Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Kamis, 19 November 2015

Mekanisme Pengujian Konstitusional di Mahkamah Konstitusi Turki



Mahkamah Konstitusi Turki didirikan oleh Konstitusi Turki Tahun 1961 yang didasarkan atas model praktek hakim konstitusi di Eropa. Mahkamah Konstitusi Turki mulai melakukan kegiatannya sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1962 tentang Pembentukan dan Tata Penghakiman Mahkamah Konstitusi (No 44, 22 April 1962). Salah satu kewenangan yang dimilikinya adalah menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap Konstitusi. Sistem pengujian konstitusi ditetapkan dalam Konstitusi tahun 1961 sampai dengan konstitusi 1982 dengan beberapa perubahan. Pada tahun 1982, dalam perubahan konstitusi 1982, Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu organ konstitusi tertinggi yang setara dengan Majelis Nasional Agung dan kekuasaan Eksekutif serta ditempatkan sebagai organ peradilan pertama di antara "Pengadilan Tinggi" di Turki.[2]
Sejak komposisi dan struktur Mahkamah Konstitusi berubah dengan adanya amandemen konstitusi tahun 2010, akhirnya undang-undang baru juga diberlakukan pada tahun 2011. Undang-undang baru tersebut tentang Pembentukan dan Tata Tertib Mahkamah Konstitusi yang diundangkan pada tanggal 30 Maret 2011, yang kemudian aturan yang lebih rinci tentang Organisasi dan Tata Kerja Mahkamah Konstitusi ditetapkan oleh Peraturan Tata Tertib Mahkamah Konstitusi. Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi Turki adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi sebagaimana diatur dalam konstitusi turki dan undang-undang Mahkamah Konstitusi Turki. Mahkamah Konstitusi Turki akan memeriksa konstitusionalitas sebuah aturan, dalam hal bentuk maupun substansi, hukum, keputusan yang memiliki kekuatan hukum dan Peraturan Tata Tertib Majelis Nasional Agung Turki. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga dapat memeriksa dan melalukan verifikasi terhadap amandemen konstitusi yang berkaitan dengan bentuk amandemen konstitusi. Tidak semua aturan dapat diajukan untuk diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi, khususnya terhadap keputusan yang memiliki kekuatan hukum yang dikeluarkan selama keadaan darurat, darurat militer atau pada saat perang tidak dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi adalah final, mengikat dan tidak ada upaya banding.[3]

Ada dua prosedur untuk melakukan proses pengujian konstitusional. Salah satunya adalah dengan pembatalan dan yang lainnya adalah dengan menyatakan konten aturan tersebut inkonstitusionalitas. Proses pengajuan permohonan dapat diajukan karena adanya pertentangan inkonstitusional yang dapat diprakarsai oleh pengadilan administratif, militer dan umum dan pihak yang terlibat dalam kasus yang berada di bawah pengawasan pengadilan. Presiden, parlemen dari partai yang berkuasa dan partai oposisi utama dan minimal seperlima dari total jumlah anggota Turki Grand Majelis Nasional memiliki hak untuk mengajukan tindakan pembatalan ke Mahkamah Konstitusi. Jika lebih dari satu partai politik berkuasa, partai yang memiliki jumlah terbesar berhak untuk mengajukan tindakan pembatalan.
Hak untuk mengajukan permohonan pembatalan sebuah aturan dapat dilakukan ke Mahkamah Konstitusi secara langsung setelah 60 hari aturan tersebut diundangkan. Namun, apabila proses permohonan untuk pembatalan diajukan dengan alasan adanya cacat hukum maka proses pengujian akan dilakukan setelah sepuluh hari sejak tanggal diundangkan. Dalam prosedur pengajuan permohonan pengujian undang-undang, jika pengadilan menemukan bahwa hukum atau keputusan yang memiliki kekuatan hukum yang akan diterapkan adalah inkonstitusional, atau jika yakin bahwa adanya klaim inkonstitusionalitas disampaikan oleh salah satu pihak, hal tersebut akan menunda pertimbangan kasus sampai Mahkamah Konstitusi memutuskan permasalahan tersebut. Mahkamah Konstitusi akan memutuskan masalah tersebut dalam waktu lima bulan setelah menerima permohonan. Jika tidak ada keputusan yang dicapai dalam periode tersebut, maka sidang pengadilan akan menyimpulkan bahwa perkara tersebut tidak ada dugaan inkonstitusionalitas.
          Salah satu putusan Mahkamah Konstitusi Turki yang menjadi landmark dalam satu tahun terakhir adalah tentang pengujian undang-undang hukum pidana Turki dimana dalam permohonannya Pemohon mengajukan pengujian undang-undang hukum pidana Turki khususnya yang terkait dengan dimungkinkannya perkawinan agama yang tanpa diikat dengan perkawinan resmi oleh negara. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi Turki justru mengabulkan permohonan Pemohon yang pada akhirnya telah memicu protes di kalangan praktisi hukum dan hak asasi manusia, yang berpendapat bahwa langkah itu akan mengancam hak-hak kaum perempuan dan anak-anak di negeri Turki. Pernikahan secara agama Islam, yang sering dilakukan di negeri Turki, namun hal tersebut tidak diakui oleh sistem pemerintahan Turki oleh karena itu hal tersebut dapat menyebabkan anggota keluarga tidak punya hak hukum, termasuk hak waris.
Mahkamah Konstitusi Turki dalam putusannya menyampaikan bahwa tidak mungkin untuk mendakwa suatu pasangan karena semata-mata menikah secara agama, sementara adalah legal bagi seorang wanita dan seorang pria untuk hidup bersama di Turki  atas keinginan mereka tanpa melakukan pernikahan secara agama atau perdata. Sebelum keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, individu atau warga negara yang hidup bersama yang hanya melakukan pernikahan secara agama tanpa pernikahan sipil akan dihukum 2-6 bulan penjara, menurut Pasal 230 ayat (5) Undang-Undang Hukum Pidana Turki sedangkan ayat (6) undang-undang tersebut juga menetapkan bahwa individu atau warga negara yang melakukan upacara pernikahan agama tanpa memiliki dokumen pernikahan sipil yang relevan juga harus dipenjara selama dua sampai enam bulan.
Putusan tersebut pada akhirnya juga menuai protes dari Kementerian Urusan Kebijakan Keluarga dan Sosial Turki, dengan alasan bahwa pencabutan undang-undang yang akan mendorong pernikahan di bawah umur tidak bisa ditoleransi oleh kementerian tersebut oleh karenanya  kementerian tersebut mengusulkan untuk membuat undang-undang baru guna untuk mencegah anak-anak di bawah usia 18 menikah melalui  pernikahan tidak resmi.
Apabila kita melihat dalil yang diajukan oleh Pemohon dalam permohonannya menyatakan bahwa adanya ketentuan hukum yang mengkriminalisasi warga negara yang melakukan tindakan menikah secara agama adalah merupakan kejahatan bertentangan dengan Pasal 5, 10, 17, 20 dan 24 dari Konstitusi Turki. Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa pasangan yang menikah dengan hanya mengatur upacara keagamaan tanpa menikah resmi dan tanpa bukti sertifikat pernikahan akan dijatuhi hukuman penjara antar dua bulan sampai enam bulan. Adapun yang menjadi batu uji dalam permohonan pengujian undang-undang tersebut adalah Pasal 20 Konstitusi Turki yang menjamin hak untuk menuntut privasi dan perlindungan kehidupan pribadi yaitu "Setiap orang berhak untuk menuntut agar menghormati kehidupan pribadi dan keluarga" dan Pasal 24 Konstitusi Turki menjamin kebebasan beragama dan hati nurani juga menyatakan "Setiap orang memiliki kebebasan hati nurani, keyakinan agama dan keyakinan. Ibadah, ritual keagamaan dan upacara dilakukan secara bebas, asalkan mereka tidak melanggar ketentuan Pasal 14. Tidak seorangpun dapat dipaksa untuk ibadah, atau untuk berpartisipasi dalam ritual keagamaan dan upacara, atau untuk mengungkapkan keyakinan agama dan keyakinan , atau disalahkan atau dituduh karena keyakinan agama dan keyakinan. "[4]
Selain itu dalam  pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi Turki menyatakan bahwa ruang lingkup kebebasan tersebut juga dijelaskan dalam Komite Hak Asasi Manusia PBB sebagai berikut: "Kebebasan untuk memanifestasikan agama atau kepercayaan dapat dilaksanakan baik secara individu atau dalam komunitas dengan orang lain dan di depan umum atau privat". Menurut Mahkamah Konstitusi Turki, dengan memberlakukan sanksi pidana bagi mereka yang menikah secara agama tanpa menikah resmi atau mendapatkan sertifikat perkawinan, hal tersebut merupakan pembatasan secara eksplisit terhadap hak rakyat untuk menghormati pribadi dan kehidupan keluarga dan kebebasan beragama dan hati nurani. Adanya fakta pilihan rakyat tentang bagaimana membangun hubungan perkawinan mereka dengan ritual dan praktik keagamaan, hal tersebut amsih dalam lingkup hak untuk menuntut menghormati kehidupan pribadi dan keluarga. "Kebebasan untuk memanifestasikan agama atau kepercayaan" juga mencakup berbagai tindakan seperti ibadah, ritual keagamaan dan seremonial, praktek dan pengajaran sesuai dengan norma-norma yang diakui secara internasional.
Oleh karena itu menurut Mahkamah Konstitusi Turki, tidak ada keraguan bahwa menikah secara agama juga masuk dalam lingkup kebebasan individu. Seperti yang telah ditekankan dalam banyak putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, organ legislatif memiliki keleluasaan untuk memutuskan di mana tindakan yang harus didefinisikan sebagai kejahatan sesuai dengan kebijakan pidananya. Organ legislatif dapat menekankan pembatasan tersebut terhadap hak-hak dan kebebasan dengan mendefinisikan kejahatan dan hukuman. Namun, batasan tersebut harus sesuai dengan Pasal 13 Konstitusi karena menurut Pasal 13 Konstitusi, hak untuk menuntut penghormatan terhadap kehidupan pribadi dan keluarga dan kebebasan beragama dan hati nurani dapat dibatasi hanya oleh hukum dan sejauh diperlukan dalam masyarakat demokratis.
Selain itu, pembatasan tersebut tidak bertentangan dengan isi dan semangat dari Konstitusi, persyaratan tatanan demokratis masyarakat, republik sekuler, dan prinsip proporsionalitas. Prinsip proporsionalitas mewajibkan ada keseimbangan yang adil antara tujuan tertentu yang akan dicapai dan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Prinsip proporsionalitas juga mensyaratkan bahwa upaya hukum adalah menguntungkan untuk mencapai tujuan dari batasan, bahwa ada proporsi yang adil antara tujuan dan sarana, serta ukuran membatasi merupakan persyaratan dari tatanan demokrasi masyarakat.

****



[1] Panitera Pengganti Mahkamah Konstitusi
[2] Lihat Pasal 146 Konstitusi Turki
[3] Lihat website Mahkamah Konstitusi Turki http://anayasa.gov.tr/en/inlinepages/proceedings/ConstitutionalityReview.html
[4] Lihat putusan Mahkamah Konstitusi Turki Register : 2014/36, Putusan: 2015/51

Tidak ada komentar: