Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Jumat, 11 Desember 2015

KONSTITUSIONALITAS TINDAK PIDANA BIDANG KEHUTANAN




Pada tanggal 10 September 2015, beberapa tokoh masyarakat adat dan Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam permohonannya para Pemohon mengajukan dalil yang pada pokoknya sebagai berikut:
                  Pemohon dalam petitumnya memohon agar keseluruhan UU PPPH bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat akan tetapi pada uraian alasan permohonan para Pemohon hanya menguji  Pasal 1 angka 3, Pasal 6 ayat (1) huruf d, Pasal 11 ayat (4), Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h, huruf k, huruf l, dan huruf m, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 19 huruf a, dan huruf b, Pasal 26, Pasal 46 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 52 ayat (1), Pasal 82 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 83 ayat (1), dan ayat (2), serta ayat (3), Pasal 84 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 87 ayat (1) huruf b dan huruf c, Pasal 87 ayat (2) huruf b dan huruf c, dan Pasal 87 ayat (3), Pasal 88, Pasal 92 ayat (1), Pasal 94 ayat (1), Pasal 98 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 110 huruf b  UU PPPH, serta Penjelasan Pasal 12, Pasal 15 ayat (1) huruf d, Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf e, huruf i, dan huruf k, Pasal 81 UU Kehutanan bertentangan terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dengan alasan:
1.   Pasal 1 angka 3 UU PPPH bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum serta melanggar kepastian hukum;
2.  Pasal 6 ayat (1) huruf d UU PPPH menyebabkan ketidakpastian hukum;

3. Norma dan pasal pidana UU PPPH merupakan bentuk pengingkaran dan diskriminasi serta pembatasan terhadap masyarakat adat/lokal dalam memenuhi kebutuhan hidup;
4.   Pasal 11 ayat (4) UU PPPH telah membatasi hak-hak konstitusional warga negara untuk mengembangkan diri demi memenuhi kebutuhan dasar hidup, hak atas rasa aman, bebas dari rasa takut, serta bebas dari diskriminasi;
5. Keberadaan Penjelasan Pasal 12 UU Kehutanan merupakan perubahan terselubung terhadap substansi tata kelola kehutanan yang telah diatur dalam batang tubuh UU Kehutanan. Selain itu, keberadaan Penjelasan Pasal 12 UU Kehutanan juga menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian norma hukum karena bertentangan dengan alur tata kelola kehutanan yang menjadi tulang punggung UU Kehutanan;
6.  Pasal 15 ayat (1) huruf d UU Kehutanan tidak mengatur mengenai batas waktu pemerintah untuk melakukan penetapan kawasan hutan. Tidak adanya batasan waktu pada kenyataannya telah menimbulkan kelalaian Pemerintah untuk melakukan penetapan kawasan hutan agar tersedia kawasan hutan yang definitif;
7.  Dalam praktiknya hampir tidak ada perkara di pengadilan terkait pelaksanaan Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf e, huruf i, dan huruf k terhadap masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan yang memperhatikan atau melakukan pembuktian atas status hutan dan hak masyarakat atas hutan;
8.   Pasal 81 UU Kehutanan tidak mengatur mengenai batas waktu untuk melakukan penetapan kawasan hutan. Ketiadaan batas waktu itu membuat Pemerintah abai dan menimbulkan kerugian hak konstitusional bagi warga negara, antara lain mengenai tidak adanya kepastian hukum.
            Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas norma pasal a quo, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
[3.8]           Menimbang bahwa sebagaimana pokok permohonan para Pemohon yang telah diuraikan pada paragraf [3.6], pada pokoknya para Pemohon mempersoalkan 3 (tiga) masalah sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum Pasal 1 angka 3 UU PPPH;
2. Ketentuan Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h, huruf k, huruf l, huruf m, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 19 huruf a, dan huruf b, Pasal 26, Pasal 46 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 52 ayat (1), Pasal 82 ayat (1), dan ayat  (2), Pasal 83 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 84 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 87 ayat (1), huruf b, huruf c, Pasal 87 ayat (2) huruf b, huruf c dan Pasal 87 ayat (3), Pasal 88, Pasal 92 ayat (1), Pasal 94 ayat (1), Pasal 98 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 110 huruf b UU PPPH dan Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf e, huruf i, huruf k UU Kehutanan yang menegasikan hak-hak masyarakat hukum adat karena melanggar prinsip kepastian hukum, dan bersifat diskriminatif sehingga bertentangan dengan UUD 1945;
1.  Ketentuan penataan, pengaturan, dan pengelolaan hutan oleh negara atau pemerintah dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d, Pasal 11 ayat (4) UU PPPH, dan Penjelasan Pasal 12, Pasal 15 ayat (1) huruf d, Pasal 81 UU Kehutanan melanggar prinsip kepastian hukum, bersifat diskriminatif, dan bertentangan dengan UUD 1945;
Mahkamah hanya akan mempertimbangkan ketiga permasalahan konstitusionalitas tersebut dan tidak akan mempertimbangkan inkonstitusionalitas keseluruhan UU PPPH a quo sebagaimana dimohonkan dalam petitum para Pemohon, karena para Pemohon tidak menguraikan alasan permohonannya;
[3.9]           Menimbang bahwa terhadap permasalahan angka 1, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
[3.9.1]       Bahwa para Pemohon mendalilkan  Pasal 1 angka 3 UU PPPH menimbulkan ketidakpastian hukum karena mempersamakan kedudukan hukum antara kawasan hutan yang telah ditetapkan dengan kawasan hutan yang baru ditunjuk serta kawasan hutan yang sedang dalam proses penetapannya;
[3.9.2]       Bahwa Pasal 1 angka 3 UU PPPH adalah masuk dalam ketentuan umum. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 88/PUU-X/2012, bertanggal 19 Desember 2013, telah menilai dan mempertimbangkan mengenai pasal yang masuk dalam Bab Ketentuan Umum sebagai berikut:
“Terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 3, angka 5, dan angka 6 UU Bantuan Hukum, menurut Mahkamah,ketentuan tersebut diatur dalam Bab I tentang Ketentuan Umum, yang memuat tentang batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi, dan/atau hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab (vide Lampiran II C.1. 98 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Ketentuan umum dalam suatu peraturan perundang-undangan dimaksudkan agar batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim yang berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah memang harus dirumuskan sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda (vide Lampiran II C.1.107 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)”;
“Permohonan para Pemohon  yang mempersoalkan batasan pengertian atau hal lain mengenai bantuan hukum, pemberi bantuan hukum, standar bantuan hukum, dan kode etik advokat yang bersifat umum yang dijadikan dasar/pijakan bagi pasal berikutnya dalam UU Bantuan Hukum, sangat tidak beralasan dan tidak tepat, sebab ketentuan a quo adalah untuk memberikan batasan dan arah yang jelas mengenai bantuan hukum, pemberi bantuan hukum, standar bantuan hukum, dan kode etik advokat. Lagipula ketentuan umum a quo bukan merupakan norma yang bersifat mengatur dan tidak mengandung pertentangan dengan UUD 1945. ...”;
Namun Mahkamah hanya akan mempertimbangkan inkonstitusionalitas ketentuan umum dari suatu Undang-Undang jika hal itu berakibat pada tidak dapat dilaksanakannya Undang-Undang yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu asas dapat dilaksanakan.Selain itu, setelah mencermatidengan saksamaantara posita dan petitum para Pemohon, menurut Mahkamah, terdapat ketidaksinkronan antara posita dan petitum yakni dalam positanya mengajukan pengujian Pasal 1 angka 3 UU PPPH namun dalam petitumnya para Pemohon memohon putusan seluruh UU PPPH bertentangan dengan UUD 1945, oleh karena itu permohonan para Pemohon sepanjang pasal a quo adalah tidak jelas atau kabur;
[3.10]        Menimbang bahwa terhadap permasalahan angka 2, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
[3.10.1]     Bahwa penerapan pidana terhadap pengaturan lalulintas kehidupan masyarakat harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat yang adil dan makmur, sehingga penetapan sesuatu perbuatan pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan demi kesejahteraan dan perlindungan masyarakat serta pengayoman masyarakat secara menyeluruh dan utuh, tanpa membedakan perlindungan terhadap kelompok “elemen” masyarakat tertentu;
[3.10.2]     Bahwa tindak pidana bidang kehutanan mempunyai karateristik khusus dalam rangka memberikan  perlindungan kepada masyarakat, yaitu karakteristik yang menganut prinsip-prinsip:
Prinsip pertama, Pencegahan Bahaya Lingkungan (Prevention of Harm), maksudnya sesuatu tindak pidana kehutanan harus memenuhi adanya penyesuaian aturan nasional dengan aturan dan standar internasional untuk mencegah, mengurangi, dan mengontrol kerugian negara-negara lainnya akibat suatu kegiatan dalam skala nasional. Untuk menghindari kerugian negara lain tersebut, suatu negara wajib melakukan upaya yang memadai dan didasarkan pada itikad baik mengatursetiap kegiatan masyarakat suatunegara yang berpotensi merusak lingkungan, hutan dan sumberdaya alam lainnya, karena masing-masing bagian ekosistem saling tergantung satusama lain tanpa memandang batas-batas kewilayahan suatu negara;
Prinsip kedua, Prinsip Kehati-hatian (Precautionary Principle), bahwa untuk melindungi lingkungan, hutan, setiap negara harus menerapkan prinsip kehati-hatian sesuai dengan kemampuan negara yang bersangkutan. Apabila terdapat ancaman kerusakan yang serius atau tidak dapat dipulihkan, ketiadaan bukti ilmiah tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-upaya pencegahan penurunan fungsi lingkungan. Prinsip ini antara lain diterapkan dalam menentukan kriteria seorang yang bertanggungjawab dalam tindak pidana, meliputi unsur kealpaan, yaitu orang yang menyebabkan kerusakan hutan harus bertanggungjawab apabila yang bersangkutan menerapkan kehati-hatian di bawah standard atau tidak menerapkan kehatian-hatian sebagaimana mestinya;
Prinsip ketiga, Prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development), bahwa pembangunan berkelanjutan menghendaki terjaminnya kualitas hidup yang layak dan baik bagi generasi sekarang dan yang akan datang melalui pelestarian daya dukung lingkungan, dengan maksud dalam proses pembangunan harus terdapat keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial, serta pelestarian dan perlindungan lingkungan agar generasi yang akan datang memiliki kemampuan yang sama mendapatkan kualitas hidup dari lingkungan yang sehat dan baik;
[3.10.3]      Bahwa penetapan tindak pidana terhadap suatu rangkaian perbuatan dalam lalu lintas kehidupan masyarakat harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur, sehingga penetapan sesuatu perbuatan pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan demi kesejahteraan dan perlindungan masyarakat serta pengayoman masyarakat secara menyeluruh dan utuh, tanpa membedakan perlindungan terhadap kelompok masyarakat tertentu, sebagaimana telah dipertimbangkan terdahulu; perbuatan mana dikualifikasi sebagai yang tidak dikehendaki dan yang menimbulkan kerugian  material dan spritual atas warga masyarakat;
[3.10.4]      Bahwa secara empiris laju kerusakan hutan di Indonesia dari tahun ketahun menunjukkan data semakin meningkat dan meluas. Pada tahun 1970-an mencapai 300.000 hektare, tahun 1980-an meningkat menjadi 600.000 hektare, tahun 1990-an menjadi 1,3 juta hektare pertahun, dan pada tahun 2000-an telah mencapai 2 juta hektare pertahun.Keadaan tersebut menunjukkan telah sedemikian masif terjadinya degradasi hutan yang menimbulkan kerugian material, berupa kerusakan hutan, dan kerugian spiritual berupa tidak adanya lingkungan kehidupan yang sehat dan layak;
[3.10.5]      Bahwa merupakan mewujudkan lingkungan yang sehat dengan mengupayakan sumberdaya hutan yang lestari adalah bagian dari kewajiban negara sesuai dengan konstitusi. Menurut Mahkamah,negara berhak melakukan intervensi dalam hal penegakan kebijakan lingkungan hidup yang sesuai dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, termasuk salah satunya dengan menetapkan dan menerapkan ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, dalam hal ini UU PPPH dan UU Kehutanan. Selain itu, ketentuan pidana dalam kedua Undang-Undang a quo adalah sebagai upaya preventif sekaligus represif dari Pemerintah dalam penegakan hukum bidang kehutanan, karena sebagaimana telah diuraikan di atas, lingkungan hutan Indonesia harus dilindungi dan dikelola berdasarkan asas tanggungjawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan, juga pengelolaan hutan harus memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan terhadap kearifan lokal dalam mengelola lingkungan. Namun demikian, upaya represif dalam penegakan hukum bidang kehutanan diaktualisasikan dalam ketentuan pidana tersebut harus dipandang sebagai upaya terakhir (ultimum remedium), yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak melakukan kejahatan;
[3.10.6]      Bahwa para Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h, huruf k, huruf l, huruf m, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 19 huruf a, dan huruf b, Pasal 26, Pasal 46 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 52 ayat (1), Pasal 82 ayat (1), dan ayat  (2), Pasal 83 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 84 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 87 ayat (1), huruf b, huruf c, Pasal 87 ayat (2) huruf b, huruf c dan Pasal 87 ayat (3), Pasal 88, Pasal 92 ayat (1), Pasal 94 ayat (1), Pasal 98 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 110 huruf b UU PPPH, namun dalam petitumnya para Pemohon memohon putusan seluruh UU PPPH bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, telah terdapat ketidaksesuaian antara posita dan petitum permohonan sehingga membuat permohonan menjadi tidak jelas atau kabur. Oleh karena itu Mahkamah memandang tidak perlu mempertimbangkan lebih lanjut substansi permohonan sepanjang menyangkut pasal-pasal a quo;
[3.10.7]      Bahwa para Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf e, huruf i, dan huruf k UU Kehutanan. Namun ternyata ketentuan tersebut berkaitan dengan Pasal 112 UU PPPH yang menyatakan:
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a.  ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, serta huruf k; dan
b.  ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (1)   serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10)
dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.”
         Bahwa UU PPPH telah diundangkan tanggal 6 Agustus 2013, sehingga berdasarkan Pasal 112 UU PPPH maka permohonan para Pemohon tentang pengujian Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf k UU Kehutanan menjadi kehilangan objek;
          Adapun terhadap dalil para Pemohon tentang inkonstitusionalitas Pasal 50 ayat (3) huruf b UU Kehutanan mengenai pelarangan merambah kawasan hutan telah ternyata bahwa ketentuan dimaksud berhubungan dengan Pasal 78 ayat (2) UU Kehutanan. Pasal 78 ayat (2) UU Kehutanan menyatakan, “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”. Dengan demikian, di satu pihak Pasal 50 ayat (3) huruf b UU Kehutanan masih tetap berlaku, sedangkan sanksi yang berkenaan dengan pelanggaran terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf b UU Kehutanan dimaksud telah dicabut oleh Pasal 112 huruf b UU PPPH sebagaimana telah disebutkan di atas. Dengan demikian, argumentasi para Pemohon yang berkenaan dengan pemberian sanksi terhadap pelanggaran Pasal 50 ayat (3) huruf b UU Kehutanan menjadi kehilangan relevansinya. Oleh karena itu, permohonan para Pemohon sepanjang mengenai pasal a quo  tidak beralasan menurut hukum.
          Sementara itu, terhadap dalil para Pemohon tentang inkonstitusionalitas Pasal 50 ayat (3) huruf e UU Kehutanan yang menyatakan, “Setiap orang dilarang:... e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang”, sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial. Mahkamah berpendapat bahwa memang seharusnya masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan yang membutuhkan sandang, pangan, dan papan untuk kebutuhan sehari-hari dengan menebang pohon dan dapat dibuktikan tidak disalahgunakan untuk kepentingan pihak lain (komersial) sehingga bagi masyarakat tersebut tidaklah termasuk dalam larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e UU Kehutanan sehingga tidak dapat dijatuhkan sanksi pidana terhadapnya. Sebab, akan terjadi paradoks apabila di satu pihak kita mengakui masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan membutuhkan hasil hutan namun di lain pihak masyarakat tersebut diancam dengan hukuman. Sebaliknya, negara justru harus hadir memberikan perlindungan terhadap masyarakat demikian. Dengan demikian permohonan para Pemohon sepanjang mengenai pengecualian terhadap masyarakat yang hidup di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial, beralasan menurut hukum untuk sebagian sepanjang yang berkaitan dengan dan hanya terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan, bukan yang berada di sekitar kawasan hutan sebab pemaknaan “di sekitar kawasan hutan” sangatlah berbeda dengan masyarakat yang hidup di dalam hutan.
            Adapun terhadap dalil para Pemohon tentang inkonstitusionalitas Pasal 50 ayat (3) huruf i UU Kehutanan mengenai larangan menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang, menurut Mahkamah, hal ini senafas dengan Pasal 50 ayat (3) huruf e UU Kehutanan. Oleh karena Mahkamah telah menyatakan bahwa permohonan para Pemohon terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf e UU Kehutanan beralasan menurut hukum untuk sebagian maka pertimbangan Mahkamah terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf e UU Kehutanan dimaksud berlaku pula terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf i UU Kehutanan, dengan ketentuan bahwa ternak tersebut adalah untuk kebutuhan sehari-hari dari masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan. Oleh karenanya permohonan para Pemohon sepanjang mengenai Pasal 50 ayat (3) huruf i UU Kehutanan beralasan menurut hukum.
[3.11]       Menimbang bahwa, terhadap permasalahan angka 3, Mahkamah berpendapat:
                 Bahwa sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional yang mengamanatkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung-gugat. Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan pemilikan, tetapi negara memberi wewenang kepada Pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, menetapkan kawasan hutan dan/atau mengubah status kawasan hutan, mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. Pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang  kehutanan.
                 Bahwa berkaitan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, Mahkamah dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, bertanggal 15 Desember 2004, antara lain, menyatakan:
“..... perkataan ‘dikuasai oleh negara’ haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan ‘bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya’, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat”.
[3.11.1]   Bahwa terhadap dalil para Pemohon tentang inkonstitusionalitas Pasal 6 ayat (1) huruf d mengenai pencegahan perusakan hutan, dan Pasal 11 ayat (4) mengenai ketentuan perbuatan perusakan hutan UU PPPH, menurut Mahkamah  terdapat ketidaksesuian antara posita dan petitum. Para Pemohon dalam positanya mengajukan pengujian Pasal 6 ayat (1) huruf d, Pasal 11 ayat (4) UU PPPH namun dalam petitumnya para Pemohon memohon putusan seluruh UU PPPH dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, permohonan para Pemohon sepanjang pasal a quo adalah tidak jelas atau kabur;
[3.11.2]   Bahwa terhadap dalil para Pemohon tentang inkonstitusionalitas Penjelasan Pasal 12, Pasal 15 ayat (1) huruf d, dan Pasal 81 UU Kehutanan, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Penjelasan Pasal 12 UU Kehutanan bukanlah masalah konstitusionalitas norma melainkan merupakan implementasi norma mengenai kegiatan pengukuhan kawasan hutan. Adapun Pasal 15 ayat (1) huruf d UU Kehutanan mengenai pengukuhan kawasan hutan adalah implementasi norma yang menerangkan proses akhir dari upaya pengukuhan kawasan hutan yang dimulai dari a) penunjukan kawasan hutan; b) penataan batas kawasan hutan; dan c) pemetaan kawasan hutan yang menurut ayat (2) harus dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah. Oleh karena itu dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;
Bahwa terhadap dalil para Pemohon tentang inkonstitusionalitas Pasal 81 mengenai ketentuan peralihan UU Kehutanan, menurut Mahkamah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan butir 127 Lampiran II disebutkan bahwa, Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk:
a.     menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b.     menjamin kepastian hukum;
c.      memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
d.     mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara”.
Bahwa dengan demikian, “Ketentuan Peralihan” dalam peraturan perundang-undangan diperlukan untuk mencegah kekosongan hukum akibat perubahan ketentuan dalam perundang-undangan dan menjaga jangan sampai terdapat pihak-pihak yang dirugikan oleh adanya perubahan ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;
[3.12]      Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian;
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili;
Menyatakan,
1.    Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1.        Pasal 50 ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial;
1.2.        Pasal 50 ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial;
1.3.        Pasal 50 ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang dilarang: ... e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang, dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial;
1.4.        Pasal 50 ayat (3) huruf i Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial;
1.5.        Pasal 50 ayat (3) huruf i Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial;
1.6.        Pasal 50 ayat (3) huruf i Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang dilarang: ... i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang”, dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial”;
2.  Permohonan para Pemohon pengujian Pasal 1 angka 3, Pasal 6 ayat (1) huruf d, Pasal 11 ayat (4),Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h, huruf k, huruf l, dan huruf m, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 19 huruf a, dan huruf b, Pasal 26, Pasal 46 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 52 ayat (1), Pasal 82 ayat (1), dan ayat  (2), Pasal 83 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 84 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 87 ayat (1), huruf b, huruf c, Pasal 87 ayat (2) huruf b, huruf c dan Pasal 87 ayat (3), Pasal 88, Pasal 92 ayat (1), Pasal 94 ayat (1), Pasal 98 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 110 huruf b Undang-Undang Nomor Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432) dan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf k Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak dapat diterima;
3.  Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
4.  Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Tidak ada komentar: