Pada tanggal 13 Februari 2015, dua
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari Kota Tegal yaitu LSM Humanis Kota Tegal
dan LSM Amuk Kota Tegal mengajukan permohoan pengujian Undang-Undang tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu
Pasal 319 : “Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut
jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali
berdasarkan pasal 316”.
Adapun yang
diminta untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah
sepanjang frasa “kecuali berdasarkan Pasal 316”.
Dalam permohonannya para
Pemohon yang masing-masing diwakili oleh Ketua LSM tersebut menyatakan bahwa bagian kalimat dalam Pasal 319 KUHP yang dimohonkan pengujian
konstitusionalitasnya oleh para Pemohon, yaitu “kecuali berdasarkan Pasal 316”, berpotensi
menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon, yaitu
dipidananya para Pemohon karena didakwa melakukan penghinaan atau pencemaran
nama baik seseorang, tanpa adanya laporan langsung oleh orang yang dirugikan
akibat tindakan para Pemohon. Potensi kerugian
konstitusional tersebut memiliki kemungkinan untuk tidak lagi terjadi
seandainya Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon agar menghapuskan bagian kalimat dalam Pasal 319 KUHP dimaksud.
Untuk menjawa isu konstitusional
norma a quo, Mahkamah Konstitusi
dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa
maksud dan tujuan permohonan a quo adalah memohon pengujian
konstitusionalitas bagian kalimat
“kecuali berdasarkan Pasal 316” dalam
Pasal
319 KUHP yang dimaksud selengkapnya menyatakan:
Pasal 319 : “Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut
jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali
berdasarkan pasal 316”.
terhadap UUD
1945), yang menyatakan:
Pasal
1 ayat (3) : “Negara
Indonesia adalah negara hukum”.
Pasal 27 ayat (1) : “Segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Pasal 28D ayat
(1): “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
[3.11] Menimbang
bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan bagian kalimat “kecuali berdasarkan Pasal 316” dalam Pasal 319 KUHP bertentangan
dengan Pasal 1
ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa terhadap permohonan pengujian
konstitusional yang diajukan para Pemohon tersebut, Mahkamah memberikan
pertimbangan hukum sebagai berikut.
[3.12] Menimbang
bahwa para
Pemohon mendalilkan saat ini sedang
menghadapi dakwaan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik terhadap Walikota
Tegal (bernama Hj. Siti Masitha Soeparno) dan Anggota DPRD Kota Tegal (bernama
Suprianto), yang pelapornya adalah Amir Mirza Hutagalung. Menurut para Pemohon,
pelapor bernama Amir Mirza Hutagalung bukan merupakan orang yang secara
langsung merasa dicemarkan namanya, namun Amir Mirza Hutagalung dapat bertindak
menjadi pelapor karena adanya bagian kalimat “kecuali berdasarkan Pasal 316” di dalam Pasal 319 KUHP. Padahal
menurut para Pemohon sebenarnya KUHP mengatur bahwa penghinaan merupakan delik
aduan.
[3.13] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut permohonan
para Pemohon mengenai pengecualian dari delik aduan terhadap tindak pidana
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik terhadap pegawai negeri atau pejabat
negara yang sedang menjalankan tugasnya, Mahkamah merasa penting menguraikan
terlebih dahulu pengertian mengenai hal-hal yang lebih umum dari hukum pidana. Secara doktrinal,
“straafbar feit” atau “tindak pidana”
atau “delik” sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum)
yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang
pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
[3.14] Menimbang bahwa dalam sebuah rumusan hukum (peraturan
perundang-undangan) mengenai peristiwa hukum, perbuatan hukum, atau tindakan
tertentu, terutama mengenai pidana, rumusan demikian haruslah mengandung unsur
subjek (pelaku), unsur
tindakan/perbuatan, dan unsur objek
(korban). Adapun mengenai pihak yang dapat mengadukan atau melaporkan
terjadinya suatu delik atau tindak pidana, hukum pidana Indonesia membedakan
delik menjadi dua jenis, yaitu delik aduan dan delik bukan aduan. Delik aduan
adalah suatu delik atau tindak pidana yang untuk dapat diproses secara hukum
oleh penegak hukum, mengharuskan terlebih dahulu adanya suatu aduan atau
laporan oleh pihak yang menjadi korban dari tindak pidana tersebut, sedangkan delik
bukan aduan adalah suatu delik atau tindak pidana yang untuk dapatnya diproses
secara hukum, tidak mensyaratkan adanya aduan atau laporan terlebih dahulu oleh
pihak yang menjadi korban kepada aparat penegak hukum.
[3.15] Menimbang bahwa hukum pidana digolongkan sebagai hukum publik,
dengan alasan bahwa peristiwa atau perbuatan yang diatur adalah perbuatan yang
berkaitan dengan kepentingan banyak orang, kepentingan umum, atau yang dapat
juga disebut kepentingan publik. Banyaknya pihak (anggota masyarakat) yang
dapat terpengaruh, serta signifikansinya arti dan/atau akibat perbuatan
dimaksud terhadap masyarakat (kumpulan individu dalam skala relatif besar),
menyebabkan negara harus ikut campur menyelesaikannya. Hal demikian secara
mendasar berbeda dengan sifat hukum perdata yang secara strategis tidak
memiliki pengaruh signifikan terhadap kepentingan umum atau kepentingan publik,
meskipun bisa jadi berpengaruh signifikan terhadap perorangan atau individu
tertentu. Penggolongan suatu perbuatan/tindakan tertentu apakah akan diatur
dalam wilayah hukum publik atau diatur dalam wilayah hukum privat tidak
memiliki kriteria yang tetap/baku karena sangat tergantung pada perkembangan
masyarakat dimana hukum itu berada.
[3.16] Menimbang bahwa pada dasarnya hukum pidana, karena merupakan
hukum publik, penanganannya menjadi domain negara. Artinya, semua perbuatan atau tindakan yang digolongkan
sebagai perbuatan atau tindak
pidana akan diproses secara hukum langsung oleh negara melalui aparat penegak
hukum. Tindakan negara tersebut adalah demi memelihara ketertiban, keamanan, dan menjamin kepentingan
umum, serta mencegah atau meminimalkan timbulnya kerugian, namun harus pula
diperhatikan bahwa pada beberapa perbuatan/tindakan tertentu yang dilakukan
oleh warga negara dan/atau penduduk, campur tangan negara justru dapat
mengakibatkan timbulnya kerugian yang lebih besar baik pada sebagian atau
seluruh anggota masyarakat, dibandingkan ketika negara tidak ikut campur
terhadap suatu perbuatan atau tindakan tertentu dimaksud.
Berdasarkan
hal demikian, untuk mencegah timbulnya kerugian yang lebih besar manakala
negara campur tangan terhadap tindakan atau perbuatan tertentu maka dirumuskan konsep
delik aduan. Konsep delik aduan, dari perspektif pihak yang merasa dirugikan
(menjadi korban) suatu tindakan atau perbuatan pidana, memberikan pilihan untuk
tidak menindaklanjuti secara hukum kerugian yang dialaminya, atau
menindaklanjuti secara hukum dengan mengadukan atau melaporkan kepada aparat
hukum. Secara sederhana, konsep delik aduan dapat dimaknai bahwa suatu
perbuatan atau tindak pidana tidak akan dikenai konsekuensi hukum ketika tidak
dilaporkan atau diadukan oleh korban kepada aparat penegak hukum.
Konsep
tersebut
tidak lepas
dari pemahaman bahwa tidak ada batas mutlak dan tegas antara wilayah hukum
publik (pidana) dengan wilayah hukum privat (perdata). Hukum publik dan hukum
privat adalah dua kutub yang di antara keduanya terletak berbagai tindakan atau perbuatan hukum. Tarik
menarik antara hukum publik dan hukum privat demikian menjadi salah satu alasan
kemunculan konsep delik aduan, yaitu ketika suatu perbuatan hukum berada di
tengah-tengah tarikan kepentingan publik dan kepentingan privat.
[3.17] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan permohonan para Pemohon
terkait konstitusionalitas frasa “kecuali berdasarkan Pasal 316” dalam Pasal
319 KUHP, Mahkamah berpendapat hal demikian secara konseptual muncul karena
terdapat pergeseran posisi perbuatan penghinaan, yang semula merupakan hukum
publik berdimensi privat, dengan dilakukan eksklusi (pengecualian) kemudian
perbuatan penghinaan bergeser ke arah hukum publik (tanpa dimensi privat).
Pergeseran demikian berpengaruh secara signifikan karena sebagai delik bukan
aduan maka diprosesnya suatu perbuatan penghinaan tidak “mengindahkan” lagi ada
atau tidak ada
pertimbangan pribadi (kepentingan privat) korban penghinaan.
[3.17.1] Selain itu, menurut
Mahkamah ketentuan mengenai pelaporan delik penghinaan yang diatur dalam Pasal
319 juncto Pasal 316 KUHP tentu tidak
dapat dilepaskan dari kehendak negara yang berkeinginan untuk memberikan
“kemudahan” perlindungan bagi pejabat/pegawai negara atau kepada individu yang
pada saat dihina sedang menjabat sebagai aparat pemerintah.
Ketentuan
dimaksud menunjukkan suatu posisi dominan negara di hadapan warga
negara dan/atau penduduk. Dengan kata lain, ketentuan tersebut menunjukkan
bahwa negara sedang berkehendak untuk menempatkan pegawai negeri atau pejabat
negara yang sedang menjalankan tugasnya pada posisi atau derajat yang lebih
tinggi dibanding masyarakat (warga negara) lainnya. Ketentuan Pasal 319 KUHP
dimaksud dapat diletakkan pada perspektif paradigmatik yang menempatkan pejabat
negara sebagai “representasi” bahkan “simbol” negara yang karenanya harus
diberikan perlindungan hukum secara istimewa dari tindakan/perbuatan
penghinaan, baik perlindungan hukum secara substansial maupun perlindungan
hukum secara prosedural.
[3.17.2] Namun demikian, terjadi pergeseran paradigmatik di negara
Indonesia ke arah negara hukum yang lebih demokratis. Substansi pergeseran
demikian pernah dinyatakan oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor
013-022/PUU-IV/2006, bertanggal 6 Desember 2006, meskipun Putusan Nomor
013-022/PUU-IV/2006 tidak menguji hal yang sama dengan permohonan Pemohon ini,
melainkan menguji konstitusionalitas pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden
dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137
KUHP.
Dalam
negara hukum yang demokratis, persamaan derajat dan kedudukan warga negara di
hadapan hukum menjadi salah satu tujuan yang harus dicapai. Mencapai hal
demikian adalah semangat yang diusung oleh Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945, yang menjadi tonggak berdirinya negara hukum Indonesia.
Pergeseran
paradigmatik demikian akan dicapai dengan terus
berproses untuk menempatkan, memposisikan, serta memperlakukan semua warga
negara secara sama di hadapan hukum. Namun demikian harus dicermati dengan saksama bahwa
perlakuan yang sama terhadap warga negara harus tetap mendasarkan pada prinsip
keadilan yang menyatakan bahwa “keadilan adalah memperlakukan sama terhadap
hal-hal yang sama, dan memperlakukan secara berbeda hal-hal yang memang
berbeda”.
[3.17.3] Dalam kaitannya dengan
Pasal 319 KUHP yang dimohonkan oleh para Pemohon, Mahkamah menilai bahwa pembedaan
perlakuan bagi korban penghinaan dalam hal mengadukan penghinaan yang
dialaminya, didasarkan atau diukur dari posisi korban penghinaan, yaitu apakah
sebagai pegawai negeri dan/atau pejabat, ataukah sebagai warga negara pada
umumnya. Mahkamah berpendapat dasar pembedaan demikian sudah waktunya ditinjau
ulang mengingat adanya perubahan/perkembangan nilai-nilai dalam masyarakat,
bangsa, bahkan dalam kehidupan bernegara. Ketentuan mengenai pengaduan terhadap
penghinaan demikian juga harus disikapi berbeda mengingat kompleksitas
perkembangan pengetahuan, kecerdasan, sikap kritis, bahkan harus mengingat pula
kemungkinan adanya sifat manipulatif, niat buruk, dan lain sebagainya. Dengan
kata lain, menurut Mahkamah dalam “membaca” ketentuan Pasal 316 KUHP secara
kekinian, harus disikapi pula motif dan perbedaan posisi warga negara secara
sosial, ekonomi, maupun politik.
[3.18] Menimbang bahwa dari perspektif hak, tidak dihina dan/atau tidak
dicemarkan nama baiknya adalah hak individu yang bersifat pasif, yaitu hak yang
pemenuhannya disandarkan pada tindakan/perbuatan aktif orang lain untuk tidak
melakukan penghinaan/pencemaran nama baik. Kondisi tidak dihinanya atau tidak
dicemarkannya nama baik seseorang hanya dapat terjadi apabila orang lain
diwajibkan untuk tidak melakukan penghinaan atau pencemaran. Agar kewajiban
tersebut yang semula hanya bersifat etis, dapat berubah menjadi kewajiban hukum
yang dikuatkan dengan sanksi hukum, maka kewajiban etis untuk tidak menghina
atau mencemarkan nama baik dirumuskan sebagai salah satu delik dalam KUHP
(kriminalisasi).
[3.18.1] Kriminalisasi terhadap
tindakan penghinaan dan pencemaran nama baik adalah hal yang sudah seharusnya
dilakukan oleh negara. Bahkan dapat dilihat sebagai kewajiban negara dengan
alasan demi melindungi martabat setiap warga negara, serta mengeliminir
kerugian baik secara psikis maupun materi yang dapat ditimbulkan oleh tindakan
penghinaan dan pencemaran nama baik. Mahkamah berpendapat bahwa perlindungan
terhadap penghinaan dan pencemaran nama baik masih tetap diperlukan oleh warga
negara, karena secara nyata penghinaan dan pencemaran nama baik (oleh
masyarakat) masih dianggap/dirasakan mengganggu ketenangan seseorang secara
psikis, bahkan lebih jauh dapat mengubah penilaian masyarakat luas terhadap
orang yang menjadi korban penghinaan dan pencemaran nama baik tersebut.
Kerugian
psikologis dan citra (nama baik) yang demikian tentu dapat diuraikan secara
lebih komprehensif, termasuk jika efek pencemaran nama baik tersebut
dikuantifikasi menjadi kerugian ekonomi. Namun demikian, Mahkamah tidak akan
mempertimbangkan lebih jauh mengenai kriminalisasi (kebijakan pemidanaan)
terhadap tindakan penghinaan dan pencemaran nama baik dimaksud, karena hal
tersebut tidak dipermasalahkan oleh para Pemohon.
[3.18.2] Menurut Mahkamah hal yang
menjadi permasalahan para Pemohon adalah bahwa ketentuan Pasal 319 KUHP
tersebut yang sebenarnya mengatur delik aduan (klacht delicten) dalam hal penghinaan/pencemaran nama baik, namun
ketika pihak atau orang yang dihina adalah pegawai negeri atau pejabat negara
yang sedang menjalankan tugasnya maka ketentuan delik aduan akan berubah
menjadi bukan delik aduan atau delik biasa (gewone
delicten) berdasarkan Pasal 316 KUHP. Dengan demikian keberadaan Pasal 319 juncto Pasal 316 KUHP membuka
kemungkinan suatu penghinaan atau pencemaran nama baik diproses oleh aparat
penegak hukum berdasarkan: a) laporan korban, yaitu orang yang secara langsung
merasa dirugikan oleh tindakan penghinaan atau pencemaran nama baik tersebut;
b) laporan orang lain yang tidak dirugikan secara langsung oleh, bahkan tidak
menjadi tujuan dari, tindakan penghinaan atau pencemaran nama baik tersebut;
atau c) diproses langsung oleh aparat penegak hukum tanpa laporan atau aduan
dari siapapun.
[3.18.3] Dalam hal pelaporan
tindakan penghinaan atau pencemaran nama baik kepada aparat penegak hukum
dilakukan oleh korban penghinaan itu sendiri, hal demikian menurut Mahkamah
adalah sesuatu yang sudah sewajarnya, karena di hadapan hukum semua orang
berhak untuk secara aktif melindungi dirinya dari tindakan orang lain yang
berakibat merugikan. Adapun dalam hal pelaporan tindakan penghinaan atau
pencemaran nama baik, yang ditujukan kepada pegawai negeri atau pejabat negara
yang sedang menjalankan tugasnya, dilakukan oleh bukan korban penghinaan,
Mahkamah harus mempertimbangkan dari sisi aspek kemampuan korban untuk
melindungi/membela kepentingan dirinya sendiri.
[3.18.4] Pengkhususan Pasal 319 KUHP
dalam hal memposisikan penghinaan kepada pejabat dan pegawai negara sebagai
delik bukan aduan, di satu sisi memang memberikan “kemudahan” bagi pejabat dan
pegawai negara mengingat kedudukan istimewa mereka sebagai “pelayan negara”
yang harus dihargai lebih daripada warga masyarakat biasa. Apalagi pejabat dan
pegawai negara tertentu memiliki tingkat kesibukan yang mengurangi peluang
mereka untuk melaporkan penghinaan yang dialaminya. Kesibukan pejabat negara
dan pegawai negeri menjadi instrumen penting yang membedakan dengan anggota masyarakat
atau warga negara pada umumnya, karena kesibukan pejabat negara dan pegawai
negeri terjadi sebagai konsekuensi pelayanan yang mereka berikan kepada
masyarakat.
Jika
pegawai negeri dan pejabat negara,
dalam hal terjadinya penghinaan, harus selalu melakukan pengaduan dan/atau
pelaporan sendiri kepada aparat kepolisian, dikhawatirkan hal tersebut akan mengurangi
efektivitas mereka dalam bekerja. Apalagi secara probabilitas besarnya jumlah
penghinaan kepada pegawai negeri dan pejabat negara berbanding lurus dengan
strategisnya jabatan atau tugas mereka dalam bidang pelayanan publik. Seorang
kepala daerah atau kepala instansi tentu memiliki kemungkinan lebih besar atau
lebih sering untuk dihina dibandingkan dengan pegawai negeri lain, karena
kepala daerah atau kepala instansi dimaksud berperan sebagai pengambil
keputusan/kebijakan yang mempengaruhi masyarakat luas.
[3.18.5] Namun di sisi lain, potensi
“kemudahan” yang diberikan kepada pejabat negara atau pegawai negeri dalam hal
mengadukan dan/atau melaporkan suatu tindak pidana penghinaan, yaitu dalam
bentuk rumusan delik bukan aduan, berpotensi menimbulkan kerugian yang lebih
besar dibandingkan jika dirumuskan sebagai delik aduan. Potensi demikian antara
lain terlihat dari kemungkinan berikut:
a.
korban
penghinaan, yaitu pegawai negeri atau pejabat negara yang sedang menjalankan
tugasnya, sebenarnya tidak merasa dirugikan oleh tindakan pelaku penghinaan,
bahkan bersedia memaafkan penghinaan dimaksud, namun terdapat pihak ketiga yang
ingin memanfaatkan momentum untuk “menyerang” pelaku penghinaan, atau memanfaatkan
momentum untuk membangun citra tertentu bagi korban penghinaan tanpa
dikehendaki oleh korban penghinaan itu sendiri.
b.
korban
penghinaan merasa dirugikan, namun dengan alasan ingin membangun citra “pemaaf”
korban tidak mengadukan tindakan penghinaan dimaksud, “menyuruh” orang lain
untuk melakukan pelaporan kepada aparat penegak hukum. Pencitraan seperti ini
terlihat sebagai tindakan yang wajar, namun sebenarnya tindakan demikian
merupakan cerminan karakter yang tidak terbuka dan lebih mementingkan sisi artifisial
(citra) daripada kebaikan substansi. Hukum di Indonesia, secara moral tentu
tidak diarahkan untuk membangun atau meneguhkan sikap mental yang demikian.
Konstruksi atau rumusan delik penghinaan harus ditafsirkan sejalan dengan
cita-cita moral Pancasila dan UUD 1945 yang salah satunya ingin membangun
manusia Indonesia seutuhnya.
[3.19] Menimbang bahwa perkembangan teknologi, baik di bidang
komunikasi maupun transportasi, membawa dampak besar bagi keberadaan delik
penghinaan ini, setidaknya dalam hal:
a.
penghinaan
menjadi lebih mudah dan akibatnya menjadi lebih sering dilakukan, terutama
penghinaan melalui media (jejaring) sosial; dan di sisi lain
b.
menjadikan
lebih mudah pula pelaporan dan/atau pengaduan oleh korban penghinaan. Hal
demikian karena kendala jarak antara tempat tinggal atau domisili korban, tempat
terjadinya (locus) delik penghinaan,
serta kantor aparat penegak hukum yang pada masa lalu dapat menghambat dilakukannya pengaduan dan/atau
pelaporan oleh korban penghinaan tetapi,
saat ini dengan bantuan teknologi telah dapat diperpendek/diringkas waktu serta
jarak tempuhnya.
Teknologi yang
telah memudahkan pegawai negeri atau pejabat negara untuk mengadukan penghinaan
yang dialaminya menghilangkan relevansi argumentasi bahwa korban penghinaan
kesulitan melakukan pengaduan dan/atau
pelaporan sendiri atas penghinaan yang dialaminya.
[3.20] Menimbang bahwa selain pertimbangan demikian, Mahkamah juga
memperhatikan pergeseran paradigma kenegaraan menuju relasi negara-masyarakat
yang lebih demokratis atau setara. Untuk mewujudkan kesetaraan hubungan antara
negara dengan warga negara (masyarakat), harus dimulai salah satunya dengan
mereposisi hubungan antara mereka yang menyelenggarakan kekuasaan negara dengan warga negara
di hadapan hukum.
Pergeseran
posisi pegawai negeri atau pejabat negara dari posisi “tuan” pada era
kolonialisme menjadi “abdi” atau “pelayan” masyarakat pada era kemerdekaan
Indonesia, seharusnya turut menggeser pula keistimewaan posisi/kedudukan hukum
masing-masing pihak. Semangat pergeseran demikian menurut Mahkamah ditegaskan
oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan adanya perlakuan yang sama
di hadapan hukum.
Dalam
kaitannya dengan ketentuan Pasal 319 KUHP frasa “kecuali berdasarkan Pasal 316” yang membedakan perlakuan bagi
masyarakat umum dengan pegawai negeri atau pejabat negara, dalam hal melakukan
pengaduan atas penghinaan yang dialaminya, termasuk ancaman pidananya, Mahkamah berpendapat tidak relevan
lagi untuk membedakan pengaturan bahwa penghinaan kepada anggota masyarakat
secara umum merupakan delik aduan, termasuk ancaman pidananya, sementara penghinaan kepada pegawai
negeri atau pejabat negara merupakan delik bukan aduan, termasuk
ancaman pidananya.
Pembedaan yang demikian menurut Mahkamah tidak sesuai dengan cita-cita
kemerdekaan bangsa Indonesia untuk mencapai kedudukan manusia yang sederajat
dan berkeadilan, sebagaimana dituangkan dalam UUD 1945, baik dalam pembukaan
maupun dalam pasal-pasalnya.
[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan
seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat pengujian
konstitusionalitas bagian kalimat
“kecuali berdasarkan Pasal 316” dalam
Pasal
319 KUHP yang dimohonkan oleh para Pemohon beralasan menurut hukum.
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Mengadili,
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
2. Menyatakan Pasal 319 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana sepanjang frasa ”kecuali
berdasarkan Pasal 316” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Menyatakan Pasal 319 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana sepanjang frasa ”kecuali
berdasarkan Pasal 316” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar