M.
Komarudin, dkk., para buruh yang tergabung dalam Federasi Ikatan Serikat Buruh
Indonesia pada tanggal 8 Januari 2015 mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang kemudian di Registrasi dengan Nomor Perkara 7/PUU-XII/2014.
Dalam
permohonannya para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat
(8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003, yang masing-masing menyatakan:
Pasal 59 ayat (7)
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat
(4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu
tidak tertentu”;
Pasal
65 ayat (8)
“Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan
kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi
hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan”;
Pasal
66 ayat (4)
“Dalam
hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b,
danhuruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan
kerja antarapekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih
menjadi hubungan kerjaantara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan”;
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945 yang menyatakan, “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Dalam
permohonanya para Pemohon menyatakan pasal-pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 dengan alasan sebagai berikut:
1.
Pegawai pengawas ketenagakerjaan berwenang melakukan
pemeriksaan terhadap tindak penyimpangan/pelanggaran norma UU 13/2003 yang
tidak mengandung unsur tindak pidana, dan menerbitkan nota pemeriksaan serta
nota penetapan tertulis yang memerintahkan kepada pengusaha/majikan untuk
melaksanakan ketentuan norma dalam UU 13/2003;
2. Pembentuk
Undang-Undang hanya mengatur sepanjang tata cara penyelesaian penyimpangan
norma yang mengandung unsur tindak pidana ketenagakerjaan dalam UU 13/2003, tetapi
tidak mengatur mengenai tata cara pelaksanaan (eksekusi) atas penetapan
tertulis dari pegawai pengawas ketenagakerjaan yang tidak dimintakan
pemeriksaan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan juga tidak dijalankan secara
sukarela oleh pengusaha/majikan. Sehingga terdapat kekosongan hukum.
3. UU 13/2003 tidak
mengatur mengenai sanksi yang dapat diberikan kepada majikan/pengusaha apabila
mereka belum atau tidak menjalankan norma dalam UU 13/2003 meskipun kepadanya
telah diberikan nota pemeriksaan atau nota penetapan tertulis oleh pegawai
pengawas ketenagakerjaan;
4. Ketentuan sepanjang frasa
“demi hukum” pada Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003 mengatur akibat hukum atas tidak
terpenuhinya syarat-syarat perjanjian kerja waktu tertentu menjadi perjanjian
kerja waktu tidak tertentu, yang kewenangan untuk menyatakannya merupakan
kewenangan pegawai pengawas ketenagakerjaan melalui hasil pemeriksaan serta penetapan
tertulis yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
5. Apabila
penetapan tertulis tersebut tidak dipatuhi/dijalankan oleh pengusaha/majikan
maka untuk memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
status hubungan kerja pekerja/buruh, serta untuk tetap menjaga hubungan
industrial yang kondusif, dan agar penerbitan penetapan tertulis dimaksud tidak
menjadi sia-sia maka seharusnya pelaksanaan penetapan tertulis tersebut dapat
dimintakan pelaksanaannya ke Pengadilan Negeri melalui Pengadilan Hubungan
Industrial.
Untuk
menjawab isu hukum tersebut, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menyatakan
sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan dalil permohonan
para Pemohon, bukti surat/tulisan yang diajukan, keterangan ahli/saksi dari
para Pemohon, keterangan Presiden, kesimpulan para Pemohon, dan fakta yang
terungkap dalam persidangan, terdapat dua permasalahan yang harus dijawab oleh
Mahkamah, yaitu:
1.
apakah Pemerintah, dalam hal ini Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan, memiliki kewenangan untuk menerbitkan nota pemeriksaan
dan/atau penetapan tertulis terkait pelaksanaan Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan
Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003?
2.
apakah frasa “demi hukum” yang terdapat dalam Pasal 59 ayat (7),
Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003 bertentangan dengan UUD 1945?
[3.14] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan
lebih lanjut mengenai permasalahan konstitusional yang dimohonkan oleh para
Pemohon, Mahkamah perlu terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:
a.
Bahwa
ketentuan Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) UU MK menyatakan: “(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam
undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi
muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
dijadikan dasar pengujian berbeda”;
b. Bahwa norma
Pasal 59, Pasal 65, dan Pasal 66 UU 13/2003 pernah diajukan pengujiannya kepada
Mahkamah dan telah pula diputus oleh Mahkamah yaitu Putusan Nomor 12/PUU-I/2003, bertanggal 28 Oktober 2004, dengan amar yang menyatakan menolak
permohonan para Pemohon untuk selebihnya; Putusan Nomor
27/PUU-IX/2011, bertanggal 17 Januari 2012, dengan amar yang menyatakan
mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; dan Putusan Nomor
96/PUU-XI/2013, bertanggal 7 Mei 2014, dengan amar yang menyatakan menolak
permohonan Pemohon;
c. Bahwa alasan konstitusional yang menjadi dasar pengujian dalam Putusan Nomor 12/PUU-I/2003 adalah Pasal 27 ayat (1), Pasal 28,
dan Pasal 33 UUD 1945; alasan konstitusional
yang menjadi dasar pengujian dalam Putusan Nomor
27/PUU-IX/2011 adalah Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 33 ayat
(1) UUD 1945; serta alasan konstitusional yang menjadi dasar
pengujian Putusan Nomor 96/PUU-XI/2013 adalah Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D
ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, sedangkan yang menjadi dasar
pengujian dalam permohonan a quo adalah
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
d. Bahwa dalam Putusan Nomor 12/PUU-I/2003 dan Putusan Nomor 27/PUU-IX/2011, para Pemohon
memusatkan permohonannya pada pihak ketiga yaitu penyedia tenaga kerja. Dalam Putusan
Nomor 96/PUU-XI/2013, Pemohon menitikberatkan pada permohonan penafsiran frasa
“demi hukum”, sama seperti dalam permohonan a
quo;
e. Bahwa meskipun dasar pengujian permohonan a quo sama dengan Putusan Nomor 96/PUU-XI/2013 dan sama-sama
memohon penafsiran frasa “demi hukum” namun sesungguhnya alasan
konstitusionalnya tidaklah sama. Pemohon dalam Putusan Nomor 96/PUU-XI/2013
mendasarkan pada tidak adanya penafsiran hukum yang pasti oleh pembentuk
undang-undang terhadap norma a quo
dan tidak adanya aturan mengenai lembaga yang berwenang menyatakan terpenuhi
atau tidak terpenuhinya syarat-syarat dalam perjanjian waktu tertentu sehingga
menurut Pemohon a quo frasa “demi
hukum” dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU
13/2003 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “setelah adanya
putusan berkekuatan hukum tetap dari badan yang melaksanakan fungsi yang
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri”. Sedangkan perkara Nomor
7/PUU-XII/2014 lebih mendasarkan pada upaya hukum yang dapat dilakukan setelah
terbitnya nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan yang tidak
dilaksanakan oleh pemberi kerja dan/atau perusahaan pemberi kerja, sehingga
menurut Pemohon frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65
ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003 bertentangan dengan UUD 1945
sepanjang dimaknai:
-
meniadakan
hak pekerja/buruh untuk meminta pelaksanaan terhadap Nota Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, ke
Pengadilan Negeri melalui Pengadilan Hubungan Industrial setempat, apabila
pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mengubah perjanjian kerja waktu tertentu
menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu;
-
meniadakan
hak pekerja/buruh untuk meminta pelaksanaan Nota Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan ke
Pengadilan Negeri melalui Pengadilan Hubungan Industrial setempat, apabila
perusahaan pemberi pekerjaan telah nyata-nyata tidak mengubah status hubungan
kerja pekerja/buruh menjadi hubungan kerja dengan perusahaan pemberi pekerjaan;
Dengan
demikian, berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, permohonan a quo tidak ne bis in idem sehingga Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo.
[3.15] Menimbang bahwa terhadap
pertanyaan apakah Pemerintah, dalam hal ini Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan,
memiliki kewenangan untuk menerbitkan nota pemeriksaan dan/atau penetapan
tertulis terkait pelaksanaan Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66
ayat (4) UU 13/2003? Mahkamah berpendapat bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan
peraturan perundang-undangan, khususnya peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan ketenagakerjaan merupakan salah satu upaya menciptakan hubungan
industrial yang harmonis dan berkeadilan serta menjamin penegakan hukum dan
perlindungan bagi tenaga kerja. Tujuan pengawasan ketenagakerjaan berdasarkan
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya
Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 NR. 23 Dari Republik Indonesia
Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951), selanjutnya disebut UU
3/1951 adalah, antara lain, mengawasi berlakunya Undang-Undang dan
peraturan-peraturan perburuhan pada khususnya. Hal ini sejalan pula dengan
Pasal 1 angka 32 UU 13/2003 yang menyatakan, “Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan”.
Selanjutnya Pasal 134 UU 13/2003
menyatakan, “Dalam mewujudkan pelaksanaan
hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah wajib melaksanakan
pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan”.
Terlebih lagi Indonesia telah meratifikasi ILO
Convention No. 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce (Konvensi
ILO Nomor 81 Mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan Dalam Industri dan
Perdagangan, selanjutnya disebut konvensi ILO Nomor 81) sehingga sesuai dengan prinsip pacta
sunt servanda, Indonesia menanggung kewajiban hukum internasional (international legal obligation) untuk
menaati ketentuan-ketentuan dalam Kovenan ini, salah satu di antaranya adalah
ketentuan tentang sistem pengawasan ketenagakerjaan di tempat kerja yang harus
diterapkan di seluruh tempat kerja berdasarkan perundang-undangan, yang
pengawasannya dilakukan oleh Pemerintah.
Pasal 176 UU 13/2003
menyatakan, “Pengawasan ketenagakerjaan
dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan
independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan”. Lebih lanjut, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawas Ketenagakerjaan menyatakan,
(1)
Pengawas Ketenagakerjaan dilakukan oleh unit kerja pengawas ketenagakerjaan
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
pemerintahan pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota;
(2)
Di lingkungan organisasi unit kerja pengawas ketenagakerjaan pada
instansi dibentuk jabatan fungsional pengawas ketenagakerjaan;
Berdasarkan ketentuan tersebut
di atas, telah terang bahwa Undang-Undang memberikan kewenangan kepada Pemerintah,
dalam hal ini pegawai pengawas ketenagakerjaan, untuk mengawasi pelaksanaan
hukum ketenagakerjaan.
[3.16] Menimbang bahwa dalam rangka
pelaksanaan kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan hukum ketenagakerjaan,
pegawai pengawas ketenagakerjaan dapat mengeluarkan nota pemeriksaan dan/atau
penetapan tertulis. Meskipun sama-sama dikeluarkan oleh pegawai pengawas
ketenagakerjaan, antara nota pemeriksaan dengan penetapan tertulis pegawai
pengawas ketenagakerjaan memiliki perbedaan yang signifikan. Nota pemeriksaan
berisi hal-hal menyangkut hasil pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan
terhadap pengusaha atau perusahaan pemberi kerja yang di dalamnya disertakan
pula petunjuk-petunjuk untuk meniadakan pelanggaran atau untuk melaksanakan
peraturan ketenagakerjaan. Oleh karenanya, sifat dari nota pemeriksaan adalah
anjuran dan tidak memiliki sifat eksekutorial.
Adapun
mengenai penetapan tertulis pegawai pengawas ketenagakerjaan tersebut, Mahkamah
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pasal 1 angka 9
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5079, selanjutnya disebut UU 51/2009), yang menyatakan, “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara
yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata guna memberikan kepastian hukum”.
2. Penetapan tertulis
yang dikeluarkan pegawai pengawas ketenagakerjaan dibuat dalam bentuk tertulis.
3. Pasal 1 angka 8 UU
51/2009 menyatakan, “Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Artinya, apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku yang merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan maka
badan atau pejabat yang melaksanakan fungsi demikian dapat dianggap sebagai
badan atau pejabat Tata Usaha Negara (TUN).
4. Pasal 134 UU
13/2003 juncto Pasal 176 UU 13/2003 menyatakan bahwa Pemerintah, yaitu
pegawai pengawas ketenagakerjaan, berwenang untuk mengawasi dan menegakkan
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Berdasarkan ketentuan tersebut,
dikaitkan dengan Pasal 1 angka 8 UU 51/2009 sebagaimana diuraikan pada angka 3
di atas maka pegawai pengawas ketenagakerjaan adalah pejabat TUN.
5. Bahwa penetapan
tertulis yang diterbitkan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan merupakan suatu
tindakan hukum TUN yang menimbulkan akibat hukum TUN bagi pekerja/buruh dan
perusahaan tertentu.
Bahwa
berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah, penetapan tertulis
pegawai pengawas ketenagakerjaan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang
bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU
51/2009. Oleh karenanya, penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh pegawai
pengawas ketenagakerjaan tersebut haruslah dianggap benar sebelum dibuktikan
sebaliknya dan dibatalkan;
[3.17] Menimbang bahwa Pemohon
mendalilkan banyak pengusaha atau perusahaan pemberi kerja tidak mau
melaksanakan nota pemeriksaan dan/atau penetapan tertulis yang dikeluarkan
pegawai pengawas ketenagakerjaan, khususnya terkait dengan Pasal 59 ayat (7),
Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003. Menurut Mahkamah, hal
tersebut merupakan permasalahan hukum yang bersifat
implementatif dari pelaksanaan Undang-Undang. Namun demikian, permasalahan
mendasar yang sebenarnya harus dijawab adalah apakah pegawai pengawas
ketenagakerjaan memiliki kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan Pasal 59,
Pasal 65, dan Pasal 66 UU 13/2003?
Ketentuan Pasal 59 ayat (7),
Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003 merupakan ketentuan yang
mengatur mengenai perubahan status, yaitu, dari perjanjian kerja untuk waktu
tertentu menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu; hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan menjadi hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan; dan hubungan kerja antara pekerja/buruh
dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh menjadi hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. Perubahan status tersebut baru
dapat terjadi apabila persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (1),
ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6); Pasal 65 ayat (2) dan ayat (3); serta
Pasal 66 ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, dan ayat (3) UU 13/2003
tidak terpenuhi. Terhadap siapa yang berwenang menentukan terpenuhi atau tidak
terpenuhinya persyaratan dimaksud, Pasal 3 Konvensi ILO Nomor 81 menyatakan
bahwa fungsi sistem pengawasan ketenagakerjaan, antara lain, menjamin penegakan
hukum mengenai kondisi kerja dan perlindungan tenaga kerja dan peraturan yang
menyangkut waktu kerja, pengupahan, keselamatan, kesehatan serta kesejahteraan,
tenaga kerja anak serta orang muda dan masalah-masalah lain yang terkait. Berdasarkan
ketentuan tersebut, menurut Mahkamah, pegawai pengawas ketenagakerjaan
berwenang untuk mengawasi pelaksanaan Pasal 59, Pasal
65, dan Pasal 66 UU 13/2003 termasuk menentukan terpenuhi atau tidak
terpenuhinya persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (1), ayat (2),
ayat (4), ayat (5), dan ayat (6); Pasal 65 ayat (2) dan ayat (3); serta Pasal
66 ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, dan ayat (3) UU 13/2003 dan
karenanya berwenang pula mengeluarkan nota pemeriksaan dan/atau penetapan
tertulis terkait hal tersebut.
[3.18] Menimbang bahwa terhadap
pertanyaan apakah frasa “demi hukum” yang terdapat dalam Pasal 59 ayat (7),
Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003 bertentangan dengan UUD
1945? menurut Mahkamah, Mahkamah dalam pertimbangan hukum paragraf [3.12.3] dan paragraf [3.12.4] Putusan Nomor 96/PUU-XI/2013, bertanggal
7 Mei 2014, menyatakan:
“[3.12.3]
Menimbang bahwa frasa “demi hukum” sebagaimana termaktub
dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003 merupakan
suatu ketentuan Undang-Undang mengenai perubahan status yang terjadi dengan
sendirinya yang harus dilaksanakan oleh pihak-pihak dalam perjanjian perburuhan
apabila terjadi keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal
tersebut. Perubahan status dimaksud adalah dari Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT);
[3.12.4] Menimbang
bahwa dalam konteks perkara a quo, frasa “demi hukum”
sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan
Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003 berkaitan dengan syarat yang harus dipenuhi dalam perubahan
statusdari PKWT menjadi PKWTT. Ketentuan mengenai syarat-syarat tersebut justru
merupakan jaminan kepastian hukum yang adil bagi
para pihak dalam hubungan kerja dimaksud.”
Pertimbangan
Mahkamah di atas selaras dengan keterangan Presiden yang menyatakan bahwa frasa
“demi hukum” yang termuat dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal
66 ayat (4) UU 13/2003 bersifat langsung dapat dilaksanakan (mempunyai titel
eksekutorial) atau berlaku dengan sendirinya. Berkenaan dengan hal tersebut,
dikaitkan dengan sifat dari nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan
sebagaimana telah dipertimbangkan dalam paragraf [3.16] sampai dengan paragraf [3.17]
di atas, menurut Mahkamah, untuk menegakkan pelaksanaan ketentuan
ketenagakerjaan serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi bagi
pekerja/buruh, pengusaha, dan pemberi pekerjaan sebagaimana dijamin dalam Pasal
28D ayat (1) UUD 1945, pekerja/buruh dapat meminta pelaksanaan nota pemeriksaan
pegawai pengawas ketenagakerjaan dimaksud kepada Pengadilan Negeri setempat.
Dengan mendasarkan pada pertimbangan tersebut makafrasa “demi hukum” dalam
Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003
inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai
pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan
bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak
untuk berunding; dan
2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas
ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan”;
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah,
permohonan para Pemohon beralasan
menurut hukum;
AMAR
PUTUSAN
Mengadili,
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
1.1.
Frasa “demi
hukum” dalam Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai
pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan
bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak
untuk berunding; dan
2.
Telah dilakukan
pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan
perundang-undangan”;
1.2. Frasa
“demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4279) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota
pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat
dengan syarat:
1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan
bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak
untuk berunding; dan
2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas
ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan”;
1.3. Frasa
“demi hukum” dalam Pasal 65 ayat (8)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4279)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh
dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan
kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan
bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak
untuk berunding; dan
2.
Telah dilakukan
pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan
perundang-undangan”;
1.4. Frasa
“demi hukum” dalam Pasal 65 ayat (8)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4279) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota
pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat
dengan syarat:
1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan
bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak
untuk berunding; dan
2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas
ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan”;
1.5. Frasa
“demi hukum” dalam Pasal 66 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4279)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh
dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada
Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan
bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak
untuk berunding; dan
2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan
berdasarkan peraturan perundang-undangan”;
1.6.
Frasa “demi
hukum” dalam Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai “Pekerja/buruh dapat meminta
pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan
Negeri setempat dengan syarat:
1.
Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun
perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak
menolak untuk berunding; dan
2.
Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas
ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan”;
2. Memerintahkan
pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana
mestinya.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar