Nissan

https://www.nissan.co.id/ucl-jagonulis.html

Rabu, 14 September 2016

KONSTITUSIONALITAS HAKIM PENGADILAN PAJAK SEBAGAI PELAKU KEKUASAAN KEHAKIMAN





            Pada tanggal 7 Desember 2016, 48 Hakim Pengadilan Pajak yang tergabung dalam Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang Pengadilan Pajak mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak terhadap Undang-Undang Dasar 1945,  yang kemudian di registrasi oleh Kepaniteraan Mahkamah dengan Nomor Perkara 6/PUU-XIII/2016.
            Adapun yang menjadi alasan pengajuan permohonan a quo adalah sebagai berikut :
§  Bahwa para Pemohon (Hakim Pajak) beranggapan telah dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dengan berlakunya Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pengadilan Pajak. Menurut para Pemohon, pasal a quo berpotensi merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang dijamin oleh UUD 1945 karena memuat norma hukum yang menimbulkan perlakuan yang tidak adil, dan perlakuan yang berbeda di hadapan hukum. Dengan berlakunya pasal a quo, para Pemohon sebagai Hakim Pengadilan Pajak  dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan kepastian hukum khususnya terkait dengan masa jabatan dan periodisasi jabatan hakim pengadilan pajak.
§  Bahwa menurut para Pemohon, dengan adanya periodisasi dalam UU        a quo menimbulkan masalah dalam sistem pengangkatan dan pemberhentian hakim Pengadilan Pajak, khususnya berkaitan dengan keberlanjutan dalam menyelesaikan, memeriksa, mengadli, dan memutus sengketa pajak, yang sangat penting dalam rangka melindungi kepentingan negara (Pemerintah) dan kepentingan pembayar pajak. Selain itu, ketentuan tersebut telah membedakan kedudukan hakim Pengadilan Pajak sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dalam sengketa pajak Apabila mendasarkan pada prinsip kesamaan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, usia hakim Pengadilan Pajak seharusnya disamakan dengan hakim Pengadilan Tinggi di lingkungan peradilan  Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut Pasal 19 ayat (1) UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyatakan, “Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena...c. . telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan tata usaha negara, dan 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan tinggi tata usaha negara;...”
§  Adanya periodisasi dan perbedaan usia pemberhentian juga setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar akan menyebabkan demotivasi terkait dengan tidak diberikannya jaminan kemerdekaan dan persamaan sebagai bentuk penghargaan negara kepada hakim Pengadilan Pajak dalam menjalankan tugasnya. Dengan demikian, norma yang mengatur periodisasi dan usia pemberhentian akan menimbulkan kerugian yang akan muncul bagi keberlanjutan penyelesaian sengketa pajak yang membutuhkan jaminan kecepatan dan kepastian hukum, di sisi lain juga berpotensi mengurangi kecepatan penyelesaian sengketa pajak yang semakin lama semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kebijakan perpajakan yang ditetapkan Pemerintah.
§  Ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menegaskan kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan instrumen untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, sudah seharusnya tidak ada batasan yang menghalangi kemerdekaan kehakiman dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, termasuk dengan pembatasan periodisasi dan pemberhentian hakim yang akan menghalangi kemerdekaannya dalam mendapatkan penghargaan yang layak atas statusnya sebagai hakim. Dengan kata lain, hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman sudah seharusnya dihilangkan keraguan dan ketidakpastiannya terhadap periodisasi dan pemberhentiannya.
            Adapun pasal yang dimohonkan untuk di uji ke Mahkamah Konstitusi adalah Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pengadilan Pajak yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 8 ayat (3):
“Ketua, Wakil Ketua dan Hakim diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan”,
Pasal 13 ayat (1) huruf c:
“Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung karena:
...
c. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun”
Terhadap Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”, dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” UUD 1945
            Untuk menjawab isu konstitusionlitas norma tersebut, setelah melalui persidangan pleno yang cukup panjang dengan menghadirkan ahli Prof. Dr. Bagir Manan, SH., MCL., Widayatno Sastrohardjono, SH., M.Sc., Sudarto Radyosuwarno, Prof. Achmad Zen Purba, SH., LLM., Prof. Dr. Satya Arinanto, SH., MH., Dr. H. Tb. Eddy Mangkuprawira, SH., M.Si., dan saksi Doni Budiono, Mahkamah selanjutnya dalam pertimbagan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
[3.9]       Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-4, 6 (enam) ahli yaitu dan 1 (satu) saksi yaitu [keterangan ahli dan saksi selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara];
[3.10]   Menimbang bahwa setelah membaca dalil-dalil para Pemohon di atas, masalah pokok yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah:
1.   Apakah frasa “untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan” dalam Pasal 8 ayat (3) UU Pengadilan Pajak bertentangan dengan UUD 1945?
2.   Apakah ketentuan mengenai pemberhentian dengan hormat dari jabatan hakim pengadilan pajak karena telah berusia 65 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pengadilan Pajak bertentangan dengan UUD 1945?
[3.11]   Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan kedua masalah pokok pengujian konstitusionalitas dari permohonan a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan menjawab dasar dari status Pengadilan Pajak apakah termasuk dalam lingkup peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut :
1.   Bahwa tujuan utama di bentuknya Pengadilan Pajak adalah dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional yang berkesinambungan dan berkelanjutan serta merata di seluruh tanah air, sehingga diperlukan dana yang memadai yang terutama bersumber dari perpajakan. Dikarenakan demikian banyaknya sengketa perpajakan sebagai upaya wajib pajak yang berusaha untuk mencari keadilan dan kepastian hukum pada akhirnya menjadikan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak menjadi tidak relevan lagi untuk menyelesaikan sengketa sehingga negara pada akhirnya memberikan solusi dengan membentuk Pengadilan Pajak yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
2.   Bahwa meskipun pada awal pembentukannya Pengadilan Pajak ada ketidakjelasan berkenaan dengan statusnya dalam lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung, namun seiring berjalannya waktu, Mahkamah Konstitusi dan pembentuk Undang-Undang telah mempertegas tentang keberadaan Pengadilan Pajak  sebagaimana  diatur dalam Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
3.   Bahwa Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya Nomor 004/PUU-II/2004 bertanggal 13 Desember 2004 telah mempertimbangkan sebagai berikut: “bahwa Pasal 22 UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain. Mahkamah berpendapat bahwa tiadanya upaya kasasi pada Pengadilan Pajak tidak berarti bahwa Pengadilan Pajak tidak berpuncak pada Mahkamah Agung. Adanya ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, Pasal 77 ayat (3) bahwa pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung, serta Pasal 9A UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan di lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang, telah cukup menjadi dasar bahwa Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkup peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 24 ayat (2) UUD 1945”.
4.   Bahwa Pasal 1 angka 8 dan Penjelasan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan sebagai berikut:
     Pasal 1 angka 8, “Pengadilan khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang”.
     Penjelasan Pasal 27 ayat (1), “Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara”.
Berdasarkan uraian dan pertimbangan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa Pengadilan Pajak adalah merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD 1945.
[3.12]   Menimbang bahwa meskipun Pengadilan Pajak telah termasuk dalam lingkup peradilan yang berada di Mahkamah Agung sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan di atas, namun faktanya dalam Undang-Undang a quo, kewenangan Mahkamah Agung tidak sepenuhnya mengatur segala hal yang terkait dengan Pengadilan Pajak, Mahkamah Agung hanya diberikan kewenangan dalam hal pengaturan tentang pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak  sedangkan terkait dengan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan (sekarang Kementerian Keuangan) [vide Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU Pengadilan Pajak]. Adanya kewenangan yang diberikan kepada Kementerian Keuangan in casu Menteri Keuangan khususnya terkait dengan Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak termasuk juga pengusulan dan pemberhentian hakim pengadilan pajak, menurut Mahkamah hal tersebut justru telah mengurangi kebebasan hakim pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Oleh karena itu menurut Mahkamah untuk menjaga marwah lembaga pengadilan pajak dalam upaya mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka maka sudah sepatutnya pengadilan pajak diarahkan pada upaya membentuk sistem peradilan mandiri atau yang dikenal dengan “one roof system” atau sistem peradilan satu atap. Hal tersebut telah dilakukan terhadap lingkungan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung dimana pembinaan secara teknis yudisial maupun organisasi, administrasi dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung dan bukan berada di bawah Kementerian. Terlebih lagi telah ada pengakuan bahwa Pengadilan Pajak adalah bagian dari Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga sudah seharusnya ada perlakuan yang sama untuk satu atap (one roof system) terhadap Pengadilan Pajak. Hal ini harus menjadi catatan penting bagi pembentuk Undang-Undang ke depannya.
[3.13]   Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan menjawab persoalan  konstitusionalitas yang berkaitan dengan periodisasi masa jabatan hakim pengadilan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU Pengadilan Pajak dan persoalan batasan usia pemberhentian dengan hormat hakim pengadilan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pengadilan Pajak, sebagai berikut:
[3.13.1]       Bahwa meskipun pengadilan pajak adalah pengadilan yang bersifat khusus dan berada dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara namun oleh karena kewenangan yang dimiliki oleh Pengadilan Pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak adalah sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir atas sengketa Pajak dan juga sebagai pengadilan tingkat banding yang putusannya tidak dapat diajukan gugatan ke Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, atau Badan Peradilan lain, maka dengan mendasarkan pada kewenangan tersebut seharusnya status hakim pengadilan pajak adalah sama atau sejajar dengan hakim di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, Pengadilan Tinggi pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum serta Pengadilan Tinggi Agama.
[3.13.2]    Bahwa Undang-Undang a quo mengatur pemberhentian dengan hormat hakim pengadilan pajak (usia pensiun) yaitu 65 tahun, sedangkan bagi hakim tinggi di lingkungan peradilan tata usaha negara maupun peradilan umum serta peradilan agama diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena telah berusia 67 tahun [vide Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009]. Adanya ketentuan yang mengatur tentang perbedaan perlakuan antara hakim pengadilan pajak dan hakim di lingkungan peradilan lain di bawah Mahkamah Agung tersebut, telah secara nyata memberi perlakuan yang berbeda terhadap hal yang sama sehingga secara esensi bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan pada saat yang sama bertentangan pula dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu menurut Mahkamah ketentuan pemberhentian dengan hormat dari jabatan hakim bagi hakim pada pengadilan pajak harus disamakan dengan ketentuan yang mengatur hal yang sama bagi hakim tingkat banding pada pengadilan di lingkungan peradilan tata usaha negara.
[3.13.3]    Bahwa oleh karena itu, Mahkamah perlu menentukan ketentuan mengenai pemberhentian dengan hormat dari jabatan hakim yang mencapai batas usia tertentu yang wajar dan adil bagi hakim Pengadilan Pajak, yaitu sama dengan ketentuan pemberhentian dengan hormat dari jabatan hakim yang mencapai batas usia tertentu bagi hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana disebutkan dalam amar putusan di bawah ini.
[3.14]   Menimbang bahwa oleh karena hakim pengadilan pajak adalah sama atau sejajar dengan hakim di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, Pengadilan Tinggi dalam lingkungan Peradilan Umum, serta Pengadilan Tinggi Agama, sehingga ketentuan mengenai pemberhentian dengan hormat hakim pada pengadilan pajak juga harus disesuaikan dengan ketentuan mengenai pemberhentian dengan hormat dari jabatan hakim tinggi di lingkungan peradilan tata usaha negara sebagaimana diuraikan dalam paragraf di atas, maka terkait periodisasi atau masa jabatan hakim pajak agar tidak menimbulkan perbedaan sudah seharusnya juga masa jabatan hakim pengadilan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU Pengadilan Pajak tidak mengenal masa jabatan atau periodisasi.
[3.15]   Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 8 ayat (3) UU Pengadilan Pajak harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sedangkan untuk Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pengadilan Pajak harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat sebagaimana disebutkan dalam amar putusan ini.
[3.16]      Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.    Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2.    Menyatakan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3.    Menyatakan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4.    Menyatakan frasa “telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun“ dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai disamakan dengan usia pemberhentian dengan hormat hakim tinggi pada pengadilan tinggi tata usaha negara;
5.    Menyatakan frasa “telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun“ dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai disamakan dengan usia pemberhentian dengan hormat hakim tinggi pada pengadilan tinggi tata usaha negara;
6.    Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
7.    Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Link Putusan :  

Tidak ada komentar: