Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Jumat, 11 Desember 2015

KONSTITUSIONALITAS PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR) DALAM PENGANGKATAN KAPOLRI DAN PANGLIMA TNI




Pada tanggal 26 Januari 2015, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM RI Prof. Denny Indrayana, SH., LLM, Ph.D., dkk., mengajukan permohonan pengujian perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
            Dalam permohonannya para Pemohon menyampaikan kerugian konstitusional yang pada pokoknya sebagai berikut:
a)     Bahwa seharusnya sistem pemerintahan yang dianut negara Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensial, sebagaimana ditegaskan dalam banyak risalah rapat perubahan-perubahan UUD 1945 yang mempertahankan sistem pemerintahan presidensial, dan lebih jauh diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”;
b)    Bahwa UUD 1945 menganut asas kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya didasarkan pada UUD 1945, dengan sistem pemerintahan presidensial. Dalam pemerintahan presidensial, Presiden diserahi mandat untuk memegang kekuasaan tertinggi pemerintahan;
c)    Bahwa mengenai kedaulatan rakyat diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dalam pelaksanaan kedaulatan ini didistribusikan kepada lembaga-lembaga negara, yaitu: Majelis Permusyawaratan Rakyat  (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara RI (Polri);
d)    Bahwa disamping kedudukan dan tugas sebagai Kepala Negara, Presiden juga adalah kepala pemerintahan yang memimpin dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas-tugas eksekutif. Presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan mempunyai kedudukan sebagai pimpinan nasional, dan kepemimpinannya mempunyai jalur perwujudan baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah;

e)    Bahwa dalam kedudukan sebagai kepala negara, Presiden mempunyai hak-hak prerogatif selain mempunyai kewenangan ke dalam juga kewenangan dalam hubungan keluar yang terdapat dalam UUD 1945. Berdasarkan kedudukan dan kewenangan Presiden sebagai kepala negara, harus dalam konteks kedaulatan rakyat yang dilaksanakan menurut UUD 1945;
f)     Bahwa seharusnya konsisten dengan sistem presidensial yang dianut, Presiden diberikan hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan personil dalam pemerintahannya, tanpa harus mendapatkan persetujuan dari cabang kekuasaan yang lain, atau dalam hal uji materi ini adalah persetujuan DPR;
g)    Bahwa menurut Mahfud MD, hak prerogatif Presiden yaitu hak istimewa yang dimiliki oleh Presiden untuk melakukan sesuatu tanpa meminta persetujuan lembaga lain (1999).  Hal ini bertujuan agar fungsi dan peran pemerintahan direntang sedemikian luas sehingga dapat melakukan tindakan-tindakan yang dapat membangun kesejahteraan masyarakat.Tugas pokok pemerintah  dalam membangun kesejahteraan masyarakat, bukan hanya melaksanakan Undang-Undang.  Untuk itulah  dalam konsep negara hukum modern sekarang ini terdapat suatu kewenangan yang disebut freies ermessen, yaitu suatu kewenangan bagi Pemerintah untuk turut campur atau melakukan intervensi di dalam berbagai kegiatan masyarakat guna membangun kesejahteraan masyarakat tersebut. Dengan demikian, Pemerintah dituntut untuk bersikap aktif. Hal inilah dalam bidang pemerintahan implikasi freies Ermessen ini ditandai dengan adanya hak prerogatif;
h)   Bahwa kalaupun ada pembatasan atau pengurangan atas hak prerogatif Presiden tersebut, karena pembatasan demikian bertentangan dengan sistem presidensial maka pembatasan itu hanya dapat dilakukan jika secara tegas diatur di dalam UUD 1945 itu sendiri;
i)     Bahwa pembatasan atas hak prerogatif Presiden telah diatur dalam UUD 1945 yang perlu melibatkan dan memperhatikan pertimbangan lembaga negara lainnya;
j)      Bahwa tanpa adanya pembatasan di dalam UUD 1945 sendiri maka setiap pembatasan dalam Undang-Undang yang diatur di luar UUD 1945 atas hak prerogatif Presiden harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 4 ayat (1) UUD 1945;
k)    Bahwa karena itu, Para Pemohon berpendapat, ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (2),ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU2/2002, Pasal 17 ayat (1) UU 3/2002 dan Pasal 13 ayat (2), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) UU 34/2004, khususnya yang mengatur persetujuan dan pelibatan DPR dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Kapolri atau Panglima TNI, adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya patut dibatalkan serta dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi;
l)     Bahwa jika UU 2/2002 khususnya Pasal 11 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) dan UU 3/2002 khususnya Pasal 17 ayat (1) UU 34/2004 khususnya Pasal  13 ayat (2), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8) dan ayat (9),   yang pada pokoknya mengharuskan Presiden mendapatkan persetujuan DPR terlebih dulu dalam menentukan Kepala Polri dan Panglima TNI tidak dibatalkan maka telah menyebabkan timbulnya kerugian konstitusional Pemohon. Pemohon telah kehilangan hak konstitusional atas perlindungan kepastian hukum yang adil, dikarenakan hak-hak Presiden dari seluruh warga negara Indonesia (termasuk Pemohon) tidak lagi sesuai dengan apa yang telah diberikan oleh UUD 1945, Presiden yang dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan tidak dapat lagi menentukan Kepala Polri dan Panglima TNI, tanpa campur tangan cabang kekuasaan lain (in casu DPR);
Untuk menjawab persoalan konstitusionalitas norma tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menguraikan hal-hal sebagai berikut:
[3.14]   Menimbang bahwa dari uraian di atas, masalah pokok yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah:
1.     Apakah pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI merupakan hak prerogatif dari Presiden dalam sistem presidensial?
2.     Apakah pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI oleh Presiden yang harus mendapatkan persetujuan dari DPR bertentangan dengan UUD 1945?
[3.15]     Menimbang bahwa secara teoritis, hak prerogatif diterjemahkan sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak dapat diganggu gugat oleh lembaga negara yang lain. Dalam sistem pemerintahan negara-negara pada saat ini, hak tersebut dimiliki oleh kepala negara baik Raja, Presiden, atau kepala pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu yang dinyatakan dalam konstitusi sehingga menjadi kewenangan konstitusional. Hak ini juga dipadankan dengan kewenangan penuh yang diberikan oleh konstitusi kepada lembaga eksekutif dalam ruang lingkup kekuasaan pemerintahannya terutama bagi sistem yang menganut pembagian atau  pemisahan kekuasaan negara;
                  Bahwa kekuasaan pemerintahan negara sebagaimana diatur dalam Bab III UUD 1945 merupakan gambaran tentang adanya penguatan sistem pemerintahan presidensial sebagaimana diamanatkan oleh fraksi-fraksi MPR pada saat melakukan perubahan UUD 1945 yang menghasilkan pergeseran yang cukup signifikan dalam pengorganisasian kedaulatan. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ketentuan tersebut telah memindahkan supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi yang juga telah menyebabkan seluruh lembaga negara melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya sesuai dengan konstitusi;
[3.16]     Menimbang bahwa perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR telah mempertegas sistem pemerintahan presidensial sebagaimana termaksud dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Selain itu, disepakati juga tentang pembagian kekuasaan yang dirumuskan dengan prinsip checks and balances;
              Sebelum adanya perubahan UUD 1945, praktik yang terjadi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia lebih cenderung pada executive heavy. Meskipun UUD 1945 sebelum perubahan tidak memberikan bobot kewenangan lebih kepada kekuasaan eksekutif, setelah perubahan dianut sistem checks and balances (saling kontrol dan saling mengimbangi) antar lembaga negara. Perubahan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menegaskan dianutnya sistem pemerintahan presidensial dengan mempertegas kedudukan Presiden sebagai kepala negara (head of state) sekaligus sebagai kepala pemerintahan (head of government);
                  Bahwa terkait dengan hak prerogatif Presiden meskipun secara eksplisit tidak disebutkan dalam UUD 1945, namun dalam pembahasan perubahan UUD 1945 isu tentang hak prerogaif Presiden menjadi perdebatan semua fraksi dan secara garis besar hampir semua fraksi setuju adanya hak prerogatif Presiden dengan tetap dibatasi oleh mekanisme checks and balances dalam rangka untuk membatasi besarnya dominasi dan peran seorang Presiden. Kontrol terhadap Presiden secara kelembagaan dapat dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat;
[3.17]     Menimbang bahwa menurut Mahkamah, salah satu kewenangan konstitusional Presiden adalah mengangkat menteri-menteri Negara [vide Pasal 17 ayat (2) UUD 1945]. Selain dari kewenangan konstitusional tersebut, Presiden juga memiliki hak prerogatif untuk mengangkat jabatan-jabatan lain yang sangat strategis yang memiliki implikasi besar terhadap pencapaian tujuan negara. Bahwa hal lain yang juga harus dipertimbangkan dalam hal pengangkatan pejabat negara yang memiliki peranan strategis adalah bahwa harus juga dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh aspek akuntabilitas yang dapat dilakukan dengan cara meminta pertimbangan dan/atau persetujuan dari DPR. Menurut Mahkamah, adanya permintaan persetujuan oleh Presiden kepada DPR dalam hal pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI sebagaimana diatur dalam UU 2/2002, UU 3/2002 dan UU 34/2004 bukanlah suatu penyimpangan dari sistem pemerintahan presidensial, hal tersebut justru menggambarkan telah berjalannya mekanisme checks and balances sebagaimana tersirat dalam UUD 1945. Selain itu, menurut Mahkamah, proses pemilihan pejabat publik bertujuan untuk melindungi hak dan kepentingan publik yang dapat dicapai melalui suatu prosedur pemilihan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.  Adanya permintaan persetujuan tersebut adalah dalam rangka menciptakan dan menghasilkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), sehingga dapat terpilih sosok pejabat yang betul-betul memiliki integritas, kapabilitas, dan leadership, serta akseptabilitas dalam rangka membantu Presiden untuk menjalankan Pemerintahan;
[3.18]      Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah adanya persetujuan dari DPR dalam hal pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI oleh Presiden tidak bertentangan dengan UUD 1945 sehingga berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Terhadap Putusan a quo, hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna memiliki alasan berbeda (concurring opinion).
Terlepas dari persoalan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, substansi permohonan a quo adalah perihal hak prerogatif Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial. Konkretnya, dalam konteks permohonan a quo, apakah adanya campur tangan DPR dalam rupa pemberian persetujuan terhadap pengangkatan (dan pemberhentian) calon Panglima Tentara Nasional Indonesia (Panglima TNI) dan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) bertentangan hakikat hak prerogatif Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial menurut UUD 1945, sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon? Melalui dalil-dalilnya, para Pemohon mempraanggapkan bahwa hak prerogatif merupakan syarat yang tak dapat ditiadakan, bahkan tak dapat dikurangi, dalam sistem presidensial. Oleh karena itu, pertanyaan pertama yang harus dijawab adalah apa dan bagaimana ciri sistem (pemerintahan) presidensial itu? Jawaban atas pertanyaan ini sekaligus menjadi landasan untuk menjawab pertanyaan tentang maksud pernyataan “memperkuat sistem pemerintahan presidensial” – yang merupakan salah satu kesepakatan politik fraksi-fraksi di MPR tatkala hendak melakukan perubahan terhadap UUD 1945 (1999).
            Bahwa adalah benar Konstitusi Amerika Serikat merupakan konstitusi (tertulis) pertama yang memperkenalkan sistem ini sebagai alternatif terhadap sistem monarki – yang kemudian mengembangkan sistem pemerintahan parlementer. Namun, adalah juga benar bahwa sistem presidensial yang diterapkan di banyak negara, meskipun menggunakan Amerika Serikat sebagai acuannya, tidaklah menyalin mentah-mentah sistem presidensial yang diterapkan di Amerika Serikat (… not a mere carbon copies of the American one). Ada faktor-faktor struktural sekaligus kultural yang turut mempengaruhi bekerjanya sistem pemerintahan di berbagai negara [Mark O. Dickerson & Thomas Flanagan, 2006, An Introduction to Government and Politics, Seventh Edition, h. 314 dan 323].  Namun demikian, ada sejumlah ciri umum yang dapat ditemukan dalam sistem presidensial. Pertama, lembaga perwakilan (assembly) adalah lembaga yang terpisah dari lembaga kepresidenan. Kedua, presiden dipilih oleh rakyat untuk suatu masa jabatan tertentu. Jadi, baik presiden maupun lembaga perwakilan sama-sama memperoleh legitimasinya langsung dari rakyat pemilih. Karena itu, presiden tidak dapat diberhentikan atau dipaksa berhenti dalam masa jabatannya oleh lembaga perwakilan (kecuali melalui impeachment karena adanya pelanggaran yang telah ditentukan). Ketiga, presiden adalah kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Keempat, presiden memilih sendiri menteri-menteri atau anggota kabinetnya (di Amerika disebut Secretaries). Kelima, presiden adalah satu-satunya pemegang kekuasaan eksekutif (berbeda dari sistem parlementer di mana perdana menteri adalah primus interpares, yang pertama di antara yang sederajat). Keenam, anggota lembaga perwakilan tidak boleh menjadi bagian dari pemerintahan atau sebaliknya. Ketujuh, presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan melainkan kepada konstitusi. Kedelapan, presiden tidak dapat membubarkan lembaga perwakilan. Kesembilan, kendatipun pada dasarnya berlaku prinsip supremasi konstitusi, dalam hal-hal tertentu, lembaga perwakilan memiliki kekuasaan lebih dibandingkan dengan dua cabang kekuasaan lainnya. Hal ini mengacu pada praktik (di Amerika Serikat) di mana presiden yang diberi kekuasaan begitu besar oleh konstitusi namun dalam hal-hal tertentu ia hanya dapat melaksanakan kekuasaan itu setelah mendapatkan persetujuan Kongres. Kesepuluh, presiden sebagai pemegang pucuk pimpinan kekuasaan eksekutif bertanggungjawab langsung kepada pemilihnya. Oleh karena itu, seorang presiden di Amerika Serikat dengan mudah mengatakan kepada anggota anggota Kongres, “You represent your constituency, I represent the whole people” dan tak seorang pun membantahnya. Kesebelas, berbeda dari sistem parlementer di mana parlemen merupakan titik pusat dari segala aktivitas politik, dalam sistem presidensial hal semacam itu tidak dikenal [vide Arend Lijphart, 1992, Parliamentary Versus Presidential Government, h. 40-47].
            Bahwa, setelah mengidentifikasi ciri-ciri umum sistem presidensial di atas, pertanyaannya kemudian adalah di mana “tempat” hak prerogatif presiden – sebab tidak secara eksplisit teridentifikasi dalam ciri-ciri dimaksud? Apakah dengan demikian berarti hak yang dinamakan hak prerogatif presiden itu sesungguhnya bukan merupakan unsur melekat dari sistem presidensial?
            Bahwa, secara tekstual, dalam UUD 1945 maupun dalam Konstitusi Amerika Serikat, yang dirujuk sebagai perbandingan, istilah “hak prerogatif” itu tidak dikenal, dalam arti tidak disebut secara eksplisit.  Hak tersebut hanya dikenal dalam doktrin dan praktik sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif yang mula-mula berkembang dalam bentuk pemerintahan monarki, khususnya di Inggris. Melalui risalahnya yang termasyur, Two Treatises of Civil Government (1690), John Locke menyebut kekuasaan prerogatif (yang berada di tangan eksekutif) sebagai “kekuasaan untuk bertindak berdasarkan diskresi demi kebaikan umum, tanpa ada perumusannya dalam hukum, bahkan ada kalanya bertentangan dengan hukum” (“power to act according to discretion for the public good, without the prescription of the law and sometimes even against it”). Kekuasaan demikian diberikan kepada eksekutif, menurut Locke, karena “Where the legislative and executive power are in distinct hands …. there the good of the society requires that several things should be left to the discretion of him that has the executive power. For the legislators not being able to foresee and provide by laws for all that may be usefull to the community, the executor of the laws, having the power in his hands, has by the common law of Nature a right to make use of it for the good of the society ….. till the legislative can conveniently be assembled to provide for it” (vide lebih jauh John Locke, 1924, Two Treatises of Civil Government, J.M. Dent & Sons Ltd., h. 199-203). Dengan demikian, secara doktrinal, kekuasaan prerogatif adalah kekuasaan yang diberikan kepada eksekutif sebagai bagian dari diskresi yang lahir dari tuntutan masyarakat dan demi kebaikan masyarakat sampai legislatif dapat berapat dan mengaturnya (membuat hukumnya).
            Bahwa, sementara itu, secara historis, yang dinamakan the royal prerogative, sebagaimana ditulis oleh para komentator terkenal dari abad pertengahan, di antaranya Henry Bracton dan John Fortescue, adalah merujuk pada dua saluran yang digunakan untuk melaksanakan kekuasaan kerajaan. Bracton menyebut dua saluran itu jurisdictio (yurisdiksi) dan gubernaculum (cara memerintah). Sementara Fortescue menyebutnya dengan istilah dominium politicum et regale (wewenang politis dan agung). Yang mereka maksud adalah bahwa dalam bidang-bidang pelaksanaan pemerintahan yang menyangkut perlindungan ketertiban dalam negeri dan pertahanan kerajaan dari musuh-musuh asing, kekuasaan Mahkota (raja/ratu) bersifat absolut dan tak terbatas; sementara dalam bidang-bidang yang berkenaan dengan hidup, kebebasan, dan hak milik dari warga negara yang merdeka, kekuasaan Mahkota (raja/ratu) terikat pada hukum nasional. Dalam perkembangannya, pada abad keenambelas, yang dinamakan royal prerogative ini bahkan meluas yang sebagian besar di antaranya melanggar hukum namun dibenarkan berdasarkan kekuasaan atau kewenangan dispensasi, misalnya mengesampingkan pelaksanaan undang-undang tertentu terhadap kasus-kasus tertentu. Perluasan secara besar-besaran hak prerogratif ini kemudian menimbulkan perlawanan dari dua kelompok, yaitu anggota parlemen (parliamentarians) dan ahli hukum common law (common-law lawyers) pada abad ketujuhbelas dan akhirnya, sejak abad kedelapanbelas, ketika Inggris mulai mengadopsi sistem pemerintahan kabinet menteri-menteri yang sekaligus merupakan anggota Parlemen (yang kemudian dikenal dengan sistem parlementer), Parlemen dan para menteri merebut hak-hak itu dari tangan raja [vide Leonard Levy & Louis Fisher, 1994, Encyclopedia of the American Presidency (1), Macmillan Reference-Simon & Schuster Macmillan, h.593-594].
            Bahwa Amerika Serikat, yang merupakan bekas jajahan Inggris, tatkala memperkenalkan sistem pemerintahan baru (yang kemudian dikenal dengan sistem presidensial), pasca-Proklamasi Kemerdekaan 1776 dan setelah pemberlakuan Konstitusi Amerika Serikat hasil Constitutional Convention 1787, kemudian mengadopsi konsepsi hak prerogatif itu namun dengan memberikan pengertian yang berbeda, bukan lagi sebagai hak eksklusif eksekutif (c.q. Presiden). Di Amerika Serikat, secara doktrinal, apa yang dinamakan hak atau kewenangan prerogratif itu dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: (i) kewenangan prerogatif yang berada di tangan Presiden sendiri; (ii) kewenangan prerogatif yang berada di tangan Presiden dan Senat; dan (iii) kewenangan prerogatif yang berada di tangan Presiden dan Kongres. Yang termasuk ke dalam kelompok yang pertama adalah: commander-in-chief of the armed forces, commission officer of the armed forces, grand reprieves and pardons for federal offences (except impeachment), convene Congress in special sessions, receive ambassadors, take care that the laws be faithfully executed, wield the executive power, appoint officials to lesser offices. Sedangkan yang termasuk ke dalam kelompok yang kedua adalah make treaties, appoint ambassadors, judges, and high officials. Adapun yang termasuk ke dalam yang kelompok ketiga adalah approve legislation [vide ibid., h. 594, juga James Q. Wilson, 1983, American Government Institutions and Politics, Second Edition, h. 302].
            Namun, dalam praktik, apa yang dinamakan kewenangan prerogatif (prerogative power) Presiden di Amerika Serikat adalah tindakan sepihak presiden yang dilakukan semata-mata atas dasar diskresi demi kepentingan publik yang tidak ditemukan dasarnya dalam hukum maupun Konstitusi namun hal itu dipandang perlu. Misalnya tatkala Presiden George Washington mengeluarkan “proklamasi netralitas” (neutrality proclamation); atau tatkala Presiden Abraham Lincoln melakukan tindakan-tindakan yang disebutnya sebagai “higher obligation” demi menjaga persatuan (Union); atau tatkala Presiden Theodore Roosevelt membuat perjanjian-perjanjian yang dinamakan executive agreements terhadap hal-hal yang tidak tercakup dalam materi perjanjian yang memerlukan pengesahan Senat; atau tatkala Presiden Jimmy Carter memberikan amnesti umum (blanket amnesty) bagi mereka yang menolak wajib militer selama berlangsungnya Perang Vietnam. Oleh karena itulah apa yang kini dipahami sebagai kewenangan prerogatif presiden di Amerika Serikat digambarkan sebagai “a situation that is dangerous but necessary” sebab pembatasan atau pengendalian terhadap tindakan itu tidak ditentukan oleh dan dalam Konstitusi melainkan oleh hal-hal yang bersifat politis, yaitu Kongres, birokrasi, media massa, dan pendapat publik [Leonard Levy & Louis Fisher, op.cit., h. 595].
            Bahwa dengan demikian, dalam praktik di Amerika Serikat, apa yang dinamakan hak atau kewenangan prerogatif, dalam arti yang benar-benar secara eksklusif berada di tangan Presiden, adalah hak atau kewenangan Presiden untuk melakukan tindakan diskresi yang didasari oleh pertimbangan kepentingan dan kemanfaatan publik yang tidak ditemukan dasarnya dalam Konstitusi Amerika Serikat. Sementara apa yang secara doktrinal juga dinamakan hak atau kewenangan prerogatif dan ditemukan pengaturannya dalam Konstitusi tidak hanya mencakup hak atau kewenangan eksklusif Presiden melainkan juga dilaksanakan bersama-sama dengan lembaga atau organ negara lainnya, entah itu dengan Senat maupun dengan Kongres, sehingga sesungguhnya lebih tepat jika disebut sebagai kewenangan konstitusional Presiden.
            Bahwa, bertolak dari paparan tentang doktrin, sejarah perkembangan, dan praktik pelaksanaan hak atau kewenangan prerogatif dalam sistem presidensial di atas dapat disimpulkan:
·         pertama, secara doktrinal, hak atau kewenangan prerogatif adalah hak atau kewenangan diskresi yang lahir dari tuntutan kepentingan dan kebaikan publik sehingga legitimasinya pun dinilai berdasarkan kepentingan dan kebaikan publik;
·         kedua, secara historis, hak atau kewenangan prerogatif berasal dari kewenangan atau kekuasaan absolut yang dimiliki oleh Mahkota (raja/ratu) dalam bentuk pemerintahan monarki, khususnya di Inggris, namun seiring berjalannya waktu makin lama makin berkurang isi maupun ruang lingkupnya ketika Inggris berubah menjadi monarki dengan sistem pemerintahan parlementer;
·         ketiga, hak atau kewenangan prerogatif tersebut tidak pernah disebutkan secara eksplisit dalam Konstitusi sebagai ciri yang melekat dalam sistem pemerintahan presidensial meskipun dalam praktik hal itu diakui dan diterima namun dasar penerimaannya adalah semata-mata kepentingan dan kemanfaatan publik dan legitimasinya diperoleh secara politis;
·         keempat, bahwa oleh karena itu “memperkuat sistem pemerintahan presidensial”, yang merupakan salah satu kesepakatan penting fraksi-fraksi di MPR tatkala hendak melakukan perubahan terhadap UUD 1945, haruslah diartikan sebagai maksud memperjelas sistem pemerintahan presidensial yang dianut di Indonesia sehingga memenuhi ciri-ciri umum yang ada dalam sistem pemerintahan presidensial, bukan menekankan pada gagasan memperkuat hak prerogatif presiden dalam pengertian sebagai hak absolut presiden yang tak dapat dikurangi.
            Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, permohonan para Pemohon yang mendalilkan campur tangan DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI dan Kapolri bertentangan dengan UUD 1945, dengan argumentasi bahwa hal itu tidak sesuai dengan hakikat hak prerogatif Presiden dalam sistem presidensial, harus dinyatakan ditolak.

Tidak ada komentar: