M.
Komarudin, dkk., para buruh yang tergabung dalam Federasi Ikatan Serikat Buruh
Indonesia pada tanggal 8 Januari 2015 mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang kemudian di Registrasi dengan Nomor Perkara 7/PUU-XII/2014.
Dalam
permohonannya para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat
(8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003, yang masing-masing menyatakan:
Pasal 59 ayat (7)
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat
(4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu
tidak tertentu”;
Pasal
65 ayat (8)
“Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan
kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi
hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan”;
Pasal
66 ayat (4)
“Dalam
hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b,
danhuruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan
kerja antarapekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih
menjadi hubungan kerjaantara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan”;
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945 yang menyatakan, “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Dalam
permohonanya para Pemohon menyatakan pasal-pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 dengan alasan sebagai berikut:
1.
Pegawai pengawas ketenagakerjaan berwenang melakukan
pemeriksaan terhadap tindak penyimpangan/pelanggaran norma UU 13/2003 yang
tidak mengandung unsur tindak pidana, dan menerbitkan nota pemeriksaan serta
nota penetapan tertulis yang memerintahkan kepada pengusaha/majikan untuk
melaksanakan ketentuan norma dalam UU 13/2003;
2. Pembentuk
Undang-Undang hanya mengatur sepanjang tata cara penyelesaian penyimpangan
norma yang mengandung unsur tindak pidana ketenagakerjaan dalam UU 13/2003, tetapi
tidak mengatur mengenai tata cara pelaksanaan (eksekusi) atas penetapan
tertulis dari pegawai pengawas ketenagakerjaan yang tidak dimintakan
pemeriksaan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan juga tidak dijalankan secara
sukarela oleh pengusaha/majikan. Sehingga terdapat kekosongan hukum.
3. UU 13/2003 tidak
mengatur mengenai sanksi yang dapat diberikan kepada majikan/pengusaha apabila
mereka belum atau tidak menjalankan norma dalam UU 13/2003 meskipun kepadanya
telah diberikan nota pemeriksaan atau nota penetapan tertulis oleh pegawai
pengawas ketenagakerjaan;
4. Ketentuan sepanjang frasa
“demi hukum” pada Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003 mengatur akibat hukum atas tidak
terpenuhinya syarat-syarat perjanjian kerja waktu tertentu menjadi perjanjian
kerja waktu tidak tertentu, yang kewenangan untuk menyatakannya merupakan
kewenangan pegawai pengawas ketenagakerjaan melalui hasil pemeriksaan serta penetapan
tertulis yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
5. Apabila
penetapan tertulis tersebut tidak dipatuhi/dijalankan oleh pengusaha/majikan
maka untuk memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
status hubungan kerja pekerja/buruh, serta untuk tetap menjaga hubungan
industrial yang kondusif, dan agar penerbitan penetapan tertulis dimaksud tidak
menjadi sia-sia maka seharusnya pelaksanaan penetapan tertulis tersebut dapat
dimintakan pelaksanaannya ke Pengadilan Negeri melalui Pengadilan Hubungan
Industrial.
Untuk
menjawab isu hukum tersebut, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menyatakan
sebagai berikut: