Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Senin, 14 Desember 2015

KONSTITUSIONALITAS DELIK PENGHINAAN TERHADAP PEJABAT NEGARA DALAM KUHP




                 Pada tanggal 13 Februari 2015, dua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari Kota Tegal yaitu LSM Humanis Kota Tegal dan LSM Amuk Kota Tegal mengajukan permohoan pengujian Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu
Pasal 319               :  Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali berdasarkan pasal 316.
Adapun yang diminta untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah sepanjang frasa kecuali berdasarkan Pasal 316.
                 Dalam permohonannya para Pemohon yang masing-masing diwakili oleh Ketua LSM tersebut menyatakan bahwa bagian kalimat dalam Pasal 319 KUHP yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon, yaitu kecuali berdasarkan Pasal 316”, berpotensi menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon, yaitu dipidananya para Pemohon karena didakwa melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik seseorang, tanpa adanya laporan langsung oleh orang yang dirugikan akibat tindakan para Pemohon. Potensi kerugian konstitusional tersebut memiliki kemungkinan untuk tidak lagi terjadi seandainya Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon agar menghapuskan bagian kalimat dalam Pasal 319 KUHP dimaksud.
                 Untuk menjawa isu konstitusional norma a quo, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
[3.10]    Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah memohon pengujian konstitusionalitas bagian kalimat “kecuali berdasarkan Pasal 316” dalam Pasal 319 KUHP yang dimaksud selengkapnya menyatakan:
Pasal 319               :  Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali berdasarkan pasal 316.

terhadap UUD 1945), yang menyatakan:
Pasal 1 ayat (3)     :  Negara Indonesia adalah negara hukum.
Pasal 27 ayat (1)   :  Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28D ayat (1):  “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
[3.11]      Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan bagian kalimat “kecuali berdasarkan Pasal 316” dalam Pasal 319 KUHP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa terhadap permohonan pengujian konstitusional yang diajukan para Pemohon tersebut, Mahkamah memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut.
[3.12]      Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan saat ini sedang menghadapi dakwaan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik terhadap Walikota Tegal (bernama Hj. Siti Masitha Soeparno) dan Anggota DPRD Kota Tegal (bernama Suprianto), yang pelapornya adalah Amir Mirza Hutagalung. Menurut para Pemohon, pelapor bernama Amir Mirza Hutagalung bukan merupakan orang yang secara langsung merasa dicemarkan namanya, namun Amir Mirza Hutagalung dapat bertindak menjadi pelapor karena adanya bagian kalimat “kecuali berdasarkan Pasal 316” di dalam Pasal 319 KUHP. Padahal menurut para Pemohon sebenarnya KUHP mengatur bahwa penghinaan merupakan delik aduan.
[3.13]      Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut permohonan para Pemohon mengenai pengecualian dari delik aduan terhadap tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik terhadap pegawai negeri atau pejabat negara yang sedang menjalankan tugasnya, Mahkamah merasa penting menguraikan terlebih dahulu pengertian mengenai hal-hal yang lebih umum dari hukum pidana. Secara doktrinal, straafbar feit” atau “tindak pidana” atau “delik” sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
[3.14]      Menimbang bahwa dalam sebuah rumusan hukum (peraturan perundang-undangan) mengenai peristiwa hukum, perbuatan hukum, atau tindakan tertentu, terutama mengenai pidana, rumusan demikian haruslah mengandung unsur subjek (pelaku), unsur tindakan/perbuatan, dan unsur objek (korban). Adapun mengenai pihak yang dapat mengadukan atau melaporkan terjadinya suatu delik atau tindak pidana, hukum pidana Indonesia membedakan delik menjadi dua jenis, yaitu delik aduan dan delik bukan aduan. Delik aduan adalah suatu delik atau tindak pidana yang untuk dapat diproses secara hukum oleh penegak hukum, mengharuskan terlebih dahulu adanya suatu aduan atau laporan oleh pihak yang menjadi korban dari tindak pidana tersebut, sedangkan delik bukan aduan adalah suatu delik atau tindak pidana yang untuk dapatnya diproses secara hukum, tidak mensyaratkan adanya aduan atau laporan terlebih dahulu oleh pihak yang menjadi korban kepada aparat penegak hukum.
[3.15]      Menimbang bahwa hukum pidana digolongkan sebagai hukum publik, dengan alasan bahwa peristiwa atau perbuatan yang diatur adalah perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan banyak orang, kepentingan umum, atau yang dapat juga disebut kepentingan publik. Banyaknya pihak (anggota masyarakat) yang dapat terpengaruh, serta signifikansinya arti dan/atau akibat perbuatan dimaksud terhadap masyarakat (kumpulan individu dalam skala relatif besar), menyebabkan negara harus ikut campur menyelesaikannya. Hal demikian secara mendasar berbeda dengan sifat hukum perdata yang secara strategis tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kepentingan umum atau kepentingan publik, meskipun bisa jadi berpengaruh signifikan terhadap perorangan atau individu tertentu. Penggolongan suatu perbuatan/tindakan tertentu apakah akan diatur dalam wilayah hukum publik atau diatur dalam wilayah hukum privat tidak memiliki kriteria yang tetap/baku karena sangat tergantung pada perkembangan masyarakat dimana hukum itu berada.
[3.16]      Menimbang bahwa pada dasarnya hukum pidana, karena merupakan hukum publik, penanganannya menjadi domain negara. Artinya, semua perbuatan atau tindakan yang digolongkan sebagai perbuatan atau tindak pidana akan diproses secara hukum langsung oleh negara melalui aparat penegak hukum. Tindakan negara tersebut adalah demi memelihara ketertiban, keamanan, dan menjamin kepentingan umum, serta mencegah atau meminimalkan timbulnya kerugian, namun harus pula diperhatikan bahwa pada beberapa perbuatan/tindakan tertentu yang dilakukan oleh warga negara dan/atau penduduk, campur tangan negara justru dapat mengakibatkan timbulnya kerugian yang lebih besar baik pada sebagian atau seluruh anggota masyarakat, dibandingkan ketika negara tidak ikut campur terhadap suatu perbuatan atau tindakan tertentu dimaksud.
Berdasarkan hal demikian, untuk mencegah timbulnya kerugian yang lebih besar manakala negara campur tangan terhadap tindakan atau perbuatan tertentu maka dirumuskan konsep delik aduan. Konsep delik aduan, dari perspektif pihak yang merasa dirugikan (menjadi korban) suatu tindakan atau perbuatan pidana, memberikan pilihan untuk tidak menindaklanjuti secara hukum kerugian yang dialaminya, atau menindaklanjuti secara hukum dengan mengadukan atau melaporkan kepada aparat hukum. Secara sederhana, konsep delik aduan dapat dimaknai bahwa suatu perbuatan atau tindak pidana tidak akan dikenai konsekuensi hukum ketika tidak dilaporkan atau diadukan oleh korban kepada aparat penegak hukum.
Konsep tersebut tidak lepas dari pemahaman bahwa tidak ada batas mutlak dan tegas antara wilayah hukum publik (pidana) dengan wilayah hukum privat (perdata). Hukum publik dan hukum privat adalah dua kutub yang di antara keduanya terletak berbagai tindakan atau perbuatan hukum. Tarik menarik antara hukum publik dan hukum privat demikian menjadi salah satu alasan kemunculan konsep delik aduan, yaitu ketika suatu perbuatan hukum berada di tengah-tengah tarikan kepentingan publik dan kepentingan privat.
[3.17]      Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan permohonan para Pemohon terkait konstitusionalitas frasa “kecuali berdasarkan Pasal 316” dalam Pasal 319 KUHP, Mahkamah berpendapat hal demikian secara konseptual muncul karena terdapat pergeseran posisi perbuatan penghinaan, yang semula merupakan hukum publik berdimensi privat, dengan dilakukan eksklusi (pengecualian) kemudian perbuatan penghinaan bergeser ke arah hukum publik (tanpa dimensi privat). Pergeseran demikian berpengaruh secara signifikan karena sebagai delik bukan aduan maka diprosesnya suatu perbuatan penghinaan tidak “mengindahkan” lagi ada atau tidak ada pertimbangan pribadi (kepentingan privat) korban penghinaan.
[3.17.1] Selain itu, menurut Mahkamah ketentuan mengenai pelaporan delik penghinaan yang diatur dalam Pasal 319 juncto Pasal 316 KUHP tentu tidak dapat dilepaskan dari kehendak negara yang berkeinginan untuk memberikan “kemudahan” perlindungan bagi pejabat/pegawai negara atau kepada individu yang pada saat dihina sedang menjabat sebagai aparat pemerintah.
Ketentuan dimaksud menunjukkan suatu posisi dominan negara di hadapan warga negara dan/atau penduduk. Dengan kata lain, ketentuan tersebut menunjukkan bahwa negara sedang berkehendak untuk menempatkan pegawai negeri atau pejabat negara yang sedang menjalankan tugasnya pada posisi atau derajat yang lebih tinggi dibanding masyarakat (warga negara) lainnya. Ketentuan Pasal 319 KUHP dimaksud dapat diletakkan pada perspektif paradigmatik yang menempatkan pejabat negara sebagai “representasi” bahkan “simbol” negara yang karenanya harus diberikan perlindungan hukum secara istimewa dari tindakan/perbuatan penghinaan, baik perlindungan hukum secara substansial maupun perlindungan hukum secara prosedural.
[3.17.2]   Namun demikian, terjadi pergeseran paradigmatik di negara Indonesia ke arah negara hukum yang lebih demokratis. Substansi pergeseran demikian pernah dinyatakan oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, bertanggal 6 Desember 2006, meskipun Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tidak menguji hal yang sama dengan permohonan Pemohon ini, melainkan menguji konstitusionalitas pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP.
Dalam negara hukum yang demokratis, persamaan derajat dan kedudukan warga negara di hadapan hukum menjadi salah satu tujuan yang harus dicapai. Mencapai hal demikian adalah semangat yang diusung oleh Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang menjadi tonggak berdirinya negara hukum Indonesia.
Pergeseran paradigmatik demikian akan dicapai dengan terus berproses untuk menempatkan, memposisikan, serta memperlakukan semua warga negara secara sama di hadapan hukum. Namun demikian harus dicermati dengan saksama bahwa perlakuan yang sama terhadap warga negara harus tetap mendasarkan pada prinsip keadilan yang menyatakan bahwa “keadilan adalah memperlakukan sama terhadap hal-hal yang sama, dan memperlakukan secara berbeda hal-hal yang memang berbeda”.
[3.17.3] Dalam kaitannya dengan Pasal 319 KUHP yang dimohonkan oleh para Pemohon, Mahkamah menilai bahwa pembedaan perlakuan bagi korban penghinaan dalam hal mengadukan penghinaan yang dialaminya, didasarkan atau diukur dari posisi korban penghinaan, yaitu apakah sebagai pegawai negeri dan/atau pejabat, ataukah sebagai warga negara pada umumnya. Mahkamah berpendapat dasar pembedaan demikian sudah waktunya ditinjau ulang mengingat adanya perubahan/perkembangan nilai-nilai dalam masyarakat, bangsa, bahkan dalam kehidupan bernegara. Ketentuan mengenai pengaduan terhadap penghinaan demikian juga harus disikapi berbeda mengingat kompleksitas perkembangan pengetahuan, kecerdasan, sikap kritis, bahkan harus mengingat pula kemungkinan adanya sifat manipulatif, niat buruk, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, menurut Mahkamah dalam “membaca” ketentuan Pasal 316 KUHP secara kekinian, harus disikapi pula motif dan perbedaan posisi warga negara secara sosial, ekonomi, maupun politik.
[3.18]      Menimbang bahwa dari perspektif hak, tidak dihina dan/atau tidak dicemarkan nama baiknya adalah hak individu yang bersifat pasif, yaitu hak yang pemenuhannya disandarkan pada tindakan/perbuatan aktif orang lain untuk tidak melakukan penghinaan/pencemaran nama baik. Kondisi tidak dihinanya atau tidak dicemarkannya nama baik seseorang hanya dapat terjadi apabila orang lain diwajibkan untuk tidak melakukan penghinaan atau pencemaran. Agar kewajiban tersebut yang semula hanya bersifat etis, dapat berubah menjadi kewajiban hukum yang dikuatkan dengan sanksi hukum, maka kewajiban etis untuk tidak menghina atau mencemarkan nama baik dirumuskan sebagai salah satu delik dalam KUHP (kriminalisasi).
[3.18.1] Kriminalisasi terhadap tindakan penghinaan dan pencemaran nama baik adalah hal yang sudah seharusnya dilakukan oleh negara. Bahkan dapat dilihat sebagai kewajiban negara dengan alasan demi melindungi martabat setiap warga negara, serta mengeliminir kerugian baik secara psikis maupun materi yang dapat ditimbulkan oleh tindakan penghinaan dan pencemaran nama baik. Mahkamah berpendapat bahwa perlindungan terhadap penghinaan dan pencemaran nama baik masih tetap diperlukan oleh warga negara, karena secara nyata penghinaan dan pencemaran nama baik (oleh masyarakat) masih dianggap/dirasakan mengganggu ketenangan seseorang secara psikis, bahkan lebih jauh dapat mengubah penilaian masyarakat luas terhadap orang yang menjadi korban penghinaan dan pencemaran nama baik tersebut.
Kerugian psikologis dan citra (nama baik) yang demikian tentu dapat diuraikan secara lebih komprehensif, termasuk jika efek pencemaran nama baik tersebut dikuantifikasi menjadi kerugian ekonomi. Namun demikian, Mahkamah tidak akan mempertimbangkan lebih jauh mengenai kriminalisasi (kebijakan pemidanaan) terhadap tindakan penghinaan dan pencemaran nama baik dimaksud, karena hal tersebut tidak dipermasalahkan oleh para Pemohon.
[3.18.2] Menurut Mahkamah hal yang menjadi permasalahan para Pemohon adalah bahwa ketentuan Pasal 319 KUHP tersebut yang sebenarnya mengatur delik aduan (klacht delicten) dalam hal penghinaan/pencemaran nama baik, namun ketika pihak atau orang yang dihina adalah pegawai negeri atau pejabat negara yang sedang menjalankan tugasnya maka ketentuan delik aduan akan berubah menjadi bukan delik aduan atau delik biasa (gewone delicten) berdasarkan Pasal 316 KUHP. Dengan demikian keberadaan Pasal 319 juncto Pasal 316 KUHP membuka kemungkinan suatu penghinaan atau pencemaran nama baik diproses oleh aparat penegak hukum berdasarkan: a) laporan korban, yaitu orang yang secara langsung merasa dirugikan oleh tindakan penghinaan atau pencemaran nama baik tersebut; b) laporan orang lain yang tidak dirugikan secara langsung oleh, bahkan tidak menjadi tujuan dari, tindakan penghinaan atau pencemaran nama baik tersebut; atau c) diproses langsung oleh aparat penegak hukum tanpa laporan atau aduan dari siapapun.
[3.18.3] Dalam hal pelaporan tindakan penghinaan atau pencemaran nama baik kepada aparat penegak hukum dilakukan oleh korban penghinaan itu sendiri, hal demikian menurut Mahkamah adalah sesuatu yang sudah sewajarnya, karena di hadapan hukum semua orang berhak untuk secara aktif melindungi dirinya dari tindakan orang lain yang berakibat merugikan. Adapun dalam hal pelaporan tindakan penghinaan atau pencemaran nama baik, yang ditujukan kepada pegawai negeri atau pejabat negara yang sedang menjalankan tugasnya, dilakukan oleh bukan korban penghinaan, Mahkamah harus mempertimbangkan dari sisi aspek kemampuan korban untuk melindungi/membela kepentingan dirinya sendiri.
[3.18.4] Pengkhususan Pasal 319 KUHP dalam hal memposisikan penghinaan kepada pejabat dan pegawai negara sebagai delik bukan aduan, di satu sisi memang memberikan “kemudahan” bagi pejabat dan pegawai negara mengingat kedudukan istimewa mereka sebagai “pelayan negara” yang harus dihargai lebih daripada warga masyarakat biasa. Apalagi pejabat dan pegawai negara tertentu memiliki tingkat kesibukan yang mengurangi peluang mereka untuk melaporkan penghinaan yang dialaminya. Kesibukan pejabat negara dan pegawai negeri menjadi instrumen penting yang membedakan dengan anggota masyarakat atau warga negara pada umumnya, karena kesibukan pejabat negara dan pegawai negeri terjadi sebagai konsekuensi pelayanan yang mereka berikan kepada masyarakat.
Jika pegawai negeri dan pejabat negara, dalam hal terjadinya penghinaan, harus selalu melakukan pengaduan dan/atau pelaporan sendiri kepada aparat kepolisian, dikhawatirkan hal tersebut akan mengurangi efektivitas mereka dalam bekerja. Apalagi secara probabilitas besarnya jumlah penghinaan kepada pegawai negeri dan pejabat negara berbanding lurus dengan strategisnya jabatan atau tugas mereka dalam bidang pelayanan publik. Seorang kepala daerah atau kepala instansi tentu memiliki kemungkinan lebih besar atau lebih sering untuk dihina dibandingkan dengan pegawai negeri lain, karena kepala daerah atau kepala instansi dimaksud berperan sebagai pengambil keputusan/kebijakan yang mempengaruhi masyarakat luas.
[3.18.5] Namun di sisi lain, potensi “kemudahan” yang diberikan kepada pejabat negara atau pegawai negeri dalam hal mengadukan dan/atau melaporkan suatu tindak pidana penghinaan, yaitu dalam bentuk rumusan delik bukan aduan, berpotensi menimbulkan kerugian yang lebih besar dibandingkan jika dirumuskan sebagai delik aduan. Potensi demikian antara lain terlihat dari kemungkinan berikut:
a.  korban penghinaan, yaitu pegawai negeri atau pejabat negara yang sedang menjalankan tugasnya, sebenarnya tidak merasa dirugikan oleh tindakan pelaku penghinaan, bahkan bersedia memaafkan penghinaan dimaksud, namun terdapat pihak ketiga yang ingin memanfaatkan momentum untuk “menyerang” pelaku penghinaan, atau memanfaatkan momentum untuk membangun citra tertentu bagi korban penghinaan tanpa dikehendaki oleh korban penghinaan itu sendiri.
b.  korban penghinaan merasa dirugikan, namun dengan alasan ingin membangun citra “pemaaf” korban tidak mengadukan tindakan penghinaan dimaksud, “menyuruh” orang lain untuk melakukan pelaporan kepada aparat penegak hukum. Pencitraan seperti ini terlihat sebagai tindakan yang wajar, namun sebenarnya tindakan demikian merupakan cerminan karakter yang tidak terbuka dan lebih mementingkan sisi artifisial (citra) daripada kebaikan substansi. Hukum di Indonesia, secara moral tentu tidak diarahkan untuk membangun atau meneguhkan sikap mental yang demikian. Konstruksi atau rumusan delik penghinaan harus ditafsirkan sejalan dengan cita-cita moral Pancasila dan UUD 1945 yang salah satunya ingin membangun manusia Indonesia seutuhnya.
[3.19]      Menimbang bahwa perkembangan teknologi, baik di bidang komunikasi maupun transportasi, membawa dampak besar bagi keberadaan delik penghinaan ini, setidaknya dalam hal:
a.  penghinaan menjadi lebih mudah dan akibatnya menjadi lebih sering dilakukan, terutama penghinaan melalui media (jejaring) sosial; dan di sisi lain
b.  menjadikan lebih mudah pula pelaporan dan/atau pengaduan oleh korban penghinaan. Hal demikian karena kendala jarak antara tempat tinggal atau domisili korban, tempat terjadinya (locus) delik penghinaan, serta kantor aparat penegak hukum yang pada masa lalu dapat menghambat dilakukannya pengaduan dan/atau pelaporan oleh korban penghinaan tetapi, saat ini dengan bantuan teknologi telah dapat diperpendek/diringkas waktu serta jarak tempuhnya.
Teknologi yang telah memudahkan pegawai negeri atau pejabat negara untuk mengadukan penghinaan yang dialaminya menghilangkan relevansi argumentasi bahwa korban penghinaan kesulitan melakukan pengaduan dan/atau pelaporan sendiri atas penghinaan yang dialaminya.
[3.20]      Menimbang bahwa selain pertimbangan demikian, Mahkamah juga memperhatikan pergeseran paradigma kenegaraan menuju relasi negara-masyarakat yang lebih demokratis atau setara. Untuk mewujudkan kesetaraan hubungan antara negara dengan warga negara (masyarakat), harus dimulai salah satunya dengan mereposisi hubungan antara mereka yang menyelenggarakan kekuasaan negara dengan warga negara di hadapan hukum.
Pergeseran posisi pegawai negeri atau pejabat negara dari posisi “tuan” pada era kolonialisme menjadi “abdi” atau “pelayan” masyarakat pada era kemerdekaan Indonesia, seharusnya turut menggeser pula keistimewaan posisi/kedudukan hukum masing-masing pihak. Semangat pergeseran demikian menurut Mahkamah ditegaskan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan adanya perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 319 KUHP frasa “kecuali berdasarkan Pasal 316” yang membedakan perlakuan bagi masyarakat umum dengan pegawai negeri atau pejabat negara, dalam hal melakukan pengaduan atas penghinaan yang dialaminya, termasuk ancaman pidananya, Mahkamah berpendapat tidak relevan lagi untuk membedakan pengaturan bahwa penghinaan kepada anggota masyarakat secara umum merupakan delik aduan, termasuk ancaman pidananya, sementara penghinaan kepada pegawai negeri atau pejabat negara merupakan delik bukan aduan, termasuk ancaman pidananya. Pembedaan yang demikian menurut Mahkamah tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia untuk mencapai kedudukan manusia yang sederajat dan berkeadilan, sebagaimana dituangkan dalam UUD 1945, baik dalam pembukaan maupun dalam pasal-pasalnya.
[3.21]      Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat pengujian konstitusionalitas bagian kalimat “kecuali berdasarkan Pasal 316” dalam Pasal 319 KUHP yang dimohonkan oleh para Pemohon beralasan menurut hukum.
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
1.     Mengabulkan permohonan para Pemohon;
2.     Menyatakan Pasal 319 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sepanjang frasa ”kecuali berdasarkan Pasal 316” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3.     Menyatakan Pasal 319 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sepanjang frasa ”kecuali berdasarkan Pasal 316” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4.     Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.
*****

Tidak ada komentar: