M. Fadjroel Rachman, dkk., yang juga
merupakan Ketua Umum Gerakan Nasional Calon Independen
(GNCI) akhirnya mengajukan pengujian konstitusionalitas
ketentuan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 41 ayat (1),
“Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri
sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur jika memenuhi syarat dukungan
dengan ketentuan:
a. Provinsi
dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung
paling sedikit 10% (sepuluh persen);
b. Provinsi
dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan
6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah
persen);
c. Provinsi
dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan
12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh
setengah persen);
d. Provinsi
dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus
didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan
e. jumlah
dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d
tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di
Provinsi dimaksud.”
Pasal 41 ayat (2),
“Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri
sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil
Walikota, jika memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
a. Kabupaten/kota
dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa
harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen);
b. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk
lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima
ratus ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen);
c. Kabupaten/kota
dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan
1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah
persen);
d. Kabupaten/kota
dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung
paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan
e. Jumlah
dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di
kabupaten/kota dimaksud.”
terhadap Pasal 18 ayat (4), Pasal
27 ayat
(1), Pasal 28D ayat (1), Pasal
28D ayat
(3), dan Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945.
Dalam permohonannya para Pemohon
menyampaikan argumentasi sebagai berikut:
1.
Bahwa Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2015 telah
menghilangkan esensi demokrasi yang sesungguhnya, sebagaimana diamanatkan Pasal
18 ayat (4) UUD 1945. Menurut para Pemohon, hakikat dipilih secara demokratis
dalam ketentuan tersebut bukanlah hanya pada pelaksanaan pemungutan dan
penghitungan suara yang harus dilaksanakan secara demokratis, melainkan
mencakup seluruh tahapan pemilihan, termasuk pencalonan. Persyaratan yang
sangat memberatkan calon perseorangan dibandingkan dengan calon dari partai
politik menurut para Pemohon adalah tidak mencerminkan spirit demokrasi dalam
Pasal 18 ayat (4) dan semangat Pasal 27 ayat (1) UUD 1945;
2.
Bahwa Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2015 juga
bertentangan dengan semangat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang memberikan
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum serta semangat Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang
menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam
pemerintahan;
3.
Bahwa Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2015, menurut para
Pemohon, di samping
menaikkan persentase dukungan untuk calon perseorangan
yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah
juga menggunakan parameter atau bilangan pembagi yang berbeda dengan calon dari
partai politik. Calon perseorangan menggunakan
parameter jumlah penduduk, partai politik menggunakan parameter gabungan suara
sah. Hal itu oleh para Pemohon dinilai sebagai ketentuan yang diskriminatif
sehingga bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
4.
Bahwa para Pemohon juga merujuk putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi yang pada intinya mempertegas keberadaan calon perseorangan dalam
pemilihan kepala daerah, di antaranya Putusan Nomor 5/PUU-V/2007,
bertanggal 23 Juli 2007, dan Putusan Nomor
35/PUU-VIII/2010, bertanggal 30 Desember 2010;
5.
Bahwa, menurut para Pemohon, agar terwujud persamaan dan
keadilan di depan
hukum bagi setiap warga negara, khususnya bagi perseorangan yang hendak mencalonkan
diri sebagai kepala daerah, maka persentase syarat minimal dukungan suara untuk
calon perseorangan harus diubah berdasarkan jumlah suara sah dalam pemilihan
umum legislatif yang terakhir.
Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas norma
tersebut, Mahkamah Konstitusi akhirnya pada tanggal 29 September 2015
membacakan putusan perkara 60/PUU-XIII/2015 dengan pertimbangan hukum sebagai
berikut:
[3.12] Menimbang bahwa setelah
mempelajari secara saksama permohonan para
Pemohon beserta seluruh bangunan argumentasi yang digunakan sebagai landasan
untuk mendukung dalil-dalilnya maka yang harus dipertimbangkan lebih jauh oleh
Mahkamah adalah:
a)
Apakah benar pembatasan atau persyaratan calon perseorangan
untuk menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah, sebagaimana diatur dalam
Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2015, bertentangan dengan semangat
demokrasi dalam pemilihan kepala daerah sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945?
b)
Apakah benar pembatasan atau persyaratan calon perseorangan
untuk menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah, sebagaimana diatur dalam
Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2015, tidak memberikan pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan
hukum, sehingga bertentangan dengan semangat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945?
c)
Apakah benar pembatasan atau persyaratan calon perseorangan
untuk menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah, sebagaimana diatur dalam
Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2015, menghambat hak untuk memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan, sehingga bertentangan dengan semangat
Pasal 28D ayat (3) UUD 1945?
d)
Apakah benar pembatasan atau persyaratan calon perseorangan
untuk menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah, sebagaimana diatur dalam
Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2015, bersifat diskriminatif sehingga
bertentangan dengan semangat Pasal 28I ayat (2) UUD 1945?
[3.13] Menimbang bahwa berkenaan
dengan masalah-masalah mendasar yang yang selanjutnya harus dipertimbangkan
oleh Mahkamah, sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.12] di atas, telah terang bahwa substansi permohonan a quo berkait langsung dengan persoalan
yang jamak terjadi dalam negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democratic state), dalam
hal ini tarik-menarik antara kebutuhan akan terlibatnya sebanyak mungkin peran
rakyat dalam pengambilan keputusan politik yang merupakan tuntutan ideal
demokrasi dan kebutuhan untuk merumuskan pembatasan dalam norma Undang-Undang
yang bertujuan agar demokrasi yang diidealkan itu tidak justru menjadi bersalah
guna. Oleh karena itu, menjadi penting bagi
Mahkamah untuk mengingatkan kembali pendapat Mahkamah yang secara substansial
telah berkali-kali disampaikan dalam putusan-putusannya, salah satu
di antaranya adalah Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015,
bertanggal 8 Juli 2015 yang antara lain menyatakan:
Dalam gagasan negara
demokrasi yang berdasar atas hukum itu, ruang bagi terlibatnya sebanyak mungkin
rakyat dalam proses dan pengambilan keputusan politik tetap dibuka tetapi pada
saat yang sama pembatasan-pembatasan tertentu, yang dirumuskan atau dituangkan
dalam norma hukum yang berlaku umum, diberlakukan karena memang dibutuhkan agar
mereka yang nantinya terpilih sebagai pemegang jabatan pulik itu adalah mereka
yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk itu dalam arti yang seluas-luasnya. Namun, sesuai dengan gagasan negara demokrasi
yang berdasar atas hukum, pembatasan-pembatasan demikian tidak boleh dibuat
sedemikian rupa sehingga membatasi atau bahkan menghilangkan secara tidak
konstitusional hak-hak mendasar warga negara, terlebih tatkala hak-hak mendasar
tersebut tegas dinyatakan dalam dan dijamin oleh Konstitusitusi dan karenanya
menjadi hak-konstitusional sehingga hak-hak itu telah menjadi bagian dari
Konstitusi. Tatkala hak-hak tersebut telah menjadi bagian dari Konstitusi,
sementara Konstitusi adalah hukum dasar, maka hak-hak itupun telah menjadi
bagian dari hukum dasar yang mengikat seluruh cabang kekuasaan negara, juga
warga negara.
Oleh karena itu … sekalipun
dalam negara demokrasi yang berdasar atas hukum dibenarkan pemberlakuan
pembatasan-pembatasan terhadap mereka (warga negara) yang hendak mencalonkan
diri sebagai kepala daerah (gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati,
walikota/wakil walikota), pembatasan-pembatasan tersebut tidak boleh memuat
ketentuan yang bersifat diskriminatif, menghambat atau bahkan menghilangkan
secara tidak sah hak warga negara untuk beroleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan, atau pembatasan-pembatasan demikian justru menimbulkan
ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya, dan sebagainya.
[3.14] Menimbang bahwa bertolak dari
pendirian Mahkamah sebagaimana dijelaskan dalam paragraf [3.13] di atas maka dalam konteks permohonan a quo, Mahkamah perlu menegaskan pendirian dimaksud sebagai
berikut:
·
[3.14.1] Bahwa
Konstitusi mengamanatkan pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota)
dilaksanakan secara demokratis. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah harus
memenuhi kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip demokrasi. Kendatipun tidak ada
parameter yang berlaku universal perihal ukuran demokratisnya suatu pemilihan,
hakikat demokrasi yang menghendaki terlibatnya sebanyak mungkin peran-serta
rakyat dalam pengambilan keputusan politik haruslah dijadikan semangat dalam
menyusun norma hukum yang diabdikan untuk mengatur penyelenggaraan pemilihan
yang demokratis itu. Hakikat demokrasi yang demikian menuntut dibukanya ruang
yang seluas-luasnya bagi rakyat dalam mewujudkan peran-serta atau
partisipasinya dalam proses demokrasi tersebut. Keterlibatan rakyat yang
seluas-luasnya adalah manifestasi ideal demokrasi bahwa sesungguhnya rakyatlah
yang telah mengambil keputusan perihal apa yang terbaik yang akan diberlakukan
bagi dirinya. Peran-serta atau partisipasi rakyat yang seluas-luasnya itu
tidaklah semata-mata diukur dari seberapa besar keterlibatan rakyat (yang telah
mempunyai hak pilih) dalam menggunakan haknya untuk memilih (right to vote) melainkan juga dari
partisipasi mereka dalam menggunakan haknya untuk dipilih atau mencalonkan diri
dalam proses pemilihan (right to be
candidate). Inilah salah satu perwujudan atau bentuk demokrasi deliberatif
yang jamak diberlakukan di berbagai negara yang tujuannya adalah melengkapi
kekurangan yang terjadi dalam model demokrasi perwakilan (representative democracy), terutama kecenderungannya untuk menjadi
elitis. Oleh karena itu, pengaturan tentang calon perseorangan dalam kontestasi
pemilihan kepala daerah haruslah ditempatkan dalam konteks yang
demikian;
·
[3.14.2] Bahwa,
pertimbangan sebagaimana diuraikan pada sub-paragraf [3.14.1] di atas adalah sejalan dengan penegasan UU 8/2015 yang
dalam Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil
Walikota adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan
kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis. Dengan memberikan tekanan utama pada hakikat pemilihan
kepala daerah sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat, UU 8/2015 sesungguhnya
telah “menerjemahkan” makna demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 itu
dalam konteks demokrasi deliberatif. Oleh karena itu, dalam memahami seluruh
ketentuan dalam UU 8/2015 tidak boleh dilepaskan dari gagasan demokrasi
deliberatif dimaksud;
·
[3.14.3] Bahwa pertimbangan
sebagaimana diuraikan pada sub-paragraf [3.14.1]
dan [3.14.2] di atas sama sekali
tidak boleh diartikan sebagai pengesampingan, pengurangan, lebih-lebih
peniadaan, kedudukan dan peran partai politik dalam demokrasi, termasuk dalam
konteks pemilihan kepala daerah. Dalam kehidupan modern, tidak mungkin ada
demokrasi tanpa partai politik. Demokrasi tanpa partai politik hanya ada dalam
gagasan demokrasi langsung ala “negara kota” (Polis) dalam alam pikiran Yunani Purba (Ancient Greek) yang mustahil dilaksanakan dalam kompleksitas kehidupan
bernegara modern saat ini. Oleh karena itu, bukanlah tidak
berdasar jika ada pendapat yang menyatakan matang dan sehatnya demokrasi di
suatu negara, dalam banyak hal, bergantung pada dan tercermin dari matang dan
sehatnya partai-partai politik di negara itu. Kesadaran akan vitalnya kedudukan
dan peran partai politik itulah yang mendorong MPR, tatkala melakukan perubahan
UUD 1945,
memasukkan secara eksplisit partai politik ke dalam ketentuan yang mengatur
mekanisme pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana diatur dalam
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Ukuran yang secara umum diterima guna menilai
tingkat kematangan dan sehatnya partai politik adalah terletak pada kemampuan
partai politik itu melaksanakan fungsi-fungsi minimumnya, antara lain, fungsi
representasi politik, fungsi komunikasi politik, fungsi agregasi politik,
fungsi pendidikan politik, fungsi rekrutmen politik. Dalam kaitan dengan
pemenuhan fungsi-fungsi partai politik itulah seharusnya keberadaan calon
perseorangan, sebagai bagian dari proses rekrutmen politik, harus dilihat dan
ditempatkan. Dengan demikian, dalam konteks pemilihan kepala daerah, asumsi
rasional yang terbangun dari konstruksi pemikiran di atas adalah bahwa
makin baik partai politik melaksanakan fungsi-fungsi minimumnya tersebut
berarti makin matang dan makin sehat partai politik yang bersangkutan yang pada
akhirnya akan bermuara pada makin menurunnya kemunculan, sekaligus popularitas
dan elektabilitas, calon perseorangan.
[3.15] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan
hal-hal sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.14], selanjutnya Mahkamah akan menyatakan pendiriannya
sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.12] di atas sebagai berikut:
·
[3.15.1] Bahwa
dalam kaitan dengan penentuan persentase dukungan bagi calon perseorangan dalam
mekanisme pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah kebijakan
hukum terbuka pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya sesuai dengan
kebutuhan dengan memperhatikan perkembangan masyarakat dan tingkat kematangan
partai-partai politik sebagai infrastruktur utama demokrasi. Namun, kebijakan
hukum demikian tidak boleh dirumuskan sedemikian rupa sehingga menghalangi
partisipasi aktif rakyat dalam proses politik yang pada gilirannya akan
menghambat tumbuhnya demokrasi yang sehat dan, dalam konteks permohonan a quo, tidak memberikan pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di
hadapan hukum; menghambat hak warga negara untuk memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan; serta memuat ketentuan yang bersifat diskriminatif;
·
[3.15.2] Bahwa,
sejalan dengan pertimbangan dalam sub-paragraf [3.15.1] di atas, Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2)
UU 8/2015 sekalipun memberikan kepastian hukum namun mengabaikan keadilan
sehingga dapat menghambat pemenuhan prinsip persamaan di hadapan hukum. Sebab,
persentase dukungan yang dipersyaratkan bagi warga negara yang hendak
mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah
didasarkan atas jumlah penduduk padahal tidak setiap penduduk serta-merta
memiliki hak pilih, sementara keterpilihan calon kepala daerah dan calon wakil
kepala daerah, sebagaimana halnya keterpilihan seseorang menjadi anggota DPR,
DPD, DPRD, dan Presiden atau Wakil Presiden, bukanlah ditentukan oleh jumlah
penduduk secara keseluruhan melainkan oleh jumlah
penduduk yang telah memiliki hak pilih (eligible
voters). Sementara itu, untuk calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
yang diusulkan oleh partai politik, sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UU
8/2015, menggunakan perolehan suara partai dalam
pemilihan anggota DPRD di daerah yang bersangkutan, yang artinya menggunakan
ukuran jumlah penduduk yang telah mempunyai hak pilih. Dengan kata lain,
terdapat perbedaan basis dukungan suara yang digunakan untuk menentukan
persyaratan dukungan bagi calon perseorangan dan calon yang diusulkan oleh
partai politik (atau gabungan partai politik) dalam pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah. Perbedaan demikian telah nyata menunjukkan perlakuan yang
tidak sama di hadapan hukum antara mereka yang mencalonkan diri sebagai kepala
daerah atau wakil kepala daerah melalui jalur perseorangan dan mereka yang
melalui jalur partai politik;
·
[3.15.3] Bahwa
dengan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada sub-paragraf [3.15.2] di atas, kendatipun tidak
dapat dikatakan sebagai ketentuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana
didalilkan para Pemohon, Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2015 telah nyata
menghambat pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan. Ketentuan Pasal 41 ayat
(1) dan ayat (2) UU 8/2015 tidak dapat dikatakan bersifat diskriminatif sebab
pembedaan yang terdapat di dalamnya bukanlah didasarkan atas pertimbangan ras,
etnisitas, agama, jenis kelamin, maupun status sosial sebagaimana yang
layaknya dijadikan acuan universal dalam menilai kebijakan dan praktik
yang bersifat diskriminatif;
·
[3.15.4] Bahwa
berdasarkan pertimbangan pada sub-paragraf [3.15.1]
sampai dengan [3.15.3] di atas, agar
terdapat kepastian hukum yang adil sekaligus memenuhi prinsip persamaan di
hadapan hukum dan tidak menghalangi hak untuk memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan, Mahkamah berpendapat bahwa basis perhitungan untuk
menentukan persentase dukungan bagi warga negara yang hendak mencalonkan diri
sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah haruslah menggunakan jumlah
penduduk yang telah mempunyai hak pilih yang dalam hal ini direpresentasikan
dalam daftar calon pemilih tetap di masing-masing daerah yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan daftar calon pemilih tetap
dalam hubungan ini adalah daftar calon pemilih
tetap pada Pemilihan Umum sebelumnya;
·
[3.15.5] Bahwa
dengan demikian Mahkamah berpendapat, Pasal 41 ayat (1) dan
ayat (2) UU 8/2015 adalah inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak diartikan bahwa dasar perhitungan persentase
dukungan bagi perseorangan yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah
atau wakil kepala daerah (Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota,
Wakil Walikota) adalah mengacu pada daftar calon pemilih tetap
pada Pemilihan Umum sebelumnya. Dengan kata lain, agar menjadi konstitusional maka
ketentuan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2015 yang mendasarkan persentase
dukungan bagi perseorangan yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah
atau wakil kepala daerah yang menggunakan ukuran jumlah penduduk haruslah dimaknai menggunakan ukuran jumlah
penduduk yang telah mempunyai hak pilih sebagaimana tertuang dalam daftar
calon pemilih tetap di masing-masing daerah yang bersangkutan pada Pemilihan Umum sebelumnya;
·
[3.15.6] Bahwa
mengingat tahapan-tahapan pemilihan kepala daerah telah berjalan, sementara
putusan Mahkamah tidak berlaku surut (non-retroactive),
agar tidak menimbulkan kerancuan penafsiran maka Mahkamah penting menegaskan
bahwa putusan ini berlaku untuk pemilihan kepala daerah serentak setelah
pemilihan kepala daerah serentak Tahun 2015.
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Mengadili,
Menyatakan:
1.
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian:
1.1.
Menyatakan Pasal 41 ayat (1) huruf
a, huruf b, huruf c, dan huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang
tidak dimaknai bahwa perhitungan persentase dukungan bagi calon
perseorangan yang hendak mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur dan
Calon Wakil Gubernur didasarkan atas
jumlah penduduk yang telah mempunyai hak pilih sebagaimana dimuat dalam daftar
calon pemilih tetap di daerah yang bersangkutan pada Pemilihan Umum sebelumnya;
1.2.
Menyatakan Pasal 41 ayat (1) huruf
a, huruf b, huruf c, dan huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5678) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa
perhitungan persentase dukungan bagi
calon perseorangan yang hendak mendaftarkan diri sebagai Calon
Gubernur dan Calon Wakil Gubernur didasarkan
atas jumlah penduduk yang telah mempunyai hak pilih sebagaimana dimuat dalam
daftar calon pemilih tetap di daerah yang bersangkutan pada Pemilihan Umum sebelumnya;
1.3.
Menyatakan Pasal 41 ayat (2) huruf
a, huruf b, huruf c, dan huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa
perhitungan persentase dukungan bagi calon perseorangan
yang hendak mendaftarkan diri sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta
Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota didasarkan
atas jumlah penduduk yang telah mempunyai hak pilih sebagaimana dimuat dalam
daftar calon pemilih tetap di daerah yang bersangkutan pada Pemilihan Umum sebelumnya;
1.4.
Menyatakan Pasal 41 ayat (2) huruf
a, huruf b, huruf c, dan huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5678) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa
perhitungan persentase dukungan bagi calon perseorangan
yang hendak mendaftarkan diri sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta
Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota didasarkan
atas jumlah penduduk yang telah mempunyai hak pilih sebagaimana dimuat dalam
daftar calon pemilih tetap di daerah yang bersangkutan pada Pemilihan Umum sebelumnya;
2.
Memerintahkan pemuatan putusan ini
dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
3.
Menolak permohonan para Pemohon untuk
selain dan selebihnya.
===========
Tidak ada komentar:
Posting Komentar