
Undang-Undang terhadap Undang-Undang lain. UU 10/2004 adalah sebuah
Undang-Undang pula, yang artinya sebagaimana Undang-Undang pada umumnya dapat
menjadi objek pengujian baik formil maupun materiil, oleh karena itu tidak
dapat dijadikan sebagai dasar pengujian;
[3.15.2] Menimbang bahwa adapun terhadap permohonan pengujian formil
UU 17/2014, Mahkamah dalam
Putusan Nomor 73/PUU-XII/2014, bertanggal 19 September 2014, antara lain,
mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.23] … Berdasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah
Nomor 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010 sebagaimana dikutip di atas,
Mahkamah telah berpendirian bahwa Mahkamah hanya menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar dan tidak dapat menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang dan Mahkamah hanya akan menggunakan Undang-Undang atau peraturan
perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau formil prosedural yang mengalir
dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, dalam hal ini delegasi kewenangan
yang dimaksud adalah mekanisme persetujuan bersama antara Presiden dan DPR.
Kalaupun Mahkamah menilai ketidaksesuaian antara satu Undang-Undang dengan
Undang-Undang yang lain sehingga bertentangan dengan UUD 1945 hal itu
semata-mata dikaitkan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang
kepastian hukum yang adil dan konsistensi dalam pembentukan Undang-Undang
antara Undang-Undang yang satu dengan yang lain.
Pada kenyataannya pembentukan UU 17/2014
telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yaitu telah
dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Adapun mengenai Naskah
Akademik dalam perubahan Undang-Undang a quo, ternyata Naskah Akademik
sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon dalam permohonannya bahwa Rancangan
Undang-Undang tersebut disiapkan oleh Badan Legislasi DPR yang juga telah
mempersiapkan Naskah Akademiknya. Menurut Mahkamah, walaupun perubahan pasal a
quo tidak bersumber dari Naskah Akademik yang merupakan acuan atau referensi
penyusunan dan pembahasan RUU, namun tidak serta merta hal-hal yang tidak
termuat dalam Naskah Akademik kemudian masuk dalam Undang-Undang menyebabkan
suatu Undang-Undang menjadi inkonstitusional. Demikian juga sebaliknya,
walaupun sudah termuat dalam Naskah Akademik kemudian dalam penyusunan dan
pembahasan RUU ternyata mengalami perubahan atau dihilangkan, hal itu tidak
pula menyebabkan norma Undang-Undang tersebut menjadi inkonstitusional. Asas
keterbukaan yang didalilkan oleh para Pemohon dilanggar dalam pembentukan
Undang-Undang a quo tidak terbukti karena ternyata seluruh proses pembahasannya
sudah dilakukan secara terbuka, transparan, yang juga para Pemohon ikut dalam seluruh
proses itu. Sekiranya terjadi dalam proses pembahasan tidak sepenuhnya
mengikuti tata cara yang diatur dalam Undang-Undang mengenai pembentukan
peraturan perundang-undangan (UU 12/2011) atau tidak sesuai dengan ketentuan
tata tertib DPR, menurut Mahkamah, tidak serta merta menjadikan Undang-Undang
tersebut inkonstitusional sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Norma yang
ada dalam Undang-Undang pembentukan peraturan perundang-undangan dan peraturan
tata tertib DPR mengenai pembentukan Undang-Undang hanyalah tata cara
pembentukan Undang-Undang yang baik yang jika ada materi muatan yang diduga
bertentangan dengan konstitusi dapat dilakukan pengujian materiil terhadap
pasal-pasal tertentu karena dapat saja suatu
Undang-Undang yang telah dibentuk berdasarkan tata cara yang diatur dalam
Undang-Undang pembentukan peraturan perundang-undangan dan peraturan tata
tertib DPR justru materi muatannya bertentangan dengan UUD 1945. Sebaliknya
dapat juga suatu Undang-Undang yang telah dibentuk tidak berdasarkan tata cara
yang diatur dalam Undang-Undang pembentukan peraturan perundang-undangan dan
peraturan tata tertib DPR justru materi muatannya sesuai dengan UUD 1945;
[3.24] … mengenai tidak ikutnya DPD dalam pembahasan RUU MD3,
tidaklah serta merta menjadikan Undang-Undang a quo cacat prosedur, karena
kewenangan konstitusional DPD sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat (2) UUD
1945 adalah untuk ikut membahas rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang
anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Menurut Mahkamah tidak
didengarnya DPD dalam pembahasan pembentukan Undang-Undang a quo, karena
Undang-Undang a quo mengatur juga mengenai DPD, bukan persoalan konstitusional
tetapi hanya berkaitan dengan tata cara pembentukan Undang-Undang yang baik
agar materi muatan Undang-Undang tersebut memenuhi aspirasi dan kebutuhan
lembaga yang diatur dalam Undang-Undang tersebut. Menurut Mahkamah, jika dalam
materi Undang-Undang a quo diduga ada norma muatan yang bertentangan dengan UUD
1945 maka dapat dilakukan pengujian materiil atas Undang-Undang tersebut, bukan
pengujian formil;
[3.26] ... MPR, DPR, dan DPD, ketiganya merupakan
lembaga negara sebagai lembaga perwakilan dan berkaitan satu sama lain. MPR
terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. MPR tidak akan ada jika tidak ada
anggota DPR dan anggota DPD. Unsur yang hakiki dari MPR adalah anggota DPR dan
anggota DPD. Demikian pula pada saat MPR bersidang maka semua anggota DPR dan
anggota DPD berfungsi sebagai anggota MPR tanpa dapat dikecualikan sedikit pun.
Setiap keputusan atau ketetapan MPR pastilah juga merupakan keputusan atau
ketetapan dari anggota DPR dan anggota DPD. Lagipula dalam sejarah setelah
perubahan UUD 1945 yang dilakukan dalam tahun 1999-2002, ketiga lembaga
tersebut tetap diatur dalam satu Undang-Undang. Pengaturan ketiga lembaga
negara tersebut dalam satu Undang-Undang akan memudahkan pengaturan mengenai
hubungan kerja dan fungsi antara ketiga lembaga negara yang saling berkaitan.
Justru akan menyulitkan apabila diatur masing-masing dalam Undang-Undang
tersendiri. Menurut Mahkamah, Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 merupakan landasan
konstitusional bahwa keberadaan MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD
dari hasil pemilihan umum lembaga perwakilan. Dengan demikian, frasa “dengan”
dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 berkaitan dengan hal ihwal MPR, DPR, dan DPD,
diatur dengan Undang-Undang dan dibaca dalam satu tarikan nafas dengan frasa
“dengan” yang tercantum dalam Pasal 19 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 22C ayat (4)
UUD 1945, sehingga frasa “dengan” bukan dimaknai Undang-Undang tentang MPR,
tentang DPR, dan tentang DPD tersendiri dan dipisahkan satu sama lain.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dalil para Pemohon a quo tidak
beralasan menurut hukum;
Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah,
pengujian formil UU 17/2014 yang dimohonkan Pemohon telah dinilai dan
dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 73/PUU-XII/2014, bertanggal 19 September
2014, yang pada dasarnya menolak permohonan Pemohon, sehingga pertimbangan
dalam putusan Mahkamah tersebut mutatis
mutandis berlaku juga untuk
permohonan Pemohon a quo.
Dengan demikian permohonan Pemohon dalam pengujian formil tidak dapat diterima;
Pengujian
Materiil
[3.16] Menimbang bahwa Pemohon dalam
pengujian materiil pada pokoknya mempersoalkan mengenai 3 (tiga) permasalahan, yakni:
1)
Kewenangan DPD untuk mengajukan rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
2) Kewenangan
DPD untuk ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah; dan
3)
Kewenangan DPD sebagai lembaga negara;
Terhadap 3 (tiga) permasalahan hukum Pemohon tersebut, Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.17] Menimbang terhadap permasalahan hukum yang
pertama, Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 166 ayat (2), Pasal 167 ayat (1) [sic!], Pasal
276 ayat (1), dan Pasal 277 ayat (1) UU 17/2014 bertentangan dengan Pasal 22D
ayat (1) UUD 1945 karena telah menempatkan DPD tidak setara dengan DPR dalam
penyampaian RUU dan telah membatasi kewenangan DPD dalam mengajukan RUU;
[3.17.1] Terhadap
dalil Pemohon mengenai Pasal 166 ayat (2) UU 17/2014, menurut Mahkamah maksud
yang terkandung dalam Pasal 166 ayat (2) UU 17/2014 prinsipnya sama
dengan maksud yang terkandung dalam norma Pasal 146 ayat (1) UU 27/2009, yang
menyatakan:
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD
|
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD
|
Pasal 146
(1)
Rancangan undang-undang beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah
akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD
kepada pimpinan DPR;
(2) … dst;
|
Pasal 166
(1)
… dst;
(2)
Rancangan
undang-undang beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik
yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada
pimpinan DPR.
|
Mahkamah dalam Putusan Nomor 92/PUU-X/2012, bertanggal
27 Maret 2013, telah memutus Pasal 146 ayat (1) UU 27/2009, yang
amarnya menyatakan, ”Pasal 146 ayat (1) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, Rancangan Undang-Undang beserta penjelasan atau
keterangan dan/atau naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara
tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan kepada Presiden”.
Sekalipun
Mahkamah dalam Putusan Nomor 92/PUU-X/2012, bertanggal
27 Maret 2013, telah menyatakan Pasal 146 ayat (1) UU 27/2009
bertentangan dengan UUD 1945, namun pembentuk Undang-Undang dalam melakukan
penggantian UU MD3 tidak memasukkan putusan Mahkamah bahwa rancangan Undang-Undang
tersebut selain disampaikan kepada DPR juga disampaikan kepada Presiden. Dengan
kata lain, seharusnya
rancangan
Undang-Undang beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik yang
berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan
DPR dan Presiden;
Berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, Pasal 166 ayat (2) UU 17/2014 bertentangan
dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Rancangan
Undang-Undang beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik yang
berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan
DPR dan Presiden”.
[3.17.2] Terhadap
dalil Pemohon mengenai Pasal 167 ayat (1) UU 17/2014 yang menyatakan, “Rancangan undang-undang beserta naskah akademik yang berasal dari DPD
disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR” [sic!], menurut
Mahkamah pokok permohonan a
quo tidak jelas dan kabur karena Pasal 167 ayat (1) yang menyatakan ”Rancangan undang-undang beserta naskah akademik yang berasal dari DPD
disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR” yang dimohonkan
pengujian oleh Pemohon tidak ada dalam UU 17/2014 karena Pasal 167 UU 17/2014 tidak diikuti oleh ayat, melainkan hanya norma
tunggal yang menyatakan, “Penyebarluasan
rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 ayat (2) dilaksanakan
oleh DPD”.
Berdasarkan
pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah dalil mengenai Pasal 167 ayat (1) UU
17/2014 kabur atau tidak jelas;
[3.17.3] Terhadap
dalil Pemohon mengenai Pasal 276 ayat (1) UU 17/2014, menurut Mahkamah bahwa
benar DPD berdasarkan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 mempunyai kewenangan dapat mengajukan kepada
DPR rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, namun kewenangan DPD
dimaksud bukan tanpa aturan, melainkan harus dilakukan dengan
terlebih dahulu menyusun
rencana program rancangan Undang-Undang untuk diajukan kepada DPR agar dapat
dimasukkan dalam program legislasi nasional. Mekanisme demikian harus ditempuh sebab selain untuk
mempersiapkan anggaran, juga
untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan perancangan
Undang-Undang termaksud dan
untuk mengukur tingkat keberhasilan DPD dalam menyusun rancangan Undang-Undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah yang akan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Oleh karena
itu, DPD mengajukan usulan rancangan undang-undang tertentu sebelum ditetapkan
prolegnas oleh DPR dan Presiden;
Selain itu,
Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Nomor 92/PUU-X/2012, tanggal 27
Maret 2013 telah
menegaskan untuk mengikutsertakan
DPD dalam penyusunan Prolegnas dalam bidang-bidang tertentu. Pertimbangan Mahkamah demikian
dimuat dalam paragraf [3.18.4], antara lain menyatakan:
… keikutsertaan dan keterlibatan DPD dalam penyusunan
Prolegnas seharusnya merupakan konsekuensi dari norma Pasal 22D ayat (1) UUD
1945 yang menyatakan, “Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.” Penyusunan Prolegnas sebagai instrumen perencanaan
program pembentukan Undang-Undang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
hak dan/atau kewenangan untuk mengajukan RUU yang dimiliki DPD. Berdasarkan
Pasal 16 dan Pasal 17 UU 12/2011, perencanaan penyusunan Undang-Undang
dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan skala prioritas program pembentukan
Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Dengan demikian,
RUU yang tidak masuk dalam Prolegnas tidak menjadi prioritas untuk dibahas.
Apabila DPD tidak terlibat atau tidak ikut serta menentukan Prolegnas, maka
sangat mungkin DPD tidak dapat melaksanakan wewenangnya untuk mengajukan RUU
sebagaimana dimaksud Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, karena dapat saja RUU
tersebut tidak menjadi prioritas sehingga tidak akan dibahas.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut
ketentuan Pasal 276 ayat (1) UU 17/2014 yang menentukan syarat pengajuan
rancangan undang-undang oleh DPD harus sesuai dengan program legislasi nasional
bukan merupakan pembatasan terhadap kewenangan DPD dalam penyampaian rancangan
undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Selain itu,
ketentuan tersebut juga telah sejalan dengan Pasal 45 ayat (1) UU 12/2011 yang
menyatakan, Rancangan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR
maupun Presiden serta Rancangan Undang-Undang yang diajukan DPD kepada DPR
disusun berdasarkan Prolegnas. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil Pemohon
sepanjang mengenai Pasal
276 ayat (1) UU 17/2014 tidak beralasan menurut hukum;
[3.17.4] Terhadap
dalil Pemohon mengenai Pasal 277 ayat (1) UU 17/2014, menurut Mahkamah pasal a quo mengatur mengenai mekanisme
penyampaian rancangan Undang-Undang beserta naskah akademik yang berasal dari
DPD kepada pimpinan DPR dengan ditembuskan kepada Presiden. Ketentuan norma
demikian tidak sejalan atau menyimpangi Putusan
Mahkamah Nomor 92/PUU-X/2012, bertanggal 27 Maret 2013. Semangat yang terkandung
dalam putusan Mahkamah a quo adalah
menekankan adanya keterlibatan DPD bersama DPR dan Presiden dalam
mengajukan rancangan dan pembahasan rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Keterlibatan
DPD tesebut hanya dalam pembahasan, tidak sampai pada pengambilan keputusan. Pendapat Mahkamah
demikian secara tegas dinyatakan dalam Putusan
Mahkamah Nomor 92/PUU-X/2012, bertanggal 27 Maret 2013 pada paragraf [3.18.1] dan paragraf [3.18.2], antara lain, mempertimbangkan
sebagai berikut:
[3.18.1] … DPD mempunyai posisi dan kedudukan yang sama dengan DPR
dan Presiden dalam hal mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
…
[3.18.2] … DPD sebagai lembaga negara mempunyai hak dan/atau
kewenangan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi
daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
…
… pembahasan RUU harus melibatkan DPD sejak memulai pembahasan pada Tingkat
I oleh komisi atau panitia khusus DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar
musyawarah, mengajukan, dan membahas
Daftar Inventaris Masalah (DIM) serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap
akhir dalam pembahasan di Tingkat I. Kemudian DPD menyampaikan pendapat pada
pembahasan Tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap
persetujuan. Menurut Mahkamah, pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama
dengan RUU dari Presiden dan DPR. Terhadap RUU dari Presiden, Presiden
diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan DPD memberikan
pandangan. Begitu pula terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan kesempatan
memberikan penjelasan, sedangkan Presiden dan DPD memberikan pandangan. Hal
yang sama juga diperlakukan terhadap RUU dari DPD, yaitu DPD diberikan
kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan Presiden memberikan
pandangan. Konstruksi UUD 1945 mengenai pembahasan RUU antara Presiden dan DPR,
serta DPD (dalam hal terkait RUU tertentu) dilakukan antara lembaga negara,
sehingga DIM, diajukan oleh masing-masing lembaga negara, dalam hal ini bagi
DPR seharusnya DIM diajukan oleh DPR, bukan DIM diajukan oleh fraksi. Walaupun
demikian, Mahkamah dapat memahami bahwa mekanisme pembahasan RUU dengan
membahas DIM yang diajukan oleh fraksi adalah praktik pembahasan RUU sebelum
perubahan UUD 1945. Selanjutnya pembahasan pada tingkat Alat Kelengkapan DPR
yang sudah mengundang Presiden dan/atau sudah mengundang DPD, maka DPR dalam
pembahasan DIM hanya diwakili oleh Alat Kelengkapan DPR sebagai satu kesatuan
kelembagaan;
Berdasarkan pertimbangan di atas,
menurut Mahkamah mekanisme panyampaian rancangan Undang-Undang beserta naskah
akademik dari DPD harus disamakan dengan mekanisme
penyampaian rancangan
Undang-Undang sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam paragraf [3.17.1], yakni rancangan Undang-Undang beserta naskah akademik yang
berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan
DPR dan Presiden. Berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon sepanjang
mengenai Pasal 277 ayat (1) UU 17/2014 beralasan
menurut hukum;
[3.18] Menimbang terhadap permasalahan hukum yang
kedua,
Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 71 huruf c, Pasal 165, Pasal 166,
Pasal 170 ayat (5), Pasal 171 ayat (1), dan Pasal 249 huruf b UU 17/2014 bertentangan
dengan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 karena tidak ada (tidak memasukkannya menjadi) tugas DPR
membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Pemohon (DPD), mereduksi
kewenangan legislasi Pemohon (DPD) dalam pembahasan rancangan undang-undang
bersama DPR dan Presiden untuk disampaikan kepada Pemohon (DPD),
mendelegitimasi kewenangan konstitusional Pemohon (DPD) dalam pembahasan rancangan
undang-undang, Pemohon (DPD) hanya diberikan kesempatan menyampaikan pendapat
sebelum diambil persetujuan rancangan undang-undang, dan mengaburkan
pihak-pihak yang berwenang dalam pembahasan rancangan undang-undang;
[3.18.1] Terhadap
dalil Pemohon mengenai Pasal 71 huruf c UU 17/2014 bertentangan dengan Pasal 22D
ayat (2) UUD 1945 karena pasal a quo tidak
memasukkan tugas DPR membahas rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh
Pemohon (DPD), menurut Mahkamah norma yang tercantum dalam Pasal 71 huruf c UU
17/2014 sama dengan norma yang tercantum dalam Pasal 71 huruf e UU 27/2009 yang
menyatakan.
“DPR mempunyai tugas dan wewenang:
a. .. dst.
e. membahas
rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan
DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden”;
Pasal 71 huruf e UU 27/2009 tersebut telah diputus
oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 92/PUU-X/2012, bertanggal 27 Maret 2013, yang dalam paragraf [3.18.3], antara lain,
mempertimbangkan sebagai berikut:
“... Pasal 22D
ayat (2) UUD 1945 telah menentukan dengan jelas bahwa DPD hanya berwenang ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah dan tidak ikut serta pada pemberian
persetujuan akhir yang lazimnya dilakukan pada rapat paripurna DPR pembahasan
Tingkat II. Artinya, DPD dapat saja ikut membahas dan memberi pendapat pada
saat rapat paripurna DPR yang membahas RUU pada Tingkat II, tetapi tidak
memiliki hak memberi persetujuan terhadap RUU yang bersangkutan. Persetujuan
terhadap RUU untuk menjadi Undang-Undang, terkait dengan ketentuan Pasal 20
ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa hanya DPR dan Presidenlah yang memiliki
hak memberi persetujuan atas semua RUU. Kewenangan DPD yang demikian, sejalan
dengan kehendak awal (original intent) pada saat pembahasan
pembentukan DPD pada Perubahan Ketiga UUD 1945 yang berlangsung sejak tahun
2000 sampai tahun 2001. Semula, terdapat usulan bahwa kewenangan DPD termasuk
memberi persetujuan terhadap RUU untuk menjadi Undang-Undang, tetapi usulan
tersebut ditolak. Pemahaman yang demikian sejalan dengan penafsiran sistematis
atas Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 dikaitkan dengan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945.
Bahwa Pasal 20 ayat (2) UUD 1945
mengandung dua kewenangan, yaitu kewenangan untuk membahas dan kewenangan untuk
menyetujui bersama antara DPR dan Presiden, sedangkan Pasal 22D ayat (2) UUD
1945 hanya menegaskan DPD ikut membahas tanpa ikut memberi persetujuan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, DPD tidak ikut memberi
persetujuan terhadap RUU untuk menjadi Undang-Undang”;
Menurut
Mahkamah, meskipun norma yang tercantum di dalam Pasal 71 huruf e UU 27/2009
telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 92/PUU-X/2012, bertanggal 27
Maret 2013 yang amarnya pada pokoknya menyatakan menolak permohonan Pemohon,
namun pertimbangan Mahkamah tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan tidak
dimasukkannya kewenangan DPR untuk membahas rancangan Undang-Undang yang
diajukan oleh Pemohon (DPD) sebagaimana yang di dalilkan oleh Pemohon.
Pertimbangan Mahkamah a quo hanya
berkaitan mengenai DPD ikut serta membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah
tanpa ikut memberi persetujuan. Oleh karena pertimbangan Mahkamah dalam Putusan
Nomor 92/PUU-X/2012, bertanggal 27 Maret 2013, tidak berkaitan dengan dalil
Pemohon tersebut, maka Mahkamah akan memberikan pendapat sebagai berikut:
Pasal 22D ayat
(1) dan ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan bahwa DPD mempunyai kewenangan dapat
mengajukan kepada DPR rancangan Undang-Undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat
dan daerah, serta membahas rancangan Undang-Undang a quo. Kewenangan tersebut tidak disebutkan ataupun dimasukkan
menjadi kewenangan DPR dalam Pasal 71 huruf c UU 17/2014. Oleh karena itu, menurut
Mahkamah Pasal 71 huruf c UU 17/2014 harus dimaknai, “membahas rancangan undang-undang yang
diajukan oleh Presiden, DPR, atau DPD
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah,
sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden”. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah dalil
Pemohon sepanjang mengenai Pasal 71 huruf c UU 17/2014 beralasan menurut hukum;
[3.18.2] Pemohon
mendalilkan Pasal 165 dan Pasal 166 UU 17/2014 bertentangan dengan Pasal 22D
ayat (2) UUD 1945 karena pasal a quo telah
mereduksi kewenangan legislasi Pemohon (DPD) dalam pembahasan rancangan Undang-Undang
bersama DPR dan Presiden untuk disampaikan kepada Pemohon (DPD). Menurut
Pemohon pasal a quo hanya mengatur penyampaian
rancangan
Undang-Undang untuk
dibahas yang diajukan oleh Presiden dan DPD saja yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sedangkan rancangan Undang-Undang yang berasal dari
DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah, tidak
diatur untuk disampaikan kepada DPD. Oleh karena itu, Pemohon memohon kepada Mahkamah menambah
satu ayat in casu ayat (3) dalam
Pasal 165 UU 17/2014 yang menyatakan “Rancangan undang-undang yang berasal dari DPR berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah disampaikan Pimpinan DPR kepada Pimpinan DPD dan Presiden”.
Terhadap
dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah permohonan Pemohon bukan merupakan
permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, melainkan
merupakan permohonan kepada Mahkamah untuk merumuskan norma baru dalam suatu Undang-Undang
sebab Pemohon dalam permohonan a quo dengan
tegas mempermasalahkan Pasal 165 dan Pasal 166 UU 17/2014 yang tidak mengatur
kewenangan DPR untuk menyampaikan rancangan yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada pimpinan
DPD dan Presiden. Berkenaan dengan permohonan Pemohon tersebut, menurut Mahkamah permohonan
Pemohon merupakan tambahan rumusan norma baru suatu Undang-Undang yang bukan merupakan kewenangan
Mahkamah, melainkan
kewenangan dari pembentuk
Undang-Undang. Dengan demikian permohonan Pemohon a
quo tidak
beralasan menurut hukum.
Adapun khusus mengenai Pasal 166 UU
17/2014, menurut Mahkamah bahwa Pemohon dalam petitumnya hanya memohon Pasal
166 ayat (2) UU 17/2014 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat dan tidak memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan
Pasal 166 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU 17/2014 bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menurut Mahkamah
bahwa oleh karena Pemohon dalam petitumnya tidak memohon Pasal 166 ayat (1),
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU 17/2014 maka Mahkamah tidak perlu
mempertimbangkan ayat dalam pasal a quo. Adapun
terhadap permohonan Pemohon mengenai Pasal 166 ayat (2) UU 17/2014 telah
dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam paragraf [3.17.1] di atas.
[3.18.3] Terhadap
dalil Pemohon mengenai Pasal 170 ayat (5) UU 17/2014 bertentangan dengan Pasal
22D ayat (2) UUD 1945 karena pasal a quo telah
mendelegitimasi kewenangan konstitusional Pemohon (DPD) dalam pembahasan
rancangan undang-undang, menurut Mahkamah, pasal tersebut tidak dapat diartikan
mendelegitimasi kewenangan Pemohon karena hal tersebut mengatur tentang apakah
DPD menggunakan atau tidak menggunakan haknya untuk menyampaikan pandangan dan
pendapat mininya dalam proses pembicaraan tingkat I tergantung pada DPD sendiri
dan proses tersebut harus tetap berjalan walaupun DPD tidak menggunakan haknya.
Seandainya proses ini tidak dapat dilanjutkan karena DPD tidak menggunakan
haknya maka hal tersebut justru menghambat proses pembahasan suatu Rancangan
Undang-Undang. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah dalil
Pemohon mengenai Pasal 170 ayat (5) UU 17/2014 tidak beralasan menurut hukum.
[3.18.4] Pemohon mendalilkan
Pasal 171 ayat (1) UU 17/2014 bertentangan dengan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945
karena pasal a quo hanya memberikan
kesempatan kepada Pemohon (DPD) untuk menyampaikan pendapat sebelum diambil
persetujuan rancangan Undang-Undang. Menurut Pemohon, pernyataan DPD tentang RUU yang akan disetujui harus dimasukkan
dalam kegiatan ini, karena walaupun keikutsertaan DPD dalam membahas tidak
sampai pada persetujuan, namun secara konstitusional seharusnya sikap DPD atas
RUU yang dibahas, apakah menyetujui atau menolak harus menjadi pertimbangan
dari DPR dan Pemerintah. Oleh karena itu, Pemohon dalam petitumnya memohon kepada
Mahkamah menambah norma di dalam Pasal 171 ayat (1) pada huruf b yang
menyatakan, “penyampaian dan penilaian
DPD atas RUU hasil pembicaraan tingkat I”;
Menurut Mahkamah permohonan Pemohon yang memohon kepada
Mahkamah untuk menambah norma baru dalam Undang-Undang a quo telah dinilai dan dipertimbangkan dalam paragraf [3.18.2], sehingga mutatis mutandis pertimbangan Mahkamah tersebut berlaku juga untuk
pertimbangan Mahkamah terhadap dalil Pemohon mengenai Pasal 171 ayat (1) UU
17/2014, sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum;
[3.18.5] Terhadap
dalil Pemohon mengenai Pasal 249 ayat (1) huruf b UU 17/2014 bertentangan
dengan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 karena mengaburkan pihak-pihak yang berwenang dalam
pembahasan rancangan Undang-Undang, menurut Mahkamah sekalipun pasal a quo tidak mengatur norma mengenai:
i) DPD ikut membahas bersama DPR dan Presiden
rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD; dan
ii) DPD ikut membahas bersama DPR dan Presiden
rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR
sebagaimana petitum Pemohon, namun ketentuan yang
dimohonkan oleh Pemohon tersebut sudah tercakup dalam Pasal 71 huruf c UU
17/2014 frasa “ikut membahas rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a”.
Frasa “ikut membahas” mengandung pengertian umum, yakni ikut membahas rancangan
undang-undang, baik yang diajukan oleh DPR, Presiden, atau DPD. Selain itu,
menurut Mahkamah, memaknai pasal a quo harus juga mengaitkan dengan Pasal
71 huruf c UU 17/2014 yang dalam pertimbangan Mahkamah pada paragraf [3.18.1] telah dimaknai
pasal a quo menjadi “membahas
rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden, DPR, atau DPD yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sebelum
diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden”;
Berdasarkan
pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai Pasal 249 ayat
(1) huruf b UU 17/2014 tidak beralasan menurut hukum;
[3.19] Menimbang terhadap permasalahan hukum yang
ketiga,
Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 72, Pasal 174 ayat (1),
ayat (4), dan ayat (5), Pasal 224 ayat (5), Pasal 245 ayat (1), Pasal 250 ayat
(1), Pasal 252 ayat (4), Pasal 281, Pasal 238, dan Pasal 239 ayat (2) huruf d
UU 17/2014 bertentangan dengan BAB VIIA DEWAN PERWAKILAN DAERAH,
Pasal 22C, Pasal 22D, dan Pasal 23F UUD 1945 karena mengabaikan hasil
pengawasan dan pertimbangan DPD, mengelabui
kewenangan dan tugas DPD, mensubordisasi DPD hanya
sejajar alat kelengkapan DPR, dan diskriminatif;
[3.19.1] Terhadap
dalil Pemohon mengenai Pasal 72 UU 17/2014 bertentangan
dengan BAB VIIA DEWAN PERWAKILAN DAERAH, Pasal 22C dan Pasal 23F UUD
1945 karena mengabaikan
hasil pengawasan dan pertimbangan DPD, menurut Mahkamah, bahwa Pemohon dalam permohonan
a quo menghendaki agar tugas DPR dalam
Pasal 72 UU 17/2014 ditambah sampai dengan huruf j, yakni menyatakan pada huruf “i. membahas
dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang dilakukan oleh DPD atas pelaksanaan
Undang-Undang; dan j. membahas dan menindaklanjuti pertimbangan DPD terhadap calon
anggota BPK”;
Menurut Mahkamah permohonan Pemohon yang memohon kepada
Mahkamah untuk menambah norma baru dalam Undang-Undang a quo telah dinilai dan dipertimbangkan dalam paragraf [3.18.2], sehingga mutatis mutandis pertimbangan Mahkamah tersebut berlaku juga untuk
pertimbangan Mahkamah terhadap dalil Pemohon mengenai Pasal 72 UU 17/2014,
sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum;
[3.19.2] Terhadap
dalil Pemohon mengenai Pasal 174 ayat (1) UU 17/2014 bertentangan
dengan BAB VIIA DEWAN PERWAKILAN DAERAH, Pasal 22C dan Pasal 22D UUD
1945 karena mengelabui
kewenangan dan tugas DPD, menurut
Mahkamah, Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 telah dengan tegas menyatakan, “Dewan
Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang ...; serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang
anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama”. Kapasitas DPD
(Pemohon) terhadap rancangan
Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan rancangan
Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama hanya sebatas
“memberikan pertimbangan”.
Mahkamah dalam Putusan 92/PUU-X/2012, bertanggal 27 Maret 2013, dalam paragraf
[3.18.5] telah menafsirkan frasa
“memberikan pertimbangan”, antara lain, menyatakan:
“... makna
“memberikan pertimbangan” sebagaimana yang dimaksud Pasal 22D ayat (2) UUD 1945
adalah tidak sama dengan bobot kewenangan DPD untuk ikut membahas RUU. Artinya,
DPD memberikan pertimbangan tanpa ikut serta dalam pembahasan dan merupakan
kewenangan DPR dan Presiden untuk menyetujui atau tidak menyetujui pertimbangan
DPD sebagian atau seluruhnya. Hal terpenting adalah adanya kewajiban dari DPR
dan Presiden untuk meminta pertimbangan DPD atas RUU APBN dan RUU yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama”;
Berdasarkan
pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah norma Pasal 174 ayat (1) Undang-Undang a quo mengenai pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang
anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama disampaikan sebelum memasuki tahapan pembahasan antara DPR dan Presiden
adalah sudah tepat sebab kewenangan DPD atas rancangan undang-undang tersebut hanya
sebatas memberikan pertimbangan dan tidak ikut membahas rancangan
undang-undang, sehingga tidak ada relevansinya sama sekali apabila pertimbangan
DPD tersebut diberikan pada saat pembahasan antara DPR dan Presiden sebagaimana
yang dimohonkan oleh Pemohon. Oleh karena itu, UUD 1945 sengaja membedakan
antara pertimbangan dengan persetujuan, apalagi Indonesia tidak menganut sistem
bikameral sesuai dengan bentuk negara Indonesia yaitu negara kesatuan.
Hendaklah senantiasa disadari bahwa lembaga perwakilan di Indonesia tidaklah
menganut model bikameral. Lembaga perwakilan di Indonesia menurut UUD 1945,
juga tidak mengenal majelis tinggi dan majelis rendah. Baik DPR maupun DPD
adalah lembaga perwakilan yang tugas, wewenang, dan fungsinya telah ditentukan
dalam UUD 1945. DPR merupakan representasi perwakilan rakyat, sedangkan DPD
adalah representasi perwakilan daerah. Secara historis, DPD tidak pernah
dirancang dan diniatkan sebagai senat seperti misalnya yang dikenal di Amerika
Serikat. Oleh sebab itu, anggota DPD bukanlah senator. Tugas, wewenang dan
fungsi DPD sama sekali berbeda dengan tugas, wewenang, dan fungsi senat dalam
lembaga perwakilan yang merupakan model bikameral. Secara historis, kelahiran
DPD adalah perluasan tugas, wewenang, dan fungsi utusan daerah yang dikenal
pada masa sebelum dilakukan perubahan UUD 1945. Karena itu, namanya sempat
diusulkan sebagai Dewan Utusan Daerah. Semangat yang melandasi pembentukan DPD
adalah semangat memperkuat negara kesatuan Republik Indonesia yaitu dengan cara
memberikan kewenangan kepada wakil-wakil daerah (anggota DPD) untuk turut ambil
bagian dalam pengambilan putusan politik tertentu sepanjang berkenaan dengan
daerah.
Selain itu,
menurut Mahkamah apabila pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang anggaran
pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama tersebut diberikan sebelum memasuki tahap pembahasan
antara DPR dan Presiden akan mempermudah DPR dan Presiden mempelajari
pertimbangan DPD sebagai bahan dalam pembahasan rancangan Undang-Undang
dimaksud;
[3.19.3] Terhadap
dalil Pemohon mengenai Pasal 174 ayat (4) UU 17/2014
bertentangan dengan BAB VIIA DEWAN PERWAKILAN DAERAH,
Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945 karena batas waktu 30 hari yang diberikan kepada DPD
untuk menyampaikan pertimbangan secara tertulis atas rancangan undang-undang anggaran
pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama telah mempersempit pelaksanaan kewenangan DPD
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Pemohon dalam
petitumnya memohon kepada Mahkamah memaknai pasal a quo, yakni “Pertimbangan DPD
sebagimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan secara tertulis
melalui pimpinan DPR paling lama 50 (tiga puluh)
[sic!] harus sejak diterimanya surat
pimpinan DPR, kecuali rancangan undang-undang tentang APBN disampaikan paling
lambat 14 (empat belas) hari dan disampaikan dalam sidang paripurna sebelum
persetujuan bersama antara DPR dan Presiden”;
Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah
pengaturan mengenai pembatasan waktu 30 hari kepada DPD untuk memberikan
pertimbangan atas rancangan
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama seharusnya
dapat memberikan motivasi kepada DPD untuk dapat bekerja lebih baik lagi.
Selain itu, pembatasan waktu demikian bukan merupakan alasan konstitusionalitas
norma berlakunya Pasal 174 ayat (4) UU 17/2014 sebab terkait kewenangan DPD
tersebut, konstitusi tidak mengatur kapan pertimbangan tersebut disampaikan
kepada DPR. Artinya pengaturan batas waktu tersebut diserahkan sepenuhnya
kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan demikian Pasal 174 ayat
(4) UU 17/2014 tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan Pemohon
tidak beralasan menurut hukum;
[3.19.4] Terhadap
dalil Pemohon mengenai Pasal 174 ayat (5) UU 17/2014 bertentangan
dengan BAB VIIA DEWAN PERWAKILAN DAERAH, Pasal 22C dan Pasal 22D UUD
1945 karena mensubordisasi
DPD hanya sejajar alat kelengkapan DPR, menurut Mahkamah, oleh karena Pasal 174 ayat (4) UU
17/2014 telah dinyatakan konstitusional oleh Mahkamah maka dengan sendirinya
Pasal 174 ayat (5) UU 17/2014 juga konstitusional sebab keberadaan Pasal 174
ayat (5) tersebut berkait erat dengan Pasal 174 ayat (4) UU 17/2014;.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dalil Pemohon
mengenai Pasal 174 ayat (1), ayat (4), dan ayat (5) UU
17/2014 tidak beralasan menurut hukum;
[3.19.5] Pemohon
mendalilkan Pasal
224 ayat (5), Pasal 245
ayat (1), Pasal
238, Pasal
239 ayat (2) huruf d, dan Pasal
252 ayat (4) UU 17/2014 bertentangan dengan BAB VIIA DEWAN PERWAKILAN DAERAH, Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945. Menurut
Pemohon, ketentuan pasal dalam Undang-Undang a quo menimbulkan perlakuan
yang diskriminatif antar lembaga perwakilan, yakni:
a.
Pasal 224 ayat (5) UU 17/2014 mensyaratkan adanya
persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan apabila
memanggil dan meminta keterangan terhadap anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya dan Pasal 245 ayat
(1) UU 17/2014 mensyaratkan adanya persetujuan tertulis dari
Mahkamah Kehormatan Dewan apabila memanggil dan meminta keterangan untuk
penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana. Adapun
terhadap anggota DPD yang menjadi anggota MPR tidak mensyaratkan yang demikian
sebab Pasal 289 ayat (1) dan Pasal 66 UU 27/2009 yang
mensyaratkan adanya persetujuan dari Presiden terhadap anggota DPD yang dipanggil dan dimintai
keterangan untuk penyidikan tindak pidana, telah dihapus oleh UU
17/2014;
b.
Pasal 238 UU
17/2014 tidak memberikan hak kepada setiap orang,
kelompok, atau organisasi untuk dapat mengajukan pengaduan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan apabila
terdapat anggota DPR yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih
dan/atau melanggar ketentuan larangan. Perlakuan demikian berbeda dengan DPD
yang berdasarkan Pasal 305 UU
17/2014 dapat diajukan oleh setiap orang,
kelompok, atau organisasi karena tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau
lebih sebagaimana Pasal 262 UU 17/2014 dan/atau melanggar ketentuan larangan
sebagaimana Pasal 302 UU 17/2014. Padahal menurut Pasal 211 UU MD3 yang lama (UU 27/2009)
diatur mengenai pemberian hak kepada setiap
orang, kelompok, atau organisasi untuk mengajukan pengaduan, namun ketentuan a quo dihapuskan oleh UU MD3 yang baru
(UU 17/2014);
c.
Pasal 239 ayat (2) huruf d UU 17/2014 tidak lagi
memuat sanksi bagi anggota DPR yang tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau
rapat alat kelengkapan DPR sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan
yang sah. Perlakuan demikian berbeda dengan anggota DPD yang dapat dikenakan
sanksi pemberhentian antarwaktu apabila tidak menghadiri rapat paripurna sidang
dan/atau rapat alat kelengkapan DPD sebagaimana diatur dalam Pasal 307 ayat (2)
UU MD3. Padahal menurut Pasal 213 UU MD3 yang lama (UU 27/2009) diatur mengenai
pemberhentian antarwaktu bagi anggota DPR yang tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan
DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut
tanpa alasan yang sah, namun ketentuan a
quo dihapuskan oleh UU MD3 yang baru (UU 17/2014);
d.
Pasal 252 ayat (4) UU 17/2014 tidak
mengatur mengenai batas waktu pembangunan kantor DPD di ibu kota provinsi
daerah pemilihan, padahal
UU MD3 sebelumnya (Pasal 402 UU 27/2009) mengatur batas waktu pembangunan kantor
DPD di ibu kota provinsi, yakni paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang
ini diundangkan, namun ketentuan a quo
dihapuskan oleh UU 17/2014:
Terhadap
dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah dalil Pemohon yang membandingkan
antara UU MD3 yang lama (UU 27/2009) dan UU MD3 (UU 17/2014) dapat diartikan
bahwa Pemohon menginginkan diberlakukan kembali ketentuan dalam UU MD3 yang
lama (UU 27/2009) mengenai:
i) persetujuan dari Presiden terhadap anggota DPD yang dipanggil dan dimintai
keterangan untuk penyidikan tindak pidana [vide Pasal 289 ayat
(1) dan Pasal 66 UU 27/2009];
ii) batas
waktu pembangunan kantor DPD di ibu kota provinsi di daerah pemilihannya paling lama 2
(dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan (Pasal 402 UU
27/2009);
iii) memberikan hak kepada setiap orang,
kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada Mahkamah
Kehormatan Dewan jika terdapat anggota DPR tidak melaksanakan salah satu
kewajiban atau lebih dan/atau melanggar ketentuan larangan [vide Pasal 211
UU 27/2009]; dan
iv) pemberhentian
antarwaktu bagi anggota DPR yang tidak menghadiri
sidang paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPD yang menjadi tugas dan
kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah [Pasal 213 UU
27/2009].
Terhadap
permohonan yang demikian, Mahkamah tidak memiliki kewenangan untuk
memberlakukan kembali norma pasal dalam suatu Undang-Undang yang sudah diganti
dengan Undang-Undang yang baru, kecuali dalam hal Undang-Undang tersebut
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak berlaku dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat yang dapat berakibat terjadinya kekosongan hukum.
Selain itu, kalaupun yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon adalah Pasal 224
ayat (5), Pasal 245 ayat (1), Pasal 238, dan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU
17/2014 sebagaimana dalam petitum Pemohon, menurut Mahkamah, Pasal 224 ayat
(5), Pasal 245 ayat (1), Pasal 238, dan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU 17/2014
sama sekali tidak mengatur DPD, melainkan mengatur mengenai DPR. Berdasarkan
ketentuan di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon mengenai Pasal 224 ayat (5), Pasal 245 ayat (1), Pasal 238, Pasal 239 ayat (2) huruf d, dan Pasal 252 ayat (4) UU 17/2014
tidak beralasan menurut hukum;
[3.19.6] Pemohon
mendalilkan Pasal 250 ayat
(1) UU 17/2014 bertentangan dengan BAB VIIA DEWAN PERWAKILAN DAERAH, Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945 karena tidak
mengatur kemandirian DPD dalam menyusun anggaran. Menurut
Pemohon ketentuan demikian berbeda dengan MPR yang berdasarkan
Pasal 6 ayat (1) UU 17/2014 dan DPR berdasarkan Pasal 75 ayat (1) UU 17/2014
memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran. Oleh karena itu, Pemohon memohon
kepada Mahkamah supaya pasal a quo dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945;
Terhadap
dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, prinsip yang
terkandung dalam Putusan Mahkamah Nomor 92/PUU-X/2012, bertanggal
27 Maret 2013 adalah menekankan kewenangan antara
DPD, DPR, dan Presiden dalam mengajukan rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pendapat Mahkamah
demikian secara tegas dinyatakan dalam Putusan
Mahkamah Nomor 92/PUU-X/2012, bertanggal 27 Maret 2013 pada paragraf [3.18.1] dan paragraf
[3.18.2], antara lain, mempertimbangkan
sebagai berikut:
[3.18.1] … DPD mempunyai posisi dan kedudukan yang sama dengan DPR
dan Presiden dalam hal mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
…
[3.18.2] … DPD sebagai lembaga negara mempunyai hak dan/atau
kewenangan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi
daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
…
… pembahasan RUU harus melibatkan DPD sejak memulai pembahasan pada Tingkat
I oleh komisi atau panitia khusus DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar
musyawarah, mengajukan, dan membahas
Daftar Inventaris Masalah (DIM) serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap
akhir dalam pembahasan di Tingkat I. Kemudian DPD menyampaikan pendapat pada
pembahasan Tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap
persetujuan. Menurut Mahkamah, pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama
dengan RUU dari Presiden dan DPR. Terhadap RUU dari Presiden, Presiden
diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan DPD memberikan
pandangan. Begitu pula terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan kesempatan
memberikan penjelasan, sedangkan Presiden dan DPD memberikan pandangan. Hal
yang sama juga diperlakukan terhadap RUU dari DPD, yaitu DPD diberikan
kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan Presiden memberikan
pandangan. Konstruksi UUD 1945 mengenai pembahasan RUU antara Presiden dan DPR,
serta DPD (dalam hal terkait RUU tertentu) dilakukan antara lembaga negara,
sehingga DIM, diajukan oleh masing-masing lembaga negara, dalam hal ini bagi
DPR seharusnya DIM diajukan oleh DPR, bukan DIM diajukan oleh fraksi. Walaupun
demikian, Mahkamah dapat memahami bahwa mekanisme pembahasan RUU dengan
membahas DIM yang diajukan oleh fraksi adalah praktik pembahasan RUU sebelum
perubahan UUD 1945. Selanjutnya pembahasan pada tingkat Alat Kelengkapan DPR
yang sudah mengundang Presiden dan/atau sudah mengundang DPD, maka DPR dalam
pembahasan DIM hanya diwakili oleh Alat Kelengkapan DPR sebagai satu kesatuan
kelembagaan;
Menurut Mahkamah keberadaan Pasal
250 ayat (1) UU 17/2014 sangat berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana
diatur dalam Pasal 22D UUD 1945. DPD sebagai lembaga perwakilan daerah memiliki
kedudukan yang setara dengan DPR dan Presiden untuk mengajukan
rancangan dan membahas rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Agar DPD dapat bekerja secara maksimal dalam
menjalankan kewenangan tersebut maka harus didukung dengan ketersediaan
anggaran yang cukup. Meskipun keberadaan DPD setara dengan DPR, Presiden, MK,
MA, BPK, dan KY, secara kelembagaan, namun fungsi, tugas, dan kewenangannya
sangat berbeda. Demikian pula dengan jumlah keanggotaan DPR dan DPD. Oleh
karena itu, kebutuhan anggaran juga tidak dapat dilepaskan dari adanya
perbedaan antara DPR dan DPD. Namun demikian, adalah hal yang wajar apabila
Undang-Undang memberikan kesempatan yang sama kepada DPR dan DPD secara mandiri
untuk menyusun dan mengajukan anggaran masing-masing lembaga sesuai dengan
rencana kerjanya masing-masing. Walaupun DPD memiliki kemandirian dalam
menyusun anggarannya, namun tetap ditentukan oleh kemampuan keuangan negara
sesuai dengan pembahasan oleh Presidan bersama DPR. Sebab yang memiliki hak
anggaran adalah DPR yang dibahas bersama Presiden dengan memperhatikan
pertimbangan DPD. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil
Pemohon mengenai Pasal 250 ayat (1) UU 17/2014 beralasan menurut hukum;
[3.19.7] Pemohon mendalilkan Pasal 281 UU 17/2014 menimbulkan
ketidaksetaraan hubungan antara DPD dan DPR sehingga bertentangan dengan BAB VIIA DEWAN PERWAKILAN
DAERAH, Pasal 22C dan Pasal 22D
UUD 1945 karena pertimbangan
DPD mengenai rancangan Undang-Undang tentang anggaran pendapatan dan
belanja negara dan rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama disampaikan kepada DPR;
Sebelum memberikan pertimbangan mengenai dalil Pemohon a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan
menguraikan hal sebagai berikut:
Dalam UUD 1945 terdapat delapan lembaga negara yang fungsi, tugas
dan kewenangannya dicantumkan secara eksplisit yakni MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, BPK dan KY.
Kesemuanya adalah lembaga
negara. UUD 1945 tidaklah mempersoalkan permasalahan setara atau tidak setara, akan tetapi memposisikan lembaga-lembaga negara tersebut sesuai dengan
fungsi, tugas, dan wewenangnya masing-masing yang telah
ditegaskan dalam UUD 1945.
Bahwa
kehadiran DPD dengan kekuasaan tertentu sebagaimana telah dimuat dalam UUD 1945
merupakan bagian dari upaya untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI)
sebagai bentuk negara yang bersifat final bahkan satu-satunya pasal dalam UUD
1945 yang tidak dapat diubah adalah bentuk NKRI. Tekad untuk memperkokoh NKRI
secara eksplisit dicantumkan dalam UUD 1945 yakni dalam Pembukaan UUD 1945,
Pasal 1 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal
18B ayat (2), Pasal 25A bahkan Pasal 37 ayat (5) UUD 1945
menyatakan bahwa khusus mengenai NKRI tidak dapat dilakukan perubahan. Semangat
mempertahankan NKRI merupakan salah satu pedoman para anggota MPR khususnya
Badan Pekerja MPR dalam mempersiapkan perubahan Undang-Undang Dasar. Prinsip NKRI dalam UUD
1945 haruslah didukung dengan sistem ketatanegaraan yang selalu menuju pada
penguatan konsep NKRI tersebut. Agar keutuhan NKRI terjamin dengan membangun
negara bangsa, dan agar
menghindari ketegangan politik yang panjang dalam pembuatan Undang-Undang antar
DPR dengan lembaga negara yang ada kaitannya dengan pembuatan Undang-Undang
(Presiden dan DPD), mewujudkan sistem checks
and balances antar lembaga negara guna saling mengontrol dan saling
mengimbangi namun tidak saling intervensi satu sama lainnya.
Adapun terhadap dalil Pemohon di atas, menurut Mahkamah,
rumusan norma yang termuat dalam Pasal 281 UU 17/2014 berbeda dengan rumusan
norma dalam Pasal 22D UUD 1945 dan Pasal 248 ayat (1) huruf c UU 17/2014, yang
menyatakan:
UUD 1945
|
UU 17/2014
|
Pasal 22D
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat atas rancangan undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama
|
Pasal 281
DPD memberikan pertimbangan
terhadap rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat
(1) huruf c kepada pimpinan DPR.
Pasal 248
(1) DPD mempunyai tugas:
a. Pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang
anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; serta
|
Dengan persandingan pasal di atas
dapat disimpulkan bahwa Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 248 ayat (1)
huruf c UU 17/2014 mengatur bahwa pertimbangan DPD atas rancangan Undang-Undang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan rancangan Undang-Undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama disampaikan kepada DPR, namun
Pasal 281 UU 17/2014 mengatur bahwa pertimbangan DPD atas rancangan
Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan rancangan
Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama disampaikan
kepada pimpinan DPR. Pembentuk konstitusi dalam merumuskan Pasal 22D ayat (2)
UUD 1945 tidak menyebutkan “pimpinan DPR” karena pertimbangan rancangan
Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan rancangan
Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama diberikan oleh
kelembagaan DPD, bukan ‘pimpinan kelembagaan DPD”. Meskipun rumusan Pasal 281
UU 17/2014 berbeda dengan rumusan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, justru adalah
dalam rangka bagaimana tata cara penyampaian pertimbangan rancangan dimaksud
dari DPD sampai ke DPR, haruslah melalui pimpinan kedua lembaga sehingga tidak
mengurangi makna yang tercantum dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945;
Menurut Mahkamah, pertimbangan rancangan Undang-Undang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan rancangan Undang-Undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan, dan agama disampaikan kepada pimpinan DPR haruslah
dimaknai bahwa pimpinan DPR adalah mewakili kelembagaan DPR. Tidaklah mungkin
pertimbangan tersebut diberikan oleh DPD kepada DPR tanpa melalui pimpinan DPR.
Oleh karena itu, Pasal 281 UU 17/2014 tidaklah bertentangan dengan UUD 1945.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah
dalil Pemohon mengenai Pasal 281 UU 17/2014 tidak beralasan menurut hukum;
[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan
seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon mengenai Pasal 71
huruf c, Pasal 166 ayat (2), Pasal 250 ayat (1), dan Pasal
277 ayat (1) UU 17/2014 beralasan menurut hukum.
[3.21] Menimbang bahwa sekalipun Pasal 71 huruf c, Pasal 166 ayat (2), Pasal 250 ayat (1), dan Pasal 277 ayat (1) UU 17/2014
beralasan menurut hukum, namun Mahkamah tidak serta merta menyatakan pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena apabila hal tersebut dilakukan
justru akan menyebabkan kekosongan hukum yang akan merugikan Pemohon. Oleh
karena itu, Mahkamah akan memaknai Pasal 71 huruf c, Pasal 166 ayat (2), Pasal 250 ayat (1), dan Pasal 277 ayat (1) UU 17/2014
yang akan disebutkan dalam amar putusan ini;
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan,
1. Menolak
permohonan provisi Pemohon;
2. Permohonan
pengujian formil Pemohon tidak dapat diterima;
3. Mengabulkan
permohonan Pemohon untuk sebagian;
3.1.
Pasal 71 huruf c Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5568) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden, DPR, atau DPD yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum
diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden”;
3.2.
Pasal 71 huruf c Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5568) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden, DPR, atau DPD yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum
diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;
3.3.
Pasal 166 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5568) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta naskah
akademik disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan Presiden”;
3.4.
Pasal 166 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5568) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta naskah
akademik disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan Presiden”;
3.5.
Pasal 250 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5568) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Dalam
melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, DPD memiliki kemandirian dalam menyusun
anggaran yang dituangkan ke dalam program dan kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”;
3.6.
Pasal 250 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5568) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Dalam
melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, DPD memiliki kemandirian dalam menyusun
anggaran yang dituangkan ke dalam program dan kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
3.7.
Pasal 277 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5568) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan undang-undang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (3) beserta naskah akademik
disampaikan dengan surat pengantar pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan Presiden”;
3.8.
Pasal 277 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5568) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan undang-undang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (3) beserta naskah akademik
disampaikan dengan surat pengantar pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan Presiden”;
4. Permohonan Pemohon mengenai Pasal 167 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5568) tidak dapat diterima;
5.
Menolak permohonan Pemohon untuk
selain dan selebihnya;
6. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya;
======================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar