Mahkamah Konstitusi Turki
didirikan oleh Konstitusi Turki Tahun 1961 yang didasarkan atas model praktek
hakim konstitusi di Eropa. Mahkamah Konstitusi Turki mulai melakukan
kegiatannya sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1962 tentang
Pembentukan dan Tata Penghakiman Mahkamah Konstitusi (No 44, 22 April 1962).
Salah satu kewenangan yang dimilikinya adalah menguji konstitusionalitas
undang-undang terhadap Konstitusi. Sistem pengujian konstitusi ditetapkan dalam
Konstitusi tahun 1961 sampai dengan konstitusi 1982 dengan beberapa perubahan.
Pada tahun 1982, dalam perubahan konstitusi 1982, Mahkamah Konstitusi menjadi
salah satu organ konstitusi tertinggi yang setara dengan Majelis Nasional Agung
dan kekuasaan Eksekutif serta ditempatkan sebagai organ peradilan pertama di
antara "Pengadilan Tinggi" di Turki.[2]
Sejak komposisi dan
struktur Mahkamah Konstitusi berubah dengan adanya amandemen konstitusi tahun
2010, akhirnya undang-undang baru juga diberlakukan pada tahun 2011.
Undang-undang baru tersebut tentang Pembentukan dan Tata Tertib Mahkamah
Konstitusi yang diundangkan pada tanggal 30 Maret 2011, yang kemudian aturan
yang lebih rinci tentang Organisasi dan Tata Kerja Mahkamah Konstitusi
ditetapkan oleh Peraturan Tata Tertib Mahkamah Konstitusi. Salah satu
kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi Turki adalah melakukan
pengujian undang-undang terhadap konstitusi sebagaimana diatur dalam konstitusi
turki dan undang-undang Mahkamah Konstitusi Turki. Mahkamah Konstitusi Turki akan
memeriksa konstitusionalitas sebuah aturan, dalam hal bentuk maupun substansi,
hukum, keputusan yang memiliki kekuatan hukum dan Peraturan Tata Tertib Majelis
Nasional Agung Turki. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga dapat memeriksa dan
melalukan verifikasi terhadap amandemen konstitusi yang berkaitan dengan bentuk
amandemen konstitusi. Tidak semua aturan dapat diajukan untuk diperiksa oleh
Mahkamah Konstitusi, khususnya terhadap keputusan yang memiliki kekuatan hukum
yang dikeluarkan selama keadaan darurat, darurat militer atau pada saat perang
tidak dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi
adalah final, mengikat dan tidak ada upaya banding.[3]
Ada dua prosedur untuk melakukan
proses pengujian konstitusional. Salah satunya adalah dengan pembatalan dan
yang lainnya adalah dengan menyatakan konten aturan tersebut
inkonstitusionalitas. Proses pengajuan permohonan dapat diajukan karena adanya pertentangan
inkonstitusional yang dapat diprakarsai oleh pengadilan administratif, militer dan
umum dan pihak yang terlibat dalam kasus yang berada di bawah pengawasan
pengadilan. Presiden, parlemen dari partai yang berkuasa dan partai oposisi
utama dan minimal seperlima dari total jumlah anggota Turki Grand Majelis
Nasional memiliki hak untuk mengajukan tindakan pembatalan ke Mahkamah
Konstitusi. Jika lebih dari satu partai politik berkuasa, partai yang memiliki
jumlah terbesar berhak untuk mengajukan tindakan pembatalan.
Hak untuk mengajukan
permohonan pembatalan sebuah aturan dapat dilakukan ke Mahkamah Konstitusi
secara langsung setelah 60 hari aturan tersebut diundangkan. Namun, apabila
proses permohonan untuk pembatalan diajukan dengan alasan adanya cacat hukum maka
proses pengujian akan dilakukan setelah sepuluh hari sejak tanggal diundangkan.
Dalam prosedur pengajuan permohonan pengujian undang-undang, jika pengadilan
menemukan bahwa hukum atau keputusan yang memiliki kekuatan hukum yang akan
diterapkan adalah inkonstitusional, atau jika yakin bahwa adanya klaim
inkonstitusionalitas disampaikan oleh salah satu pihak, hal tersebut akan menunda
pertimbangan kasus sampai Mahkamah Konstitusi memutuskan permasalahan tersebut.
Mahkamah Konstitusi akan memutuskan masalah tersebut dalam waktu lima bulan
setelah menerima permohonan. Jika tidak ada keputusan yang dicapai dalam
periode tersebut, maka sidang pengadilan akan menyimpulkan bahwa perkara tersebut
tidak ada dugaan inkonstitusionalitas.
Salah
satu putusan Mahkamah Konstitusi Turki yang menjadi landmark dalam satu tahun terakhir adalah tentang pengujian
undang-undang hukum pidana Turki dimana dalam permohonannya Pemohon mengajukan
pengujian undang-undang hukum pidana Turki khususnya yang terkait dengan dimungkinkannya
perkawinan agama yang tanpa diikat dengan perkawinan resmi oleh negara. Dalam
putusannya, Mahkamah Konstitusi Turki justru mengabulkan permohonan Pemohon
yang pada akhirnya telah memicu protes di kalangan praktisi hukum dan hak asasi
manusia, yang berpendapat bahwa langkah itu akan mengancam hak-hak kaum
perempuan dan anak-anak di negeri Turki. Pernikahan secara agama Islam, yang
sering dilakukan di negeri Turki, namun hal tersebut tidak diakui oleh sistem pemerintahan
Turki oleh karena itu hal tersebut dapat menyebabkan anggota keluarga tidak
punya hak hukum, termasuk hak waris.
Mahkamah Konstitusi Turki dalam
putusannya menyampaikan bahwa tidak mungkin untuk mendakwa suatu pasangan
karena semata-mata menikah secara agama, sementara adalah legal bagi seorang
wanita dan seorang pria untuk hidup bersama di Turki atas keinginan
mereka tanpa melakukan pernikahan secara agama atau perdata. Sebelum keputusan
Mahkamah Konstitusi tersebut, individu atau warga negara yang hidup bersama yang
hanya melakukan pernikahan secara agama tanpa pernikahan sipil akan dihukum 2-6
bulan penjara, menurut Pasal 230 ayat (5) Undang-Undang Hukum Pidana Turki sedangkan
ayat (6) undang-undang tersebut juga menetapkan bahwa individu atau warga
negara yang melakukan upacara pernikahan agama tanpa memiliki dokumen
pernikahan sipil yang relevan juga harus dipenjara selama dua sampai enam
bulan.
Putusan tersebut pada akhirnya
juga menuai protes dari Kementerian Urusan Kebijakan Keluarga dan Sosial Turki,
dengan alasan bahwa pencabutan undang-undang yang akan mendorong pernikahan di
bawah umur tidak bisa ditoleransi oleh kementerian tersebut oleh karenanya kementerian tersebut mengusulkan untuk
membuat undang-undang baru guna untuk mencegah anak-anak di bawah usia 18
menikah melalui pernikahan tidak resmi.
Apabila kita melihat dalil
yang diajukan oleh Pemohon dalam permohonannya menyatakan bahwa adanya ketentuan
hukum yang mengkriminalisasi warga negara yang melakukan tindakan menikah secara
agama adalah merupakan kejahatan bertentangan dengan Pasal 5, 10, 17, 20 dan 24
dari Konstitusi Turki. Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa pasangan yang
menikah dengan hanya mengatur upacara keagamaan tanpa menikah resmi dan tanpa
bukti sertifikat pernikahan akan dijatuhi hukuman penjara antar dua bulan
sampai enam bulan. Adapun yang menjadi batu uji dalam permohonan pengujian
undang-undang tersebut adalah Pasal 20 Konstitusi Turki yang menjamin hak untuk
menuntut privasi dan perlindungan kehidupan pribadi yaitu "Setiap orang berhak untuk menuntut agar menghormati kehidupan
pribadi dan keluarga" dan Pasal 24 Konstitusi Turki menjamin kebebasan
beragama dan hati nurani juga menyatakan "Setiap
orang memiliki kebebasan hati nurani, keyakinan agama dan keyakinan. Ibadah,
ritual keagamaan dan upacara dilakukan secara bebas, asalkan mereka tidak
melanggar ketentuan Pasal 14. Tidak seorangpun dapat dipaksa untuk ibadah, atau
untuk berpartisipasi dalam ritual keagamaan dan upacara, atau untuk
mengungkapkan keyakinan agama dan keyakinan , atau disalahkan atau dituduh
karena keyakinan agama dan keyakinan. "[4]
Selain itu dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi
Turki menyatakan bahwa ruang lingkup kebebasan tersebut juga dijelaskan dalam
Komite Hak Asasi Manusia PBB sebagai berikut: "Kebebasan untuk memanifestasikan agama atau kepercayaan dapat
dilaksanakan baik secara individu atau dalam komunitas dengan orang lain dan di
depan umum atau privat". Menurut Mahkamah Konstitusi Turki, dengan
memberlakukan sanksi pidana bagi mereka yang menikah secara agama tanpa menikah
resmi atau mendapatkan sertifikat perkawinan, hal tersebut merupakan pembatasan
secara eksplisit terhadap hak rakyat untuk menghormati pribadi dan kehidupan
keluarga dan kebebasan beragama dan hati nurani. Adanya fakta pilihan rakyat
tentang bagaimana membangun hubungan perkawinan mereka dengan ritual dan
praktik keagamaan, hal tersebut amsih dalam lingkup hak untuk menuntut
menghormati kehidupan pribadi dan keluarga. "Kebebasan untuk
memanifestasikan agama atau kepercayaan" juga mencakup berbagai tindakan
seperti ibadah, ritual keagamaan dan seremonial, praktek dan pengajaran sesuai
dengan norma-norma yang diakui secara internasional.
Oleh karena itu menurut
Mahkamah Konstitusi Turki, tidak ada keraguan bahwa menikah secara agama juga masuk
dalam lingkup kebebasan individu. Seperti yang telah ditekankan dalam banyak
putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, organ legislatif memiliki keleluasaan
untuk memutuskan di mana tindakan yang harus didefinisikan sebagai kejahatan
sesuai dengan kebijakan pidananya. Organ legislatif dapat menekankan pembatasan
tersebut terhadap hak-hak dan kebebasan dengan mendefinisikan kejahatan dan
hukuman. Namun, batasan tersebut harus sesuai dengan Pasal 13 Konstitusi karena
menurut Pasal 13 Konstitusi, hak untuk menuntut penghormatan terhadap kehidupan
pribadi dan keluarga dan kebebasan beragama dan hati nurani dapat dibatasi
hanya oleh hukum dan sejauh diperlukan dalam masyarakat demokratis.
Selain itu, pembatasan tersebut
tidak bertentangan dengan isi dan semangat dari Konstitusi, persyaratan tatanan
demokratis masyarakat, republik sekuler, dan prinsip proporsionalitas. Prinsip
proporsionalitas mewajibkan ada keseimbangan yang adil antara tujuan tertentu
yang akan dicapai dan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Prinsip proporsionalitas juga mensyaratkan bahwa upaya hukum adalah
menguntungkan untuk mencapai tujuan dari batasan, bahwa ada proporsi yang adil
antara tujuan dan sarana, serta ukuran membatasi merupakan persyaratan dari
tatanan demokrasi masyarakat.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar