Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Kamis, 05 November 2015

Mahkamah Konstitusi Pertegas Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan






M. Komarudin, dkk., para buruh yang tergabung dalam Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia pada tanggal 8 Januari 2015 mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian di Registrasi dengan Nomor Perkara 7/PUU-XII/2014.
Dalam permohonannya para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003, yang masing-masing menyatakan:
Pasal 59 ayat (7)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu”;
Pasal 65 ayat (8)
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan”;
Pasal 66 ayat (4)
 Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, danhuruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antarapekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerjaantara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan”;
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Dalam permohonanya para Pemohon menyatakan pasal-pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 dengan alasan sebagai berikut:
1.  Pegawai pengawas ketenagakerjaan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap tindak penyimpangan/pelanggaran norma UU 13/2003 yang tidak mengandung unsur tindak pidana, dan menerbitkan nota pemeriksaan serta nota penetapan tertulis yang memerintahkan kepada pengusaha/majikan untuk melaksanakan ketentuan norma dalam UU 13/2003;
2.  Pembentuk Undang-Undang hanya mengatur sepanjang tata cara penyelesaian penyimpangan norma yang mengandung unsur tindak pidana ketenagakerjaan dalam UU 13/2003, tetapi tidak mengatur mengenai tata cara pelaksanaan (eksekusi) atas penetapan tertulis dari pegawai pengawas ketenagakerjaan yang tidak dimintakan pemeriksaan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan juga tidak dijalankan secara sukarela oleh pengusaha/majikan. Sehingga terdapat kekosongan hukum.
3.  UU 13/2003 tidak mengatur mengenai sanksi yang dapat diberikan kepada majikan/pengusaha apabila mereka belum atau tidak menjalankan norma dalam UU 13/2003 meskipun kepadanya telah diberikan nota pemeriksaan atau nota penetapan tertulis oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan;
4.  Ketentuan sepanjang frasa “demi hukum” pada Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003 mengatur akibat hukum atas tidak terpenuhinya syarat-syarat perjanjian kerja waktu tertentu menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu, yang kewenangan untuk menyatakannya merupakan kewenangan pegawai pengawas ketenagakerjaan melalui hasil pemeriksaan serta penetapan tertulis yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
5.  Apabila penetapan tertulis tersebut tidak dipatuhi/dijalankan oleh pengusaha/majikan maka untuk memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum status hubungan kerja pekerja/buruh, serta untuk tetap menjaga hubungan industrial yang kondusif, dan agar penerbitan penetapan tertulis dimaksud tidak menjadi sia-sia maka seharusnya pelaksanaan penetapan tertulis tersebut dapat dimintakan pelaksanaannya ke Pengadilan Negeri melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
Untuk menjawab isu hukum tersebut, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:

[3.13]     Menimbang bahwa berdasarkan dalil permohonan para Pemohon, bukti surat/tulisan yang diajukan, keterangan ahli/saksi dari para Pemohon, keterangan Presiden, kesimpulan para Pemohon, dan fakta yang terungkap dalam persidangan, terdapat dua permasalahan yang harus dijawab oleh Mahkamah, yaitu:
1.     apakah Pemerintah, dalam hal ini Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan, memiliki kewenangan untuk menerbitkan nota pemeriksaan dan/atau penetapan tertulis terkait pelaksanaan Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003?
2.     apakah frasa “demi hukum” yang terdapat dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003  bertentangan dengan UUD 1945?
[3.14]     Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut mengenai permasalahan konstitusional yang dimohonkan oleh para Pemohon, Mahkamah perlu terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a.     Bahwa ketentuan Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) UU MK menyatakan: “(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”;
b.     Bahwa norma Pasal 59, Pasal 65, dan Pasal 66 UU 13/2003 pernah diajukan pengujiannya kepada Mahkamah dan telah pula diputus oleh Mahkamah yaitu Putusan Nomor 12/PUU-I/2003, bertanggal 28 Oktober 2004, dengan amar yang menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk selebihnya; Putusan Nomor 27/PUU-IX/2011, bertanggal 17 Januari 2012, dengan amar yang menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; dan Putusan Nomor 96/PUU-XI/2013, bertanggal 7 Mei 2014, dengan amar yang menyatakan menolak permohonan Pemohon;
c.      Bahwa alasan konstitusional yang menjadi dasar pengujian dalam Putusan Nomor 12/PUU-I/2003 adalah Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, dan Pasal 33 UUD 1945; alasan konstitusional yang menjadi dasar pengujian dalam Putusan Nomor 27/PUU-IX/2011 adalah Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945; serta alasan konstitusional yang menjadi dasar pengujian Putusan Nomor 96/PUU-XI/2013 adalah Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, sedangkan yang menjadi dasar pengujian dalam permohonan a quo adalah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
d.     Bahwa dalam Putusan Nomor 12/PUU-I/2003 dan Putusan Nomor 27/PUU-IX/2011, para Pemohon memusatkan permohonannya pada pihak ketiga yaitu penyedia tenaga kerja. Dalam Putusan Nomor 96/PUU-XI/2013, Pemohon menitikberatkan pada permohonan penafsiran frasa “demi hukum”, sama seperti dalam permohonan a quo;
e.     Bahwa meskipun dasar pengujian permohonan a quo sama dengan Putusan Nomor 96/PUU-XI/2013 dan sama-sama memohon penafsiran frasa “demi hukum” namun sesungguhnya alasan konstitusionalnya tidaklah sama. Pemohon dalam Putusan Nomor 96/PUU-XI/2013 mendasarkan pada tidak adanya penafsiran hukum yang pasti oleh pembentuk undang-undang terhadap norma a quo dan tidak adanya aturan mengenai lembaga yang berwenang menyatakan terpenuhi atau tidak terpenuhinya syarat-syarat dalam perjanjian waktu tertentu sehingga menurut Pemohon a quo frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “setelah adanya putusan berkekuatan hukum tetap dari badan yang melaksanakan fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri”. Sedangkan perkara Nomor 7/PUU-XII/2014 lebih mendasarkan pada upaya hukum yang dapat dilakukan setelah terbitnya nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan yang tidak dilaksanakan oleh pemberi kerja dan/atau perusahaan pemberi kerja, sehingga menurut Pemohon frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai:
-      meniadakan hak pekerja/buruh untuk meminta pelaksanaan terhadap Nota Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, ke Pengadilan Negeri melalui Pengadilan Hubungan Industrial setempat, apabila pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mengubah perjanjian kerja waktu tertentu menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu;
-      meniadakan hak pekerja/buruh untuk meminta pelaksanaan Nota Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan ke Pengadilan Negeri melalui Pengadilan Hubungan Industrial setempat, apabila perusahaan pemberi pekerjaan telah nyata-nyata tidak mengubah status hubungan kerja pekerja/buruh menjadi hubungan kerja dengan perusahaan pemberi pekerjaan;
Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, permohonan a quo tidak ne bis in idem sehingga Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo.
[3.15]     Menimbang bahwa terhadap pertanyaan apakah Pemerintah, dalam hal ini Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan, memiliki kewenangan untuk menerbitkan nota pemeriksaan dan/atau penetapan tertulis terkait pelaksanaan Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003? Mahkamah berpendapat bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan, khususnya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan ketenagakerjaan merupakan salah satu upaya menciptakan hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan serta menjamin penegakan hukum dan perlindungan bagi tenaga kerja. Tujuan pengawasan ketenagakerjaan berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 NR. 23 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951), selanjutnya disebut UU 3/1951 adalah, antara lain, mengawasi berlakunya Undang-Undang dan peraturan-peraturan perburuhan pada khususnya. Hal ini sejalan pula dengan Pasal 1 angka 32 UU 13/2003 yang menyatakan, “Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan”.
           Selanjutnya Pasal 134 UU 13/2003 menyatakan, “Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan”. Terlebih lagi Indonesia telah meratifikasi ILO Convention No. 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce (Konvensi ILO Nomor 81 Mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan Dalam Industri dan Perdagangan, selanjutnya disebut konvensi ILO Nomor 81) sehingga sesuai dengan prinsip pacta sunt servanda, Indonesia menanggung kewajiban hukum internasional (international legal obligation) untuk menaati ketentuan-ketentuan dalam Kovenan ini, salah satu di antaranya adalah ketentuan tentang sistem pengawasan ketenagakerjaan di tempat kerja yang harus diterapkan di seluruh tempat kerja berdasarkan perundang-undangan, yang pengawasannya dilakukan oleh Pemerintah.
           Pasal 176 UU 13/2003 menyatakan, “Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan”. Lebih lanjut, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawas Ketenagakerjaan menyatakan,
(1) Pengawas Ketenagakerjaan dilakukan oleh unit kerja pengawas ketenagakerjaan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintahan pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota;
(2)   Di lingkungan organisasi unit kerja pengawas ketenagakerjaan pada instansi dibentuk jabatan fungsional pengawas ketenagakerjaan;
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, telah terang bahwa Undang-Undang memberikan kewenangan kepada Pemerintah, dalam hal ini pegawai pengawas ketenagakerjaan, untuk mengawasi pelaksanaan hukum ketenagakerjaan.
[3.16]         Menimbang bahwa dalam rangka pelaksanaan kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan hukum ketenagakerjaan, pegawai pengawas ketenagakerjaan dapat mengeluarkan nota pemeriksaan dan/atau penetapan tertulis. Meskipun sama-sama dikeluarkan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan, antara nota pemeriksaan dengan penetapan tertulis pegawai pengawas ketenagakerjaan memiliki perbedaan yang signifikan. Nota pemeriksaan berisi hal-hal menyangkut hasil pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan terhadap pengusaha atau perusahaan pemberi kerja yang di dalamnya disertakan pula petunjuk-petunjuk untuk meniadakan pelanggaran atau untuk melaksanakan peraturan ketenagakerjaan. Oleh karenanya, sifat dari nota pemeriksaan adalah anjuran dan tidak memiliki sifat eksekutorial.
Adapun mengenai penetapan tertulis pegawai pengawas ketenagakerjaan tersebut, Mahkamah mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1.     Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079, selanjutnya disebut UU 51/2009), yang menyatakan, “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata guna  memberikan kepastian hukum”. 
2.     Penetapan tertulis yang dikeluarkan pegawai pengawas ketenagakerjaan dibuat dalam bentuk tertulis.
3.     Pasal 1 angka 8 UU 51/2009 menyatakan, “Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Artinya, apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan maka badan atau pejabat yang melaksanakan fungsi demikian dapat dianggap sebagai badan atau pejabat Tata Usaha Negara (TUN).
4.     Pasal 134 UU 13/2003  juncto Pasal 176 UU 13/2003 menyatakan bahwa Pemerintah, yaitu pegawai pengawas ketenagakerjaan, berwenang untuk mengawasi dan menegakkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Berdasarkan ketentuan tersebut, dikaitkan dengan Pasal 1 angka 8 UU 51/2009 sebagaimana diuraikan pada angka 3 di atas maka pegawai pengawas ketenagakerjaan adalah pejabat TUN.
5.     Bahwa penetapan tertulis yang diterbitkan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan merupakan suatu tindakan hukum TUN yang menimbulkan akibat hukum TUN bagi pekerja/buruh dan perusahaan tertentu.
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah, penetapan tertulis pegawai pengawas ketenagakerjaan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU 51/2009. Oleh karenanya, penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan tersebut haruslah dianggap benar sebelum dibuktikan sebaliknya dan dibatalkan;
[3.17]     Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan banyak pengusaha atau perusahaan pemberi kerja tidak mau melaksanakan nota pemeriksaan dan/atau penetapan tertulis yang dikeluarkan pegawai pengawas ketenagakerjaan, khususnya terkait dengan Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003. Menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan permasalahan hukum yang bersifat implementatif dari pelaksanaan Undang-Undang. Namun demikian, permasalahan mendasar yang sebenarnya harus dijawab adalah apakah pegawai pengawas ketenagakerjaan memiliki kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan Pasal 59, Pasal 65, dan Pasal 66 UU 13/2003?
               Ketentuan Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003 merupakan ketentuan yang mengatur mengenai perubahan status, yaitu, dari perjanjian kerja untuk waktu tertentu menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu; hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan; dan hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. Perubahan status tersebut baru dapat terjadi apabila persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6); Pasal 65 ayat (2) dan ayat (3); serta Pasal 66 ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, dan ayat (3) UU 13/2003 tidak terpenuhi. Terhadap siapa yang berwenang menentukan terpenuhi atau tidak terpenuhinya persyaratan dimaksud, Pasal 3 Konvensi ILO Nomor 81 menyatakan bahwa fungsi sistem pengawasan ketenagakerjaan, antara lain, menjamin penegakan hukum mengenai kondisi kerja dan perlindungan tenaga kerja dan peraturan yang menyangkut waktu kerja, pengupahan, keselamatan, kesehatan serta kesejahteraan, tenaga kerja anak serta orang muda dan masalah-masalah lain yang terkait. Berdasarkan ketentuan tersebut, menurut Mahkamah, pegawai pengawas ketenagakerjaan berwenang untuk mengawasi pelaksanaan Pasal 59, Pasal 65, dan Pasal 66 UU 13/2003 termasuk menentukan terpenuhi atau tidak terpenuhinya persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6); Pasal 65 ayat (2) dan ayat (3); serta Pasal 66 ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, dan ayat (3) UU 13/2003 dan karenanya berwenang pula mengeluarkan nota pemeriksaan dan/atau penetapan tertulis terkait hal tersebut.
[3.18]     Menimbang bahwa terhadap pertanyaan apakah frasa “demi hukum” yang terdapat dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003 bertentangan dengan UUD 1945? menurut Mahkamah, Mahkamah dalam pertimbangan hukum paragraf [3.12.3] dan paragraf [3.12.4] Putusan Nomor 96/PUU-XI/2013, bertanggal 7 Mei 2014, menyatakan:
[3.12.3] Menimbang bahwa frasa “demi hukum” sebagaimana termaktub dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003 merupakan suatu ketentuan Undang-Undang mengenai perubahan status yang terjadi dengan sendirinya yang harus dilaksanakan oleh pihak-pihak dalam perjanjian perburuhan apabila terjadi keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut. Perubahan status dimaksud adalah dari Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT);
[3.12.4] Menimbang bahwa dalam konteks perkara a quo, frasa “demi hukum” sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003 berkaitan dengan syarat yang harus dipenuhi dalam perubahan statusdari PKWT menjadi PKWTT. Ketentuan mengenai syarat-syarat tersebut justru merupakan jaminan kepastian hukum yang adil bagi para pihak dalam hubungan kerja dimaksud.”
Pertimbangan Mahkamah di atas selaras dengan keterangan Presiden yang menyatakan bahwa frasa “demi hukum” yang termuat dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003 bersifat langsung dapat dilaksanakan (mempunyai titel eksekutorial) atau berlaku dengan sendirinya. Berkenaan dengan hal tersebut, dikaitkan dengan sifat dari nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana telah dipertimbangkan dalam paragraf [3.16] sampai dengan paragraf [3.17] di atas, menurut Mahkamah, untuk menegakkan pelaksanaan ketentuan ketenagakerjaan serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi bagi pekerja/buruh, pengusaha, dan pemberi pekerjaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, pekerja/buruh dapat meminta pelaksanaan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan dimaksud kepada Pengadilan Negeri setempat. Dengan mendasarkan pada pertimbangan tersebut makafrasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003 inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
1.  Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2.  Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan”;
[3.19]      Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum;
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.  Mengabulkan permohonan para Pemohon;
1.1.    Frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
1.  Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2.  Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan”;
1.2.    Frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
1.  Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2.  Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan”;
1.3.    Frasa “demi hukum” dalam Pasal 65 ayat (8) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
1.  Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2.  Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan”;
1.4.    Frasa “demi hukum” dalam Pasal 65 ayat (8) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
1.  Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2.  Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan”;
1.5.    Frasa “demi hukum” dalam Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
1.  Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2.  Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan”;
1.6.    Frasa “demi hukum” dalam Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
1.  Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2.  Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan”;
2.  Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

*****

Tidak ada komentar: