Pada
tanggal 26 Januari 2015, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM RI Prof. Denny
Indrayana, SH., LLM, Ph.D., dkk., mengajukan permohonan pengujian perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang
Tentara Nasional Indonesia terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam
permohonannya para Pemohon menyampaikan kerugian konstitusional yang pada
pokoknya sebagai berikut:
a) Bahwa seharusnya sistem pemerintahan yang dianut negara Indonesia adalah
sistem pemerintahan presidensial, sebagaimana ditegaskan dalam banyak risalah
rapat perubahan-perubahan UUD 1945 yang mempertahankan sistem pemerintahan presidensial,
dan lebih jauh diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”;
b) Bahwa UUD 1945 menganut asas kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya
didasarkan pada UUD 1945, dengan sistem pemerintahan presidensial. Dalam
pemerintahan presidensial, Presiden diserahi mandat untuk memegang kekuasaan
tertinggi pemerintahan;
c) Bahwa mengenai kedaulatan rakyat diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD
1945 yang menyatakan, “Kedaulatan berada
ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dalam
pelaksanaan kedaulatan ini didistribusikan kepada lembaga-lembaga negara, yaitu:
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi
(MK), Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara RI (Polri);
d) Bahwa disamping kedudukan dan tugas sebagai Kepala Negara,
Presiden juga adalah kepala pemerintahan yang memimpin dan
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas-tugas eksekutif. Presiden dalam
kedudukannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan mempunyai kedudukan
sebagai pimpinan nasional, dan kepemimpinannya mempunyai jalur perwujudan baik
ditingkat pusat maupun ditingkat daerah;
e) Bahwa dalam kedudukan sebagai kepala negara, Presiden mempunyai
hak-hak prerogatif selain mempunyai kewenangan ke dalam juga kewenangan dalam
hubungan keluar yang terdapat dalam UUD 1945. Berdasarkan kedudukan dan
kewenangan Presiden sebagai kepala negara, harus dalam konteks kedaulatan
rakyat yang dilaksanakan menurut UUD 1945;
f) Bahwa seharusnya konsisten dengan sistem presidensial yang dianut,
Presiden diberikan hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan personil
dalam pemerintahannya, tanpa harus mendapatkan persetujuan dari cabang
kekuasaan yang lain, atau dalam hal uji materi ini adalah persetujuan DPR;
g) Bahwa menurut Mahfud MD, hak prerogatif Presiden yaitu hak
istimewa yang dimiliki oleh Presiden untuk melakukan sesuatu tanpa meminta
persetujuan lembaga lain (1999). Hal ini
bertujuan agar fungsi dan peran pemerintahan direntang sedemikian luas sehingga
dapat melakukan tindakan-tindakan yang dapat membangun kesejahteraan
masyarakat.Tugas pokok pemerintah dalam
membangun kesejahteraan masyarakat, bukan hanya melaksanakan Undang-Undang. Untuk itulah
dalam konsep negara hukum modern sekarang ini terdapat suatu kewenangan
yang disebut freies ermessen, yaitu
suatu kewenangan bagi Pemerintah untuk turut campur atau melakukan intervensi
di dalam berbagai kegiatan masyarakat guna membangun kesejahteraan masyarakat
tersebut. Dengan demikian, Pemerintah dituntut untuk bersikap aktif. Hal inilah
dalam bidang pemerintahan implikasi freies
Ermessen ini ditandai dengan adanya hak prerogatif;
h) Bahwa kalaupun ada pembatasan atau pengurangan atas hak prerogatif
Presiden tersebut, karena pembatasan demikian bertentangan dengan sistem
presidensial maka pembatasan itu hanya dapat dilakukan jika secara tegas diatur
di dalam UUD 1945 itu sendiri;
i) Bahwa pembatasan atas hak prerogatif Presiden telah diatur dalam UUD
1945 yang perlu melibatkan dan memperhatikan pertimbangan lembaga negara
lainnya;
j) Bahwa tanpa adanya pembatasan
di dalam UUD 1945 sendiri maka setiap pembatasan dalam Undang-Undang yang
diatur di luar UUD 1945 atas hak prerogatif Presiden harus dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 4 ayat (1) UUD 1945;
k) Bahwa karena itu, Para Pemohon berpendapat, ketentuan dalam Pasal
11 ayat (1), ayat (2),ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU2/2002, Pasal 17 ayat
(1) UU 3/2002 dan Pasal 13 ayat (2), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan
ayat (9) UU 34/2004, khususnya yang mengatur persetujuan dan pelibatan DPR
dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Kapolri atau Panglima TNI, adalah
bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya patut dibatalkan serta dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
oleh Mahkamah Konstitusi;
l) Bahwa jika UU 2/2002 khususnya Pasal 11 ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (4) dan ayat (5) dan UU 3/2002 khususnya Pasal 17 ayat (1) UU 34/2004
khususnya Pasal 13 ayat (2), ayat (5), ayat
(6), ayat (7), ayat (8) dan ayat (9),
yang pada pokoknya mengharuskan Presiden mendapatkan persetujuan DPR
terlebih dulu dalam menentukan Kepala Polri dan Panglima TNI tidak dibatalkan
maka telah menyebabkan timbulnya kerugian konstitusional Pemohon. Pemohon telah
kehilangan hak konstitusional atas perlindungan kepastian hukum yang adil,
dikarenakan hak-hak Presiden dari seluruh warga negara Indonesia (termasuk Pemohon)
tidak lagi sesuai dengan apa yang telah diberikan oleh UUD 1945, Presiden yang
dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan tidak dapat lagi menentukan Kepala Polri
dan Panglima TNI, tanpa campur tangan cabang kekuasaan lain (in casu DPR);
Untuk
menjawab persoalan konstitusionalitas norma tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam
pertimbangan hukumnya menguraikan hal-hal sebagai berikut:
[3.14]
Menimbang bahwa dari uraian di atas, masalah pokok yang
harus dijawab oleh Mahkamah adalah:
1. Apakah pengangkatan Kapolri dan
Panglima TNI merupakan hak prerogatif dari Presiden dalam sistem presidensial?
2. Apakah pengangkatan Kapolri dan
Panglima TNI oleh Presiden yang harus mendapatkan persetujuan dari DPR
bertentangan dengan UUD 1945?
[3.15] Menimbang bahwa secara teoritis, hak
prerogatif diterjemahkan sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga
tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak dapat diganggu gugat
oleh lembaga negara yang lain. Dalam sistem pemerintahan negara-negara pada
saat ini, hak tersebut dimiliki oleh kepala negara baik Raja, Presiden, atau kepala
pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu yang dinyatakan dalam konstitusi
sehingga menjadi kewenangan konstitusional. Hak ini juga dipadankan dengan
kewenangan penuh yang diberikan oleh konstitusi kepada lembaga eksekutif dalam
ruang lingkup kekuasaan pemerintahannya terutama bagi sistem yang menganut pembagian
atau pemisahan kekuasaan negara;
Bahwa kekuasaan pemerintahan negara
sebagaimana diatur dalam Bab III UUD 1945 merupakan gambaran tentang adanya
penguatan sistem pemerintahan presidensial sebagaimana diamanatkan oleh
fraksi-fraksi MPR pada saat melakukan perubahan UUD 1945 yang menghasilkan pergeseran
yang cukup signifikan dalam pengorganisasian kedaulatan. Pasal 1 ayat (2) UUD
1945 yang menyatakan, “Kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ketentuan tersebut
telah memindahkan supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi yang juga telah
menyebabkan seluruh lembaga negara melaksanakan fungsi, tugas, dan
kewenangannya sesuai dengan konstitusi;
[3.16] Menimbang bahwa perubahan UUD 1945
yang dilakukan oleh MPR telah mempertegas sistem pemerintahan presidensial
sebagaimana termaksud dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan,
“Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Selain itu, disepakati
juga tentang pembagian kekuasaan yang dirumuskan dengan prinsip checks and balances;
Sebelum adanya perubahan UUD 1945, praktik
yang terjadi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia lebih cenderung pada executive heavy. Meskipun UUD 1945
sebelum perubahan tidak memberikan bobot kewenangan lebih kepada kekuasaan
eksekutif, setelah perubahan dianut sistem checks
and balances (saling kontrol dan saling mengimbangi) antar lembaga negara. Perubahan
Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menegaskan dianutnya sistem
pemerintahan presidensial dengan mempertegas kedudukan Presiden sebagai kepala
negara (head of state) sekaligus
sebagai kepala pemerintahan (head of
government);
Bahwa terkait dengan hak
prerogatif Presiden meskipun secara eksplisit tidak disebutkan dalam UUD 1945,
namun dalam pembahasan perubahan UUD 1945 isu tentang hak prerogaif Presiden
menjadi perdebatan semua fraksi dan secara garis besar hampir semua fraksi
setuju adanya hak prerogatif Presiden dengan tetap dibatasi oleh mekanisme checks and balances dalam rangka untuk
membatasi besarnya dominasi dan peran seorang Presiden. Kontrol terhadap
Presiden secara kelembagaan dapat dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat;
[3.17] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, salah
satu kewenangan konstitusional Presiden adalah mengangkat menteri-menteri
Negara [vide Pasal 17 ayat (2) UUD 1945]. Selain dari kewenangan konstitusional
tersebut, Presiden juga memiliki hak prerogatif untuk mengangkat jabatan-jabatan
lain yang sangat strategis yang memiliki implikasi besar terhadap pencapaian
tujuan negara. Bahwa hal lain yang juga harus dipertimbangkan dalam hal
pengangkatan pejabat negara yang memiliki peranan strategis adalah bahwa harus
juga dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh aspek akuntabilitas yang dapat dilakukan
dengan cara meminta pertimbangan dan/atau persetujuan dari DPR. Menurut
Mahkamah, adanya permintaan persetujuan oleh Presiden kepada DPR dalam hal
pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI sebagaimana diatur dalam UU 2/2002, UU
3/2002 dan UU 34/2004 bukanlah suatu penyimpangan dari sistem pemerintahan
presidensial, hal tersebut justru menggambarkan telah berjalannya mekanisme checks and balances sebagaimana tersirat
dalam UUD 1945. Selain itu, menurut Mahkamah, proses pemilihan pejabat publik
bertujuan untuk melindungi hak dan kepentingan publik yang dapat dicapai
melalui suatu prosedur pemilihan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif. Adanya permintaan persetujuan tersebut adalah dalam
rangka menciptakan dan menghasilkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), sehingga dapat
terpilih sosok pejabat yang betul-betul memiliki integritas, kapabilitas, dan leadership, serta akseptabilitas dalam
rangka membantu Presiden untuk menjalankan Pemerintahan;
[3.18] Menimbang
bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah adanya persetujuan
dari DPR dalam hal pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI oleh Presiden tidak
bertentangan dengan UUD 1945 sehingga berdasarkan seluruh pertimbangan hukum
yang di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon tidak beralasan
menurut hukum.
Terhadap Putusan a quo, hakim
konstitusi I Dewa Gede Palguna memiliki alasan berbeda (concurring opinion).
Terlepas
dari persoalan kedudukan hukum (legal
standing) para Pemohon, substansi permohonan a quo adalah perihal hak prerogatif Presiden dalam sistem
pemerintahan presidensial. Konkretnya, dalam konteks permohonan a quo, apakah adanya campur tangan DPR
dalam rupa pemberian persetujuan terhadap pengangkatan (dan pemberhentian) calon
Panglima Tentara Nasional Indonesia (Panglima TNI) dan calon Kepala Kepolisian
Republik Indonesia (Kapolri) bertentangan hakikat hak prerogatif Presiden dalam
sistem pemerintahan presidensial menurut UUD 1945, sebagaimana didalilkan oleh
para Pemohon? Melalui dalil-dalilnya, para Pemohon mempraanggapkan bahwa hak
prerogatif merupakan syarat yang tak dapat ditiadakan, bahkan tak dapat
dikurangi, dalam sistem presidensial. Oleh karena itu, pertanyaan pertama yang
harus dijawab adalah apa dan bagaimana ciri sistem (pemerintahan) presidensial
itu? Jawaban atas pertanyaan ini sekaligus menjadi landasan untuk menjawab
pertanyaan tentang maksud pernyataan “memperkuat sistem pemerintahan
presidensial” – yang merupakan salah satu kesepakatan politik fraksi-fraksi di
MPR tatkala hendak melakukan perubahan terhadap UUD 1945 (1999).
Bahwa adalah benar Konstitusi
Amerika Serikat merupakan konstitusi (tertulis) pertama yang memperkenalkan
sistem ini sebagai alternatif terhadap sistem monarki – yang kemudian
mengembangkan sistem pemerintahan parlementer. Namun, adalah juga benar bahwa
sistem presidensial yang diterapkan di banyak negara, meskipun menggunakan
Amerika Serikat sebagai acuannya, tidaklah menyalin mentah-mentah sistem
presidensial yang diterapkan di Amerika Serikat (… not a mere carbon copies of the American one). Ada faktor-faktor
struktural sekaligus kultural yang turut mempengaruhi bekerjanya sistem
pemerintahan di berbagai negara [Mark O. Dickerson & Thomas Flanagan, 2006,
An Introduction to Government and
Politics, Seventh Edition, h. 314 dan 323].
Namun demikian, ada sejumlah ciri umum yang dapat ditemukan dalam sistem
presidensial. Pertama, lembaga
perwakilan (assembly) adalah lembaga
yang terpisah dari lembaga kepresidenan. Kedua,
presiden dipilih oleh rakyat untuk suatu masa jabatan tertentu. Jadi, baik presiden
maupun lembaga perwakilan sama-sama memperoleh legitimasinya langsung dari
rakyat pemilih. Karena itu, presiden tidak dapat diberhentikan atau dipaksa
berhenti dalam masa jabatannya oleh lembaga perwakilan (kecuali melalui impeachment karena adanya pelanggaran
yang telah ditentukan). Ketiga,
presiden adalah kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Keempat, presiden memilih sendiri
menteri-menteri atau anggota kabinetnya (di Amerika disebut Secretaries). Kelima, presiden adalah satu-satunya pemegang kekuasaan eksekutif
(berbeda dari sistem parlementer di mana perdana menteri adalah primus interpares, yang pertama di
antara yang sederajat). Keenam,
anggota lembaga perwakilan tidak boleh menjadi bagian dari pemerintahan atau
sebaliknya. Ketujuh, presiden tidak
bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan melainkan kepada konstitusi. Kedelapan, presiden tidak dapat
membubarkan lembaga perwakilan. Kesembilan,
kendatipun pada dasarnya berlaku prinsip supremasi konstitusi, dalam hal-hal
tertentu, lembaga perwakilan memiliki kekuasaan lebih dibandingkan dengan dua
cabang kekuasaan lainnya. Hal ini mengacu pada praktik (di Amerika Serikat) di
mana presiden yang diberi kekuasaan begitu besar oleh konstitusi namun dalam
hal-hal tertentu ia hanya dapat melaksanakan kekuasaan itu setelah mendapatkan
persetujuan Kongres. Kesepuluh,
presiden sebagai pemegang pucuk pimpinan kekuasaan eksekutif bertanggungjawab
langsung kepada pemilihnya. Oleh karena itu, seorang presiden di Amerika
Serikat dengan mudah mengatakan kepada anggota anggota Kongres, “You represent your constituency, I
represent the whole people” dan tak seorang pun membantahnya. Kesebelas, berbeda dari sistem
parlementer di mana parlemen merupakan titik pusat dari segala aktivitas
politik, dalam sistem presidensial hal semacam itu tidak dikenal [vide Arend
Lijphart, 1992, Parliamentary Versus
Presidential Government, h. 40-47].
Bahwa, setelah mengidentifikasi
ciri-ciri umum sistem presidensial di atas, pertanyaannya kemudian adalah di
mana “tempat” hak prerogatif presiden – sebab tidak secara eksplisit
teridentifikasi dalam ciri-ciri dimaksud? Apakah dengan demikian berarti hak
yang dinamakan hak prerogatif presiden itu sesungguhnya bukan merupakan unsur
melekat dari sistem presidensial?
Bahwa, secara tekstual, dalam UUD
1945 maupun dalam Konstitusi Amerika Serikat, yang dirujuk sebagai
perbandingan, istilah “hak prerogatif” itu tidak dikenal, dalam arti tidak
disebut secara eksplisit. Hak tersebut
hanya dikenal dalam doktrin dan praktik sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif
yang mula-mula berkembang dalam bentuk pemerintahan monarki, khususnya di
Inggris. Melalui risalahnya yang termasyur, Two
Treatises of Civil Government (1690), John Locke menyebut kekuasaan
prerogatif (yang berada di tangan eksekutif) sebagai “kekuasaan untuk bertindak
berdasarkan diskresi demi kebaikan umum, tanpa ada perumusannya dalam hukum,
bahkan ada kalanya bertentangan dengan hukum” (“power to act according to discretion for the public good, without the
prescription of the law and sometimes even against it”). Kekuasaan demikian
diberikan kepada eksekutif, menurut Locke, karena “Where the legislative and executive power are in distinct hands ….
there the good of the society requires that several things should be left to
the discretion of him that has the executive power. For the legislators not
being able to foresee and provide by laws for all that may be usefull to the
community, the executor of the laws, having the power in his hands, has by the
common law of Nature a right to make use of it for the good of the society …..
till the legislative can conveniently be assembled to provide for it” (vide
lebih jauh John Locke, 1924, Two
Treatises of Civil Government, J.M. Dent & Sons Ltd., h. 199-203). Dengan
demikian, secara doktrinal, kekuasaan prerogatif adalah kekuasaan yang
diberikan kepada eksekutif sebagai bagian dari diskresi yang lahir dari
tuntutan masyarakat dan demi kebaikan masyarakat sampai legislatif dapat
berapat dan mengaturnya (membuat hukumnya).
Bahwa, sementara itu, secara
historis, yang dinamakan the royal
prerogative, sebagaimana ditulis oleh para komentator terkenal dari abad
pertengahan, di antaranya Henry Bracton dan John Fortescue, adalah merujuk pada
dua saluran yang digunakan untuk melaksanakan kekuasaan kerajaan. Bracton
menyebut dua saluran itu jurisdictio
(yurisdiksi) dan gubernaculum (cara
memerintah). Sementara Fortescue menyebutnya dengan istilah dominium politicum et regale (wewenang
politis dan agung). Yang mereka maksud adalah bahwa dalam bidang-bidang
pelaksanaan pemerintahan yang menyangkut perlindungan ketertiban dalam negeri
dan pertahanan kerajaan dari musuh-musuh asing, kekuasaan Mahkota (raja/ratu)
bersifat absolut dan tak terbatas; sementara dalam bidang-bidang yang berkenaan
dengan hidup, kebebasan, dan hak milik dari warga negara yang merdeka,
kekuasaan Mahkota (raja/ratu) terikat pada hukum nasional. Dalam
perkembangannya, pada abad keenambelas, yang dinamakan royal prerogative ini bahkan meluas yang sebagian besar di
antaranya melanggar hukum namun dibenarkan berdasarkan kekuasaan atau
kewenangan dispensasi, misalnya mengesampingkan pelaksanaan undang-undang
tertentu terhadap kasus-kasus tertentu. Perluasan secara besar-besaran hak
prerogratif ini kemudian menimbulkan perlawanan dari dua kelompok, yaitu
anggota parlemen (parliamentarians)
dan ahli hukum common law (common-law lawyers) pada abad
ketujuhbelas dan akhirnya, sejak abad kedelapanbelas, ketika Inggris mulai
mengadopsi sistem pemerintahan kabinet menteri-menteri yang sekaligus merupakan
anggota Parlemen (yang kemudian dikenal dengan sistem parlementer), Parlemen
dan para menteri merebut hak-hak itu dari tangan raja [vide Leonard Levy &
Louis Fisher, 1994, Encyclopedia of the
American Presidency (1), Macmillan Reference-Simon & Schuster
Macmillan, h.593-594].
Bahwa Amerika Serikat, yang
merupakan bekas jajahan Inggris, tatkala memperkenalkan sistem pemerintahan
baru (yang kemudian dikenal dengan sistem presidensial), pasca-Proklamasi
Kemerdekaan 1776 dan setelah pemberlakuan Konstitusi Amerika Serikat hasil Constitutional Convention 1787, kemudian
mengadopsi konsepsi hak prerogatif itu namun dengan memberikan pengertian yang
berbeda, bukan lagi sebagai hak eksklusif eksekutif (c.q. Presiden). Di Amerika Serikat, secara doktrinal, apa yang
dinamakan hak atau kewenangan prerogratif itu dibagi menjadi tiga kelompok,
yaitu: (i) kewenangan prerogatif yang berada di tangan Presiden sendiri; (ii)
kewenangan prerogatif yang berada di tangan Presiden dan Senat; dan (iii)
kewenangan prerogatif yang berada di tangan Presiden dan Kongres. Yang termasuk
ke dalam kelompok yang pertama adalah: commander-in-chief
of the armed forces, commission officer of the armed forces, grand reprieves
and pardons for federal offences (except impeachment), convene Congress in
special sessions, receive ambassadors, take care that the laws be faithfully
executed, wield the executive power, appoint officials to lesser offices.
Sedangkan yang termasuk ke dalam kelompok yang kedua adalah make treaties, appoint ambassadors, judges,
and high officials. Adapun yang termasuk ke dalam yang kelompok ketiga
adalah approve legislation [vide ibid., h. 594, juga James Q. Wilson,
1983, American Government Institutions
and Politics, Second Edition, h. 302].
Namun, dalam praktik, apa yang
dinamakan kewenangan prerogatif (prerogative
power) Presiden di Amerika Serikat adalah tindakan sepihak presiden yang
dilakukan semata-mata atas dasar diskresi demi kepentingan publik yang tidak
ditemukan dasarnya dalam hukum maupun Konstitusi namun hal itu dipandang perlu.
Misalnya tatkala Presiden George Washington mengeluarkan “proklamasi
netralitas” (neutrality proclamation);
atau tatkala Presiden Abraham Lincoln melakukan tindakan-tindakan yang
disebutnya sebagai “higher obligation”
demi menjaga persatuan (Union); atau
tatkala Presiden Theodore Roosevelt membuat perjanjian-perjanjian yang
dinamakan executive agreements
terhadap hal-hal yang tidak tercakup dalam materi perjanjian yang memerlukan
pengesahan Senat; atau tatkala Presiden Jimmy Carter memberikan amnesti umum (blanket amnesty) bagi mereka yang
menolak wajib militer selama berlangsungnya Perang Vietnam. Oleh karena itulah
apa yang kini dipahami sebagai kewenangan prerogatif presiden di Amerika
Serikat digambarkan sebagai “a situation
that is dangerous but necessary” sebab pembatasan atau pengendalian
terhadap tindakan itu tidak ditentukan oleh dan dalam Konstitusi melainkan oleh
hal-hal yang bersifat politis, yaitu Kongres, birokrasi, media massa, dan pendapat
publik [Leonard Levy & Louis Fisher, op.cit.,
h. 595].
Bahwa dengan demikian, dalam praktik
di Amerika Serikat, apa yang dinamakan hak atau kewenangan prerogatif, dalam
arti yang benar-benar secara eksklusif berada di tangan Presiden, adalah hak
atau kewenangan Presiden untuk melakukan tindakan diskresi yang didasari oleh
pertimbangan kepentingan dan kemanfaatan publik yang tidak ditemukan dasarnya
dalam Konstitusi Amerika Serikat. Sementara apa yang secara doktrinal juga
dinamakan hak atau kewenangan prerogatif dan ditemukan pengaturannya dalam
Konstitusi tidak hanya mencakup hak atau kewenangan eksklusif Presiden
melainkan juga dilaksanakan bersama-sama dengan lembaga atau organ negara
lainnya, entah itu dengan Senat maupun dengan Kongres, sehingga sesungguhnya
lebih tepat jika disebut sebagai kewenangan konstitusional Presiden.
Bahwa, bertolak dari paparan tentang
doktrin, sejarah perkembangan, dan praktik pelaksanaan hak atau kewenangan
prerogatif dalam sistem presidensial di atas dapat disimpulkan:
·
pertama, secara doktrinal, hak atau kewenangan prerogatif
adalah hak atau kewenangan diskresi yang lahir dari tuntutan kepentingan dan
kebaikan publik sehingga legitimasinya pun dinilai berdasarkan kepentingan dan
kebaikan publik;
·
kedua, secara historis, hak atau kewenangan prerogatif berasal
dari kewenangan atau kekuasaan absolut yang dimiliki oleh Mahkota (raja/ratu)
dalam bentuk pemerintahan monarki, khususnya di Inggris, namun seiring
berjalannya waktu makin lama makin berkurang isi maupun ruang lingkupnya ketika
Inggris berubah menjadi monarki dengan sistem pemerintahan parlementer;
·
ketiga, hak atau kewenangan prerogatif tersebut tidak pernah
disebutkan secara eksplisit dalam Konstitusi sebagai ciri yang melekat dalam
sistem pemerintahan presidensial meskipun dalam praktik hal itu diakui dan
diterima namun dasar penerimaannya adalah semata-mata kepentingan dan
kemanfaatan publik dan legitimasinya diperoleh secara politis;
·
keempat, bahwa oleh karena itu “memperkuat sistem
pemerintahan presidensial”, yang merupakan salah satu kesepakatan penting
fraksi-fraksi di MPR tatkala hendak melakukan perubahan terhadap UUD 1945,
haruslah diartikan sebagai maksud memperjelas sistem pemerintahan presidensial
yang dianut di Indonesia sehingga memenuhi ciri-ciri umum yang ada dalam sistem
pemerintahan presidensial, bukan menekankan pada gagasan memperkuat hak
prerogatif presiden dalam pengertian sebagai hak absolut presiden yang tak
dapat dikurangi.
Bahwa
berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, permohonan para Pemohon yang
mendalilkan campur tangan DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI
dan Kapolri bertentangan dengan UUD 1945, dengan argumentasi bahwa hal itu
tidak sesuai dengan hakikat hak prerogatif Presiden dalam sistem presidensial,
harus dinyatakan ditolak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar