Pada
tanggal 8 Maret 2013, mantan Ketua KPK Antasari Azhar, S.H., M.H., beserta
istri dan anaknya mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 268
ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang menyatakan, “Permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan
satu kali saja” terhadap UUD 1945, khususnya Pasal 1 ayat (3), Pasal 24
ayat (1), Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan:
Pasal
1 ayat (3) : “Negara Indonesia adalah
Negara Hukum”;
Pasal
24 ayat (1) : “Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan”;
Pasal
28C ayat (1): “Setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia”;
Pasal
28D ayat (1) : “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum”;
Para Pemohon dalam uraian positanya
menyampaikan kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon sebagai
berikut:
§ Bahwa
Pemohon Antasari Azhar, S.H., M.H., sebagai perseorangan warga negara Indonesia
selaku terpidana pada perkara pidana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel yang telah diputus pada tanggal 11 Februari 2010.
Terhadap putusan tersebut Pemohon Antasari Azhar, S.H., M.H., mengajukan upaya
hukum biasa yaitu permohonan kasasi yang diputus oleh Mahkamah Agung dengan Putusan
Nomor 1429K/Pid/2010, tanggal 21 September 2010 dan terhadap putusan tersebut,
Pemohon Antasari Azhar, S.H., M.H., mengajukan upaya hukum luar biasa
Peninjauan Kembali (PK) dan telah diputus oleh Mahkamah Agung Nomor
117PK/Pid/2011, tanggal 13 Pebruari 2012, yang amarnya menyatakan menolak
permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Pemohon Antasari Azhar, S.H., M.H.
Pemohon bermaksud mengajukan PK terhadap perkara tersebut, namun karena
berlakunya Pasal 268 ayat (3) KUHAP, Pemohon Antasari Azhar, S.H., M.H., tidak
dapat mengajukan upaya hukum PK lagi untuk membersihkan namanya, jika suatu
saat terdapat keadaan baru yang dapat memberikan putusan berbeda dengan Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel, tanggal 11
Februari 2010 juncto putusan Mahkamah Agung Nomor 1429K/Pid/2010, tanggal 21
September 2010. Atas dasar dalil tersebut yang dihubungkan dengan hak
konstitusional yang ditentukan dalam UUD 1945, khususnya Pasal 28D ayat (1),
menurut Mahkamah, Pemohon telah mengalami kerugian konstitusional yang bersifat
spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi serta terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang
yang dimohonkan pengujian yang apabila dikabulkan maka kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, Pemohon Antasari Azhar, S.H., M.H., memiliki kedudukan
hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
§ Pemohon
Ida Laksmiwaty S.H., dan Ajeng Oktarifka Antasariputri sebagai perseorangan
warga negara Indonesia yang merupakan isteri dan anak dari Pemohon Antasari
Azhar, S.H., M.H., oleh karenanya memiliki hubungan sebagai keluarga yang dapat
mengajukan peninjauan kembali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 268 ayat (3)
KUHAP. Dengan demikian, secara potensial dirugikan oleh berlakunya ketentuan
Pasal 268 ayat (3) KUHAP sehingga terdapat hubungan sebab akibat (causal
verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian yang apabila dikabulkan maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi;
Berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa para
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan a
quo;
Setelah melalui persidangan yang
panjang, akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan permohonan perkara a quo pada tangga 6 Maret 2014 dengan pertimbangan
hukum sebagai berikut:
Pendapat Mahkamah
Tentang Ne bis in idem
[3.13]
Menimbang bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP, pernah dimohonkan pengujian
konstitusionalitasnya dan telah diputus dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 16/PUU-VIII/2010, tanggal 15 Desember 2010 (vide keterangan tertulis
Presiden dan DPR). Oleh karena itu, Mahkamah akan mempertimbangkan terlebih
dulu apakah permohonan para Pemohon tersebut ne bis in idem?
Untuk
mempertimbangkan hal tersebut, Mahkamah perlu merujuk Pasal 60 ayat (2) UU MK
yang menyatakan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”.
Berdasarkan
ketentuan tersebut maka terhadap pasal yang telah diajukan pengujian
konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah dapat diujikembali apabila
terdapat dasar pengujian yang berbeda. Menurut Mahkamah, setelah memperhatikan
secara saksama permohonan para Pemohon, ternyata dasar pengujian yang digunakan
dalam permohonan Nomor 16/PUU-VIII/2010 yang diputus Mahkamah Konstitusi pada
tanggal 15 Desember 2010, adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Selain itu,
Pemohon dalam permohonan Nomor 16/PUU-VIII/2010 adalah badan hukum privat (PT.
Harangganjang), sedangkan dalam perkara a quo terdapat pasal lain dari UUD 1945
yang menjadi dasar pengujian berbeda, yaitu Pasal 24 ayat (1): “Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan” serta Pasal 28C ayat (1) khususnya mengenai
hak untuk memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
kaitannya dengan keadaan baru dalam rangka mengajukan peninjauan kembali atas
perkara yang telah diputus oleh Mahkamah Agung. Oleh karena itu, menurut
Mahkamah, permohonan para Pemohon tidak ne bis in idem, sehingga Mahkamah
selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan;
[3.14]
Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai isu
konstitusional yang dipermasalahkan oleh para Pemohon yaitu apakah pembatasan
pengajuan peninjauan kembali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 268 ayat (3)
KUHAP bertentangan dengan UUD 1945?
[3.15]
Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan isu konstitusional tersebut,
Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1.
Alasan untuk dapat mengajukan PK sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat
(2) KUHAP yang menyatakan, “Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a.
apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan
itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa
putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan
penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan
ketentuan pidana yang lebih ringan;
b.
apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti,
akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan
telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c.
apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau
suatu kekeliruan yang nyata.
Alasan
tersebut pada umumnya terkait dengan hakikat dalam proses peradilan perkara
pidana yang benar-benar pembuktiannya harus meyakinkan hakim mengenai kebenaran
terjadinya suatu peristiwa (kebenaran materiil), yaitu suatu kebenaran yang di
dalamnya tidak terdapat lagi keraguan. Pencarian kebenaran yang demikian
dilatarbelakangi oleh sifat hukum pidana seperti dalam ungkapan, “bak pedang
bermata dua”. Artinya, hukum pidana dimaksudkan untuk melindungi manusia,
tetapi dengan cara mengenakan pidana pada hakikatnya menyerang apa yang
dilindungi dari manusia;
2.
Prinsip negara hukum yang telah diadopsi dalam UUD 1945 meletakkan suatu prinsip
bahwa setiap orang memiliki hak asasi (HAM), yang dengan demikian mewajibkan
orang lain, termasuk di dalamnya negara, untuk menghormatinya.
Bahkan
secara konstitusional, ketentuan konstitusional tentang HAM tersebut dalam
perspektif historis-filosofis dalam pembentukan negara dimaksudkan untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan berdasarkan kemanusiaan yang adil dan
beradab (vide Pembukaan UUD 1945). Oleh karena itu, negara berkewajiban untuk
memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan terhadap HAM. [vide
Pasal 28I ayat (4) UUD 1945]. Prinsip sebagaimana diuraikan di atas, terutama
yang terakhir, melahirkan suatu prinsip yang lain bahwa proses peradilan dalam
perkara pidana harus sampai pada kebenaran materiil, suatu kebenaran yang di
dalamnya tidak terdapat lagi keraguan. Dari prinsip yang demikian lahir pula
prinsip dalam proses peradilan pidana yaitu “lebih baik membebaskan orang yang
bersalah daripada menjatuhkan pidana kepada seseorang yang tidak bersalah”. Di
dalam ungkapan tersebut terdapat makna yang dalam, bahwa ketika pengadilan menjatuhkan
putusan yang menyatakan seseorang bersalah dan karena itu dijatuhi pidana
haruslah benar-benar didasarkan pada suatu fakta hukum yang diyakini sebagai
suatu kebenaran. Kalau tidak demikian maka akan terjadi bahwa negara melalui
pengadilan pidana telah melanggar HAM, padahal secara konstitusional negara
melalui proses peradilan justru harus melindungi HAM [vide Pasal 24 ayat (1)
UUD 1945];
3.
Kewajiban negara untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai prinsip negara hukum
yang demokratis mengharuskan pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat (5) UUD 1945]. Hukum
acara pidana merupakan implementasi dari penegakan dan perlindungan HAM sebagai
ketentuan konstitusional dalam UUD 1945. Hal demikian sesuai pula dengan
prinsip negara hukum yang demokratis, yaitu due process of law;
4.
Terkait dengan penegakan dan perlindungan HAM yang juga merupakan hak konstitusional
berdasarkan UUD 1945 maka dalam proses peradilan pidana yang dialami seseorang
haruslah mendapatkan kepastian hukum yang adil [vide Pasal 28D ayat (1) UUD
1945]. Dalam hal ini ditekankan bahwa kepastian hukum yang acapkali mendominasi
suatu proses peradilan diberikan syarat yang fundamental, yaitu keadilan yang
menjadi kebutuhan dasar bagi setiap insan, termasuk ketika menjalani proses
peradilan. Karena itulah pentingnya diatur peninjauan kembali supaya setiap
orang dalam proses peradilan pidana yang dijalaninya tetap dapat memperoleh
keadilan, bahkan ketika putusan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap
dengan alasan tertentu yang secara umum terkait dengan keadilan;
Berdasarkan
ketiga alasan PK sebagaimana diuraikan di atas, terdapat satu alasan terkait
dengan terpidana, sedangkan kedua alasan lainnya terkait dengan hakim sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman. Alasan satu-satunya yang terkait dengan
terpidana yaitu menyangkut peristiwa yang menguntungkan terpidana berupa
keadaan baru (novum) yang manakala ditemukan ketika proses peradilan berlangsung
putusan hakim diyakini akan lain [vide Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP]. Oleh
karena itu dan karena terkait dengan keadilan yang merupakan hak konstitusional
atau HAM bagi seseorang yang dijatuhi pidana, selain itu pula karena
kemungkinan keadaan baru (novum) dapat ditemukan kapan saja, tidak dapat
ditentukan secara pasti kapan waktunya maka adilkah manakala PK dibatasi hanya
satu kali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Apa sesungguhnya
makna keadilan sebagai hak konstitusional bagi seseorang yang terpenuhinya
merupakan kewajiban negara, jika negara justru menutupnya dengan ketentuan
Pasal 268 ayat (3) KUHAP;
[3.16]
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah selanjutnya
akan mempertimbangkan apakah dalil para Pemohon bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP
yang menyatakan, “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat
dilakukan satu kali saja” bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap hal tersebut
Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1]
Bahwa upaya hukum luar biasa PK secara historis-filosofis merupakan upaya hukum
yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana. Menurut Mahkamah, upaya hukum
PK berbeda dengan banding atau kasasi sebagai upaya hukum biasa. Upaya hukum
biasa harus dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum karena tanpa kepastian
hukum, yaitu dengan menentukan limitasi waktu dalam pengajuan upaya hukum
biasa, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tentu akan melahirkan
ketidakadilan dan proses hukum yang tidak selesai.
Dengan
demikian, ketentuan yang menjadi syarat dapat ditempuhnya upaya hukum biasa di
samping terkait dengan kebenaran materiil yang hendak dicapai, juga terkait
pada persyaratan formal yaitu terkait dengan tenggang waktu tertentu setelah diketahuinya
suatu putusan hakim oleh para pihak secara formal pula.
Adapun
upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran
materiil. Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas
yang membatasi bahwa upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali) hanya dapat
diajukan satu kali, karena mungkin saja setelah diajukannya PK dan diputus, ada
keadaan baru (novum) yang substansial baru ditemukan yang pada saat PK
sebelumnya belum ditemukan. Adapun penilaian mengenai sesuatu itu novum atau
bukan novum, merupakan kewenangan Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan
mengadili pada tingkat PK. Oleh karena itu, yang menjadi syarat dapat
ditempuhnya upaya hukum luar biasa adalah sangat materiil atau substansial dan
syarat yang sangat mendasar adalah terkait dengan kebenaran dan keadilan dalam
proses peradilan pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP,
yang menyatakan “Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a.
apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan
itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa
putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan
penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan
ketentuan pidana yang lebih ringan;
b.
.... dst”;
Karakter
kebenaran mengenai peristiwa yang menjadi dasar dalam putusan perkara pidana
adalah kebenaran materiil berdasarkan pada bukti yang dengan bukti-bukti
tersebut meyakinkan hakim, yaitu kebenaran yang secara rasional tidak terdapat
lagi keraguan di dalamnya karena didasarkan pada bukti yang sah dan meyakinkan.
Oleh karena itu, dalam perkara pidana bukti yang dapat diajukan hanya
ditentukan batas minimalnya, tidak maksimalnya. Dengan demikian, untuk memperoleh
keyakinan dimaksud hukum harus memberikan kemungkinan bagi hakim untuk membuka
kesempatan diajukannya bukti yang lain, sampai dicapainya keyakinan dimaksud;
Sejalan
dengan karakter kebenaran tersebut di atas, karena secara umum, KUHAP bertujuan
untuk melindungi HAM dari kesewenang-wenangan negara, terutama yang terkait
dengan hak hidup dan kebebasan sebagai hak yang sangat fundamental bagi manusia
sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 maka dalam mempertimbangkan PK sebagai
upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP haruslah dalam kerangka yang
demikian, yakni untuk mencapai dan menegakkan hukum dan keadilan. Upaya
pencapaian kepastian hukum sangat layak untuk diadakan pembatasan, namun upaya
pencapaian keadilan hukum tidaklah demikian, karena keadilan merupakan
kebutuhan manusia yang sangat mendasar, lebih mendasar dari kebutuhan manusia
tentang kepastian hukum;
Kebenaran
materiil mengandung semangat keadilan sedangkan norma hukum acara mengandung
sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan asas keadilan. Oleh karena
itu, upaya hukum untuk menemukan kebenaran materiil dengan tujuan untuk
memenuhi kepastian hukum telah selesai dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dan menempatkan status hukum terdakwa menjadi
terpidana. Hal tersebut dipertegas dengan ketentuan Pasal 268 ayat (1) KUHAP
yang menyatakan, “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak
menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut”.
[3.16.2]
Menimbang bahwa Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Dalam menjalankan hak
dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”, menurut Mahkamah,
pembatasan yang dimaksud oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tersebut tidak dapat
diterapkan untuk membatasi pengajuan PK hanya satu kali karena pengajuan PK
dalam perkara pidana sangat terkait dengan hak asasi manusia yang paling
mendasar yaitu menyangkut kebebasan dan kehidupan manusia. Lagi pula, pengajuan
PK tidak terkait dengan jaminan pengakuan, serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan tidak terkait pula dengan pemenuhan tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam masyarakat yang demokratis;
[3.16.3]
Menimbang bahwa benar dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet yakni
setiap perkara harus ada akhirnya, namun menurut Mahkamah, hal itu berkait
dengan kepastian hukum, sedangkan untuk keadilan dalam perkara pidana asas
tersebut tidak secara rigid dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan
peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi manakala ditemukan adanya keadaan
baru (novum). Hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu
dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan
keadilan [vide Pasal 24 ayat (1) UUD 1945] serta sebagai konsekuensi dari asas
negara hukum;
[3.17]
Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut
Mahkamah, permohonan para Pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal
268 ayat (3) KUHAP adalah beralasan menurut hukum;
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.
Mengabulkan permohonan para Pemohon:
1.1.Pasal
268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2.Pasal
268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana
mestinya;
================