Pada tanggal 7 Desember 2016, 48
Hakim Pengadilan Pajak yang tergabung dalam Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)
Cabang Pengadilan Pajak mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak terhadap
Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian
di registrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah dengan Nomor Perkara 6/PUU-XIII/2016.
Adapun yang
menjadi alasan pengajuan permohonan a quo
adalah sebagai berikut :
§ Bahwa para
Pemohon (Hakim Pajak) beranggapan telah dirugikan hak konstitusionalnya untuk
mendapatkan pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum dengan berlakunya Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (1) huruf
c UU Pengadilan Pajak. Menurut para
Pemohon, pasal a quo berpotensi merugikan hak-hak konstitusional para
Pemohon sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang dijamin oleh UUD 1945 karena
memuat norma hukum yang menimbulkan perlakuan yang tidak adil, dan perlakuan
yang berbeda di hadapan hukum. Dengan berlakunya pasal a quo, para Pemohon sebagai Hakim Pengadilan Pajak dirugikan hak konstitusionalnya untuk
mendapatkan perlakuan yang adil dan kepastian hukum khususnya terkait dengan masa
jabatan dan periodisasi jabatan hakim pengadilan pajak.
§ Bahwa
menurut para Pemohon, dengan adanya periodisasi dalam UU a
quo menimbulkan masalah dalam sistem pengangkatan dan pemberhentian hakim
Pengadilan Pajak, khususnya berkaitan dengan keberlanjutan dalam menyelesaikan,
memeriksa, mengadli, dan memutus sengketa pajak, yang sangat penting dalam
rangka melindungi kepentingan negara (Pemerintah) dan kepentingan pembayar
pajak. Selain itu, ketentuan tersebut telah membedakan kedudukan hakim
Pengadilan Pajak sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dalam sengketa pajak
Apabila mendasarkan pada prinsip kesamaan dan perlakuan yang sama di hadapan
hukum, usia hakim Pengadilan Pajak seharusnya disamakan dengan hakim Pengadilan
Tinggi di lingkungan peradilan Peradilan
Tata Usaha Negara. Menurut Pasal 19 ayat (1) UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, yang menyatakan, “Ketua,
wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan dengan hormat dari jabatannya
karena...c. . telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi ketua, wakil ketua,
dan hakim pengadilan tata usaha negara, dan 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi
ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan tinggi tata usaha negara;...”
§ Adanya
periodisasi dan perbedaan usia pemberhentian juga setidak-tidaknya bersifat
potensial yang menurut penalaran yang wajar akan menyebabkan demotivasi terkait
dengan tidak diberikannya jaminan kemerdekaan dan persamaan sebagai bentuk penghargaan
negara kepada hakim Pengadilan Pajak dalam menjalankan tugasnya. Dengan demikian,
norma yang mengatur periodisasi dan usia pemberhentian akan menimbulkan
kerugian yang akan muncul bagi keberlanjutan penyelesaian sengketa pajak yang
membutuhkan jaminan kecepatan dan kepastian hukum, di sisi lain juga berpotensi
mengurangi kecepatan penyelesaian sengketa pajak yang semakin lama semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya kebijakan perpajakan yang ditetapkan Pemerintah.
§ Ketentuan
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menegaskan kekuasaan kehakiman yang merdeka
merupakan instrumen untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, sudah
seharusnya tidak ada batasan yang menghalangi kemerdekaan kehakiman dalam
rangka menegakkan hukum dan keadilan, termasuk dengan pembatasan periodisasi
dan pemberhentian hakim yang akan menghalangi kemerdekaannya dalam mendapatkan
penghargaan yang layak atas statusnya sebagai hakim. Dengan kata lain, hakim
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman sudah seharusnya dihilangkan keraguan dan
ketidakpastiannya terhadap periodisasi dan pemberhentiannya.
Adapun pasal
yang dimohonkan untuk di uji ke Mahkamah Konstitusi adalah Pasal
8 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pengadilan Pajak yang menyatakan
sebagai berikut:
Pasal 8 ayat (3):
“Ketua, Wakil Ketua dan Hakim diangkat
untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu)
kali masa jabatan”,
Pasal 13 ayat (1) huruf c:
“Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri
setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung karena:
...
c. telah berumur 65 (enam puluh lima)
tahun”
Terhadap
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”, dan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945, “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum” UUD 1945
Untuk menjawab isu konstitusionlitas
norma tersebut, setelah melalui persidangan pleno yang cukup panjang dengan
menghadirkan ahli Prof. Dr.
Bagir Manan, SH., MCL., Widayatno Sastrohardjono, SH., M.Sc., Sudarto
Radyosuwarno, Prof. Achmad Zen Purba, SH., LLM., Prof. Dr. Satya Arinanto, SH.,
MH., Dr. H. Tb. Eddy Mangkuprawira, SH., M.Si., dan saksi Doni Budiono, Mahkamah
selanjutnya dalam pertimbagan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
[3.9] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, para
Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1
sampai dengan bukti P-4, 6 (enam) ahli yaitu dan 1 (satu) saksi yaitu [keterangan
ahli dan saksi selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara];
[3.10]
Menimbang bahwa setelah membaca dalil-dalil para Pemohon
di atas, masalah pokok yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah:
1.
Apakah frasa “untuk
masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali
masa jabatan” dalam Pasal 8 ayat (3) UU Pengadilan Pajak bertentangan
dengan UUD 1945?
2.
Apakah ketentuan mengenai
pemberhentian dengan hormat dari jabatan hakim pengadilan pajak karena telah
berusia 65 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pengadilan
Pajak bertentangan dengan UUD 1945?
[3.11]
Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan kedua
masalah pokok pengujian konstitusionalitas dari permohonan a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan menjawab dasar dari status
Pengadilan Pajak apakah termasuk dalam lingkup peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Berkenaan dengan hal tersebut,
Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut :
1.
Bahwa
tujuan utama di bentuknya Pengadilan Pajak adalah dalam rangka melaksanakan
pembangunan nasional yang berkesinambungan dan berkelanjutan serta merata di
seluruh tanah air, sehingga diperlukan dana yang memadai yang terutama bersumber
dari perpajakan. Dikarenakan demikian banyaknya sengketa perpajakan sebagai upaya
wajib pajak yang berusaha untuk mencari keadilan dan kepastian hukum pada
akhirnya menjadikan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak menjadi tidak relevan
lagi untuk menyelesaikan sengketa sehingga negara pada akhirnya memberikan
solusi dengan membentuk Pengadilan Pajak yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
2.
Bahwa
meskipun pada awal pembentukannya Pengadilan Pajak ada ketidakjelasan berkenaan
dengan statusnya dalam lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung, namun
seiring berjalannya waktu, Mahkamah Konstitusi dan pembentuk Undang-Undang telah
mempertegas tentang keberadaan Pengadilan Pajak
sebagaimana diatur dalam Pasal 24
ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
3.
Bahwa
Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya Nomor 004/PUU-II/2004 bertanggal 13
Desember 2004 telah mempertimbangkan sebagai berikut: “bahwa Pasal 22 UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
menyatakan, terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan
kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali
undang-undang menentukan lain. Mahkamah berpendapat bahwa tiadanya upaya kasasi
pada Pengadilan Pajak tidak berarti bahwa Pengadilan Pajak tidak berpuncak pada
Mahkamah Agung. Adanya ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa pembinaan teknis peradilan bagi
Pengadilan pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, Pasal 77 ayat (3) bahwa pihak-pihak
yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan
Pajak kepada Mahkamah Agung, serta Pasal 9A UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang
menyatakan di lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diadakan
pengkhususan yang diatur dengan undang-undang, telah cukup menjadi dasar bahwa
Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkup peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 24 ayat (2) UUD 1945”.
4.
Bahwa
Pasal 1 angka 8 dan Penjelasan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 8, “Pengadilan khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk
dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
yang diatur dalam undang-undang”.
Penjelasan
Pasal 27 ayat (1), “Yang dimaksud dengan
“pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga,
pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan
hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan
peradilan umum, serta pengadilan pajak
yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara”.
Berdasarkan uraian dan
pertimbangan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa Pengadilan Pajak adalah
merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD
1945.
[3.12]
Menimbang bahwa meskipun Pengadilan Pajak telah termasuk dalam
lingkup peradilan yang berada di Mahkamah Agung sebagaimana diuraikan dalam
pertimbangan di atas, namun faktanya dalam Undang-Undang a quo, kewenangan Mahkamah Agung tidak sepenuhnya mengatur segala
hal yang terkait dengan Pengadilan Pajak, Mahkamah Agung hanya diberikan
kewenangan dalam hal pengaturan tentang pembinaan teknis peradilan bagi
Pengadilan Pajak sedangkan terkait
dengan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak
dilakukan oleh Departemen Keuangan (sekarang Kementerian Keuangan) [vide Pasal
5 ayat (1) dan ayat (2) UU Pengadilan Pajak]. Adanya kewenangan yang diberikan
kepada Kementerian Keuangan in casu
Menteri Keuangan khususnya terkait dengan Pembinaan organisasi, administrasi,
dan keuangan bagi Pengadilan Pajak termasuk juga pengusulan dan pemberhentian
hakim pengadilan pajak, menurut Mahkamah hal tersebut justru telah mengurangi
kebebasan hakim pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Oleh karena
itu menurut Mahkamah untuk menjaga marwah lembaga pengadilan pajak dalam upaya
mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka maka sudah sepatutnya pengadilan
pajak diarahkan pada upaya membentuk sistem peradilan mandiri atau yang dikenal
dengan “one roof system” atau sistem
peradilan satu atap. Hal tersebut telah dilakukan terhadap lingkungan peradilan
lainnya di bawah Mahkamah Agung dimana pembinaan secara teknis yudisial maupun
organisasi, administrasi dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung
dan bukan berada di bawah Kementerian. Terlebih lagi telah ada pengakuan bahwa
Pengadilan Pajak adalah bagian dari Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga
sudah seharusnya ada perlakuan yang sama untuk satu atap (one roof system) terhadap Pengadilan Pajak. Hal ini harus menjadi
catatan penting bagi pembentuk Undang-Undang ke depannya.
[3.13]
Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan menjawab
persoalan konstitusionalitas yang
berkaitan dengan periodisasi masa jabatan hakim pengadilan pajak sebagaimana
diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU Pengadilan Pajak dan persoalan batasan usia
pemberhentian dengan hormat hakim pengadilan pajak sebagaimana diatur dalam
Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pengadilan Pajak, sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa meskipun pengadilan pajak adalah
pengadilan yang bersifat khusus dan berada dalam lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara namun oleh karena kewenangan yang dimiliki oleh Pengadilan Pajak
dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak adalah sebagai pengadilan tingkat
pertama dan terakhir atas sengketa Pajak dan juga sebagai pengadilan tingkat
banding yang putusannya tidak dapat diajukan gugatan ke Peradilan Umum,
Peradilan Tata Usaha Negara, atau Badan Peradilan lain, maka dengan mendasarkan
pada kewenangan tersebut seharusnya status hakim pengadilan pajak adalah sama
atau sejajar dengan hakim di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, Pengadilan
Tinggi pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum serta Pengadilan Tinggi
Agama.
[3.13.2] Bahwa
Undang-Undang a quo mengatur
pemberhentian dengan hormat hakim pengadilan pajak (usia pensiun) yaitu 65
tahun, sedangkan bagi hakim tinggi di lingkungan peradilan tata usaha negara
maupun peradilan umum serta peradilan agama diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya karena telah berusia 67 tahun [vide Undang-Undang Nomor 49 Tahun
2009, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009]. Adanya ketentuan yang mengatur tentang perbedaan perlakuan antara hakim
pengadilan pajak dan hakim di lingkungan peradilan lain di bawah Mahkamah Agung
tersebut, telah secara nyata memberi perlakuan yang berbeda terhadap hal yang
sama sehingga secara esensi bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD
1945 dan pada saat yang sama bertentangan pula dengan prinsip kepastian hukum
yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena
itu menurut Mahkamah ketentuan pemberhentian dengan hormat dari jabatan hakim bagi
hakim pada pengadilan pajak harus disamakan dengan ketentuan yang mengatur hal
yang sama bagi hakim tingkat banding pada pengadilan di lingkungan peradilan tata
usaha negara.
[3.13.3] Bahwa
oleh karena itu, Mahkamah perlu menentukan ketentuan mengenai pemberhentian
dengan hormat dari jabatan hakim yang mencapai batas usia tertentu yang wajar
dan adil bagi hakim Pengadilan Pajak, yaitu sama dengan ketentuan pemberhentian
dengan hormat dari jabatan hakim yang mencapai batas usia tertentu bagi hakim
tinggi pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana disebutkan dalam
amar putusan di bawah ini.
[3.14]
Menimbang bahwa oleh karena hakim pengadilan pajak adalah
sama atau sejajar dengan hakim di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara,
Pengadilan Tinggi dalam lingkungan Peradilan Umum, serta Pengadilan Tinggi
Agama, sehingga ketentuan mengenai pemberhentian dengan hormat hakim pada
pengadilan pajak juga harus disesuaikan dengan ketentuan mengenai pemberhentian
dengan hormat dari jabatan hakim tinggi di lingkungan peradilan tata usaha
negara sebagaimana diuraikan dalam paragraf di atas, maka terkait periodisasi
atau masa jabatan hakim pajak agar tidak menimbulkan perbedaan sudah seharusnya
juga masa jabatan hakim pengadilan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat
(3) UU Pengadilan Pajak tidak mengenal masa jabatan atau periodisasi.
[3.15]
Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas,
Mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 8 ayat (3) UU Pengadilan Pajak harus
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sedangkan untuk Pasal 13 ayat (1)
huruf c UU Pengadilan Pajak harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat
sebagaimana disebutkan dalam amar putusan ini.
[3.16]
Menimbang bahwa berdasarkan seluruh
pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan para Pemohon beralasan
menurut hukum untuk sebagian.
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.
Mengabulkan
permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2.
Menyatakan Pasal
8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3.
Menyatakan Pasal
8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4.
Menyatakan
frasa “telah berumur 65 (enam puluh lima)
tahun“ dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4189) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai disamakan dengan usia pemberhentian dengan hormat hakim tinggi pada
pengadilan tinggi tata usaha negara;
5.
Menyatakan
frasa “telah berumur 65 (enam puluh lima)
tahun“ dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4189) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai disamakan dengan
usia pemberhentian dengan hormat hakim tinggi pada pengadilan tinggi tata usaha
negara;
6.
Menolak
permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
7.
Memerintahkan
pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana
mestinya.
Link
Putusan :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar